Sabtu, 31 Maret 2012

Riri, si Gadis Tukang Sampah

Tidak mau ambil pusing, Riri tidak memikirkan tantangan yang diberikan Lina. Riri benar-benar malas dengan liburan beda yang diusulkan Intan. Meski Riri tahu kalau Lina, Moniq, dan Intan sudah mendapatkan ‘tantangan’ pada liburannya, Riri sama sekali tak berniat mencari pekerjaan kasar yang akan dicobanya.
Riri pergi makan ke sebuah restoran sendirian saja. Bukan restoran sebenarnya, hanya merupakan sebuah rumah makan saja. Kebetulan Riri datang di saat jam makan siang sehingga rumah makan itu cukup ramai. Kebanyakan orang-orang berpakaian rapih dan berdasi yang makan di restoran itu. Meski di sekitarnya banyak pegawai kantoran yang berpakaian rapih, Riri santai saja makan sendirian dengan kaos dan celana jeans pendek sampai lutut, dan memakai sandal. Riri memang orang yang tak ambil pusing dengan pandangan orang, lo lo gue gue, prinsip hidup Riri. Tapi, meskipun Riri orangnya cuek, sebenarnya dia orang yang mudah merasa iba, dan jika sudah cocok dengan seseorang, sikap Riri berubah menjadi ramah dan hangat ke orang tersebut.


“hai”, sapa seorang bapak-bapak.


“…”.


“boleh gabung ? tempatnya penuh semua..”.


“yaudah..”, jawab Riri singkat.


“makasih ya cantik…”, pria itu tersenyum licik. Riri pun meneruskan makan.


“nama kamu siapa ?”.


“Riri…”, jawab Riri tanpa menyalami tangan pria itu.


“kalo Om..Tio…”.


“kok kamu makan sendirian aja ?”.


“maaf ya, Pak !! saya bukan jablay !!!”, ucap Riri kencang sambil berdiri dan menggebrak meja.


Otomatis yang lain pun melihat Riri. Riri berjalan meninggalkan Om yang tertunduk dan salah tingkah karena malu. Sementara Riri berjalan keluar rumah makan sambil tersenyum, puas mengerjai Om nakal itu. Riri mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumah, rumah milik Riri sendiri. Sebenarnya, keluarga Riri sudah pindah semua ke luar negeri, hanya Riri yang masih tinggal. Riri tidak mau pindah ke luar negeri karena tidak suka dengan ibu tirinya yang mengajak ayah dan adiknya tinggal di luar negeri. Ayah Riri pun tidak bisa berbuat banyak karena Riri memang keras kepala.


Setiap bulan, ayahnya mengirimi banyak uang ke rekening Riri untuk biaya hidup Riri.


“eh non Riri udah pulang..”.


“iyaa mbok…Riri mau istirahat ya mbok…”.


“iyaa, non…”. Hanya Mbok Ratih saja yang menemani Riri sehari-hari. Tapi, Mbok Ratih pulang pergi, tak tinggal bersama Riri.


“non..non Riri…”, Mbok Ratih menggoyang-goyang tubuh Riri pelan.


“em..i..iya..ada apa ?”, jawab Riri setengah sadar.


“non Riri..Mbok Ratih pulang dulu ya..udah malem..”.


“oh iyaa, Mbok…hooahhmm..”, ujar Riri sambil mengucek-ngucek matanya. Riri pun turun dari ranjang dan mengikuti Mbok Ratih sampai ke pintu depan. Riri mengunci pintu depan setelah Mbok Ratih pulang seperti biasanya.


“haah..nggak ada temen buat keluar..”, ujar Riri.


Biasanya, malam hari Riri sering jalan-jalan bersama 3 sahabatnya atau setidaknya main ke rumah mereka, tapi karena Intan, Lina, dan Moniq sudah memulai liburan mereka, Riri jadi bingung harus kemana. Meski punya teman yang lain selain 3 sahabatnya, Riri hanya nyaman bersama 3 temannya. Riri pergi ke mandi, menyegarkan tubuhnya sekalian mengganti pakaiannya. Riri akhirnya memutuskan untuk menonton film dengan dvd playernya saja. Mungkin sampai 2 film yang dia tonton sebelum akhirnya mengantuk dan tidur lagi.


“hoaammm…nymmm…”, Riri menguap dan ngulet sehabis bangun tidur. Gara-gara terlalu cepat tidur, Riri jadi terlalu pagi bangunnya. Baru jam setengah 6 pagi, Riri mengganti pakaiannya, dia berniat untuk lari pagi di taman dekat rumahnya. Riri mulai berlari-lari kecil menuju taman yang ada di dekat rumahnya.


“suit-suit…neng, mau lari pagi yaa ?”, goda seorang om-om.


“lari pagi bareng om aja, gimana ?”, pria itu pun berlari-lari kecil mengikuti Riri. Riri tidak menjawab, dia hanya mempercepat larinya. Mau tak mau, pria itu harus mempercepat lajunya juga. Riri yang terbiasa lari pagi sama sekali tak berasa, sedangkan pria yang gendut itu sudah ngos-ngos dan berhenti mengejar Riri. Riri hanya menengok ke belakan dan tersenyum mengejek ke pria itu.


Dasar bandot gembrot, sok-sokan ngegodain, lari dikit aja langsung ngos-ngosan, komentar Riri. Matahari semakin tinggi, pagi pun semakin cerah.


“hufh hufh hufh”, Riri berusaha mengatur nafasnya sambil sesekali melap keringat dari wajahnya dengan handuk kecilnya. Hampir 1 1/2 jam Riri lari pagi tanpa beristirahat, paling-paling dia hanya memperlambat larinya sambil mengelap keringatnya yang bercucuran. Riri pun menuju warung untuk membeli minuman.


“segeerr…”. Riri melihat ada seorang bapak-bapak sedang mengaduk-aduk bak sampah yang ada di depan rumah orang. Penampilannya begitu lusuh, dan bapak itu kelihatan tua. Setelah memasukkan beberapa sampah ke gerobaknya, bapak itu mengambil botol minumannya. Botol itu sudah tak ada isinya, si bapak menghela nafasnya, padahal dahaganya benar-benar menyiksa, tapi tak ada air lagi. Riri yang memperhatikan dari tadi langsung membeli minuman dan berjalan mendekati bapak itu.


“maaf, Pak…”.


“iya, neng ? ada apa ?”, tanya bapak itu kebingungan didatangi seorang wanita cantik.


“ini, Pak..diminum minumannya..”.


“nggak usah, neng…”, tolak bapak itu dengan sopan dan halus.


“nggak apa-apa, Pak…minum aja, tadi saya liat bapak keausan, yaudah saya beliin aja…”.


“bener buat saya, neng ?”.


“bener, Pak…”, jawab Riri tersenyum. Riri dan bapak itu pun duduk di tepi jalan.


“makasih banyak, neng…bapak gak tau harus bilang apa…”.


“ya gak usah bilang apa-apa, Pak..hehe..”, canda Riri.


“tapi, kenapa neng beliin saya minuman ?”.


“kan udah saya bilang tadi, saya liat bapak keausan ya saya beliin aja minuman..”.


“makasih banyak ya neng..”.


“Bang !! sini, Bang !!”. Tukang bubur yang tadi dipanggil Riri pun mendekat.


“Bapak udah sarapan ?”.


“belum, neng..”.


“kalo gitu kita sarapan bubur yuk, Pak…”.


“ha ? gak usah, neng…saya udah biasa nggak sarapan…lagian masa udah dibeliin minuman..neng mau beliin saya bubur..saya bener-bener nggak enak ama neng..”.


“ayo dong, Pak..temenin Riri sarapan..”.


“…”.


“nih, Pak..”.


“yaudah deh, neng…”.


Sebenarnya, bapak itu memang lapar sekali, tapi dia sungguh enggan menerima pemberian dari orang yang baru dikenalnya. Enggan karena selama ini, tak ada yang sebaik ini kepadanya, malah banyak yang jijik dan mencemoohnya, tapi kenapa gadis cantik ini begitu baik kepadanya. Tentu tak ada rasa curiga di pikiran bapak itu, tak mungkin gadis cantik ini mau berbuat jahat, lagipula tak ada sesuatu dari diri bapak itu yang bisa di ambil. Sambil sarapan, mereka berdua mengobrol dan saling memperkenalkan diri. Nama bapak itu adalah Malih, umurnya 58 tahun, penampilannya kelihatan lebih tua daripada umurnya. Tukang bubur itu keheranan, kok ada cewek cakep mau sarapan ama tukang sampah, di pinggir jalan lagi, pikir tukang bubur itu. Sekali-sekali, tukang bubur itu curi-curi pandang ke Riri. Cantik dan sangat putih mulus, benar-benar idaman lelaki. Setelah dibayar, tukang bubur itu pun pergi.


“gimana, Pak ? kenyang nggak ?”.


“kenyang, neng…enak banget..”. Riri pun tersenyum.


“saya bener-bener makasih ya neng Riri, udah beliin saya minuman ama sarapan..”.


“iya, Pak..sama-sama..”.


“kenapa neng Riri baik banget sama saya ?”.


“kalo ngeliat bapak, saya jadi inget sama kakek saya..”.


“emang kakek neng Riri kemana ?”.


“udah meninggal 2 tahun lalu…”.


“maaf neng, saya nggak tau..”.


“nggak apa-apa, Pak…saya bener-bener kaget pas ngeliat bapak, mirip sama kakek saya, saya kira lagi mimpi..”.


“udah neng, jangan sedih lagi. kakek neng Riri pasti seneng ngeliat cucunya baik sama orang lain..”, Malih mau merangkul, tapi takut Riri marah.


“makasih, Pak…”.


“mendingan neng Riri saya anter pulang, gimana ?”.


“iyaa, Pak…”. Riri berjalan di samping Malih yang menarik gerobak sampahnya.


“makasih ya, Pak..udah nganterin saya sampai rumah..”.


“justru saya yang makasih, neng. neng Riri udah beliin saya minuman ama sarapan..”.


“iyaa, sama-sama, Pak…”, Riri tersenyum manis.


Di antara 3 temannya, Riri yang paling sensitif perasaannya. Sensitif maksudnya perasa atau mudah merasa kasihan dan juga mudah sedih. Bagi Riri, perasaannya yang sensitif merupakan kelemahan yang bisa saja dimanfaatkan teman-temannya yang cowok untuk mendapatkan hatinya, jadi Riri menyembunyikan kelemahannya dengan sikap sok cuek dan seenaknya sehingga cowok-cowok tak banyak yang mendekatinya karena Riri dianggap judes.


“saya masuk ke dalem dulu yaa, Pak..”.


“makasih banyak yaa, neng..”.


“sama-sama, Pak…”. Riri masuk ke dalam rumah dan mandi.


“kriiing !!!”, Riri keluar kamar dengan terburu-buru.


“halo ?”.


“halo non Riri ?”.


“Mbok Ratih, ada apa ?”.


“ini non, saya mau pulang ke kampung, jadi saya nggak bisa bantu-bantu non..”.


“berapa lama, Mbok ?”.


“ya mungkin 2-3 mingguan kali non..”.


“oh yaudah Mbok..tapi kalo bisa jangan lama-lama ya Mbok..”.


“iya, non..”. Riri masuk ke dalam kamar lagi dan mengenakan pakaian. Dia memikirkan si bapak tukang sampah tadi. Sudah tua tapi masih sanggup bekerja keras, di ajak ngobrol juga enak. Riri jadi ingin tahu kehidupan sehari-hari bapak tadi, lagipula kemungkinan besar dia bosan di rumah.



Malih, si tukang sampah

Riri keluar rumah berniat mencari Malih. Pas sekali, Riri baru keluar pagar rumah, dia melihat Malih di ujung gang.


“Pak Malih !!”. Malih berhenti dan menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari siapa yang memanggil namanya.


“Pak Malih !!”. Malih langsung nengok ke belakang.


“eh neng Riri..ada apa manggil saya ?”.


“gini, Pak…saya baru inget, saya ada tugas, cari tau kehidupan sehari-hari orang-orang seperti bapak, tadinya saya males ngerjain tugas, nah mendingan saya nyari tau kehidupan Pak Malih aja, gimana, Pak ?”.


“mm..boleh aja sih, neng..tapi emangnya tugasnya neng Riri kayak gimana ?”.


“yaa kehidupan sehari-hari Bapak aja..ntar saya rekam pake handycam..”.


“yaudah, neng..”.


“oke, tunggu bentar ya, Pak..”.


“…”. Lumayan lama Malih menunggu Riri kembali.


“neng Riri ngapain, lama amat..”, ujar Malih. Riri pun kembali dengan membawa tas yang biasa di bawa untuk kuliah.


“neng Riri abis ngapain ?”.


“ini, Pak..saya ambil handycam, dompet, sama pakaian..”.


“pakaian ? buat apa, neng ?”.


“ya buat ganti baju, kan saya mau tinggal di rumah bapak 4-5 hari..”.


“ha ? neng Riri mau tinggal di rumah saya ?”.


“iya, Pak..Bapak keberatan ya ?”.


“bukan gitu, neng…rumah saya gubuk, lagian apa orang tua neng Riri gak khawatir nanti ?”.


“orang tua saya lagi di luar negeri, nah soal rumah bapak, justru tugas saya tuh untuk cari tau sisi lain dari kehidupan..gimana, Pak ? boleh ya ?”.


“yaudah, neng..boleh, mudah-mudahan neng Riri ntar gak kaget ngeliat rumah saya..”.


“tenang aja, Pak..oh iya, Pak..boleh naro tas di sini nggak ?”, ujar Riri sambil menunjuk paku yang mencuat dari pinggir gerobak sampah.


“boleh aja neng..tapi ntar tas neng Riri kotor ?”.


“nggak apa-apa, Pak..kotor ya tinggal di cuci ini..”, canda Riri yang membuat Malih tersenyum.


“neng Riri mau ngapain ?”.


“saya bantu dorong gerobaknya, Pak…”.


“nggak usah, neng..saya udah biasa..udah neng, gak usah..”.


“gak apa-apa, Pak..saya pengen bantu..kayaknya berat banget..”.


“tapi ntar tangan neng kotor ?”.


“nggak apa-apa, Pak..tenang aja..”.


Malih menarik, dan Riri mendorong. Gerobak sampah itu terasa lebih ringan dari biasanya bagi Malih. Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di tempat seperti tempat pembuangan akhir.


“neng Riri tunggu di sini bentar..”, ujar Malih sambil menyerahkan tas Riri.


“iya, Pak..”. Malih kembali tak bersama gerobaknya.


“lho ? gerobaknya mana, Pak ?”.


“ya ditaro di sini, neng..sekalian minta bayaran..”.


“oh gitu..”. Riri tidak bertanya berapa bayaran yang didapat Malih karena tidak sopan meskipun Riri sebenarnya penasaran.


“nah sekarang baru kita pulang, neng..”.


“ayo deh, Pak..”. Riri pun mengobrol dengan Malih selama perjalanan pulang.


“Lih siape tuh ? cakep banget ?”, tanya seorang bapak gendut.


“ini anaknye temen gue..”, jawab Malih sekedarnya sambil lalu bersama Riri.


“tadi siapa, Pak ?”.


“yang tadi ? namanya Pak Sueb, ati-ati, neng..disini banyak bapak-bapak iseng..apalagi neng Riri cakep..”.


“ah Pak Malih bisa aja…”. Malih dan Riri berhenti di depan sebuah rumah kecil, atau lebih tepatnya gubuk sederhana.


“ini rumah saya, neng..ayo masuk neng…”. Riri memperhatikan dalam rumah Malih. Begitu sederhana dan kecil, Riri tak pernah membayangkan ada orang yang tinggal di rumah seperti ini, tapi di sinilah dia sekarang, rumah yang sangat sederhana.


“ayo, neng..duduk dulu di sini, maaf neng nggak ada bangku..”, Malih menggelar tikar.


“iya, Pak…”. Tak lama Malih kembali dengan membawa segelas air putih dengan gelas plastik.


“yah beginilah, neng rumah saya…ayo neng diminum..”.


“makasih, Pak…”.


“oh iya, Pak..istri bapak dimana ?”.


“udah meninggal 4 tahun lalu, neng..”.


“oh maaf, Pak..saya nggak tau, Pak…”.


“iya, nggak apa-apa kok neng..saya udah biasa tinggal sendiri..”.


“maaf, Pak..emang anak bapak kemana ?”.


“saya nggak punya anak, neng…katanya istri saya mandul..”.


“aduh maaf, Pak..jadi buat bapak sedih…”.


“nggak apa-apa, neng..”. Riri jadi merasa tak enak telah membuat Malih jadi teringat tentang almarhum istrinya.


Tapi, Riri pun jadi berpikir, apakah selama 3 tahun Malih tidak merasa kesepian tinggal sendirian.


“oh iya, neng..neng Riri mau makan apa ?”.


“Pak Malih mau beli makanan ya ?”.


“iya, neng..neng Riri tunggu di sini bentar..”.


“gimana kalo kita makan di luar aja, Pak..”.


“maaf neng, tapi…”.


“tenang aja, Pak…saya traktir…”.


“tapi, neng…”.


“udah lah, Pak…saya udah laper nih, yuuk..”.


“yaudah deh, neng..”. Mereka berdua pun makan di rumah makan. Malih mengenakan pakaian yang paling bagus yang ia miliki agar tidak membuat Riri malu. Satu-satunya pakaian yang cukup bagus yang Malih miliki, pakaian yang dulu diberikan mantan majikannya saat dia masih menjadi supir untuk orang. Mereka pun kembali ke rumah.


“oh iya, Pak..ada kamar mandi nggak ?”.


“ada neng, sebelah sini…maaf kamar mandinya kecil, neng..”.


“iya, Pak..nggak apa-apa kok, Pak..”. Lumayan juga, rumah kayak gini, tapi ada kamar mandinya, pikir Riri. Rumah Malih cuma ada 2 ruangan kecil, 1 ruangan untuk kamar mandi, dan satunya ada kasur untuk tidur.


“neng Riri udah mau tidur ya ?”.


“iya, Pak udah pegel-pegel nih…”.


“yaudah, neng Riri tidur di sini..”.


“lho ? bapak tidur di mana ?”.


“saya tidur di bawah aja, neng…”.


“biar saya aja yang tidur di bawah..bapak yang di kasur..”.


“nggak, neng..saya aja yang di bawah..neng Riri kan cewek..masa tidur di bawah..”.


“ya, tapi saya masih muda, nggak gampang sakit..”.


“ya tetep aja, neng Riri kan cewek..udah neng, tenang aja..biar udah tua, tapi badan saya masih tahan kalo masuk angin doang..”. Riri merebahkan tubuhnya di kasur kapuk, sementara Malih tiduran di tikar. Keadaan memang sunyi dan gelap, tapi Riri tak bisa tidur. Mungkin karena merasa tak enak hati melihat Malih yang sudah tua tidur di tikar. Riri memandangi Malih yang tidur membelakanginya. Rasa kagum muncul di hati Riri. Seorang pria tua mampu bekerja keras, dan kelihatan begitu tegar meski tinggal sendirian selama 3 tahun. Sikapnya juga sopan, tak seperti kebanyakan pria yang kurang ajar dan menggodanya.


“Pak Malih..”.


“ha ? iya, neng ?”.


“tidur di atas aja, Pak..”.


“tapi, neng…”.


“udah, Pak…nanti bapak masuk angin…”. Malih pun jadi tidur di kasur bersama Riri. Malih sengaja tidur agak jauh dan membelakangi Riri agar Riri tidak menyangka dia akan berbuat macam-macam. Saat mata Riri sudah terasa berat, tiba-tiba dia dipeluk dari belakang. Riri menengok ke belakang, rupanya Malih memeluknya, tapi tanpa sadar karena kelihatan matanya tertutup. Entah itu sengaja atau tak sengaja, Riri membiarkan Malih memeluknya dari belakang. Mungkin keinget istrinya, pikir Riri. Tapi, anehnya Riri merasa pelukan Malih begitu hangat dan nyaman seolah terasa seperti pelukan kakeknya. Riri pun jadi nyaman dan langsung tidur terlelap.


“mm ?”, Riri terbangun karena mendengar suara grasak-grusuk.


“mau kemana, Pak ?”.


“mau berangkat, neng..”.


“tunggu sebentar, Pak..saya ikut..”. Tak lama kemudian, Riri keluar dari kamar mandi. Kaos dan celana pendek selutut membalut tubuh Riri.


“ayo, Pak..”, ujar Riri sambil merapikan baju dan rambutnya.


Tak lupa, Riri membawa handycamnya. Mereka berdua berjalan ke tempat TPA yang kemarin tanpa mengobrol sedikit pun. Riri merekam Malih yang keluar dari TPA sambil menarik gerobak sampahnya.


“Pak, liat ke kamera donk..”. Malih melihat ke arah Riri dan tersenyum.


“Pak..coba dong saya yang narik gerobaknya..”.


“ini berat, neng..”.


“saya mau nyoba, Pak..n’ bapak ngerekam saya narik gerobak..”. Sebenarnya Malih tak tega melihat Riri menarik gerobak sampahnya yang berat dan bau, tapi mau apa lagi, memang Riri yang mau.


“berhenti di sana, neng..”, tunjuk Malih ke bak sampah yang di depan mereka.


“fuh..lumayan pegel juga ya, Pak..”, ucap Riri sambil meluruskan kedua tangannya dan mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangannya.


“ya namanya juga gerobak sampah..lumayan berat..”.


“iya ya..oh iya, Pak..itu dimasukkin ke gerobak ya ?”.


“iya, neng..biar saya aja..”.


“nggak usah, bapak terus rekam aja, biar saya..”. Riri melempar tiga bungkusan plastik ke dalam gerobak.


Mereka berdua pun berkeliling dari bak sampah satu ke bak sampah lainnya. Sampah-sampah yang di luar bak sampah juga diangkut oleh Riri. Riri tidak kuat menarik gerobak terus, jadi dia hanya melemparkan sampah ke dalam gerobak saja. Tubuh Riri yang tadinya wangi kini jadi bau, kulit tangannya yang putih bersih jadi kotor dan hitam. Banyak orang khususnya laki-laki memandangi Malih dan Riri. Mungkin aneh dan bingung, seorang gadis cantik yang berkulit putih mulus memunguti sampah bersama pria tua. Teriknya sinar matahari dan lamanya berkeliling membuat Riri berpeluh keringat, bulir-bulir keringat bercucuran.


“Pak..kita istirahat dulu yuk..capek nih..”.


“ayo, neng..kita istirahat di sana aja..”.


“ayo, Pak..”. Mereka berdua duduk di bawah pohon rindang dan memakan makanan bungkus yang tadi mereka beli.


“neng Riri..”.


“iya, Pak ?”.


“saya mau minta maaf soal tadi malem..”.


“minta maaf soal apa, Pak ?”.


“tadi malem saya nggak sadar meluk neng Riri..”.


“nggak apa-apa kok, Pak..pasti Pak Malih keinget sama istrinya ?”.


“hehe iya neng, biasa tidur sendiri, jadi pas ada neng Riri, gak sadar kerasa kayak tidur sama istri saya..”.


“nggak apa-apa kok, Pak…saya ngerti..”. Malih kelihatan senang sekali, sudah lama dia tak punya teman ngobrol, paling-paling hanya para tetangga di dekat rumahnya. Dengan kehadiran Riri, Malih jadi punya teman ngobrol saat memulung sampah ataupun di dalam rumah.


“oh iya, Pak..saya boleh nanya sesuatu yang agak pribadi nggak, Pak ?”.


“mau nanya apa, neng ?”.


“Pak Malih nggak kesepian ? nggak ada rencana buat cari istri lagi ?”.


“kesepian ya pasti, neng..tapi mana ada yang mau ama saya..udah tua gini..”.


“ya siapa tau aja, Pak…”.


“nggak deh, neng…saya nggak mau repot nyari istri lagi..”.


“oh..”. Setelah berkeliling seharian dan Malih juga telah mengembalikan gerobaknya, mereka berdua pulang ke rumah.


“Pak Malih, saya mandi duluan boleh gak ? badan saya udah gerah nih..”.


“oh..iya, neng..silahkan..”. Malih pun duduk bersender di tikar untuk beristirahat.


Sambil membersihkan tubuhnya, Riri ingin sekali membuat pria tua yang sangat baik dan sopan seperti Malih senang, dan Riri pun mendapatkan ide. Malih terbengong saat melihat Riri keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan handuk yang cukup pendek untuk menutupi tubuhnya. Bagian bawah handuk hanya menutupi 1/4 dari paha Riri. Meski sudah tua, tapi tetap saja Malih adalah laki-laki normal. Melihat paha Riri yang putih mulus membuatnya tak berkedip.


“maaf neng, saya keluar dulu..”, izin Malih menyadari dirinya harus keluar agar tak membuat Riri risih. Tiba-tiba Riri menahannya.


“sebentar, Pak..ada yang mau saya omongin…”.


Dalam pikiran Riri, hadiah yang mungkin akan membuat Malih sangat senang dan juga yang dia rasa paling tepat untuk pria yang benar-benar kesepian seperti Malih adalah dengan memberikan tubuhnya agar Malih bisa melepas semua kebutuhan biologisnya. Tapi, Riri juga masih bingung, jika dia yang menawarkan diri ke Malih, apakah itu tak membuatnya seperti pelacur. Namun, setelah dipikir-pikir, tak apalah, sebuah hadiah yang memang pantas ditawarkan untuk laki-laki yang baik dan sopan seperti Malih.


“mau ngomong apa, neng ?”.


“bapak duduk dulu deh..”. Dengan agak kebingungan, Malih duduk, Riri duduk di depannya. Tentu, handuknya terangkat ke atas, kedua paha Riri kini terlihat seluruhnya oleh Malih. Malih menelan ludah melihat paha Riri yang begitu putih mulus, tapi dia berusaha tetap memandang mata Riri.


“saya mau nanya, apa Pak Malih rindu sama istrinya ?”.


“iya, kangen banget, neng..”.


“kalau gitu, mulai hari ini, anggep aja saya istri bapak..”.


“maksudnya ?”.


“saya akan nemenin bapak..”. Riri meletakkan tangan Malih di paha kanannya.


“maksud neng Riri, saya boleh….”. Riri mengangguk dan tersenyum.


Malih mulai mengelus-elus paha Riri. Elusan tangan Malih semakin dalam merayapi paha Riri. Benar-benar halus kulit gadis cantik ini, pikir Malih. Sudah lama tidak merasakan kehalusan dan kehangatan tubuh seorang wanita, kini Malih mengelus-elus kedua paha Riri. Kedua tangan Malih semakin merayap ke dalam, menyentuh paha bagian dalam Riri.


“hmmm…”, lirih Riri sambil tetap tersenyum. Elusan-elusan Malih sedikit demi sedikit membangunkan gairah Riri. Malih membelai kedua pangkal paha Riri dengan lembut dan perlahan. Meski sudah tua dan sudah lama tidak ‘berurusan’ dengan wanita, insting pejantannya masih ada, dia tahu bagaimana caranya ‘memanaskan’ suasana dan membangkitkan gairah seorang perempuan. Malih terus mengelusi kedua pangkal paha, nafas Riri semakin berat. Sentuhan Malih terasa tepat sekali.


“eemmhhh…”, Riri sedikit bergetar saat Malih mulai meraba-raba tengah-tengah selangkangannya. Malih semakin berani mengusik alat kelamin gadis muda nan cantik yang ada di depannya. Jari tengahnya tepat ‘membelah’ bibir vagina Riri, lalu Malih menggerakkannya ke atas dan bawah untuk semakin meningkatkan ‘tensi’ Riri. Riri yang tadi duduk beralaskan kedua tumitnya (duduk ala Jepang), pahanya rapat menutup, kini seiring dengan gesekan jari Malih di belahan vaginanya, kedua pahanya semakin membuka lebar.


“uummhhh heemmhhh…”, gumam Riri. Malih tersenyum, tangannya terasa semakin panas sekaligus lembap. Riri menutup kedua matanya.


“aaaahhh…”, lirih Riri pelan saat merasakan ada sesuatu benda yang masuk ke dalam vaginanya, apalagi saat benda itu berputar-putar seperti sedang mengebor vaginanya. Malih hanya mengetes rongga vagina Riri. Ternyata, benar-benar sempit dan kesat. Jari telunjuknya menyusul masuk ke dalam liang vagina Riri.


“ooohh aahhh emmhh..”. Rasanya nikmat sekali, selain keluar masuk, 2 jari Malih sesekali mengorek-ngorek bagian dalam vagina Riri. Keadaan terus berlanjut, Malih memperhatikan Riri yang kelihatan sangat keenakan. Yang terdengar hanyalah suara desahan pelan Riri di malam yang sunyi itu. Riri memegangi tangan kiri Malih agar tetap berada di sana, tetap mengerjai vaginanya. Tangan kanan Malih bergerak ke arah dada Riri dan menangkap buah yang sangat menonjol di handuk yang menutupi tubuhnya.


Empuk sekali rasanya, apakah payudara gadis muda seempuk ini, pikir Malih. Sambil terus mengobel alat kelamin Riri, pria tua itu juga sibuk meremas-remas lembut kedua buah payudara Riri bergantian.


“AAAHHH !! PAAKKHHH !!!”, tubuh dan wajah Riri terlihat tegang, tangan Malih dicengkram kuat oleh Riri. Orgasme sedang melanda gadis cantik itu. Malih tersenyum puas, gadis cantik seperti Riri bisa dibuat orgasme hanya dengan jarinya, ternyata dia masih hebat seperti dulu. Malih mengeluarkan tangannya dari ‘kolong’ Riri.


“neng Riri…boleh saya buka handuknya ?”.


“boleh..”, jawab Riri sambil tersenyum.


Malih perlahan membuka lilitan handuk di tubuh Riri. Begitu lilitan handuknya terbuka, Riri sedikit berdiri, handuknya pun langsung lolos ke lantai dan memperlihatkan apa yang dari tadi tertutupi handuk itu. Mata Malih tak bisa lepas dari pemandangan yang begitu indah yang ada di depannya. Begitu putih, begitu mulus, dan begitu sempurna lekuk-lekuk tubuh Riri. Payudaranya pun terlihat sangat bulat, sangat padat berisi, pokoknya benar-benar ‘pas’ sekali. Sampai umurnya yang sudah tua sekarang, rasanya Malih belum pernah melihat tubuh wanita yang begitu indah dan sangat sempurna. Kulit Riri yang putih mulus juga menambah daya tarik tubuhnya. Tapi, tetap saja, yang paling menarik perhatian Malih adalah daerah segitiga Riri. Tak ada bulu yang menutupinya, bersih, dan kelihatan sangat menggiurkan. Sungguh kelamin yang begitu indah, bibir vaginanya berwarna seperti kulit di sekitarnya dan masih rapat menutup. Apakah ini yang namanya vagina cewek cakep, pikir Malih.


“harummm…”, gumam Malih agak tak jelas karena wajahnya terbenam di selangkangan Riri. Malih menghirup dalam-dalam aroma harum melati dari daerah kewanitaan Riri.


“hmmhh…”, desah Riri saat ada rasa hangat dan basah mengenai vaginanya.


Pastilah itu lidah Malih. Belaian-belaian lidah nakal Malih terus dirasakan Riri di daerah pribadinya. Tanpa sadar, kaki kanan Riri berada di bahu kiri Malih. Tanpa mampir ke otaknya, tubuh Riri merespon kenikmatan yang sedang ia rasakan secara alamiah. Dengan meletakkan satu kaki di bahu Malih, tentu selangkangannya akan semakin terbuka dan Malih akan semakin leluasa dan semakin banyak memberikan kenikmatan. Benar saja, pintu surga dunia yang dimiliki Riri semakin terbuka, Malih semakin gencar menyerbu alat kelamin Riri.


“aaaahhh ooouuhhh teeruusshh”. Meski rasanya nikmat, tapi kakinya yang satu lagi terasa pegal menopang tubuhnya sekaligus gemetaran. Riri pun menekan dan menahan kepala Malih di selangkangannya, lalu dengan selangkangannya, dia mendorong kepala Malih ke bawah. Badan Malih mengikuti kepalanya terjatuh ke bawah. Kini, Riri duduk mengangkangi wajah Malih, dalam posisi itu, vagina Riri telah resmi menjadi bulan-bulanan pria tua yang kesenangan ‘kejatuhan’ vagina. Terkurung di antara paha gadis secantik Riri tentu membuat Malih bersemangat. Pandangannya tertutup vagina Riri, hidungnya hanya mencium aroma harum vagina Riri, sungguh keadaan ‘terjepit’ yang paling menyenangkan bagi Malih. Ruang yang tersedia juga terbatas, hanya untuknya seorang. Riri memang mempersembahkan vaginanya, tak ada orang lain yang bisa mengganggu gugat, pikir Malih. Lidahnya langsung melata masuk ke dalam lubang kenikmatan Riri.


“ooohhh iyaaa Paaakhh disiituu”, desah Riri merasakan lidah Malih tepat sekali mengenai bagian yang memberikan kenikmatan lebih dari sebelumnya. Riri pun semakin menekan vaginanya ke wajah Malih. Tak sopan memang menduduki orang yang lebih tua, tapi apa mau dikata, yang tua sendiri juga tak keberatan diduduki si gadis muda. Mata Riri menutup, bibir bawahnya dikulum sendiri olehnya. Gadis cantik itu sedang terhanyut, meresapi kenikmatan yang sangat luar biasa yang dirasakannya pada bagian bawah tubuhnya.


“AAAAHHHH”, vagina Riri semakin ditekan ke wajah Malih.


Kucuran cairan yang berasal dari alat kelamin Riri tak ubahnya bagai air mata pegunungan yang segar dan alami bagi Malih. Semuanya habis dalam hitungan detik saja, lidah Malih pun mengorek-ngorek sisa cairan yang tertinggal di dalam rongga vagina Riri. Memang benar, berhubungan intim memang seperti naik sepeda, awalnya memang perlu belajar, tapi selanjutnya tak akan lupa seumur hidup karena insting dasar manusia selain bertahan hidup adalah bereproduksi sehingga tak perlu keakhlian dalam bersetubuh. Terbukti, 3 tahun tak pernah menyentuh tubuh perempuan, tapi Malih masih ingat bagaimana membuat seorang perempuan begitu keenakan. Riri mengangkat vaginanya dari wajah Malih, takut ‘digerogoti’ lagi oleh Malih. Dia duduk tepat di tonjolan celana Malih.


“neng Riri…”, ujar Malih mengelus-elus pinggang Riri.


Riri tersenyum, dan merundukkan tubuhnya, Malih pun langsung memeluk tubuh Riri, begitu hangat, aroma tubuh Riri benar-benar segar dan harum. Kedua tangan Malih merayap turun ke bawah, menampung kedua bongkahan pantat Riri dan meremas-remasnya, menikmati kekenyalan dari dua bongkah pantat Riri. Sudah lama rasanya Malih tidak merasakan hangatnya tubuh seorang wanita, Malih dan Riri berpelukan begitu erat. Sungguh pemandangan yang begitu sensual dan erotis. Kekontrasan di antara dua insan manusia itu justru menambah aura erotis dan sensual yang ada. Riri, si gadis muda yang begitu cantik dan putih mulus sudah telanjang bulat sepenuhnya, memeluk Malih, pria tua yang keriput dan berkulit hitam terbakar matahari dan masih berpakaian lengkap.


“mmm…ccpphhh..mmm…”. Ciuman yang terjadi begitu mesra dan kompak. Keduanya bergantian saling lumat dan pagut. Bibir Riri yang lembut membuat Malih benar-benar gemas. Dilumat, dihisap, dikenyot, dikulum, bibir Riri habis-habisan diserbu Malih. Lidah keduanya pun tak jarang saling belit, saling kait, dan saling silang.


“hmmm…mmm…”. Terlihat jelas sekali kalau tak hanya Malih yang menikmati percumbuan ini, tapi Riri juga sangat, sangat menikmatinya. Rambut Riri pun menutupi sisi kiri dan kanan seperti tirai/hordeng yang menutupi bibir mereka berdua yang menyatu seakan tak ingin ada seorang pun yang melihat percumbuan mereka.


“uuah..”, Riri mengatur nafasnya setelah melepaskan bibirnya dari bibir Malih dan menegakkan tubuhnya.


Kedua tangan Malih berpindah ke pinggang Riri yang ramping. Malih menggerakkan tangannya. Dari perut Riri, kedua tangan Malih naik, terus naik ke atas sampai kedua tangan Malih berhasil menangkap gumpalan daging kembar milik Riri. Begitu empuk dan begitu kenyal. Malih meremasi susu Riri dengan gemasnya. Kedua puting Riri dimainkan, dipencet-pencet, dan dipilin-pilin Malih. Puting Riri semakin mengeras, semakin sensitif juga rasanya, dan tentu semakin nikmat. Bagai sudah lama mengenal Malih, Riri tahu apa yang diinginkan Malih. Riri duduk agak maju. Dia kini duduk di perut Malih, langsung merunduk. Kedua buah payudaranya ‘jatuh’ tepat di hadapan Malih. Malih langsung menangkap susu kiri Riri dengan mulutnya, sementara susu Riri yang satunya ditampung oleh tangan Malih.


“hmmmhhh eemmmm”. ‘tutup’ kemasan susu kiri Riri sama sekali tak terlihat, ditelan seluruhnya oleh Malih yang asik menghisapi puting kiri Riri sampai pipinya yang sudah kempot menjadi bertambah kempot.


Sajian payudara Riri dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Malih. Malih menarik Riri ke bawah. Wajahnya terbenam di kedua buah payudara Riri. Rasanya benar-benar empuk, hangat, dan nyaman. Lama juga Malih ‘terbenam’ di payudara Riri sebelum Riri mengangkat tubuhnya lagi. Riri kembali duduk tepat di selangkangan Malih, tonjolan di celana Malih tepat face to face dengan vaginanya yang tak terlindungi. Agak terkejut Malih saat Riri menciumnya lagi. Tak begitu lama, ciuman Riri tadi hanya berupa kecupan mesra. Lebih terkejut saat Riri menjulurkan lidahnya. Lidah Riri menempel di dahi Malih lalu bergerak turun. Malih diam, dia bingung dan heran. Dulu, istrinya tak pernah melakukan ini, tapi gadis cantik ini malah kelihatan asik menjilati wajah, hidung, dan dagunya serta menggeluti kedua telinganya. Riri memasukkan lidahnya lagi dan menciumi dari dagu sampai ke bawah batang leher Malih sebelum menjilati leher Malih. Malih merinding antara geli dan nikmat. Ternyata seperti ini rasa yang dirasakan istrinya dulu saat dijilati lehernya. Sambil tersenyum, Riri mengangkat badan Malih sampai dia duduk dengan kaki menyelonjor. Riri menarik kaos Malih ke atas, tentu Malih meluruskan kedua tangannya ke atas. Badan kurus yang sudah agak peyot itu terlihat hitam dan rapuh. Riri mendorong Malih perlahan hingga Malih terlentang lagi. Riri melipat baju Malih dan menaruhnya di samping tikar. Malih merasa sangat aneh, harusnya ia yang menelanjangi Riri, tapi kenapa Riri yang menelanjanginya? Riri memberi kecupan-kecupan mesra pada dada Malih sebelum menjilati kedua puting hitam Malih.


“neng Riri mau apa ?”, tanya Malih. Riri mengangkat lengan kanan Malih, dan tanpa ragu-ragu, Riri langsung membenamkan wajahnya di ketiak Malih.


“cuph cuph eeem”, Riri memberi kecupan lalu menjilati ketiak Malih. Malih sadar betul kalau ketiaknya tak main-main baunya, tapi kenapa Riri begitu nyaman berada di sana.


Lidah Riri bergerak naik ke atas sampai ke tangan Malih.


“jangan neng. tangan saya bekas sampah..”, ujar Malih karena Malih memang belum membersihkan diri setelah berkeliling. Dan untuk sekali lagi, Riri hanya memberikan senyumannya sebagai jawaban. Riri begitu telaten menjilati tangan kanan Malih. Punggung tangan, telapak tangan, sela-sela jari, semuanya dijilati Riri. Kelima jari Malih pun diemut-emut dan dikulum oleh gadis cantik itu. Lengan kiri Malih juga mendapat perlakuan sama dari Riri. Riri kembali menciumi dada Malih, turun ke bawah, dan mengecupi perut Malih. Dengan gerakan perlahan, Riri membuka kancing dan resleting celana Malih. Malih mengangkat pahanya, Riri jadi mudah menarik celana Malih. Riri melipat dengan rapih celana Malih dan menaruhnya di samping. Riri mengangkat kaki kiri Malih, menempelkan payudara kanannya ke telapak kaki Malih. Entah tujuannya apa, tapi Riri menggunakan payudaranya seperti keset untuk membersihkan telapak kaki Malih. Malih benar-benar bingung melihat sikap Riri yang agresif. Riri mengelus-eluskan pipinya sendiri ke telapak kaki Malih.


“hmmm…”. Tiba-tiba Riri menjilati telapak kaki Malih, dari tumit sampai ke sela-sela jarinya. Lidah Riri menyelip masuk ke sela-sela jari kaki Malih. Kelima jari kaki Malih dijilati dan diemut-emut Riri sebelum menjilati seluruh kaki Malih. Tak terlihat ekspresi jijik ataupun mual, Riri malah kelihatan begitu serius menggunakan lidahnya untuk membersihkan kaki Malih. Tak hanya kaki kiri, kaki kanan Malih juga mendapatkan ‘perawatan’ dari lidah Riri. Inilah Riri sebenarnya. Entah disebut kelainan atau malah kesempurnaan dari seorang wanita, dari dulu Riri memang sangat senang menjilati tubuh lawan mainnya tak terkecuali kaki dan ketiak. Lina, Intan, dan Moniq bahkan menyebut Riri sebagai ‘sex treatment’ berjalan, tapi Riri menyebutnya sebagai ‘mandi kucing’. ‘penyakit’nya lah yang membuat Riri benar-benar menjaga perasaannya terhadap teman cowok yang mendekatinya. Tentu Riri akan dicap sebagai cewek agresif dan nakal jika semua pria yang mendekatinya mendapatkan ‘mandi kucing’ darinya.


Jadi, Riri memang sengaja menciptakan kepribadian yang lain, cewek judes dan cuek agar tak sembarang pria bisa mendekatinya. Sampai saat ini, hanya ada 2 pria yang pernah merasakan mandi kucing dari Riri. Pertama, mantan pacarnya yang keempat, meski mantan pacarnya ada 6, tapi hanya yang keempat yang pernah mendapatkan Riri sepenuhnya. Riri dan mantannya yang keempat itu saling mencintai, tapi sayang mantannya harus pergi ke Sumatra mengikuti keluarganya. Dan pria kedua adalah kakeknya sendiri. Ya, pria yang mengambil keperawanan dan mengajari Riri untuk melayani pria dengan sepenuh hati termasuk mandi kucing adalah kakeknya sendiri. Secara teknis, kakek yang Riri kenal bukanlah kakek kandungnya. Kakek kandungnya meninggal dunia sudah lama sekali ketika ibu Riri masih berusia 7 tahun, dan peran kakek kandungnya digantikan oleh kakek tiri yang baik dan perhatian. Entah setan darimana, Riri dan kakeknya itu bisa berhubungan intim saat Riri masih 3 SMP. Sejak saat itu, Riri dan kakeknya menjalin hubungan tanpa dicurigai kedua orang tuanya sampai akhirnya kakeknya meninggal. Itulah mengapa Riri tak bisa melupakan kakeknya sampai sekarang.


“mmm…”. Malih hanya memandangi kakinya yang sedang dijilati Riri dengan penuh seksama.


“Ah, benar-benar mimpi yang indah”, pikir Malih.


Tak heran kalau Malih menganggap semua yang terjadi adalah mimpi. Jika bukan mimpi, rasanya tak mungkin ada seorang gadis muda yang sangat cantik seperti Riri mau melakukan seperti ini, di dunia nyata pasti tak ada yang mau mendekatinya, pikir Malih lagi. Kedua kaki Malih telah berlumuran air liur Riri. Kini, lidah Riri berjalan dari mata kaki kanan naik terus ke ujung bawah kolor Malih. Riri berpindah ke mata kaki kiri Malih. Pemandangan yang begitu liar melihat gadis secantik Riri menjilati seluruh tubuh pria tua seperti Malih. Kedua tangan Riri merayap masuk ke dalam kolor Malih di 2 sisi, kanan dan kiri dan bertemu di senjata Malih.


“hmmm…”, gumam Riri. Benda yang ada di dalam kolor Malih terasa begitu hangat dan kokoh.


“emm..”, Malih menikmati remasan dan pijatan tangan Riri di batang kejantanannya. Tangan gadis cantik itu terasa sangat hangat, lembut, dan lihai memijat. Riri mencumbui dan menjilati kolor Malih tepat di tengah-tengahnya. Padahal, kolor itu menyebarkan bau apek, tapi Riri kelihatan sangat nyaman berada di sana. Malih memang tidak terlalu merasakan efeknya, tapi rasa hangat dari ciuman mesra dan jilatan Riri benar-benar terasa. Merasa cukup, Riri menarik kolor Malih. Dia sempat terdiam saat melihat batang kejantanan Malih meloncat keluar. Riri tak pernah melihat penis yang kelihatan sangat kokoh, besar, dan panjang. Badannya memang kurus, tapi itunya, pikir Riri. Riri menarik kolor Malih dan melipatnya lagi dengan rapih. Kedua tangan halus Riri mendekati tongkat yang sudah berdiri tegak itu. Dielus-elusnya burung Malih, sesekali Riri mengusap-usap helm lunak Malih.


Malih merasa begitu dimanjakan oleh gadis cantik yang sedang ‘mengurusi’ alat kelaminnya. Ia memandangi Riri yang kelihatan begitu terampil dan tahu benar bagaimana memijat dan mengurut alat kelaminnya. Batang kejantanan Malih dielus-elus, diusap-usap, ditekan-tekan Riri di beberapa titik dengan satu atau kedua jempolnya, dan sesekali Riri menggunakan kedua tangannya untuk mengurut dari pangkal sampai ke kepalanya. Kantung zakar Malih juga dipijat dan diremas-remas lembut oleh Riri. Riri mendekatkan wajahnya ke selangkangan Malih. Bau apek ditambah aroma kejantanan yang begitu tajam tercium oleh Riri.


“cph cph cph”. Sekujur ‘roket’ Malih diciumi Riri. Bagian bawah, atas, kanan, kiri, dan juga lipatan antara batang dan zakar Malih mendapat ciuman dari gadis cantik itu. Riri berpindah ke zakar Malih sekarang. Sama sekali tak ada rasa enggan ataupun jijik, Riri terlihat begitu senang memanjakan alat kelamin Malih seolah sudah terbiasa dan menjadi kewajiban baginya untuk ‘membahagiakan’ Malih.


“mm..neeng..”, nikmat sekaligus basah sekali di bawah sana, begitulah yang dirasakan Malih.


Dengan lidahnya, Riri terus ‘menyapu’ kantung zakar. Sesekali Riri mencium dan mengemut-emut pelir Malih. Cantik, muda, baik, tubuh putih mulus, dan tahu benar cara ‘merawat’ alat kelamin pria, benar-benar cewek idaman. Batang kejantanan Malih mungkin terlihat seperti eskrim di mata Riri karena Riri kelihatan begitu menikmati senjata Malih itu.


“oooohhh teruss nenggg…enaaakkhhh”. Sudah lama tak merasakan nikmat dan hangatnya mulut wanita di alat kelaminnya, jadi tak heran kalau Malih sangat keenakan. Lidah Riri naik-turun di tongkat Malih dan sesekali, lidah gadis cantik itu berputar mengelilingi diameter penis Malih dari bawah sampai ke pucuknya. Riri tak henti-hentinya melumuri senjata Malih dengan air liurnya. Riri juga asik mengulik lubang kencing Malih seakan sumber mata air yang sedang dipancing keluar.


“mmm..”, desah Riri lembut dengan suara yang begitu menggoda saat dia mulai mengemuti kepala penis Malih.


“oohhh…”, desah Malih saat penisnya ditelan Riri sepenuhnya.


Kehangatan yang begitu luar biasa menyelimuti alat vitalnya, Malih pun menahan kepala Riri agar tidak bergerak. Lidah Riri senantiasa memberikan belaian kepada batang Malih. Riri mulai menggerakkan kepalanya naik-turun. Sesekali, Riri hanya mengemut kepala penis Malih sambil menggelitik lubang kencing Malih. Tangan Riri senantiasa memberikan pijatan dan remasan lembut pada pelir Malih. Riri bisa merasakan sedikit sperma Malih yang memang keluar dari lubang kencingnya. Batang Malih sesekali dikocok Riri untuk meratakan air liurnya. Riri berdiri, pandangan mata Malih tertuju pada tengah selangkangan gadis cantik itu. Sama sekali tak ada rambut kemaluan yang tumbuh di daerah itu sehingga bentuk vagina Riri dapat dilihat dengan sangat jelas oleh Malih. Riri menurunkan pinggangnya. Tangannya memegangi penis Malih. Begitu terasa posisi rudal Malih sudah tepat dan pas dengan vaginanya, Riri menurunkan pinggangnya.


“mmmm….”, gumam Riri senada dengan Malih.


Perlahan, vagina Riri terus menelan alat kelamin Malih.


“eemmhhh”, lirih Riri pelan merasakan sensasi di selangkangannya. Liang vaginanya terasa penuh sesak, terasa seperti ada sesuatu yang ‘mengganjal’ bagian tubuhnya, tapi sesuatu itu juga memberikan rasa yang sungguh nikmat di sekujur urat sarafnya, begitulah yang sedang dirasakan Riri. Sementara, Malih juga sedang meresapi hangatnya liang vagina Riri. Alat kelamin mereka saling mengikat satu sama lain. Vagina Riri mencengkram batang Malih dengan kuat, sementara penis Malih mengait rahim Riri dengan kokoh. Bentuk, panjang, dan diameter benda tumpul yang ada di dalam rahimnya terasa begitu pas sekali bagi Riri. Riri mendekatkan wajahnya ke wajah Malih. Begitu cukup dekat, bibir Riri langsung disambar Malih.


“mmpphh..ccpphhh..ccpphh…”. Keduanya begitu menikmati momen ini, ciuman mereka semakin dalam, semakin erat, semakin hangat, dan semakin mesra. Sementara itu, kedua alat reproduksi mereka pun sudah saling beradaptasi satu sama lain.


Riri mengangkat tubuhnya tegak. Mulutnya berlumuran air liur Malih, begitu juga sebaliknya. Pinggul Riri mulai bergerak maju-mundur.


“emmmmmmhhh…”, lirihan Riri pelan namun panjang dengan suara yang lembut.


“ooohhh neengghh”, desah Malih merasa luar biasa enak, burungnya seperti sedang digilas dan dikucek oleh vagina Malih. Riri juga merasakan kenikmatan yang sama. Selama waktu terus berjalan, Riri terus menggerakkan pinggulnya untuk tetap mengocok senjata Malih. Maju-mundur, kanan-kiri, naik-turun, berputar-putar, dan bahkan Riri mengangkat pinggulnya agak ke belakang, perlahan turun ke bawah sambil mendorong maju ke depan dan terakhir pinggulnya diangkat, seperti gerakan orang menyendok.


“ooohh aaahhh aaahhhh OOOUUHHH !!”, Riri menekan vaginanya ke bawah, sedangkan kedua tangannya menekan perut Malih.


Otot-otot gadis cantik itu menegang, dia sedang melepaskan puncak kenikmatannya. Padahal dia yang setidaknya memegang kendali, tapi kenapa dia yang tidak mampu menahan orgasmenya, Riri kebingungan. Sambil menunggu Riri mengatur nafasnya, Malih memegang kedua tangan Riri seolah sedang memberikan semangat kepada Riri. Malih menarik tubuh Riri ke bawah, dipeluknya tubuh putih mulus Riri. Dengan perlahan, Malih mengangkat tubuh Riri. Riri langsung melingkarkan tangannya di leher Malih dan kakinya di pinggang Malih, takut jatuh. Malih meletakkan tubuh Riri di kasurnya. Sekarang Riri berada di bawah dan Malih yang berada di atas. Mereka berdua bertukar posisi tanpa harus melepaskan ‘ikatan’ alat kelamin mereka. Ternyata masih bisa, pikir Malih merasa bangga masih bisa bertukar posisi tanpa harus mencabut penisnya seperti dulu.


“emmmhhh ooohh uuuhhh”. Malih mulai menyodok-nyodok rahim Riri, tak heran Riri mulai melirih keenakan.


Benda tumpul milik Malih terus bergerak maju-mundur di dalam liang kewanitaan Riri. Kecepatan genjotan Malih bertambah setiap menitnya. Semakin lama terasa semakin nikmat, keduanya semakin larut dalam kenikmatan persenggamaan yang begitu panasnya. Alat kelamin yang saling bergesekkan memang memberikan kenikmatan surga duniawi yang amat besar.


“OOOUUHHHH !!!”, lenguh Riri melepaskan orgasmenya. Malih mengubur penisnya dalam-dalam di rahim Riri dan mendiamkan burungnya itu sejenak untuk membiarkan Riri menikmati puncak kenikmatannya dan juga sekaligus menikmati burungnya yang berendam dalam kehangatan cairan vagina Riri.


“ccllkk ccllkk”, Malih mulai mencekoki vagina Riri lagi. Kini, mereka berdua menyelaraskan gerakan alat reproduksi masing-masing. Saat Malih mendorong penisnya masuk, Riri menekan vaginanya ke bawah.


Desahan-desahan Riri menghiasi malam di rumah Malih. Keduanya berpeluh keringat, sama-sama merasakan panasnya persenggamaan mereka. Nafas mereka sama-sama memburu, tubuh mereka sangat menikmatinya. Malih mendekap tubuh Riri dan menghujami liang kewanitaan Riri lebih cepat daripada sebelumnya.


“aahhh ooohhh ooohh mmhhh uuuhhh aaaaahhh”, Riri tak kuat menahan rasa nikmat yang dirasakannya.


Sodokan-sodokan Malih benar-benar cepat dan kuat, Riri hanya bisa melingkarkan kedua kakinya di pinggang Malih.


“eeennhhh dikiiid lagiii”, teriak Malih. Dengan dorongan yang sangat kuat, penisnya mentok di dalam rahim Riri. Tiba-tiba Malih mencabut keluar penisnya dan mengangkangi wajah Riri. Sambil mengocok dengan cepat, Malih mengarahkan senjatanya ke muka Riri. Riri langsung menyingkirkan tangan Malih, dan menggunakan tangannya untuk gantian mengocok.


“neeengghh..”, desah Malih saat Riri mengulum kepala penisnya sambil mengocok batang penisnya. Gadis cantik itu tahu benar kalau Malih akan ejakulasi.


“OOOKKKHHH !!!”, erang Malih, kedua tangannya menahan kepala Riri.


“crooot crooot !!”, semburan sperma Malih benar-benar kencang bagai keran air. Namun, Riri memang sudah siap untuk menampung sperma Malih. Rasanya sungguh kental, asin, dan begitu ‘laki-laki’, inikah rasa sperma yang sudah 3 tahun tidak dikeluarkan, pikir Riri. Riri menggelitiki lubang kencing pria tua itu untuk mendapatkan sisa-sisa spermanya.


Malih pun mengeluarkan penisnya dari mulut Riri.


“gllkk”, terlihat Riri menelan seluruh sperma Malih yang ada di mulutnya. Malih tidur di samping Riri.


“makasih neng Riri…”, ucap Malih membelai kepala Riri. Riri tersenyum dan memeluk Malih. Benar-benar mimpi yang sangat tak terlupakan, pikir Malih. Mereka berdua saling berpelukan erat dalam ketelanjangan mereka. Aroma keringat dan aroma persetubuhan begitu kental tercium di rumah Malih yang sempit. Mudah-mudahan gue gak sampe bangun, pikir Malih yang sedang ‘anget’ dipeluk Riri.


Nafsu Malih pun muncul lagi, tangannya iseng merayap ke bawah dan mengelus-elus selangkangan Riri. Riri memandang Malih dan tersenyum. Kayaknya neng Riri gak keberatan nih, kalimat yang ada di dalam benak Malih. Nafsu Malih yang tidak pernah dikeluarkan 3 tahun, semuanya dilampiaskan kepada Riri, seorang gadis cantik yang sangat ‘pengertian’ terhadapnya. Tak ada rasa enggan ataupun sungkan lagi pada diri Malih terhadap Riri, yang ada hanyalah otak mesum yang berpikir untuk merengkuh kenikmatan dari Riri. Nafsu Malih yang menggebu-gebu juga memancing gairah Riri. Keduanya bagaikan pengantin baru yang sedang menjalani malam pertama. Begitu bernafsu, begitu bergairah, tak ada yang bisa memisahkan mereka. Malih bisa menikmati setiap jengkal tubuh Riri sepuasnya seakan-akan Riri sudah menjadi istrinya. Riri pun melayani Malih dengan sepenuh hati seolah-olah jiwa dan raganya sudah menjadi hak milik Malih. Layaknya anak kecil yang mendapatkan permainan baru, mereka berdua terus melampiaskan gairah, bercinta dengan nafsunya sampai 4 ronde, meskipun mereka belum makan. Tapi, sepertinya rasa lapar terkalahkan oleh rasa nikmat duniawi yang tengah mereka rasakan. Mereka berdua sampai kelelahan dan akhirnya tertidur dalam berpelukan.


“hhhoohhmm..”, Malih bangun, dan mendapati dirinya tidur sendiri, hanya mengenakan kolornya.


“Pak Malih udah bangun ?”, tanya Riri yang masuk ke dalam. Sepertinya Riri dari luar.


“iyaa neng, hehe..”.


Malih tersenyum sendiri mengingat mimpinya ketika melihat Riri yang sepertinya sedang menyiapkan sesuatu.


“ayoo, Pak..sarapan dulu..kan dari tadi malem, kita belom makan..”. Seketika Malih kaget mendengar perkataan Riri. Malih juga jadi menyadari, mimpi tadi malam pastilah mimpi basah, tapi kenapa kolornya tidak terasa apa-apa alias kering-kering saja. Mereka berdua makan tanpa berbicara. Sebenarnya, Malih ingin sekali menanyakan tentang semalam kepada Riri, tapi tentu rasanya tak sopan.


“sini, Pak..piringnya..”. Riri membawa piring tadi ke kamar mandi untuk dicuci. Malih pun keluar rumah. Pagi hari ini terasa lebih segar dan lebih cerah bagi Malih. Badannya terasa segar bugar, enak sekali rasanya.


“ayo, Pak..kita keliling…”.


“ayo, neng…”. Sampai siang, mereka berdua berkeliling mengumpulkan sampah.


“neng Riri..”.


“iya, Pak ?”.


“apa neng Riri inget tadi malem ?”.


Tiba-tiba Riri berhenti menyuap makan siangnya.


“emang kenapa, Pak ?”.


“sebelumnya saya minta maaf, neng..”.


“iya, kenapa, Pak ?”.


“apa tadi malem saya ngapa-ngapain neng Riri ?”, kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Malih. Riri pun tersenyum dan mengangguk pelan.


“jadi tadi malem bukan mimpi ?”.


“bukan..”, jawab Riri tersenyum manis.


“maafin saya, neng, saya bener-bener minta maaf, neng…tolong jangan laporin saya ke polisi, neng…”, ujar Malih hampir sujud ke Riri.


“udah, Pak…”.


“saya bener-bener minta maaf, neng…”.


“saya nggak marah, Pak..”.


“ne..neng nggak marah ?”.


“iya, Pak…itu ucapan terima kasih saya..”.


“terima kasih apa, neng ?”, Malih jadi semakin bingung saja.


“terima kasih udah buat saya sadar, meskipun kehilangan orang yang di sayangi, tapi bapak tetep jalanin hidup…nggak kayak saya yang terus sedih keinget kakek saya..”. Malih tak bisa berkomentar. Dengan instingnya sebagai laki-laki untuk melindungi wanita dan membuatnya nyaman, Malih pun merangkul gadis cantik itu.


“maaf, neng..saya buat neng jadi sedih…”.


“nggak apa-apa, Pak..ayo, Pak kita lanjut lagi, yuk..”.


“neng nggak apa-apa ?”.


“nggak apa-apa, Pak..ayoo, Pak…”.


Malih benar-benar bingung dengan Riri. Gadis cantik ini sangat sulit ditebak perasaannya. Tadi dia sedih, tapi sekarang dia kelihatan bersemangat dan senang. Tadi juga pas ditanya tentang semalam, Riri menjawab dengan malu-malu, padahal tadi malam, dia begitu bergairah dan sangat agresif. Seperti orang yang memiliki kepribadian ganda. Mereka berdua berkeliling seperti biasa sampai sore.


“ujan !!”.


“kita neduh di sana aja, neng…”. Padahal sudah mengembalikan gerobak, hanya tinggal kembali ke rumah saja, tapi mereka berdua harus berteduh karena hujannya cukup deras.


“neng Riri..”.


“iya, Pak ?”.


“saya mau ngucapin makasih…”.


“makasih kenapa, Pak ?”.


“udah ngebolehin saya kemaren malem..”.


“iya, Pak..sama-sama..”.


“saya nggak tau harus gimana lagi ngucapin makasih ke neng Riri..”.


“hmm…kata bapak, bapak dulu supir kan ?”.


“iya, neng..emangnya kenapa ?”.


“gimana kalau bapak kerja jadi supir saya aja ?”.


“nggak usah, neng..udah cukup neng Riri bantu saya..terutama tadi malem, saya nggak tau harus bales gimana ke neng Riri ?”.


“apa bapak bener nggak mau ? ntar bapak bisa pindah ke rumah saya..”. Tawaran Riri itu membuat Malih jadi berpikir keras. Satu sisi, Malih benar-benar merasa tak enak dengan Riri. Tapi di sisi lain, Malih membayangkan serumah dengan Riri. Jika beruntung, kejadian kemarin malam bisa terulang terus setiap malamnya.


“yang bener, neng ?”.


“iya, Pak..gimana, mau ?”.


“boleh deh, neng…tapi saya nggak usah digaji..”.


“lho ? masa bapak nggak mau digaji ?”.


“nggak usah, neng…saya serumah ama neng Riri udah seneng..hehe…”, Malih sudah berani merayu Riri.


“ah bapak bisa aja..”.


“hehe…yaudah, neng..saya beli makanan buat ntar malem..”.


“oh iya deh, Pak..kalo gitu saya tunggu di rumah yaa..”. Setelah membeli makanan, Malih pun berpikir selama perjalanan. Pria tua itu berpikir bagaimana caranya bilang ke Riri kalau dia ingin seperti kemarin malam.


“neng Riri ! ini makanannya !!”.


“iya, Pak !!”, jawab Riri yang sepertinya sedang berada di dalam kamar mandi.


Malih kaget sekali ketika melihat Riri keluar dari kamar mandi. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh putih mulus Riri. Mata Malih sangat dimanjakan oleh pemandangan yang ada di depannya. Kali ini, Malih sudah yakin, bahwa gadis cantik ini telanjang tidak di dalam mimpinya tapi memang betul-betul telanjang. Malih langsung memeluk Riri dan menciumi payudaranya.


“hihi…udah, Pak…kita makan dulu aja…”, canda Riri, tapi tak menghentikan Malih. Tak ada rasa canggung lagi di antara mereka berdua, rasa itu telah sirna. Seolah mereka sudah terbiasa. Malih merasa sudah memiliki Riri sepenuhnya, jadi tak perlu sungkan lagi terhadap Riri. Riri pun merasa dirinya tak bisa menolak kemauan Malih.


“oh iya deh, neng..kita makan dulu…”. Mereka berdua makan. Sesekali Malih iseng mencolek puting Riri. Mereka sama sekali tak kelihatan seperti orang yang baru kenal, mereka seperti pasangan suami-istri yang setidaknya telah bersama selama 2 tahun.


Semuanya karena Riri yang agresif dan nakal. Tapi, bukan tanpa alasan Riri jadi ‘nakal’ seperti temannya Lina, Riri merasa sedang bersama kakeknya karena wajah Malih mirip dengan kakeknya. Tak heran kalau Riri tak merasa canggung bugil di hadapan Malih.


“rrsss…”.


“ujan ya, Pak ?”.


“iya, neng..kayaknya ujan..”. Sungguh keadaan yang ideal, hujan deras, hawa dingin, dan bersama seorang gadis cantik yang sudah telanjang bulat. Hanya satu yang bisa dilakukan, pikir Malih.


“neng Riri kedinginan nggak ?”.


“hmm..”.


“saya buat anget..mau gak ?”. Riri hanya tersenyum. Malih pun mendorong tubuh Riri hingga gadis cantik itu terlentang dengan pasrah. Hampir tak percaya dengan nasibnya sendiri, Malih memandangi Riri. Sama sekali tak menduga, setelah 3 tahun, ia bisa merasakan kehangatan seorang wanita, apalagi wanita yang masih muda dan sangat cantik. Kali ini Malih memastikan dia yang berkuasa dengan menindih Riri. Digelutinya setiap jengkal tubuh Riri yang segar nan harum, membuat Malih semakin bernafsu untuk merengkuh kenikmatan darinya. Bercinta dengan gadis muda nan cantik yang sangat bergairah membuat Malih merasa muda kembali. Malam yang dingin sama sekali tak terasa oleh mereka berdua. Malam itu mereka lalui dengan kehangatan. Esoknya, Malih membawa barang-barangnya untuk pindah ke rumah Riri.


“ayo, Pak..masuk..”.


“waah..apa kamar ini nggak kebagusan, neng ?”.


“nggak lha, Pak…ini kan kamar Riri..”, Riri sudah tidak memakai saya lagi.


“ha ? kamar neng Riri ? terus kamar bapak di mana, neng ?”.


“ya disini..”.


“sekamar ama neng Riri ?”.


“iya, Pak..apa bapak mau kamar sendiri ?”, goda Riri.


“nggak ah, neng…di sini kayaknya enak..hehe..”. Malih langsung menomplok Riri yang sedang tidur terlentang di ranjang.


“bentar dulu, Pak…Riri mau ngejelasin sesuatu dulu…”. Malih pun bangun dan duduk di tepi ranjang, Riri duduk dengan kaki selonjoran.


“mau jelasin apa, neng ?”.


“gini, Riri kan nyewa orang buat bantu Riri beres-beres rumah, namanya mbok Ratih..”.


“iya, terus neng..?”.


“Pak Malih nggak apa-apa kan kalo pura-pura pulang pas mbok Ratih pulang juga ?”.


“emangnya mbok Ratih pulang jam berapa ?”.


“jam 6 sore, Pak…”.


“tapi bapak boleh balik lagi kan, neng ?”.


“ya boleh lah, Pak…ntar nggak ada yang nemenin Riri..”.


“beres deh kalo gitu, neng..hehe”.


“satu lagi, Pak…bapak gak keberatan kan manggil Riri pake non ?”.


“ya nggak lha, neng..eh non..kan non Riri emang majikan bapak..hehe…”.


“majikan ? tapi kok digrepe gini ?”, canda Riri.


“abisnya majikannya baik sih..jadi gak bakal marah kalo bapak grepe…hehehe..”.


“dasarr…”, Riri menjepit hidung Malih dengan kedua jarinya.


“oh iyaa, non..terus sekarang mbok Ratihnya mana ?”.


“pulang kampung, Pak…”.


“berapa lama, non ?”.


“katanya sih 2 sampai 3 minggu..”.


“kalo gitu, cuma ada kita bedua nih, non ? 2 minggu ?”, kedua tangan Malih meremasi gumpalan daging kembar Riri yang empuk dan kenyal itu untuk menaikkan ‘tensi’nya. Riri mengangguk sambil merasakan nikmat dari payudaranya yang sedang diremas-remas oleh Malih.


Kedua insan itu pun melakukan proses reproduksi seksual yang begitu ‘panas’. Benar saja sebuah ungkapan “kehidupan seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah”. Yang tadinya hanya seorang tukang sampah yang sendirian kini menjadi supir yang bisa bercinta dengan majikannya yang masih muda dan sangat cantik itu, ditambah gaji 750000/bulan. Sungguh perubahan nasib yang drastis yang dirasakan Malih. Handycam Riri merekam semuanya dari pertama kali Riri membantu Malih mengumpulkan sampah sampai kini Malih tinggal bersamanya. Riri memang tidak mengincar hadiah dari tantangan, tapi dia menggunakan handycamnya untuk menyimpan momen-momen kebersamaannya bersama Malih.


“halo Ri ?”.


“eh, Lin ? lo gimana sih ? gak ada kabar ? Moniq n’ Intan juga gak ada kabarnya ?”.


“iyaa, maaf…seminggu ini pada sibuk ama liburan siih…”.


“yaudah..kapan nih ketemu lagi ? gue bosen banget di rumah…”.


“besok ke villa gue aja, nih gue lagi di villa bareng Intan n’ Moniq, nonton video liburan si Moniq…lucu banget..hihi..”.


“lucu gimana ?”.


“dia kan liburannya jadi peternak..nah ama bapak yang direpotin Moniq..si Moniq dijadiin sapi, diperah n’ dimandiin kayak sapi..hihi..kocak..”.


“gue jadi penasaran pengen liat si Moniq jadi sapi..haha..”.


“yaudah..besok ke sini..bawa handycam lo..gue pengen liat..pasti lo hot maennya..”.


“tapi pasti lebih hot lo lah..lo kan terangsang terus..”.


“enak aja lo…lo tuh sex treatment berjalan..oh iyaa lo jadi apa ceritanya ?”.


“tukang sampah..”.


“ha ? tukang sampah ? kan tukang sampah bau ? lo masih ngelakuin sex treatment ?”.


“iyaa, kan udah kebiasaan..hehe..lo jadi apaan, Lin ?”.


“jadi bu tani…”.


“jangan bilang lo begituan di sawah ?”.


“ya nggak lah..emangnya gue si Intan..”.


“ya kirain gtu..haha..”.


“yaudah, gue tunggu besok ya, beib…”.


“okee, beib..duduw…”. Riri keluar kamar.


“Pak Malih..besok anterin Riri ke villa temen yaa ?”.


“beres non…”.


So, di antara 4 bunga kampus itu, siapakah yang akan mendapatkan hadiahnya. Apakah Lina Arliani Gevistha, seorang gadis cantik yang mudah terangsang, sedikit eksibisionis, dan sangat suka bercinta sampai larut malam. Atau Intannia Savitri, gadis manis dengan sifat asli sebagai eksibisionis sejati, sangat suka berhubungan intim di alam terbuka, dan tidak pernah menolak jika ‘dikeroyok’. Atau mungkin, Monica Cynthia Margaret, gadis imut yang sangat menyukai bondage sex, dan semakin bergairah jika semakin ‘tersiksa’ saat disetubuhi. Atau malah, Riri Oktaviana, gadis cantik yang memiliki 2 kepribadian, dan memiliki sex treatment dengan lidahnya sebagai pelayanan total untuk lelaki yang dikaguminya. Who knows ?

2 komentar: