tag:blogger.com,1999:blog-88280157092182443342024-03-26T02:18:24.957-07:00Cerita DewasaPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.comBlogger61125tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-87306673731579658092012-04-12T15:44:00.002-07:002012-04-12T15:44:29.589-07:00Petualangan villa cintaSetelah sekitar satu bulan tidak menulis cerita, akhirnya kami kembali ke dunia virtual dan kembali menuliskan semua kenangan, fantasi dan mimpi kami untuk kemudian merangkai sebuah cerita lagi. Ada puluhan tanggapan dan kritikan dan juga pujian yang kami terima. Dalam satu bulan ini kami coba untuk mengevaluasi cerita-cerita kami, menghilangkan bagian negatif dan menonjolkan bagian positif dari cerita kami. Oke tanpa memperpanjang kata lagi, kami mulai cerita yang kami beri judul "Petualangan Villa Cinta".<br /><br />Pagi-pagi benar handphone-ku sudah bunyi. Aku sedikit kesal dan malas bangun dari tempat tidurku. Tapi bunyinya itu tidak kurang keras, aku malah tidak bisa tidur lagi. Akhirnya aku paksakan juga berdiri dan lihat siapa yang call aku pagi-pagi begini. Eh, tidak tahunya temanku Vivie. Aku sedikit ketus juga menjawabnya, tapi langsung berubah waktu aku tahumaksudnya. Si Vivi mengajakku ikut bareng cowoknya ke vilanya tidak terlalu jauh dari tempatku.Aku sih setuju sekali sama ajakan itu, terus aku tanya, apa aku boleh ajak cowokku. Si Vivi malah tertawa, katanya ya jelas dong, memang harusnya begitu. Rencananya kami bakal pergi besok sore dan kumpul dulu di rumahku.<br /><br />Singkat cerita kami berempat sudah ngumpul di rumahku. Kami memang sudah saling kenal, bahkan cukup akrab. Alf, cowoknya Vivie teman baik Ricky cowokku. Oh ya, aku belum mengenali aku sendiri ya, namaku Selvie, umurku sekarang 17 tahun, sama-sama Si Vivie, Ricky cowokku sekarang 19 tahun, setahun lebih tua dari Alf cowoknya Vivie. Oke, lanjut ke cerita. Kami berempat langsung cabut ke villanya Vivie. Sekitar setengah jam kami baru sampai. Aku sama Vivie langsung beres-beres, menyimpani barang-barang dan menyiapkan kamar. Ricky sama Si Alflagi main bola di halaman villa. Mereka memang pecandu bola, dan kayaknya tidak bakalan hidup kalau sehari saja tidak menendang bola.<br /><br />Villa itu punya tiga kamar, tapi yang satu dipakai untuk menyimpani barang-barang. Mulanya aku atur biar aku sama Vivie sekamar, Ricky sama Alf di kamar lain. Tapi waktu aku beres-beres, Vivie masuk dan ngomong kalau dia mau sekamar sama Si Alf. Aku kaget juga, nekad juga ini anak. Tapi aku pikir-pikir, kapan lagi aku bisa tidur bareng Si Ricky kalau tidak di sini. Ya tidak perlu sampai gitu-gituan sih, tapi kan asik juga kalau bisa tidur bareng dia, mumpung jauhdari bokap dan nyokap-ku. Hehehe, mulai deh omes-ku keluar. Oke, akhirnya aku setuju, satu kamar buat Alf dan Vivie, satu kamar lagi buat Ricky sama aku.<br /><br />Sore-sore kami makan bareng, terus menjelang malam, kami bakar jagung di halaman. Asik juga malam-malam bakar jagung ditemani cowokku lagi. Wah, benar-benar suasananya mendukung. Hehehe, aku mulai mikir yang macam-macam, tapi malu kan kalau ketahuan sama Si Ricky. Makanya aku tetap diam pura-pura biasa saja. Tapi Si Vivie kayaknya memperhatikan aku, dan dia nyengir ke aku, terus gilanya lagi, dia ngomong gini, "Wah.. sepertinya suasana gini tidak bakalan ada di Bandung. Tidak enak kalau dilewatin gitu saja ya." Aku sudah melotot ke arah dia, tapi dia malah nyengir-nyengir saja, malah dia tambahin lagi omongannya yang gila benar itu, "Alf, kayaknya di sini terlalu ramai, kita jalan-jalan yuk!" Aku sudah tidak tahu harus apa, eh Si Alf juga samanya, dia setuju sama ajakan Si Vivie, dan sebelum pergi di ngomong sama Ricky, "Nah, sekarang elu harus belajar bagaimana caranya nahan diri kalau elu cuma berdua sama cewek cakep kayak Si Selvie." Aku cuma diam, malu juga dong disepet-sepet kayak gitu.<br /><br />Aku lihati Si Alf sama Si Vivie, bukannya jalan-jalan malahan masuk ke villa. Aku jadi tidak tahu harus ngapain, aku cuma diam, semoga saja Ricky punya bahan omongan yang bisa diomongin. Eh, bukannya ngomong, dia malah diam juga, aku jadi benar-benar bingung. Apa aku harus tetap begini atau nyari-nyari bahan omongan. Akhirnya aku tidak tahan, baru saja aku mau ngomong, eh.. Si Ricky mulai buka mulut, "Eh.. kamu tidak dingin?" Duer.. Aku kaget benar, tidak jadi deh aku mau ngomong, sebenernya aku memang mau ngomong kalau di sini itu dingin dan aku mau ajak dia ke dalam. Tapi tidak jadi, aku tidak sadar malah aku geleng-geleng kepala. Ricky ngomong lagi, "Kalau tidak dingin, mau dong kamu temenin aku di sini, lihat bulan dan bintang, dan.. bintang jatuh itu lihat..!" Ricky tiba-tiba teriak sambil menunjuk ke langit. Akukontan berdiri kaget sekali, bukan sama bintang jatuhnya, tapi sama teriakan Si Ricky, aduh.. malu benar jadinya. Ricky ikutan berdiri, dia rangkul aku dari belakang, "Sorry, aku tidak punya maksud ngagetin kamu. Cuma aku seneng saja bisa lihat bintang jatuh bareng kamu."Aku cuma bisa diam, tidak biasanya Ricky segini warm-nya sama aku. Dia malah tidak pernah peluk aku seerat ini biasanya. Aku tengok arlojiku, jam 11.00 malam. Kuajak Ricky ke dalam, sudah malam sekali. Dia setuju sekali, begitu masuk ke villa kami disambut sama bunyi pecah dari lantai atas. Kontan saja kami lari ke atas melihat ada apa di atas. Ricky sampai duluan ke lantai atas, dan di nyengir, terus dia ajak aku turun lagi, tapi aku masih penasaran, memang ada apa di atas. Waktu aku mau ketuk pintu kamar Vivie, tiba-tiba ada teriakan lembut, "Aw.. ah.. pelan-pelan donk!" Gila aku kaget setengah mati, tapi tanganku sudahkeburu ngetuk pintu. Terus kedengaran bunyi gedubrak-gedubrak di dalam. Pintu dibuka sedikit, Alf nongol sambil nyengir, "Sorry, ngeganggu kalian ya? tidak ada apa-apa kok kami cuma.."Aku dorong pintunya sedikit, dan aku lihat Si Vivie lagi sibuk nutupi badannya pakai selimut. Dia nyengir, tapi mukanya merah benar, malu kali ya. Aku langsung nyengir, "Ya sudah, lanjutin saja, kami tidak keganggu kok."<br /><br />Terus aku ajak Ricky ke bawah. Ricky nyengir, "Siapa coba yang tidak bisa nahan diri, hehehe." Tiba-tiba ada sandal melayang ke arah Ricky, tapi dia langsung ngelak sambil nyengir, terus buru-buru lari ke bawah. Aku ikut-ikutan lari sambil ketawa-ketiwi, dan kami berdua duduk di sofa sambil mendengarkan lagu di radio. Tidak lama kedengaran lagi suara-suara dari atas.Aku tidak tahan dan langsung nunduk menahan ketawa. Gila, bisa-bisanya mereka berdua meneruskan juga olah raga malamnya, padahal sudah jelas-jelas kepergok sama kami berdua. Eh, di luar dugaan aku, Ricky bediri dan mengajakku slow-dance, kebetulan lagu di radio itu lagu saat Ricky ngajak aku jadian. Aku jadi ingat bagaimana deg-degannya waktu Ricky ngomong, dan bagaimana aku akhirnya menerima dia setelah tiga bulan dia terus nunggui aku. Ricky memang baik, dan dia benar-benar setia menungguiku.<br /><br />Selesai dance, Ricky tanya lagi, "Eh kalau mereka berdua ketiduran, aku tidur dimana? memang tidur sama barang-barang?" aku malu sekali, bagaimana ngomongnya. Tapi akhirnya akubuka mulut, "Kita.. kita tidur berdua." Wah lega sekali waktu omongan itu sudah keluar. Tapiaku takut juga, bagaimana ya reaksi Si Ricky. Eh tahunya dia malah nyengir, "Oke deh kalau kamu tidak masalah. Sebenernya aku juga sudah ngantuk sih, aku tidur sekarang ya." Aku jadi salah tingkah, Ricky naik ke lantai atas dan tidak sengaja aku panggil dia, "Eh.. tunggu!" Ricky berbalik, dia nyengir, "Oke.. oke.. ayo naik, tidak bagus anak cewek sendirian malam-malam gini." Aku sedikit canggung juga sih, baru kali ini aku tidur seranjang sama cowok, tapi lama-lama hilang juga. Kami berdua tidak ngapa-ngapain, cuma diam tidak bisa tidur. Dari kamar sebelah masih kedengaran suara Vivie yang mendesah dan menjerit, dan sepertinya itu juga yang bikin Ricky terangsang. Dia mulai berani remas-remas jariku. Aku sih tidak nolak, toh dia khan cowokku. Tapi aku kaget sekali, Ricky duduk terus sebelum aku tahu apa yang bakal dia lakukan, bibirku sudah dilumatnya. Aku mau nolak, tapi kayaknya badan malah kepingin. So, aku biarkan dia cium aku, terus aku balas ciumannya yang semakin lama semakin buas.<br /><br />Baru saja aku mulai nikmati bibirnya yang hangat di bibirku, aku merasa ada yang meraba tubuhku, disusul remasan halus di dadaku. Aku tahu itu Ricky, aku tidak menolak. Aku biarkan dia main-main sebentar di sana. Ricky makin berani, dia angkat badanku dan diduduki di pinggir ranjang. Dia cium aku sekali lagi, terus dia mau buka pakaian tidurku. Aku tahan tangannya, ada sedikit penolakan di kepalaku, tapi badanku kayaknya sudah kebelet ingin mencoba, kayak apa sih nge-sex itu. Akhirnya tanganku lemas, aku biarkan Ricky buka pakaianku, dia juga buka baju dan celananya sendiri. Dia cuma menyisakan celana dalam putihnya. Aku lihat penisnya yang membayang di balik celana dalamnya, tapi aku malu melihati lama-lama, so aku ganti lihat badannya yang lumayan jadi. Mungkin karena olahraganya yang benar-benar rajin.<br /><br />Aku tidak tahu apa aku bisa tahan memuaskan Ricky, soalnya aku tahu sendiri bagaimana staminanya waktu dia main bola. 2x45 menit dia lari, dan dia selalu kuat sampai akhir. Aku tidak terbayang bagaimana aksinya di ranjang, jangan-jangan aku harus menerima kocokannya2x45 menit. Gila, kalau gitu sih aku bisa pingsan.<br /><br />Waktu aku berhenti memikirkan stamina dia dan aku, aku baru sadar kalau bra-ku sudah dilepasnya. Sekarang dadaku telanjang bulat. Aku malu setengah mati, mana Ricky mulai meremas dadaku lagi, yah pokoknya aku tidak tahu harus bagaimana, aku cuma diam, merem siap menerima apa saja yang bakal dia lakukan. Tiba-tiba remasan itu berhenti, tapi ada sesuatu yang hangat di sekitar dadaku, terus berhenti di putingku. Aku melek sebentar, Ricky asik menjilati putingku sambil sesekali mengisap-ngisap. Aku makin malu, mana ini baru pertama kali aku telanjang di depan cowok, apalagi dia bukan adik atau kakakku. Wah benaran malu deh.<br /><br />Lama-lama aku mulai bisa menikmati bagaimana enaknya permainan lidah Ricky di dadaku, aku mulai berani buka mata sambil melihat bagaimana Ricky menjelajahi setiap lekuk tubuhku. Tapi tiba-tiba aku dikagetkan sesuatu yang menyentuh selangkanganku. Tepat di bagian vaginaku. Aku tidak sadar mendesah panjang. Rupanya Ricky sudah menelanjangiku bulat-bulat. Kali ini jarinya mengelus-elus vaginaku yang sudah basah sekali. Dia masih terus menjilati puting susuku yang sudah mengeras sebelum akhirnya dia pindah ke selangkanganku.<br /><br />Aku menarik nafas dalam-dalam waktu lidahnya yang basah dan hangat pelan-pelan menyentuh vaginaku naik ke klitoris-ku, dan waktu lidahnya itu menyentuh klitoris-ku, aku tidak sadar mendesah lagi, dan tanganku tidak sengaja menyenggol gelas di meja dekat ranjangku. Lalu "Prang.." gelas akhirnya pecah juga. Ricky berhenti, kayaknya dia mau memberesi pecahan kacanya. Tapi entah kenapa, mungkin karena aku sudah larut dalam nafsu, aku malah pegang tangannya terus aku menggeleng, "Barkan saja, nanti aku beresin. Lanjutin.. please.."<br />Sesudah itu aku lihat Ricky nyengir, terus diciumnya bibirku dan dia melanjutkan permainannya di selangkanganku. Ricky benar-benar jago mainkan lidahnya, benar-benar bikin aku merem-melek keenakan. Terus di mulai melintir-melintir klitorisku pakai bibirnya. Aku seperti kesetrum tidak tahan, tapi Ricky malah terus-terusan melintir-melintiri "kacang"-ku itu. "Euh.. ah.. ah.. ach.. aw.." aku sudah tidak tahu bagaimana aku waktu itu, yang jelas mataku buram, semua serasa mutar-mutar. Badanku lemas dan nafasku seperti orang baru lari marathon. Aku benar-benar pusing, terus aku memejamkan mataku, ada lonjakan-lonjakan nikmat di badanku mulai dari selangkanganku, ke pinggul, dada dan akhirnya bikin badanku kejang-kejang tanpa bisa aku kendalikan. <br />Aku coba atur nafasku, dan waktu aku mulai tenang, aku buka mata, Ricky sudah buka celana dalamnya, dan penisnya yang hampir maksimal langsung berdiri di depan mukaku. Dia megangi batang penisnya pakai tangan kanannya, tangan kirinya membelai rambutku. Aku tahu dia mau di-"karoake"-in, ada rasa jijik juga sih, tapi tidak adil dong, dia sudah muasin aku, masaaku tolak keinginannya. So aku buka mulutku, aku jilat sedikit kepala penisnya. Hangat dan bikin aku ketagihan. Aku mulai berani menjilat lagi, terus dan terus. Ricky duduk di ranjang, kedua kakinya dibiarkan terlentang. Aku duduk di ranjang, terus aku bungkuk sedikit, aku pegang batang penisnya yang besarnya lumayan itu pakai tangan kiriku, tangan kananku menahan badanku biar tidak jatuh dan mulutku mulai bekerja.<br /><br />Mula-mula cuma menjilati, terus aku mulai emut kepala penisnya, aku hisap sedikit terus kumasukkan semuanya ke mulutku, ternyata tidak masuk, kepala penisnya sudah menyodok ujung mulutku, tapi masih ada sisa beberapa senti lagi. Aku tidak maksakan, aku gerakkan naik-turun sambil aku hisap dan sesekali aku gosok batang penisnya pakai tangan kiriku. Ricky sepertiya puas juga sama permainanku, dia mrlihati bagaimana aku meng-"karaoke"-in dia sambil sesekali membuka mulut sambil sedikit berdesah. Sekitar 5 menit akhirnya Ricky tidak tahan, dia berdiridan mendorong badanku ke ranjang sampai aku terlentang, dibukanya pahaku agak lebar dandijilatnya sekali lagi vaginaku yang sudah kebanjiran. Terus dipegangnya penisnya yang sudah sampai ke ukuran maksimal. Dia mengarahkan penisnya ke vaginaku, tapi tidak langsung dia masukan, dia gosok-gosokkan kepala penisnya ke bibir vaginaku, baru beberapa detik kemudian dia dorong penisnya ke dalam. Seperti ada sesuatu yang maksa masuk ke dalam vaginaku, menggesek dindingnya yang sudah dibasahi lendir.<br /><br />Vaginaku sudah basah, tetap saja tidak semua penis Ricky yang masuk. Dia tidak memaksa, dia cuma mengocok-ngocok penisnya di situ-situ juga. Aku mulai merem-melek lagi merasakan bagaimana penisnya menggosok-gosok dinding vaginaku, benar-benar nikmat. Waktu aku asik merem-melek, tiba-tiba penis Ricky maksa masuk terus melesak ke dalam vaginaku. "Aw.. ah.." vaginaku perih bukan main dan aku teriak menahan sakit. Ricky masih menghentak dua atau tiga kali lagi sebelum akhirnya seluruh penisnya masuk merobek selaput daraku. "Stt.. tahan sebentar ya, nanti juga sakitnya hilang." Ricky membelai rambutku. Di balik senyum nafsunya aku tahu ada rasa iba juga, karena itu aku bertekad menahan rasa sakit itu, aku menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa.. aku tidak apa-apa. Terusin saja.. ah.."<br /><br />Ricky mulai menggerakkan pinggangnya naik-turun. Penisnya menggesek-gesek vaginaku, mula-mula lambat terus makin lama makin cepat. Rasa sakit dan perihnya kemudian hilang digantikan rasa nikmat luar biasa setiap kali Ricky menusukkan penisnya dan menarik penisnya. Ricky makin cepat dan makin keras mengocok vaginaku, aku sendiri sudah merem-melek tidak tahan merasakan nikmat yang terus-terusan mengalir dari dalam vaginaku. "Tidak lama lagi.. tidak bakalan lama lagi.." Ricky ngomong di balik nafasnya yang sudah tidak karuan sambil terus mengocok vagina aku. "Aku juga.. ah.. oh.. sebentar lagi.. ah.. aw.. juga.." aku ngomong tidak jelas sekali, tapi maksudnya aku mau ngomong kalau aku juga sudah hampir sampai klimaks. Tiba-tiba Ricky mencabut penisnya dari vaginaku, dia tengkurapi aku, aku sendiri sudah lemas tidak tahu Ricky mau apa, tapi secara naluri aku angkat pantatku ke atas, aku tahan pakai lututku dan kubuka pahaku sedikit. Tanganku menahan badanku biar tidak ambruk dan aku siap-siap ditusukdari belakang.<br /><br />Beneran saja Ricky memasukkan penisnya ke vaginaku dari belakang, terus dia kocok lagi vaginaku. Dari belakang kocokan Ricky tidak terlalu keras, tapi makin cepat. Aku sudah sekuat tenaga menahan badanku biar tidak ambruk, dan aku rasakan tangan Ricky meremas-remas dadaku dari belakang, terus jarinya menggosok-gosok puting susuku, bikin aku seperti diserang dari dua arah, depan dan belakang. Ricky kembali mengeluarkan penisnya dari vaginaku, kali ini dimasukkannya ke anusku. Dia benar-benar memaksakan penisnya masuk, tapi tidak semuanya bisa masuk. Ricky sepertinya tidak peduli, dia mengocok anusku seperti mengocok vaginaku, kali ini cuma tangan kirinya yang meremas dadaku, tangan kanannya sibuk main-main di selangkanganku, dia masukkan jari tengahnya ke vaginaku dan jempolnya menggosoki klitorisku.<br /><br />Aku makin merem-melek, anusku dikocok-kocok, klitorisku digosok-gosok, dadaku diremas-remas dan putingnya dipelintir-pelintir, terus vaginaku dikocok-kocok juga pakai jari tengahnya. Aku benar-benar tidak kuat lagi, akhirnya aku klimaks, dan aku merasakan Ricky juga sampai klimaks, dari anusku kerasa ada cairan panas muncrat dari penis Ricky. Akhirnya aku ambruk juga, badanku lemas semua. Aku lihat Ricky juga ambruk, dia terlentang di sebelahku. Badannya basah karena keringat terus, kupegang badanku, ternyata aku juga basah keringatan. Benar-benar kenikmatan yang luar biasa.Tidak tahu berapa lama aku ketiduran, waktu akhirnya aku bangun. Aku lihat arloji, sudah jam 2 subuh. Leherku kering, tapi waktu aku mau minum, aku ingat gelas di kamarku sudah pecah gara-gara kesenggol. Aku lihat ke lantai, banyak pecahan kaca, terus aku ambil sapu, aku sapu dulu ke pinggir tembok. Aku turun ke bawah, maksudnya sih mau ambil minum di bawah, aku masih telanjang sih, tapi aku cuek saja. Aku pikir si Alf pasti masih tidur soalnya dia pasti capai juga olah raga malam bareng Si Vivie.<br /><br />Aku turun dan mengambil air dingin di kulkas. Kebetulan villanya Vivie lumayan mewah, ada kulkas dan TV. Aku ambil sebotol Aqua, terus sambil jalan aku minum. Aku duduk di sofa, rencananya sih aku cuma mau duduk-duduk sebentar soalnya di kamar panas sekali. Tidak tahu kenapa, tapi aku akhirnya ketiduran dan waktu aku bangun aku kaget setengah mati. Aku lihatSi Alf dengan santainya turun dari tangga langsung menuju kulkas, kayaknya mau minum juga.<br /><br />Aku bingung harus menutupi badanku pakai apa, tapi aku telat Si Alf sudah membalik duluan dan dia melongo melihat aku telanjang di depannya. Dia masih melihatiku waktu aku menutupi selangkanganku pakai tangan, tapi aku sadar sekarang dadaku kelihatan, makanya tanganku pindah lagi ke dada, terus pindah lagi ke bawah, aku benar-benar bingung harus bagaimana, aku malu setengah mati.<br /><br />Alf akhirnya berbalik,<br />"Sorry, aku pikir kamu masih tidur di kamar. Jadi.. jadi.."<br />"Tidak apa-apa, ini salahku."<br />Aku masih mencari-cari sesuatu untuk menutupi badanku yang telanjang polos, waktu akhirnya aku juga sadar kalau Alf juga telanjang. Sepertinya dia pikir aku masih di kamar sama Si Ricky, makanya dia cuek saja turun ke bawah. Aku pikir sudah terlambat untuk malu, toh Alf sudah melihatku dari atas sampai ke bawah polos tanpa sehelai benangpun, apalagi aku sudah tidak perawan lagi, so malu apa. Cuek saja lah. "Kamu sudah boleh balik, aku tidak apa-apa." Aku mengambil remot TV terus menyalakan TV. Aku setel VCD, aku pikir bagus juga aku rileks sebentar sambil nonton TV. Alf juga sepertinya sudah cuek, dia berbalik tapi tidak lagi melongo melihatiku telanjang, dia duduk sambil ikut nonton TV.<br /><br />Gilanya yang aku setel malah VCD BF. Tapi sudah tanggung, aku tonton saja, peduli amat apa kata Si Alf, yang penting aku bisa istirahat sambil nonton TV.<br />"Bagaimana semalem?" aku buka percakapan dengan Alf.<br />Dia berbalik, "Hebat, Vivie benar-benar hebat."<br />Alf sudah bisa nyengir seperti biasanya.<br />Aku mengangguk, "Ricky juga hebat, aku hampir pingsan dibikinnya."<br />Alf nyengir lagi, lalu kami ngobrol sambil sesekali menengok TV. Kayaknya tidak mungkin ada cowok yang tahan ngobrol tanpa mikirin apa-apa sama cewek yang lagi telanjang, apalagi sambil nonton film BF. Tiap kali ngomong aku tahu mata Alf selalu nyasar ke bawah, ka dadaku yang memang lumayan menggoda. Aku tidak memuji sendiri, tapi memang dadaku cukup oke, ranum menggoda, bahkan lebih seksi dari kepunyaan Vivie, itu sebabnya Alf tidak berhenti-berhenti melihati dadaku kalau ada kesempatan. Ada sedikit rasa bangga juga dibalik rasa maluku, dan sekilas kulihat penis Alf yang mulai tegang. Aku nyengir dan sepertinya Alf tahu apa yang aku pikirkan.<br /><br />Dia pegang tanganku, "Boleh aku pegang, itu juga kalau kamu tidak keberatan." Wah berani juga dia, aku jadi sedikit tersanjung, terus aku mengangguk. Alf pindah ke sebelahku, dia peluk aku dan tangannya mulai remas-remas dadaku. Mula-mula dia sedikit ragu-ragu, tapi begitu tahu kalau aku tidak nolak dia mulai berani dan makin lama makin berani, dan jarinya mulai nakal memelintir puting susuku. Aku mulai merem-melek sambil memutar badanku. Sekarang aku duduk di paha Alf berhadap-hadapan. Alf langsung menyambar putingku dan lidahnya langsung beraksi. Aku sendiri sudah kebawa nafsu, aku mulai mengocok penisnya pakai tanganku dan sepertinya Alf juga puas dengan permainanku. Aku mulai terbawa nafsu, dan aku sudah tidak peduli apa yang dia lakukan, yang jelas enak buatku.<br /><br />Alf menggendongku, kupikir mau dibawa ke kamar mandi, soalnya kamar di atas ada Vivie sama Ricky, tapi tebakanku keliru. Dia malah menggendongku ke luar, ke halaman villa. Aku kaget juga, bagaimana kalau ada yang lihat kami telanjang di luar. Tapi begitu Alf buka pintu luar, aku melihat di seberang villa, sepasang cowok-cewek lagi sibuk nge-sex. Cewek itu mendesah-desah sambil sesekali berteriak. Aku lihat lagi ke sekitarnya, ternyata banyak juga yang nge-sex di sana. Rupanya villa-villa di sekitar sini memang tempatnya orang-orang nge-sex. "Bagaimana? kita kalahkan mereka?" Alf nyengir sambil menggendongku. Aku ikutan nyengir, "Siapa takut?" terus Alf meniduriku di rumput. Dingin juga sisa air hujan yang masih membasahi rumput, punggungku dingin dan basah tapi dadaku lebih basah lagi sama liurnya Si Alf. Udara di luar itu benar-benar dingin, sudah di pegunungan, subuh-subuh lagi. Wah tidak terbayang bagaimana dinginnya deh. Tapi lama-lama rasa dingin itu hilang, aku malah makin panas dan nafsu, apalagi Alf jago benar mainkan lidahnya. Sayup-sayup aku mendengarkan suara cewek dari villa seberang yang sudah tidak karuan dan tidak ada iramanya. Aku makin nafsu lagi mendengarnya, tapi Alf sepertinya lebih nafsu lagi, dia itu seperti orang kelaparan yang seolah bakal nelan dua gunung kembarku bulat-bulat.<br /><br />Lama juga Alf main-main sama dadaku, dan akhirnya dia pegang penisnya minta aku meng-"karaokei"-in itu penis yang besarnya lumayan juga. Gara-gara tadi malam aku sudah mencoba meng-"karaokei"-in penis Ricky, sekarang aku jadi kecanduan, aku jadi senang juga meng-"karaoke"-in penis, apalagi kalau besarnya lumayan seperti punya Si Alf. Makanya tidak usah disuruh dua kali, langsung saja aku caplok itu penis. Aku tidak mau kalah sama permainan dia di dadaku, aku hisap itu penis kuat-kuat sampai kepalanya jadi ungu sekali. Terus kujilati mulai dari kepalanya sampai batang dan pelirnya juga tidak ketinggalan.<br /><br />Kulihat Alf melihati bagaimana aku main di bawah sana. Sesekali dia buka mulut sambil berdesah menahan nikmat. Aku belum puas juga, kukocok batang penisnya pakai tanganku dan kuhisap-hisap kepalanya sambil kujilati pelan-pelan. Alf merem-melek juga dan tidak lama dia sudah tidak tahan lagi, sepertinya sih mau keluar, makanya dia cepat-cepat melepaskan penisnya dari mulutku. Aku tahu dia tidak mau selesai cepat-cepat, makanya aku tidak ngotot meng-"karaoke"-in penisnya lagi.<br /><br />Alf sengaja membiarkan penisnya istirahat sebentar, dia suruh aku terlentang sambil mengangkang. Aku menurut saja, aku tahu Alf jago mainkan lidahnya, makanya aku senang sekali waktu dia mulai jilati bibir vaginaku yang sudah basah sekali. Benar saja, baru sebentaraku sudah dibikin merem-melek gara-gara lidahnya yang jago sekali itu. Sepertinya habis semua bagian vaginaku disapu lidahnya, mulai dari bibirnya, klitorisku, sedikit ke dalam ke daerah dinding dalam, sampai anusku juga tidak ketinggalan dia jilati.<br /><br />Aku dengarkan, sepertinya pasangan di seberang sudah selesai main, soalnya sudah tidak kedengaran lagi suaranya, tapi waktu aku lihat ke sana, aku kaget. Cewek itu lagi meng-"karaoke"-in cowok, tapi bukan cowok yang tadi. Cowok yang tadi nge-sex sama dia lagimembersihkan penisnya, mungkin dia sudah puas. Sekarang cewek itu lagi meng-"karaoke"-in cowok lain, lebih tinggi dari cowok yang tadi. Gila juga itu cewek nge-sex sama dua cowok sekaligus. Tapi aku tarik lagi omonganku, soalnya aku ingat-ingat, aku juga sama saja sama dia. Baru selesai sama Ricky, sekarang sama Alf. Wah ternyata aku juga sama gilanya. Aku nyengir sebentar, tapi terus merem-melek lagi waktu Alf mulai melintir-melintir klitorisku pakai bibirnya.<br /><br />Alf benar-benar ahli, tidak lama aku sudah mulai pusing, aku lihat bintang di langit jadi tambah banyak dan kayaknya mutar-mutar di kepalaku. Aku benar-benar tidak bisa ngontrol badanku. Ada semacam setrum dari selangkanganku yang terus-terusan bikin aku gila. "Ah.. ah.. Alf.. Ah.. berhenti dulu Alf.. Ah.. Ah.. Shh.." aku tidak tahan sama puncak nafsuku sendiri. Tapi Alf malah terus-terusan melintir-melintir klitorisku. Aku benar-benar tidak tahan lagi, aku kejang-kejang seperti orang ayan, tapi sudahnya benar-benar enak sekali, beberapa menit lewat, semua badanku masih lemas, tapi aku tahu ini belum selesai.<br /><br />Sekarang bagianku bikin Alf merem-melek, makanya aku paksakan duduk dan mulai menungging di depan Alf. Alf sendiri sepertinya memang sudah tidak tahan ingin mengeluarkan maninya, dia tidak menunggu lama lagi, langsung dia tusukkan itu penis ke vaginaku. Ada sedikit rasa sakit tapi tidak sesakit pertama vaginaku dimasukkan penis Ricky. Alf tidak menunggu lama lagi, dia langsung mengocok vaginaku dan tangannya tidak diam, langsung disambarnya dadaku yang makin ranum karena aku menungging. Diremasnya sambil dipelintir-pelintir putingnya. Aku tidak tahan digituin, apalagi badanku masih lemas, tanganku lemas sekali, untuk menahan hentakan-hentakan waktu Alf menyodokkan penisnya saja sudah tidak kuat. Aku ambruk ke tanah, tapi Alf masih terus mengocokku, dari belakang.<br /><br />"Ah.. euh.. ah.. aw.." aku cuma bisa mendesah setiap kali Alf menyodokkan penisnya ke vaginaku. Aku coba mengangkat badanku tapi aku tidak kuat, akhirnya aku menyerah, aku biarkan badanku ambruk seperti gitu. Alf memutarkan badanku, terus disodoknya lagi vaginaku dari depan. Aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain, setiap kali Alf menyodokkan penisnya selain dinding vaginaku yang tergesek, klitorisku juga tergesek-gesek, makanya aku makin lemas dan merem-melek keenakan.<br /><br />Alf memegang kaki kiriku, terus diangkatnya ke bahu kanannya, terus dia mengangkat kaki kananku, diangkatnya ke bahu kirinya. Aku diam saja, tidak bisa menolak, posisi apa yang dia ingin terserah, pokoknya aku ingin cepat-cepat disodok lagi. Aku tidak tahan ingin langsung dikocok. Ternyata keinginanku terkabul, Alf menyodokku lagi, kakiku dua-duanya terangkat, mengangkang lagi, makanya vaginaku terbuka lebih lebar dan Alf makin leluasa mengocok-ngocokkan penisnya. Vaginaku diaduk-aduk dan aku bahkan sudah tidak bisa lagi berdesah, aku cuma bisa buka mulut tapi tidak ada suara yang keluar.<br /><br />"Aku mau keluar, aku mau keluar.." Alf membisikkan sambil ngos-ngosan dan masih terus mengocokku.<br />"Jangan di.. jangan di dalam. Ah.. ah.. oh.. aku.. aku tidak mau.. hamil."<br />Aku cuma bisa ngomong gitu, seenggannya maksud aku ngomong gitu, aku tidak tahu apa suaraku keluar atau tidak, pokoknya aku sudah usaha, itu juga sudah aku paksa-paksakan. Aku tidaktahu apa Alf ngerti apa yang aku omongin, tapi yang jelas dia masih terus mengocokku.<br /><br />Baru beberapa detik lewat, dia mencabut penisnya, kakiku langsung ambruk ke tanah. Alf mengangkang di perutku, dan dia selipkan penisnya ke sela-sela dadaku yang sudah montok sekali soalnya aku sudah dipuncak nafsu. Kujepit penisnya pakai dadaku, dan Alf mengocok-ngocok seolah masih di dalam vaginaku. Tidak lama maninya muncrat ke muka dan sisanya di dadaku. Aku sendiri klimaks lagi, kulepaskan tanganku dari dadaku, maninya mengalir ke leherku, dan mani yang di pipiku mengalir ke mulutku. Aku bahkan tidak bisa menutup mulutku, aku terlalu lemas. Aku biarkan saja maninya masuk dan aku telan saja sekalian.<br /><br />Belum habis lemasku, Alf sudah menempelkan penisnya ke bibirku. Aku memaksakan menjilati penisnya sampai bersih terus aku telan sisa maninya. Alf menggendongku ke dalam, terus dia membaringkanku di sofa. Aku lemas sekali makanya aku tidak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas baru jam 8.00 aku baru bangun. Begitu aku buka mata, aku sadar aku masih telanjang. Aku memaksakan duduk, dan aku kaget kenapa aku ada di kamar Vivie. Terus yang bikin aku lebih kaget lagi, aku lihat sebelah kiriku Alf masih tidur sedangkan di kananku Ricky juga masih tidur. Mereka berdua juga masih telanjang seperti aku.<br /><br />Belum habis kagetku, Vivie keluar dari kamar mandi di kamarku, dia lagi mengeringkan rambutnya dan sama-sama masih telanjang. Baru akhirnya aku tahu kalau semalam Vivie bangun dan melihat aku lagi nge-sex sama Alf. dia sih tidak marah, soalnya yang penting buat dia Alf cinta sama dia, soal Alf memuaskan nafsu sama siapa, tidak masalah buat dia. Ternyata Vivie melihat dari jendela bagaimana aku sama Alf nge-sex dan Ricky yang juga bangun subuh-subuh kaget melihat aku lagi nge-sex sama Alf. Dia keluar kamar, sepertinya mau melihat apa benar aku lagi nge-sex sama Alf, tapi dia sempat menengok ke kamar sebelah dan melihat Vivie yang lagi nonton aku sama Alf nge-sex dari jendela. Ricky langsung dapat ide, so dia masuk ke dalam dan mengajak Vivie nge-sex juga. Singkat cerita mereka akhirnya nge-sex juga di kamar. Dan waktu aku sama Alf selesai, Alf menggendongku ke atas dan melihat Ricky sama Vivie baru saja selesai nge-sex. Makanya kami berempat akhirnya tidur bareng di kamarnya telanjang bulat.<br /><br />Hehehe, tidak masalah, kami berempat malah makin dekat. Nanti malam juga kami bakalan nge-sexlagi berempat, tidak masalah buat aku Ricky atau Alf yang jadi pasanganku, yang penting aku puas. Tidak masalah siapa yang muasin aku.<br /><br />Seperti rencana kami semula, malam itu juga kami nge-sex berempat bareng-bareng. Asik juga sekali-kali nge-sex bareng seperti gitu. Ricky masih tetap oke walaupun dia sudah ngocok Vivie duluan. Aku masih kewalahan menghadapi penisnya yang memang gila itu. Alf juga tidak kalah, biarkan dia masih ngos-ngosan waktu selesai ngocok aku, dia langsung sambar Vivie yang juga baru selesai sama Ricky. Terus kami nge-sex lagi sampai akhirnya sama-sama puas. Aku puas sekali, soalnya baru kali ini aku dipuasi dua cowok sekaligus tanpa jeda. Baru saja selesai satu, yang satunya sudah menyodok-nyodok penisnya ke vaginaku. Pokoknya benar-benar puas sekali deh aku.<br /><br />Masuk ke cerita, malam ini kami rencana tidak akan nge-sex lagi, soalnya sudah capai sekali dua hari gituan melulu. Makanya Ricky sama Alf langsung menghilang begitu matahari mulai teduh. Mereka sih pasti main bola lagi, tidak bakalan jauh dari itu. Vivie menghabiskan waktunya di villa, kayaknya dia capai sekali, hampir seharian dia di kamar. Aku jadi bosan sendirian, makanya aku putuskan aku mau jalan-jalan. Kebetulan di dekat situ ada air terjun kecil. Akurencana mau menghabiskan hari ini berendam di sana, biar badanku segar lagi dan siap tempur lagi. Aku tidak langsung ke air terjun, aku jalan-jalan dulu mengelilingi kompleks villa itu. Besar juga, dan villanya keren-keren. Ada yang mirip kastil segala. Sepanjang jalan aku ketemu lumayan banyak orang, rata-rata sih orang-orang yang memang lagi menghabiskan waktu di villa sekitar sini. Hampir semua orang yang ketemu melihati aku. Dari mulai cowok keren yang adadi halaman villanya, om-om genit yang sibuk menggodai cewek yang lewat sampai tukang kebun di villa juga melihati aku. Aku sih cuma nyengir saja membalas mata-mata keranjang mereka.<br /><br />Tidak aneh sih kalau mereka melihatiku, masalahnya aku memang pakai baju pas-pasan, atasanku kaos putih punyanya Si Vivie yang kesempitan soalnya kamarku dikunci dan kuncinya terbawa Ricky. Aku malas mencari dia, makanya aku pakai saja kaos Si Vivie yang ada di meja setrika. Itu juga aku tidak pakai bra, soalnya bra Vivie itu sempit sekali di aku. memang sih dadaku jadi kelihatan nonjol sekali dan putingnya kelihatan dari balik kaos sempit itu, tapi aku cuek saja, siapa yang malu, ini kan kawasan villa buat nge-sex, jadi suka-suka aku dong.<br /><br />Oh ya aku jadi lupa, bawahan aku lebih gila lagi. Aku tidak tega membangunkan Vivie cuma untuk minjam celana atau rok, kebenaran saja ada Samping Bali pengasih Ricky bulan lalu, ya aku pakai saja. Aku ikat di kananku, tapi tiap kali aku melangkah, paha kananku jadi terbuka, ya cuek saja lah. Apa salahnya sih memarkan apa yang bagus yang aku punya, benar tidak? <br />Singkat cerita, aku sampai ke air terjun kecil itu. Aku jalan-jalan mencari tempat yang enak buat berendam. Kaosku mulai basah dan dadaku makin jelas kelihatan, apalagi Samping yang aku pakai, sudah basah benar-benar kena cipratan air terjun. Enak juga sih segar, tapi lama-lama makin susah jalannya, soalnya Samping aku jadi sering keinjak. Aku jadi ingin cepat-cepat berendam, soalnya segar sekali airnya, dan waktu aku menemui tempat yang enak, aku siap-siap berendam, aku lepas sandalku. Tapi waktu aku mau melepas Samping-ku tiba-tiba ada tangan yang memegang bahuku, aku berbalik ternyata seorang cowok menodongi pisau lipat ke leherku. Aku kaget camput takut, tapi secara naluri aku diam saja, salah-salah leherku nanti digoroknya.<br /><br />"Mau.. mau apa lo ke gue?" aku tanya ke orang yang lagi nodong pisau ke aku. Aku tidak berani lihat mukanya, soalnya aku takut sekali. Ternyata cowok itu tidak sendiri, seorang temannyamuncul dari balik batu, rupanya mereka memang sudah ngincar aku dari tadi. Temannya itu langsung buka baju dan celana jeans-nya. Aku tebak kalau mereka mau memperkosa aku. Ternyata tebakanku benar, orang yang menodongi pisau bicara, "Sekarang lo buka semua baju lo, cepet sebelum kesabaran gue habis!" Aku jadi ingat bagaimana korban-korban perkosaan yang akulihat di TV, aku jadi ngeri. Jangan-jangan begitu mereka selesai perkosa aku, aku dibunuh. Makanya aku beranikan diri ngomong kalau aku tidak keberatan muasin mereka asal mereka tidak bunuh aku.<br /><br />"Oke.. oke, aku buka baju. Kalem saja, aku tidak masalah muasin elu berdua, tapi tidak usah pakai nodong segala dong." Aku berusaha ngomong, padahal aku lagi takut setengah mati. Orang yang nodongin pisau malah membentak aku, "Goblok, mana ada cewek mau diperkosa, elu jangan macem-macem ya!" Aku makin takut, tapi otakku langsung bekerja, "Santai dong, emangnya gue berani pakai baju ginian kalau gue tidak siap diperkosa orang? Lagian apa gue bisa lari pakai samping kayak ginian?" Kedua orang itu melihati aku, terus akhirnya pisau itu dilipat lagi. Aku lega setengah mati, tapi ini belum selesai, aku masih harus puasin mereka dulu.<br /><br />Aku mulai buka Samping-ku, "Maunya bagaimana, berdua sekaligus atau satu-satu?" Orang yang tadi nodongin pisau melihat ke orang yang satunya, "Eloe dulu deh. Gue lagi tidak begitu mood." Temannya mengangguk-angguk dan langsung mencaplok bibirku. Aku lihat-lihat, ganteng juga nih orang. Aku balas ciumannya, dia sepertinya mulai lebih halus, pelan-pelan dia remas dadaku dan tahu-tahu aku sudah ditiduri di atas batu yang lumayan besar. Dia tidak langsung main sodok, dia lebih senang main-main sama dadaku, makanya aku jadi lebih rileks, so aku bisa menikmati permainannya.<br /><br />"Ah.. yeah.. ah.. siapa.. siapa nama loe?" aku tanya dibalik desahan-desahanku menahan nikmat. Dia nyengir, mirip sekali Si Alf, dia terus membuka celana dalam birunya, dan penisnya yang sudah tegang sekali langsung nongol seperti sudah tidak sabar ingin menyodokku. Tidak usah disuruh, aku langsung jongkok, tanganku memegang batangnya dan ternyata masih menyisa sekitar 5 - 7 senti. Aku jilat kepala penisnya terus aku kulum-kulum penisnya. Dia mulai menikmati permainanku, "Oke.. terus.. terus.. Yeah.." Ternyata ada juga cowok yang suka berdesah-desah kayak gitu kalau lagi nge-sex. Aku berhenti sebentar,<br />"Belum dijawab?"<br />"Oh, sorry. Nama gue Jeff."<br />Dia menjawab sambil terus merem-melek menikmati penisnya yang aku kulum dan kuhisap-hisap. Kulihat-lihat sepertinya aku kenal suaranya.<br />"Elo tinggal di sini juga ya, elu yang lusa kemarin ngentot di halaman villa?"<br />Jeff kaget juga waktu aku ngomong gitu.<br />"Memang elu tahu dari mana?"<br />Aku nyengir terus aku teruskan lagi menghisap penisnya yang sudah basah sekali sama liurku.<br /><br />Aku berhenti lagi sebentar, "Gue lihat elu. Gila lu ya! berdua ngentotin cewek, keliatannya masih kecil lagi." Jeff nyengir, "Itu adik kelas gue, dia baru 15 tahun, tapi bodinya oke sekali. Gue ajakin ke sini, dan gue entot bareng Si Lex. Dia sendiri sepertinya suka digituin sama kami berdua." Aku tidak meneruskan lagi, aku berhenti dan langsung cari posisi yang enak buat nungging. Jeff mengerti maksudku, dia langsung menyodok penisnya ke vaginaku bareng sama suara eranganku. Terus dia mulai mengocok, mulanya sih pelan-pelan terus tambah cepat. Terus dan terus, aku mulai merem-melek dibikinnya. Terus dia cabut penisnya, aku digendong dan dia masukkan penisnya lagi ke vaginaku. Terus dia mengocok aku sambil bediri, seperti gaya ngocoknya Tom Cruise di film Jerry Maguire. Vaginaku seperti ditusuk-tusuk keras sekali dan aku makin merem-melek dibuatnya. Dan akhirnya aku tidak tahan lagi, aku kejang-kejang dan aku menjerit panjang. Pandanganku kabur, dan aku pusing. Aku hampir saja jatuh kalau Jeff tidak cepat-cepat memegangi pinggangku.<br /><br />Aku lagi nikmati puncak kepuasanku, tiba-tiba seorang sedang mendekatiku, sepertinya sekarang dia nafsu sekali gara-gara mendengarkan desahan-desahanku. Dia sudah telanjang dan penisnya sudah tegang sekali. Aku tahu dari mukanya kalau dia sedikit kasar, makanya aku tidak banyak cing-cong lagi, aku langsung maksakan bangun dan jongkok meng-"karaoke"-in penisnya. Penisnya sih tidak besar-besar sekali, tapi aku ngeri juga melihat otot-otot di sekitar paha dan pantatnya. Jangan-jangan dia kalau ngocok sekeras-kerasnya. Bisa-bisa vaginaku jebol.<br /><br />Lama juga aku meng-"karaoke"-in penisnya, dan akhirnya dia suruh aku berhenti. Aku menurut saja, dan langsung ambil posisi menungging. Aku sudah pasrah kalau dia bakal menyodok-nyodok vaginaku, tapi kali ini tebakanku salah. Dia tidak masukkan penisnya ke vaginaku, tapi langsung ke anusku. "Ah.. aduh.." anusku sakit soalnya sama sekali tidak ada persiapan. Tapi rupanya Lex tidak peduli, dia tetap maksakan penisnya masuk dan memang akhirnya masuk juga. Walaupun penisnya kecil tapi kalau dipakai nyodok anus sih ya sakit juga. Benar dugaan aku, dia kalau nyodok keras sekali terus tidak pakai pemanasan-pemanasan dulu, langsung kecepatan tinggi. Aku cuma bisa pasrah sambil menahan perih di anusku. Dadaku goyang-goyang tiap kali dia menyodok anusku, dan sepertinya itu membuat dia makin nafsu. Dia tambah kecepatan dan mulai meremas dadaku.<br /><br />Benar-benar kontras, dia mengocok anusku cepat dan keras, tapi dia meremas dadaku halus sekali dan sesekali melintir-melintir putingnya. Mendadak rasa sakit di anusku hilang, aku mulai merasakan nikmatnya permainan tangannya di dadaku. Belum habis aku nikmati dadaku diremas-remas, tangan kirinya turun ke vaginaku dan langsung menyambar klitorisku, mulai dari digosok-gosok sampai dipelintir-pelintir. Rasa sakit kocokannya sudah benar-benar hilang, sekarang aku cuma merasakan nikmatnya seluruh tubuhku.<br /><br />Aku mulai merem-melek kegilaan dan akhirnya aku sampai ke puncak yang kedua kalinya hari itu, dan bersamaan puncak kenikmatanku, aku merasakan cairan hangat muncrat di anusku, aku tahu Lex juga sudah sampai puncak dan aku sudah lemas sekali, akhirnya aku ambruk. Mungkin aku kecapaian soalnya tiga hari ini aku terus-terusan mengocok, tidak sama satu orang lagi, selalu berdua. Aku masih sempat lihat Jeff menggendong aku sebelum akhirnya aku pingsan. Aku tidak tahu aku dimana, tapi waktu aku bangun, aku kaget melihat Ricky lagi mengocok cewek. Cewek itu sendiri sibuk mengulum-ngulum penisnya Alf. Aku paksakan berdiri, dan waktu aku lihat di sofa sebelah, ada pemandangan yang hampir sama, bedanya Jeff yang lagi sibuk mengocok cewek dan aku lihat-lihat ternyata cewek itu Vivie. Vivie juga sibuk mengulum-ngulum penis Lex. Aku jadi bingung, tapi aku tetap diam sampai mereka selesai main.<br /><br />Terus aku dikenali sama cewek mungil yang tadi nge-sex bareng Ricky dan Alf, namanya Angel. Aku baru ingat kalau tadi aku pingsan di air terjun habis muasin Jeff sama Lex. Ternyata Jeff bingung mau bawa aku ke mana, kebenaran Ricky dan Alf lewat. Mereka sempat ribut sebentar, tapi akhirnya akur lagi, dengan catatan mereka bisa menyicipi Angel ceweknya Jeff sama Lex. Angel sendiri setuju saja sama ajakan Ricky sama Alf, dan waktu mereka lagi mengocok, Vivie kebetulan lewat. Alf memanggil dia dan dikenali sama Jeff dan Lex, terus mereka akhirnya nge-sex juga. Makin asik juga, sekarang tambah lagi satu cewek dan dua cowok di kelompok kami, dan seterusnya kami jadi sering main ke villa itu untuk muasin nafsu kami masing-masing. Dan kami kasih nama kelompok kami "MAGNIFICENT SEVEN".<br /><br />TAMATPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-23325600440784643772012-04-12T15:36:00.002-07:002012-04-12T15:36:59.946-07:00Ranjang yang ternoda dalam pelukan pria tuaKamar VIP tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya, dia ingin segera pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah sakit yang berbau obat ini untuk kembali menjalani hidup bersama di rumah sendiri. Ibu muda yang cantik itu duduk termenung di samping jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak berpindah dari halaman rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau, walaupun hari sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat karena nyala terang lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari. Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan tertidur lelap di tengah malam yang sunyi.<br /><br />Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh tubuhnya sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi pengaruh psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan dari rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah mengatakan opsi pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah karena kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri.<br /><br />Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur. Bagaimana dengan dia sendiri? Kuatkah dia menghadapi semua masalah demi masalah yang makin lama makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah dia untuk terus berada di samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah ancaman pria tua busuk seperti Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar dari mulut Alya, wanita cantik itu hanya bisa berharap ini semua segera berakhir.<br /><br />Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam segini, biasanya mereka datang hampir tengah malam.<br /><br />Halo halo kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!<br /><br />Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam kamar sambil menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri, Alya membekap mulut agar tidak menjerit dan menimbulkan kegaduhan. Pak Bejo datang seorang diri, pria tua itu bahkan dengan berani menggeser kursi yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali kursi itu disingkirkan. Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali wanita cantik itu melirik ke arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya.<br /><br />Ayo ayo tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.<br /><br />Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada si molek ini.<br /><br />Alya menggeleng. Jangan mendekat! Jangan mendekat!!<br /><br />Alya bangkit dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu pembaringan untuk tamu penunggu pasien.<br /><br />Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku. bisik Pak Bejo mengancam.<br /><br />###<br /><br />Lidya tidak bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi mengatakan kalau dia harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota. Suaminya itu mengatakan kalau ternyata ada beberapa pekerjaan kantor yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas di sana seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya.<br /><br />Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah lebih dahulu tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu. Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina.<br /><br />Mass, Lidya menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja naik ke ranjang. Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru saja pulang, belum sampai seminggu di rumah sudah pergi lagi.<br /><br />Maaf sayang, tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu sendiri kan ini sudah masuk jadwal rutin akhir tahun anggaran, pekerjaan di daerah menumpuk sementara teman kerjaku malah cuti karena istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain aku yang bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan datang dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu ini. bisik Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali hari ini.<br /><br />Terus aku bagaimana? desah Lidya lagi.<br /><br />Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma seminggu, nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kamu selama aku pergi, kamu tidak perlu takut kesepian, kalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus.<br /><br />Lidya merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja tidak mungkin melakukannya.<br /><br />Aku kan masih kangen, rayu Lidya manja sambil menciumi bagian belakang leher suaminya. baru beberapa hari kamu di rumah malam ini kamu kita<br /><br />Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh istrinya, diapun membalikkan badan. Aduh sayang, jangan sekarang ya aku capek sekali.<br /><br />Setelah mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap.<br /><br />Lidya mencibir dengan kesal.<br /><br />###<br /><br />Apa mau Pak Bejo? tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki tua itu.<br /><br />Buka resleting celanaku! perintah Pak Bejo.<br /><br />Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana nanti kalau ada orang masuk? Alya mengeluarkan keringat dingin karena tegang. Lagipula aku tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!! tambah Alya. Si cantik itu mencoba mengelak dengan segala cara namun pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat ini. Aku akan layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti! Tidak di sini, tidak sekarang! Pokoknya aku tidak mau!<br /><br />Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster tidak akan datang ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan sekarang bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik jelita. Pak Bejo terkekeh digdaya, Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai arah infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas hehehe. Kau sadar tidak, mudah sekali kalau aku ingin menyakiti orang-orang yang kamu cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra kucelakai sampai mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka resleting celanaku dan sedot kontolku sampai aku puas!<br /><br />Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada jalan lain yang aman baginya kecuali melayani kemauan bajingan tua ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang sudah tak ada harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia jongkok ke bawah, membuka kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam yang dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan menampar pipi mulus Alya.<br /><br />Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo. pria tua itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang, wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata langsung dengan mata jalang Pak Bejo.<br /><br />Wajah takluk Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari nakalnya, pria tua itu memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar dia mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya.<br /><br />Sedot. Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.<br /><br />Alya tahu, dia harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga atau pria tua yang jahat itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, dia menyuruh Alya mengoral kemaluannya tepat di hadapan sang suami yang masih lelap, belum lagi kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang tua tak tahu malu ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang penunggu pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra.<br /><br />Kamu mau ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot. Gertak Pak Bejo sekali lagi.<br /><br />Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit mata Pak Bejo.<br /><br />Alya mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si cantik itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan lidah di sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya perlahan. Si cantik itu mendorong Pak Bejo agar tidur terlentang di ranjang penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki tua itu, mulai dari kantungnya, lalu batang, sampai ke atas. Jilatan lidah Alya membuat Pak Bejo terangsang dan belingsatan, enak sekali rasanya.<br /><br />Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa seperti ini. Ia merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh selirnya. Saat ini pria tua itu tahu apapun yang ia perintahkan pasti akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan wanita secantik Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak Bejo terangsang. Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan air mani seandainya tidak ditahan-tahannya.<br /><br />Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan sang lelaki tua dari ujung gundul sampai kantung kemaluan. Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar masuk bibir mungil wanita secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya semakin terangsang.<br /><br />Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya, Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala wanita jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam mulut Alya. Si cantik itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak. Ayo dikulum terus! Kenapa berhenti?<br /><br />Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik itu melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat cepat sampai-sampai si cantik itu tak sempat menarik nafas. Lama kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan segera mencapai puncak kenikmatan.<br /><br />Mainkan kantungku, lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi. Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak kuat lagi, ia langsung mencapai klimaks dengan cepat. Diiringi lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria tua itu memaksa Alya menerima semua semprotan pejuh dengan mulutnya, tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si cantik itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. Telan! desak Pak Bejo melihat Alya enggan menerima air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa dituruti oleh ibu muda yang cantik itu karena takut dan ia ingin sesegera mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang tua bejat itu.<br /><br />Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh Alya membuat Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir, pria tua itu meringis dan menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental ikut terbawa saat ia menarik kemaluannya. Bersihkan kontolku. Perintah pria tua itu.<br /><br />Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani sang pria tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar dari kemaluan Pak Bejo karena jijik, pejuh putih kental menetes dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh kepuasan.<br /><br />Memang enak seponganmu, Mbak Alya, kata Pak Bejo. mungkin Mas Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur kalau kau sepong terus tiap hari.<br /><br />Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian orang tua bejat itu dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster yang sedang duduk beristirahat di ruang administrasi menatap heran langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan bangsal, baru kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini.<br /><br />Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi.<br /><br />Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra.<br /><br />###<br /><br />Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya, walaupun enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah lagi, Andi tetap harus berangkat.<br /><br />Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi? tanya Lidya sambil memendam rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan mencari perlindungan pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi lagi. Apa nggak bisa dipercepat pulangnya?<br /><br />Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah langsung dari atasan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak pekerjaan yang numpuk, kalau memang bisa pulang lebih awal, aku pasti pulang. Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia tahu Lidya kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang istri. Aku janji, kalau pulang nanti akan aku bawakan oleh-oleh makanan kesukaanmu.<br /><br />Lidya masih tetap cemberut.<br /><br />Tiba-tiba saja Pak Hasan datang dan dengan santai merangkul pundak Lidya. Wanita cantik itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak Hasan merangkulnya di depan Andi!<br /><br />Jangan khawatir, Bapak pasti akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi.<br /><br />Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan kesepian. Kata Andi.<br /><br />Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, kalau selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya seperti seorang pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya menurunkan tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya.<br /><br />Aku pergi dulu yah, sayang. Pamit Andi, Pak, titip Lidya ya.<br /><br />Iya. Hati-hati di jalan. Pak Hasan menyeringai. Ia sangat bahagia diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang wanita jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau.<br /><br />Lidya terdiam saat mobil Andi berangkat meninggalkan rumah.<br /><br />Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan langsung beraksi, meremas-remas pantat bulat Lidya. Si cantik itu menghardik mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot. Pak Hasan meringis penuh kemenangan.<br /><br />###<br /><br />Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam suntuk ia tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak Pram dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel mewah yang semalam ia gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa tidur, ia ingin tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar Alya dan Lidya adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya.<br /><br />Proposal yang diajukan Pak Bambang adalah pisau bermata ganda yang bisa membuat mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun hidup terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri seorang idiot pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah sangat tua. Apa yang akan dilakukannya?<br /><br />Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel mewah menuju kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dihukum mati. Ia memang bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung resiko sebagai wanita jalang yang mau melayani kemauan binal orang-orang tua tak tahu diri. Ia merasa bersalah, karena telah mengkhianati janji pernikahan dengan Mas Anton. Seandainya hari ini Anton memutuskan untuk memberikannya pada Pak Bambang sepertinya Dina rela<br /><br />Wanita cantik itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan menghapus airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa orang penjaga melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan, bibir mereka tersungging menghina dan merendahkan, menambah pedih sakit di dalam hatinya. Langkah kaki yang terasa berat membuat pinggul Dina bergerak pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina bagaikan suguhan pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya wanita ini tidak lagi diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya mereka mencicipi tubuhnya yang indah.<br /><br />Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar dengan kursi yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak Pramono, beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta beberapa orang asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya. Sementara di kursi yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami Dina dengan kepala menunduk tanpa berani diangkat.<br /><br />Dengan wajah lesu Dina duduk di kursi yang telah disediakan di samping suaminya.<br /><br />Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan tenang sementara asistennya mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya di hadapan Anton dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling memandang dan terdiam membisu, perasaan keduanya kacau balau.<br /><br />Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian berdua bersedia menerima penawaran dari Pak Bambang. Dengan menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai secara sah dan legal. Kata asisten Pak Bambang.<br /><br />Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di hadapan mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono bisa menyediakan surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat singkat? Anton menatap geram kedua orang tua yang sangat kaya itu dan yakin, surat ini bisa turun tentunya dengan menyogok petugas pemerintah yang mengurusnya. Ada uang ada barang. Bagi orang sekaya Pak Bambang, mudah sekali mendapatkan surat-surat yang diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum menengah sepertinya. Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang perceraian atau apapun, hanya menandatangani surat-surat ini, pernikahan mereka sudah berakhir. Urusan legalitas dan administrasi sudah ditangani oleh dua pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala sesuatunya benar-benar sudah disiapkan.<br /><br />Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar sudah lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun bagi Anton dan Dina untuk berkelit.<br /><br />Keputusan sekarang berada di tangan kalian berdua. Kata Pak Pram.<br /><br />Anton menatap Dina dengan pandangan sedih yang tak terkatakan, Dina menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton menunduk sedih tanpa mampu mengucap kata-kata. Tangannya memegang pena dengan gemetar, Anton bingung, perasaannya bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah keputusan yang terbaik bagi semuanya?<br /><br />Mata Anton menatap surat-surat berisi pemberian modal usaha dan surat tanah serta hak milik rumah dan tempat usaha yang akan diberikan Pak Pramono bersamaan dengan surat cerainya. Anton menatap Pak Bambang, Pak Pramono dan akhirnya ia melirik ke arah cincin yang dulu ia sematkan di jari manis sang istri saat prosesi pernikahan mereka.<br /><br />Baiklah, sudah saya putuskan. Kata Anton.<br /><br />Dina menutup mata dan menarik nafas karena tegang, saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah berharap.<br /><br />###<br /><br />Aneh sekali rasanya memasak hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya, Lidya merasa risih sekali, apalagi di belakangnya, Pak Hasan menyantap sarapan di meja makan dengan wajah bahagia. Siapa orang yang tidak senang, makan pagi ditemani seorang wanita cantik laksana bidadari yang hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh. Apalagi handuk milik Lidya berukuran medium, hanya bisa menutup sebagian balon buah dada dan berada tipis di atas paha, jika dia merunduk sedikit, pasti selangkangannya akan terlihat dengan jelas dari belakang. Dalam situasi normal, Lidya tidak akan mau berpakaian senekat ini, tapi ini bukan situasi normal, Lidya sedang berada di bawah kekuasaan sang ayah mertua yang bejat. Pria tua itu menghendaki menantunya memasak dan menghidangkan sarapan hanya dengan mengenakan handuk.<br /><br />Lidya geram dan jengkel sekali pada sang mertua karena memperlakukannya seperti pelacur hina. Yang lebih mengerikan lagi adalah penyakit Pak Hasan yang suka memamerkan tubuh Lidya di depan keramaian. Tempo hari saat berjalan-jalan di mall, Lidya bahkan dipermalukan dengan dipaksa melayani dua laki-laki tak dikenal, yang pertama seorang pengemudi taksi dan yang kedua seorang laki-laki hidung belang. Entah apa lagi yang diinginkan Pak Hasan karena seminggu ini dia harus bersedia dijadikan budak seks lelaki tua mesum itu.<br /><br />Nduk, kamu masaknya sudah selesai belum? Makan siang kan masih lama, apa tidak sebaiknya kamu selesaikan nanti saja memasaknya? tanya Pak Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Lidya yakin, pasti si tua ini ada maunya.<br /><br />Sudah hampir selesai, Pak. Jawab si cantik itu dengan nada suara datar.<br /><br />Aku tadi sudah mencuci baju dan celana, tapi belum aku jemur. Bisa minta tolong dijemurkan sebentar di lantai atas?<br /><br />Bukan permintaan yang aneh-aneh. Tumben.<br /><br />Bisa, Pak. Setelah ini selesai.<br /><br />Pak Hasan berdiri dan mensejajari menantunya, pria tua itu geleng-geleng kepala. Andi memang benar-benar lelaki yang beruntung, lihat saja perempuan mulus yang menjadi istrinya ini, kurang apa lagi? Wajahnya cantik jelita, tubuhnya seksi seperti biola, kulitnya putih mulus seperti pualam, rambutnya panjang dan hitam, payudaranya montok dan kencang, pantatnya bulat dan memeknya masih sangat rapat. Benar-benar spesimen perempuan yang sangat menggairahkan. Dengan main-main Pak Hasan menepuk pantat menantunya pelan.<br /><br />Tentunya tidak baik menjemur pakaian di halaman belakang hanya memakai handuk seperti ini. kata Pak Hasan. Aku carikan baju untukmu.<br /><br />Lidya curiga, tapi diam saja dan hanya mengangguk mengiyakan. Pak Hasan bersiul-siul aneh sambil melangkah meninggalkan dapur, Lidya menarik nafas lega. Saat itulah tiba-tiba Pak Hasan membalikkan badan dan melucuti kemeja yang sedang ia pakai.<br /><br />Hah, bodohnya aku ini. Semua bajuku kan sedang dicuci, bagaimana kalau kau pakai dulu kemejaku ini saja?<br /><br />Lidya menunduk lesu, ini dia rupanya, si tua ini memang selalu ada saja maunya. Dengan langkah malas Lidya mendatangi ayah mertuanya dan menerima kemeja yang diberikan padanya. Kemeja itu adalah sebuah kemeja putih tipis yang menerawang, seandainya dipakai pasti akan terlihat sangat seksi.<br /><br />Bagaimana celananya? tanya Lidya.<br /><br />Celana apa? Siapa yang menyuruhmu pakai celana? Pak Hasan belagak bodoh. Aku hanya ingin melihatmu pakai kemeja ini dan menjemur pakaian di atas sana. Tentunya tidak usah menggunakan BH dan celana dalam pula, hari ini panas sekali, aku takut kamu kepanasan, kasihan sekali.<br /><br />Mulut Lidya menganga terheran. Dia tidak percaya mendengar permintaan Pak Hasan. Mertuanya itu memintanya menjemur pakaian di tingkat atas hanya mengenakan sehelai kemeja tanpa baju yang lain? Bagaimana kalau nanti terlihat oleh tetangga sebelah rumah? Rumah Andi dan Lidya memang cukup besar, dengan pagar tinggi melindungi bagian tengah hingga belakang. Untuk menjemur pakaian, Lidya biasa menggunakan lantai atas yang terbuka dan kosong. Walaupun tidak akan terlihat langsung oleh tetangga-tetangga yang berada di bagian depan rumah, namun keerotisan Lidya bisa terlihat jelas oleh tetangga samping dan belakang seandainya mereka secara tidak sengaja mendongak dan menatap ke atas.<br /><br />Apa ada masalah? Pak Hasan mendekatkan wajahnya ke arah Lidya sambil menatapnya galak. Lidya tahu, pria tua itu bisa menyakitinya kapan saja ia mau, hanya satu cara untuk menghindari pukulannya yaitu dengan menuruti semua permintaannya. Toh, Lidya sudah bersedia menjadi budak seksnya untuk seminggu ini.<br /><br />Ti-tidak, Pak tidak ada masalah Lidya menundukkan wajahnya yang ayu.<br /><br />Pak Hasan terkekeh lagi sambil menyerahkan kemejanya pada Lidya.<br /><br />###<br /><br />Sudah beberapa hari ini Anissa malas bangun dan keluar dari kamar. Ia ingin pulang saja ke rumah, ia ingin menghindar sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini, tapi dengan kecelakaan yang menimpa Mas Hendra, Anis harus siap merawat Opi jika Bu Bejo sedang berhalangan karena Mbak Alya lebih sering berada di rumah sakit.<br /><br />Walaupun sudah mandi dan makan, Anis lebih suka berdiam diri di kamar, sejak diperkosa oleh Pak Bejo yang bejat, Anissa berubah total. Perangainya yang tadinya manis dan ceria berubah menjadi seorang gadis yang paranoid dan menutup diri. Anissa bahkan tidak mau berlama-lama di luar kamar walaupun itu ditemani oleh Dodit sekalipun.<br /><br />Hari ini Dodit akan seharian berada di rumah sakit menemani Mbak Alya karena kondisi Mas Hendra drop lagi. Bu Bejo sudah pulang dan Opi sekolah, sepertinya hari ini Anis bisa sedikit tenang. Ia merasa lelah karena setiap hari menangis, Dodit mengira Anissa menangis karena mengkhawatirkan kakaknya yang masih berada di rumah sakit, tapi gadis itu sebenarnya menangis karena meratapi nasibnya yang malang, diperawani oleh seorang pria tua yang bejat menjelang hari perkawinannya.<br /><br />Jangan melamun terus. Sudah makan belum?<br /><br />Kaget sekali Anissa mendengar suara itu, siapa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya? Apa dia tadi lupa mengunci pintu?<br /><br />Sosok tua menjijikkan mendekati Anis dengan langkah penuh keyakinan.<br /><br />Suara Anissa tercekat dalam tenggorokan ketika ia melihat pria tua yang telah merenggut kegadisannya tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya! Ia tidak mendengar suara pria busuk itu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah arogan dan pandangan mata bengis penuh nafsu birahi, Pak Bejo berjingkat-jingkat menuju ranjang Anis. Mata pria tua itu bersinar-sinar jalang, membuat bulu kuduk si cantik Anis merinding.<br /><br />Ya Tuhan, ini tidak mungkin tidak mungkin terjadi lagi tidak lagi bisik Anissa pada diri sendiri. Gadis itu meraih selimutnya yang tebal dan menutupi tubuhnya yang indah, tapi tentunya sia-sia saja. Dengan sekali sentak, selimut itu melayang jauh ke pojok kamar, membiarkan tubuh Anissa terbuka lebar untuk dinikmati sang pria tua yang bejat. Pak Bejo menubruk tubuh gadis muda itu sebelum Anissa sempat melarikan diri. Mereka sempat bergumul sesaat di atas ranjang sebelum akhirnya Pak Bejo berhasil menangkup buah dada Anissa yang ranum di balik kaos yang dikenakannya dalam cakupan jemarinya yang kotor.<br /><br />Aku dengar seharian ini kamu tidak mau keluar kamar, anak manis? tanya Pak Bejo sambil memainkan payudara Anissa yang masih berada di balik baju. Kenapa? Kamu malu sudah tidak perawan lagi? Kamu malu sudah bersetubuh denganku?<br /><br />Dasar bajingan! desis Anis geram.<br /><br />Aku tadi berbincang-bincang dengan Mas Doditmu. Dia mengira kamu tidak ingin diganggu seharian ini karena sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat, dia sama sekali tidak tahu akulah penyebab semua ini, dia tidak tahu aku sudah menjebol selaput daramu yang sangat berharga itu. Dia tidak tahu kalau aku telah memperoleh keperawanan pengantinnya yang cantik jelita. Pak Bejo terkekeh-kekeh saat mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan Anissa itu, Dia tidak bisa menolongmu waktu kau kuperkosa, jadi jangan harap tunanganmu itu akan menolongmu sekarang. Mas Doditmu itu sedang menunggu Pak Hendra di rumah sakit, dia tadi bahkan menitipkan salam untukmu. Katanya Non Anis yang cantik diminta minum obat supaya lekas sembuh, makanya aku datang kemari untuk memberikan obat.<br /><br />Air mata Anissa mulai turun, dia takut sekali.<br /><br />Karena disuruh mengantar obat, maka harus saya sampaikan toh? Pak Bejo terkekeh lagi. Ini obatnya Dengan gerakan cabul, Pak Bejo meremas selangkangannya sendiri dan menghunjukkan benjolan penis di celananya ke wajah Anissa. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan sebal, ia menghardik Pak Bejo karena kesal. Tapi Pak Bejo merenggut rambut Anis dan menyentakkannya kuat-kuat sampai-sampai gadis itu menjerit kesakitan. sekilas tercium bau minuman keras dari mulut Pak Bejo, apakah pria tua itu sempat mabuk sebelum masuk ke kamarnya? Anis tidak berani bergerak banyak karena takut oleh ancaman Pak Bejo. Melihat mangsanya hanya pasrah, tangan Pak Bejo bergerak bebas meremas-remas payudara ranum Anissa.<br /><br />Tolong kasihani aku, tinggalkan aku sendirian bisik Anissa lemah, tolong<br /><br />Rasanya Mas Dodit pasti akan sangat berterima kasih seandainya kita berdua memberinya hadiah yang terindah yang akan selalu ia ingat sepanjang hidup. Tangan Pak Bejo turun dari dada Anis ke perutnya, tangan itu menepuk pelan perut langsing Anis, Hadiah terindah berupa seorang anak dari kekasihnya tercinta yang didapatkan dari sperma seorang pria tua buruk rupa.<br /><br />Anissa menutup mulutnya karena kaget dan takut, dia terhenyak berdiri dari posisinya yang rebah di ranjang, dia memang sudah diperkosa Pak Bejo, tapi gadis itu tidak akan mau dihamili oleh sang pria tua yang menjijikkan itu! Dia tidak sudi! Sayang, walau sudah berusaha bangkit, tapi tangan nakal Pak Bejo masih tetap erat memeluk tubuh indahnya.<br /><br />Jangan! Saya mohon, Pak! Kita tidak bisa melakukan ini! Saya ingin menikah dengan Mas Dodit, jangan hancurkan impian saya, jangan hancurkan kehidupan saya! air mata Anis menetes membasahi pipi.<br /><br />Pak Bejo menarik tubuh Anissa dan memeluknya erat, gadis itu terpaksa mundur ke belakang dan membiarkan tubuhnya bersandar di perut gendut sang pria tua. Tangan Pak Bejo mulai beraksi, tangan kanannya menyusuri buah dada ranum Anissa sementara tangan kirinya menggosok-gosok selangkangan si cantik itu. Anissa sendiri tak tahan diperlakukan penuh nafsu oleh Pak Bejo, gadis itu bisa merasakan kejantanan sang pria tua digesek-gesekkan ke pahanya.<br /><br />Dengan menggunakan mulutnya, Pak Bejo melalap daun telinga Anissa sambil berbisik kepadanya. Aku tidak melarang kamu menikah dengan siapapun, Non Anis. Kamu boleh menikah dengan Dodit atau siapa saja, aku hanya ingin menyetubuhimu tiap kali aku mau. Itu saja. Layani aku dengan baik dan aku tidak akan mengganggu hubungan kalian. Tapi kalau kau melawanku, aku bersumpah, kau tidak akan pernah merasakan lagi yang namanya cinta kasih sejati! Akan kubuat Mas Doditmu itu menderita!!<br /><br />Anissa bergetar ketakutan dalam pelukan si tua bejat, Pak Bejo bisa merasakan gerakan tubuh gadis muda itu. Anissa makin bingung, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Anissa menendang tulang kering kaki Pak Bejo dan meloncat turun dari tempat tidur.<br /><br />Auuughh!! Lonthe!!! maki Pak Bejo geram.<br /><br />Pak Bejo menjerit kesakitan dan meraung penuh amarah mengejar sang gadis yang lari ketakutan dalam keadaan panik. Karena harus memutari ranjang untuk mencapai pintu, Anissa kalah cepat dari Pak Bejo yang meloncati ranjang dengan beringas, gadis itu kembali tertangkap olehnya. Dengan kekuatannya yang hebat, Pak Bejo menyeret Anis ke tempat tidur. Dengan mudah ia memutar tubuh gadis muda itu dan menghempaskannya ke ranjang. Pak Bejo kemudian melucuti pakaiannya sendiri, sekali lagi Anis melirik ke arah pintu dan mencari saat yang tepat untuk bisa melarikan diri.<br /><br />Jangan coba-coba. Bentak Pak Bejo saat melepas kemejanya. Ia tahu apa yang sedang direncanakan oleh gadis muda itu. Karena Anissa terus melawan, dengan terpaksa pria tua itu mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia kantongi. Aku tidak mau menggunakan ini, manis. Tapi kalau sampai kau melakukan hal yang aneh-aneh, aku terpaksa mengiris-iris tubuhmu dan memberikannya pada anjing tetangga.<br /><br />Kemarin, ancaman pisau inilah yang mengakibatkan Anissa kehilangan keperawanannya. Kali ini ancaman pisau Pak Bejo kembali berhasil berhasil melunakkan perlawanan Anis. Gadis itu terdiam pasrah tanpa berani melawan, matanya menatap ngeri pada pisau yang diacungkan oleh Pak Bejo sementara keringatnya mengalir deras. Dengan bebas Pak Bejo mendapatkan keinginannya.<br /><br />Aduh, aku tidak tahan lagi, anak manis. Sejak datang ke rumah ini, tubuhmu itu selalu membuat penisku ngaceng nggak turun-turun. Hari ini aku jamin, aku akan memuaskanmu dengan baik sampai-sampai kau tidak akan mampu berjalan tegak lima hari lima malam, hahaha. Kau bisa memilih, kita melakukan hal ini bersama-sama dengan lembut atau aku akan memaksamu melakukannya dengan kasar. Bagaimana? Pilih yang pertama kan? Kalau setuju, buka pakaianmu itu pelan-pelan!<br /><br />Anissa masih berbaring tanpa daya dan tak mampu mengucapkan kata-kata. Semuanya berlangsung begitu cepat seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Pak Bejo berdiri di depan Anis dengan gelisah dan tak sabar, pria tua itu sudah melucuti pakaiannya sendiri sampai hanya mengenakan celana dalam. Anis tahu Pak Bejo pasti akan memperkosanya dengan cara yang paling menyakitkan seandainya dia menolak. Satu-satunya jalan agar semua ini berlangsung tanpa rasa sakit adalah menuruti semua kemauannya. Dengan berat hati Anissa mencopot kaos dan mulai menelanjangi dirinya sendiri di hadapan sang pemerkosa.<br /><br />Satu persatu pakaian yang dikenakan Anissa dilepas, atasan, bawahan dan BH yang ia kenakan semuanya sudah lepas. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan menggunakan pakaian yang tadi ia lepas sebagai pelindung untuk menutup dadanya yang telanjang. Anissa bergetar ketakutan sambil menyembunyikan diri dari pandangan penuh nafsu Pak Bejo. Pria itu tidak kenal kompromi, ia mendekat ke arah Anis, menarik pakaian penutup dada Anis dengan kasar dan melemparnya jauh-jauh. Sekarang celana dalamnya! bentak Pak Bejo.<br /><br />Pak Bejo isak Anissa, tidak bisakah kita<br /><br />Copot celana dalamnya, atau kau akan menyesal nanti, Pak Bejo menatap Anis dengan galak sampai gadis itu ketakutan. Sambil terisak, Anis melepaskan pelindung tubuhnya yang terakhir, celana dalamnya.<br /><br />Gadis pintar. senyum puas membentang di wajah pria cabul itu ketika dia menatap jalang selangkangan Anissa yang telanjang, Sekarang berbaringlah ke ranjang dan buka kakimu lebar-lebar.<br /><br />Anissa menelan ludah dengan rasa takut yang membuncah, tapi gadis itu mengikuti perintah Pak Bejo. Setelah kembali berbaring di ranjang, Anis membuka pahanya lebar, memberikan akses pada Pak Bejo menatap liang kewanitaannya yang memerah. Anis melirik ke bawah dan melihat Pak Bejo sedang melucuti celana dalamnya sendiri dengan terburu-buru, penisnya yang berukuran besar melejit keluar seperti cemeti. Nafas Anis makin berat ketika dia menyaksikan benda yang sebentar lagi akan dilesakkan ke liang vaginanya yang masih rapat. Benda itu benar-benar sangat besar, akan terasa sangat menyakitkan seandainya dimasukkan ke dalam kemaluannya. Perut Anissa melintir dan mual menyaksikan ukuran kemaluan Pak Bejo, karena takut, gadis itu kembali menutup kakinya rapat saat Pak Bejo mulai merangkak di atas ranjang mendekati mangsanya.<br /><br />###<br /><br />Anton meraih pena dan menandatangani surat cerai dengan tangan gemetar. Tiap goresan di atas kertas bagaikan pisau yang merobek-robek hati Dina. Seperti inikah akhir pernikahannya dengan Mas Anton? Seperti inikah berakhirnya masa-masa susah senang yang telah mereka arungi berdua bersama? Benarkah suaminya itu tega menjual istri untuk melarikan diri dari hutang dan tanggung jawab? Walaupun di kemudian hari Anton, Dina dan anak-anak tidak akan pernah kekurangan uang lagi, tapi<br /><br />Selamat tinggal sampaikan maafku pada anak-anak bisik Anton lemah, tidak ada kekuatan dalam ucapan itu. Suara Anton terdengar seperti seorang lelaki yang sudah kalah perang. Anton menatap wajah Dina untuk yang terakhir kali, lalu mencium wanita jelita itu dengan penuh kasih sayang, sebuah ciuman terakhir. Dengan langkah tertatih Anton meninggalkan ruangan sambil membawa file-file kepemilikan modal, rumah dan tanah di kota lain yang diberikan oleh Pak Pramono. Entah masa depan seperti apa yang akan ia hadapi nanti, yang jelas, Dina dan Anton tidak akan pernah bertemu kembali.<br /><br />Dina melepas kepergian suaminya dengan tertunduk lesu. Airmatanya sudah kering dan ia tak mampu lagi menangis. Inikah kelanjutan hidupnya? Menjadi menantu Pak Bambang yang pernah menidurinya? Sebuah foto yang berada di atas meja menjadi ketakutan lain bagi Dina, apakah ia akan bersedia menjadi istri seorang lelaki yang tidak saja buruk rupa namun juga idiot?<br /><br />Dina tahu, demi masa depan anak-anaknya dan demi kelangsungan hidup mereka, itulah kehidupan baru yang harus dijalaninya. Di bawah payung perlindungan Pak Bambang, Dina dan anak-anak tidak akan pernah lagi hidup kekurangan, walaupun untuk mendapatkan semua ini, dia harus menjual diri.<br /><br />Dina menandatangani surat cerai dengan Anton. Ia tidak menangis sama sekali.<br /><br />Pak Pramono menyalami Pak Bambang atas keberhasilannya mendapatkan seorang menantu yang sangat cantik dan seksi.<br /><br />###<br /><br />Lidya mengelap keringat yang menetes di kening. Akhir-akhir ini sinar matahari sangat panas dan menusuk kulit. Si cantik itu geleng-geleng melihat banyaknya cucian yang diberikan oleh Pak Hasan, sudah berapa hari si tua itu tidak mencuci pakaian? Jangan-jangan dia memang sengaja tidak mencuci baju agar bisa mengerjai Lidya? Satu demi satu baju dan celana yang dijemurnya di tali-tali yang sengaja dipasang.<br /><br />Lidya sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya yang seronok, ia ingin semua pekerjaan hari ini segera selesai dan ia bisa istirahat. Ia sudah tidak peduli lagi pada angin nakal yang berhembus dan melambai-lambaikan bagian bawah kemeja yang ia kenakan. Si cantik itu tidak mengenakan sehelai bajupun kecuali satu kemeja berukuran besar yang diberikan oleh Pak Hasan. Saat angin berhembus meniup bagian bawah tubuhnya, selangkangan Lidya terbuka dan menerima langsung desiran angin yang mengenai kulit dan bibir kemaluannya.<br /><br />Tanpa sepengetahuan Lidya, penampilan hotnya ternyata mendapat perhatian langsung dari sebelah rumah. Seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan sedang membersihkan rumput secara tidak sengaja melihat wanita cantik itu dengan pakaian seronok sedang menjemur pakaian.<br /><br />Pemandangan yang sangat indah.<br /><br />Pembantu itu geleng-geleng kepala, dulu sewaktu pasangan muda Andi-Lidya baru datang menempati rumah sebelah, Lidya langsung menjadi perhatian banyak lelaki di sekitar sini, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Penampilan wanita cantik itu sangat modern dan hot, membuat setiap mata yang memandang blingsatan, tapi baru sekali ini pembantu itu memperoleh hadiah yang menyenangkan, tubuh seindah itu dipamerkan seenaknya, benar-benar nekat Bu Lidya seandainya saja dia bisa menikmati tubuh indahnya ah mimpi<br /><br />Pembantu itu tak bergerak sedikit pun, hanya memandang setiap gerakan gemulai Lidya. Tapi sayang pertunjukan itu tak berlangsung lama, setelah sekitar sepuluh menit menjemur pakaian, Lidya turun kembali ke lantai bawah. Sang pembantu tersenyum puas, ia memang tidak akan pernah bisa mencicipi keindahan tubuh nyonya tetangga, bagai pungguk merindukan bulan, tapi begini saja dia sudah puas.<br /><br />Sang pembantu kembali melanjutkan tugasnya memotong rumput dengan senyum tersungging di bibir.<br /><br />Dari balik jendela kamar, Pak Hasan mengelus-elus dagu sambil mengamati gerak-gerik sang pembantu tetangga. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki Lidya turun dari tangga dan melewati Pak Hasan.<br /><br />Nduk, sudah selesai menjemurnya?<br /><br />Sudah, Pak.<br /><br />Omong-omong, apa kamu kenal dengan pembantu tetangga sebelah kiri kita ini? tanya Pak Hasan sambil menunjuk rumah sebelah dari jendela tempatnya bersandar. Siapa namanya?<br /><br />Pembantu sebelah? Yang laki atau perempuan?<br /><br />Yang laki. Pak Hasan menunjuk ke luar jendela. Itu, yang sedang memotong rumput.<br /><br />Lidya melihat keluar jendela dan mengenali sosok sang pemotong rumput. Mas Marto? Lidya menatap mertuanya curiga, Kenapa memangnya?<br /><br />Pak Hasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Ah nggak<br /><br />Ada senyum aneh menghias bibir lelaki tua itu, senyum yang membuat bulu kuduk Lidya berdiri. Dulu kita pernah jalan-jalan ke mall. Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke pasar, Nduk? tanya Pak Hasan sambil menyeringai lebar, kita bisa beli sayur-sayuran dan ikan segar.<br /><br />Mata Lidya terbelalak ketakutan. Ke pasar? Kalau ingat apa yang dilakukan Pak Hasan saat mereka pergi ke mall tempo hari, pergi ke pasar bersama Pak Hasan bisa jadi hal yang menakutkan untuk Lidya.<br /><br />Pak Hasan terkekeh melihat menantunya panik. Besok pagi pasti akan menyenangkan sekali.<br /><br />###<br /><br />Ruang VIP tempat Hendra dirawat sangat sunyi siang itu, Alya dan Dodit yang biasa menemani Hendra turut tertidur karena kelelahan. Alya terlelap di pembaringan penunggu pasien di samping ranjang Hendra, sementara Dodit duduk di kursi. Dodit lebih memilih menemani calon kakak iparnya karena di rumah Anissa bertingkah laku aneh tidak seperti biasanya. Gadis itu juga tidak menjawab SMS maupun misscallnya, entah apa yang telah terjadi kepada gadis tunangannya itu sehingga sikapnya berubah total. Sendirian saja di ruangan yang sepi, Doditpun akhirnya tertidur, ia terlelap sambil duduk di kursi.<br /><br />Setelah beberapa kali kepalanya tersentak ke bawah, Dodit terbangun dari tidurnya. Saat ini dia masih berada di kamar VIP Mas Hendra. Calon kakak iparnya itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tertidur oleh pengaruh obat yang menenangkan, entah kapan Hendra bisa mulai sadar dan berinteraksi kembali, hari ini kondisi kesehatannya sangat drop dan sempat mengkhawatirkan, namun dokter sudah datang dan mengisyaratkan kalau Hendra hanya harus beristirahat total.<br /><br />Kamar VIP yang dihuni oleh Hendra memiliki fasilitas berlebih, terdapat satu pesawat televisi, kamar mandi, lemari pendingin, bahkan terdapat satu ranjang tambahan untuk penunggu pasien. Pembaringan itu biasanya dipakai Mbak Alya, kalau harus bermalam, Dodit memilih tidur di lantai beralaskan tikar tebal.<br /><br />Siang itu Dodit tertidur saat duduk di kursi sementara Mas Hendra dan Mbak Alya terlelap di ranjang masing-masing. Dodit merenggangkan tangan dan menguap lebar-lebar, capek dan pegal sekali rasanya.<br /><br />Tiba-tiba terdengar suara desahan.<br /><br />Ohh ehhhmmm<br /><br />Suara apa itu? Dodit melirik ke arah Mas Hendra, masih tetap tidur dengan tenang, siapa yang tadi mendesah? Kali ini Dodit melirik ke arah Mbak Alya. Pemuda itu langsung terkesiap dengan pemandangan indah yang ia lihat. Alya yang sedang tidur nyenyak tanpa sadar menarik rok yang ia kenakan hingga tersingkap ke atas. Mungkin sekali, Alya juga tengah bermimpi sedang bermain cinta dengan seseorang karena desahan-desahan erotis kadang terdengar lirih dari mulutnya. Dengan pandangan yang menatap tajam ke arah paha mulus Alya, Dodit menelan ludah.<br /><br />Berulang kali Dodit mengusap muka dan berusaha menekan hawa nafsunya, pemuda itu sudah mencoba mengalihkan pandangan ke jendela, tabung oksigen, meja, keranjang buah, televisi, tapi tidak ada satupun yang berhasil menghilangkan pikirannya yang mesum pada Mbak Alya. Sekali lagi Dodit melirik ke arah Alya, alangkah indahnya pemandangan yang ia saksikan. Paha mulus Mbak Alya sudah terlihat utuh hingga sampai ke selangkangannya. Sedikit lagi rok itu tertarik ke atas, Dodit pasti bisa melihat celana dalam yang dipakai oleh calon kakak iparnya itu.<br /><br />Dodit mengerang, batinnya berkecamuk, terjadi perang antara akal sehat dan nafsu birahi. Dodit menggelengkan kepala mencoba menghapus pikiran busuknya. Mbak Alya adalah calon kakak iparnya. Calon kakak iparnya! Pemuda macam apa dia ini? Tidak tahu malu! Sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang gadis yang alim dan manis yang telah susah payah menjaga keperawanan hanya untuk dipersembahkan padanya, sedangkan dia malah nafsu melihat keseksian kakak ipar tunangannya. Tidak, Dodit ingin menjadi pria yang baik dan setia bagi Anissa.<br /><br />Dodit mencari-cari bungkus rokok di dalam kantong sakunya, ia menjumput satu batang, menjepit rokok itu dengan bibir lalu mencari-cari korek gas di dalam saku lain. Satu-satunya cara untuk menghapus pemandangan indah ini adalah dengan merokok di teras di luar kamar dan<br /><br />Rokok Dodit jatuh ke atas lantai. Mulutnya menganga.<br /><br />Rok Alya tersingkap makin naik, seluruh pahanya sudah bisa terlihat dengan jelas, bahkan kini celana dalamnya pun sudah terlihat seutuhnya. Celakanya, calon kakak ipar Dodit itu mengenakan celana dalam yang tipis menerawang sehingga Dodit bisa melihat apa yang ada di balik celana dalam. Mulut pemuda itu menganga karena terkesima, sangat indah! Sangat indah sekali!<br /><br />Pikiran alim Dodit sudah melesat meninggalkan raganya. Buru-buru pemuda itu mengambil telepon genggamnya dan segera menyiapkan handphone. Ia tidak akan melewatkan pemandangan seindah ini! Mas Hendra dan Mbak Alya sudah sama-sama lelap dan tidak akan sadar Dodit mengambil gambar-gambar seksi calon kakak ipar dengan kamera telepon genggamnya. Pemuda itupun segera menggunakan kamera handphone untuk mengambil gambar paha dan selangkangan mulus Alya dari berbagai sudut.<br /><br />Setelah puas mengambil gambar, Dodit melangkah masuk ke kamar mandi, mengunci pintu dan membuka celananya. Ia melucuti celana yang ia kenakan berikut celana dalamnya, setelah itu Dodit membasahi kemaluannya dan mengambil sabun. Sambil membuka file gambar yang berisikan pemandangan paha dan selangkangan Alya, pemuda itu memuaskan birahinya dengan mengocok kemaluannya.<br /><br />Uhhhhmmm Mbak Alya ohhhhmmm Mbak Alyaaaa desahan memanggil nama calon kakak ipar keluar dari mulut Dodit. Seluruh perasaan galau karena selalu gagal menggauli Anis tumpah ruah kali ini dan yang menjadi fantasi pemuda itu tak lain adalah calon kakak iparnya yang sangat seksi.<br /><br />###<br /><br />Sambil berlutut di hadapan kaki Anis yang ditutup rapat, Pak Bejo menggeram. Buka kakimu! Jangan main-main, anak manis! Aku tahu kalau sebenarnya kau merindukan penisku yang keras ini menjejal di dalam liang memekmu, kan? tangan Pak Bejo menggenggam erat pergelangan kaki Anissa. Gadis muda itu berusaha melawan dan meronta, tapi Pak Bejo terlalu kuat, ia berhasil membuka paha Anis dengan sedikit paksaan.<br /><br />Anissa mengerang takut ketika Pak Bejo menarik pergelangan kakinya. Kedua kaki Anis kini diletakkan di samping pinggul Pak Bejo. Pantat Anis diangkat dari tempat tidur sementara pria tua itu meremas-remas pantat sang gadis muda yang ketakutan di depannya. Pak Bejo merenggangkan kaki Anis lebih lebar lagi dan ia membungkuk ke depan, membimbing belalainya yang mulai membesar ke arah memek Anis.<br /><br />Anissa menahan nafas karena takut, ia merasakan kengerian membuncah di dalam hati ketika bibir kewanitaannya bersentuhan langsung dengan kontol besar Pak Bejo. Dengan senyum menggoda, Pak Bejo mengoles-oleskan ujung gundul kemaluannya ke bibir bawah vagina Anis, rangsangan itu membuat cairan cina Anis meleleh tanpa bisa dibendungnya. Pak Bejo menggerakkan kontolnya naik turun dan dengan sengaja dioles-oleskan ke bibir kemaluan sang dara, pria tua itu seakan meratakan cairan cinta yang meleleh di bibir kemaluan Anis ke seluruh bagian bibir vaginanya.<br /><br />Akhirnya, dengan penuh nafsu, pria tua bejat itu menatap lekat mata Anis. Saatnya melakukannya, ya sayang? Pak Bejo terkekeh sadis.<br /><br />Anissa menggeleng dan mencoba meronta, tapi ia tidak mampu berbuat banyak karena selain kakinya dijerat oleh kaki Pak Bejo, kini giliran kedua lengannya ditahan di sisi ranjang oleh tangan sang lelaki tua bejat. Ingin rasanya Anis berteriak, tapi ia tahu sia-sia saja melawan pria tua menjijikkan ini.<br /><br />Dengan satu sentakan penuh tenaga, Pak Bejo mendorong penisnya ke depan, masuk ke dalam memek Anissa dengan satu tusukan yang sangat menyakitkan, Anissa melenguh karena kaget dan merasa perih, bibir memeknya terbelah dan vaginanya menelan batang kontol Pak Bejo. Ukuran penis Pak Bejo yang besar memenuhi rapat liang kewanitaan Anis. Tak mau menahan diri lagi, Pak Bejo terus menyorongkan kemaluannya hingga ujung terdalam vagina Anissa.<br /><br />Terdengar suara kecipak becek memek Anis, tak terasa, seluruh batang kemaluan Pak Bejo telah melesak ke dalam. Anissa menarik nafas yang terasa berat, matanya terbelalak dan ia bisa merasakan ukuran sesungguhnya dari penis Pak Bejo yang kian lama kian membesar di dalam memeknya.<br /><br />Hrghhh!! Bisa kau rasakan itu, manis? Memekmu yang rapet meremas-remas kontolku! Pak Bejo tertawa menghina, pasti ini pengalaman baru bagimu ya sayang? Enak kan dientoti terus sama Pak Bejo? Kalau sudah merasakan kontolku, aku yakin kamu tidak akan mau disetubuhi calon suamimu yang kontolnya seupil itu!<br /><br />Tidak mauu Anissa merintih, kesadarannya mulai melayang karena rasa sakit yang ia rasakan mulai menguasai seluruh tubuhnya. Tangan kotor Pak Bejo merenggangkan bokong Anissa dengan kasar, lalu sambil menggemeretakkan gigi dengan gemas, Pak Bejo menusuk memek Anis sekuat tenaga. Anis memejamkan mata, besarnya ukuran penis Pak Bejo membuatnya merem melek, ia bisa merasakan tiap sudut batang kemaluan pria tua cabul itu, tiap urat yang menonjol, benjolan kecil atau permukaannya yang kasar, semua bisa ia rasakan. Pak Bejo menggiling liang kewanitaan Anis dengan gelombang serangan bertubi-tubi sampai akhirnya ujung gundul kontol Pak Bejo menabrak ujung terdalam liang rahim gadis muda itu.<br /><br />Anissa mengembik kesakitan, ukuran penis besar milik Pak Bejo membuatnya tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seakan-akan sebatang tiang listrik dilesakkan ke dalam kewanitaannya. Sambil meringis kesakitan, Anis berusaha meronta dan melepaskan diri dari tusukan Pak Bejo. Selangkangannya terasa sangat panas dan nyeri, namun ketika dia meronta, gerakannya malah membuat Pak Bejo makin keenakan. Pria tua itu sudah gelap mata dan terus menusuk ke depan, menimpakan seluruh berat tubuhnya ke badan Anissa.<br /><br />Oooohhhh, memekmu rapet bangeeet! Pak Bejo terengah-engah menyetubuhi Anissa. Ia menarik bokong gadis itu ke belakang dan tubuh mereka saling menampar dengan penis yang masih tertanam di dalam vagina Anis. Kemaluan Pak Bejo merenggang hingga ke ukuran terbesarnya, ia menggoyangkan pinggulnya dan menggiling liang kewanitaan Anissa sampai ke dalam leher rahimnya.<br /><br />Mas Dodit maafkan akuuu a-aku tidak kuat desah Anissa dalam keputusasaannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar dan menyerah dalam pelukan sang lelaki tua. Ia belum pernah merasakan gelombang kenikmatan seperti ini menyapu seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, Anissa mulai menggoyangkan pantat agar kemaluan Pak Bejo bisa masuk ke dalam memeknya lebih dalam lagi.<br /><br />Pak Bejo puas melihat takluknya Anissa. Enak kan sayang? Enak kan kontolku? Bisa kau rasakan gerakan kontolku di dalam liang rahimmu, sayang? Bisa kau rasakan geliat kontolku di dalam liang yang telah aku perawani? Bagaimana rasanya disetubuhi seorang pria sejati, sayang? Berbaringlah dan rasakan kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya. Tiap kata yang diucapkan Pak Bejo bagaikan pisau yang menusuk perasaan Anissa, dia terhina sekaligus menginginkannya.<br /><br />Karena gerakan pantat Anissa itu melambat, Pak Bejo menarik pinggul gadis itu dan memompakan tubuh mungilnya itu ke arah kemaluannya yang masih tertanam di dalam memek. Pak Bejo menarik kemaluannya keluar dari memek Anissa, menimbulkan rasa sakit karena gesekan yang membakar dinding kewanitaan liang cinta Anis. Lalu dengan kecepatan tinggi, pria tua bejat itu menumbuk vagina Anissa tanpa ampun, berulang kali menusuk hingga terdengar suara kecipak campuran air cinta Anis dan penyerangnya.<br /><br />Oghh! Ouughhhhh! Ougggggggghh!! Anissa mengerang tak berdaya. Ahhhh!! Ahhhh!!<br /><br />Detik demi detik berlalu, Anissa memejamkan matanya, gerakan Pak Bejo makin lama makin stabil, dia ingin seperti ini terus, nikmat luar biasa yang berasal dari selangkangannya membuat Anissa terbang ke angkasa, ia tidak ingin Pak Bejo berhenti. Ia ingin terus disetubuhi. Sejenak Anissa lupa, bahwa pria yang tengah memberikan kenikmatan ini bukanlah orang yang pantas menjadi suaminya.<br /><br />Kontol tua Pak Bejo keluar masuk dengan mantap menyetubuhi memek Anissa yang basah oleh cairan cinta. Ketika membuka matanya, Anissa mengalihkan pandangan ke arah cermin yang berada di meja riasnya. Bayangan yang berada di cermin membuat gadis itu bergidik ngeri. Tubuh gemuk sang pria tua memeluk erat paha Anis sambil memaju mundurkan pinggul untuk melesakkan kemaluan ke dalam vaginanya. Anissa menatap cermin dengan pandangan tak percaya namun pasrah, ia benar-benar sedang disetubuhi oleh Pak Bejo, orang yang juga telah memerawaninya. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Anissa adalah, karena Pak Bejo adalah orang pertama yang memerawaninya, ia merasa begitu nikmat bersetubuh dengan pria tua itu, ia ingin lagi lagi dan lagi.<br /><br />Nafas pria tua itu menjadi lebih pendek dan kembang kempis beberapa menit kemudian, begitu juga dengan gerakan maju mundurnya yang makin lama makin cepat. Ujung gundul kemaluan Pak Bejo makin membesar dan bisa dirasakan perubahannya oleh Anissa. Gadis itu membelalakkan mata dengan ngeri, inilah dia saatnya, pria tua itu akan orgasme di dalam vaginanya! Bayangan tubuhnya yang seksi di bawah pelukan lelaki tua gemuk buruk rupa yang menyemprotkan cairan sperma hangat di dalam vaginanya membuat Anissa muak. Apa yang akan terjadi seandainya ia hamil nanti?<br /><br />Ja-jangan di dalam jangan aku tidak mau hamil protes Anissa di sela-sela desahan nafsunya.<br />Diam saja, anak manis. Sergah Pak Bejo.<br /><br />Saat yang dinanti pun tiba, Pak Bejo mengangkat kepalanya dengan penuh kenikmatan, ia melolong pelan dan bulat matanya berputar ke belakang hingga hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Pria tua itu benar-benar mengalami sensasi kenikmatan yang luar biasa. Anissa memang kalah jelita dibanding Alya yang jauh lebih feminin dan lebih matang, tapi vaginanya yang masih rapat memberikan kenikmatan hingga ke atas awan. Pak Bejo memeluk Anis erat-erat dan menyemprotkan semburan hangat air maninya ke dalam memek dara muda yang basah itu. Anissa hanya bisa terisak histeris karena dia tidak ingin hamil oleh sperma pria busuk ini.<br /><br />Pak Bejo ambruk ke atas tubuh Anissa. Gadis itu masih terus terbaring di bawah tubuh Pak Bejo yang gemuk sambil menangis sesunggukan. Ia bisa merasakan kontol Pak Bejo yang masih tertanam di dalam liang rahimnya perlahan mengulir keluar. Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa saat lamanya sampai Anissa mulai merasakan berat tubuh Pak Bejo membebaninya. Dengan tenaga yang tersisa, Anis bergerak ke samping mencoba melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo. Lelaki tua itu mengerang malas dan ambruk ke samping dengan wajah memerah karena kelelahan.<br /><br />Puas sekali rasanya ia bisa menikmati tubuh Alya dan adik iparnya, Anissa. Dua hari ini Pak Bejo merasakan nikmatnya hidup bagai seorang raja yang memiliki banyak harem. Suara berkecipak menandai lepasnya kemaluan lelaki tua itu dari bibir vagina Anis, air cinta yang bercampur di dalam memek Anispun ikut menetes keluar, leleh seakan menangis.<br /><br />Anissa memejamkan mata di samping Pak Bejo tanpa berani mengeluarkan sepatah kata, gadis cantik itu terbaring dengan kaki yang terbentang lebar usai digauli dan air mata yang mengalir deras membasahi pipi. Pak Bejo meringis puas sambil menatap tubuh telanjang Anissa dari kepala hingga ke ujung jempol kaki. Keindahan tubuh gadis muda ini telah menjadi miliknya.<br /><br />Bagaimana rasanya disetubuhi pria tua seperti saya, Non Anis? Pak Bejo terkekeh puas, Kok diem aja? Pasti enak ya merasakan penis besar seperti yang aku punya? Kalau nggak percaya, coba saja rasakan punya Dodit, pasti kalah. Berani jamin.<br /><br />Sambil tertawa terbahak-bahak, tangan Pak Bejo maju ke depan, menyelip di antara paha Anis yang basah dan menangkup bukit kemaluan lembut gadis itu. Anissa terisak lagi tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membiarkan jari jemari nakal Pak Bejo mempermainkan bibir vaginanya. Pria tua itu membuka lebar-lebar bibir kemaluan Anissa sampai-sampai gadis itu merasa risih, apalagi cairan cinta bercampur sperma Pak Bejo masih meleleh keluar dari sela-sela bibir kemaluan Anissa.<br /><br />Wah wah! Banyak juga tadi aku nyembur, kasihan sekali kamu, anak manis. Hahaha. Pak Bejo tertawa melihat spermanya yang putih kental meleleh keluar dari memek gadis yang baru saja ia gauli. Pria tua bejat itu berdiri meninggalkan ranjang, kontolnya yang besar terkibas kesana sini. Setelah mengenakan celana dan baju, Pak Bejo melirik ke arah Anissa dengan pandangan jumawa.<br /><br />Untunglah kemudian Pak Bejo memutuskan untuk meninggalkan Anissa. Tubuhmu lezat sekali rasanya, anak manis. Besok pasti aku datang lagi untuk mencicipimu. Siapkan memekmu dan usahakan kali ini lebih bisa mengimbangi permainanku, jangan diam saja seperti kayu. Hahaha. Tawa Pak Bejo bagaikan pisau yang mengiris-iris perasaan Anissa. Pria tua yang menjijikkan itu bahkan masih tetap tertawa saat telah melangkah keluar dari kamar Anis, seakan-akan kata-katanya yang cabul adalah hal yang sangat lucu baginya.<br />Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari dalam liang cintanya.<br /><br />Anis ingin menyemprot bersih-bersih kemaluannya dengan air tapi gadis itu tahu semprotan air yang masuk malah akan mendorong dan memperbesar peluang sperma itu membuahi sel telurnya, ia bukan gadis bodoh. Gadis itu terdiam di pojok sambil berharap sperma Pak Bejo sudah keluar semua dari memeknya.<br /><br />Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Ia bingung, ia ingin bertemu sekaligus ingin berpisah dengan Dodit, ia merasa kotor dan tak berharga lagi baginya, ia hanyalah seorang gadis yang sudah kehilangan kesucian akibat diperkosa seorang lelaki tua yang tidak akan bertanggung jawab.<br /><br />Tak kuat rasanya gadis itu menanggung semua beban, ingin rasanya ia bunuh diri saja.<br /><br />###<br /><br />Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.<br /><br />Panas banget si hari ini. keluh sang pria paruh baya.<br /><br />Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo apa tuh yang disebut-sebut di tipi itu ya? timpal sang pengukur timbangan.<br /><br />Pemanasan global kali maksudnya? jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.<br /><br />Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu. Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.<br /><br />Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.<br /><br />Buset! Apaan tuh yang barusan, bang? tanya sang pengukur timbangan sambil mengucek mata. Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?<br /><br />Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil geleng-geleng tak percaya. Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu beneran.<br /><br />Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?<br /><br />Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.<br /><br />Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.<br /><br />Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.<br /><br />Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.<br /><br />Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.<br /><br />Pak, sudah ya pak kita pulang saja aku takut malu bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.<br /><br />Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?<br /><br />Tapi itu kan di mall, ini pasar lagipula<br /><br />Hh apa bedanya mall dengan pasar? senyum lebar menghiasi wajah menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.<br /><br />Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk. Kata Pak Hasan sambil terkekeh pelan.<br /><br />Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra, tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.<br /><br />Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat menggugah nafsu birahi.<br /><br />Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.<br /><br />Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.<br /><br />Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?<br /><br />Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu sia-sia.<br /><br />Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin mengamen di sini. Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran dan galak. Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau lihat?<br /><br />Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.<br /><br />Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini? Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi. bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!<br /><br />Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri anakku! Semua permintaanku harus kau turuti! Bisik Pak Hasan di telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, Menarilah dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas.<br /><br />Ini gila aku tidak mungkin<br /><br />Tidak mungkin apa, Nduk?<br /><br />Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.<br /><br />Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa padaku. Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.<br /><br />Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini kecuali milikku. Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.<br /><br />Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan menikmati pertunjukan gratis ini! kata Pak Hasan, dia meletakkan satu tape kecil yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.<br /><br />Goyang! Goyang! Goyang! hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.<br /><br />Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada orang-orang itu bagaimana? bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?<br /><br />Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya pernah mengikuti kursus modern dance.<br /><br />Buka! Buka! Buka! teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.<br /><br />Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.<br /><br />Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.<br /><br />Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa berhenti? Merangsang pisan euy kata Pak Somad yang sehari-hari berjualan buah-buahan segar.<br /><br />Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan mendekatinya. Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.<br /><br />Yaaaah masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya! keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.<br /><br />Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah akhir dari pertunjukan ini. Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, dia ini menantu saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai.<br /><br />Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak? tanya Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.<br /><br />Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak Ramin. Wah -wah, Ngadi Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!<br /><br />Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.<br /><br />Ha ha ha aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam? Pak Ramin ribut lagi. Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat ha ha ha<br /><br />Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang terkenal ganas.<br /><br />Pak Hasan menggelengkan kepala. Sepertinya semua orang di sini belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai jangan.<br /><br />Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam. Ayolah, Pak. Kata Abah Aseng. Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat anak manis ini.<br /><br />Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera berlindung di balik tubuh Pak Hasan.<br /><br />Pak Hasan tersenyum sinis. Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu. Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.<br /><br />Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. Kalau dua preman itu nggak mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?<br /><br />Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan. Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para penjual.<br /><br />Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?<br /><br />Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa yang menolak?<br /><br />Siapa yang kau pilih, Nduk? tanya Pak Hasan pada menantunya yang sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, harus dipilih salah satu.<br /><br />Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih? Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan santun. Mana yang harus dia pilih?<br /><br />A-aku tidak Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.<br /><br />Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.<br /><br />Siapa yang kau pilih, Nduk? tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.<br /><br />Di dia. Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.<br /><br />###<br /><br />Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan yang beriringan di langit.<br /><br />Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.<br /><br />Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?<br /><br />Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?<br /><br />Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.<br /><br />Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?<br /><br />Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.<br /><br />###<br /><br />Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di kawasan perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri. Apa yang dia lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak Hasan? Kalau tidak salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah menantunya? Orang gila seperti apa yang melacurkan menantunya pada orang-orang pasar? Sudah kacau dunia ini.<br /><br />Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.<br /><br />Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi isi rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat melihat foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita secantik Lidya jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.<br /><br />Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap? tanya Pak Hasan seraya turun dari tangga, jamunya sudah diminum?<br /><br />Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian dan membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin menyantap hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh Pak Hasan yaitu tubuh Lidya, sang nyonya rumah.<br /><br />Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru berdiri. Sabar kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak Ngadi harus mandi dulu yang bersih.<br /><br />Ma mandi?<br /><br />Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan.<br /><br />Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. Mak maksudnya mandi bareng Mbak Lidya?<br /><br />Pak Hasan mengangguk.<br /><br />Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak menyangka akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang secantik bidadari itu. Benar-benar beruntung dia hari ini!<br /><br />Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan? Ngadi masih belum mempercayai keberuntungannya, ng-nggak perlu bayar?<br /><br />Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja. Kata Pak Hasan sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. Oh iya, Pak Ngadi, meski gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya tidak boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?<br /><br />Wa-wah sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak. Saya nggak akan minta macam-macam. Kata Pak Ngadi jujur, penjual mainan anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak istri. Siapa sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang bidadari?<br /><br />Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar mandi yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri Lidya dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih dan harum, wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki kamar mandi yang sudah terbuka.<br /><br />Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar terjadi?<br /><br />Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu, di bawah guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya, Pak Ngadi bagaikan menatap keindahan seorang dewi.<br /><br />Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus memantau di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi tanpa mau bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan memberi kode pada Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.<br /><br />P-pak Hasan ma-mau mandi? Lidya terbata-bata. Dia tahu seharusnya dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan seseksi mungkin, tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak mungkin bersikap manja pada orang tak dikenal berwajah buruk dan sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi, suara yang keluar dari mulut Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang bidadari.<br /><br />I-iya saya mau mandi. Kata pria tua itu tergagap.<br /><br />Ma-Mau mandi b-bersama? ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu jalan keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera selesai. Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati Pak Ngadi.<br /><br />Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan menatap tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar dan kencang bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan. Lidya kini tak peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas atau tidak. Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil yang berada di selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas kemaluan dicukur bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat jelas oleh Pak Ngadi yang langsung meneguk ludah karena menahan nafsu.<br /><br />Saya lepas ya baju Pak Ngadi. Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.<br /><br />Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu, malu tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa semangat Pak Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan segan membayangi. Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas. Pria sederhana itu kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan Ngadi yang ukurannya sedang-sedang saja berdiri menantang di hadapan Lidya, tegangnya penis Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan erotis Lidya. Walaupun situasinya sangat tidak menyenangkan, entah kenapa Lidya merasa geli dengan keluguan Ngadi.<br /><br />Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok kecuali diminta bisik Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. Ayo mandi sama saya.<br /><br />Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair semacam ini setelah berhari-hari dididik oleh Pak Hasan? Tidak ia tidak mau Mas Andi tolong Mas Andi<br /><br />Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi bingung, pria tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya menggeleng.<br /><br />Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan. Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.<br /><br />Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat di depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun yang terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu melucuti celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada perasaan aneh yang bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat menantunya yang seksi berada dalam pelukan lelaki lain yang bukan suaminya. Ia pasti akan sangat menikmati pertunjukan ini.<br /><br />Sa saya mandikan ya, Mbak Lidya kata Ngadi perlahan.<br /><br />Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba menyembunyikan tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower, ia tidak mau Pak Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar suara lugu Pak Ngadi yang mendekatinya, Lidya hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya hanya pernah mandi bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi suaminya. Merinding juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti Pak Ngadi.<br /><br />Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang saling berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena malu, namun melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada dan kemaluannya. Si cantik itu memejamkan mata menanti gerakan Ngadi. Penjual mainan anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-puasnya mengagumi keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian belakang tubuhnya pun sangat putih dan mulus tanpa bercak sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang kotor dan bopeng-bopeng.<br /><br />Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan pelan, ia berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak mendengar desahan erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan dari tubuh wanita seksi yang sedang memunggunginya. Dengan perlahan, Pak Ngadi menggosok punggung Lidya dengan tangannya, ia mengambil sabun dan mengoleskan pelan di punggung seputih pualam milik istri Andi itu.<br /><br />Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria tua itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya meringkik lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu makin mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi menggosok punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat Lidya terangsang hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi terselip tepat di tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun dengan nakal menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek pantat Lidya.<br /><br />Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu bertahan. Si cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik. Dengan sengaja ia mengeraskan aliran shower agar memancar lebih keras. Berhadap-hadapan dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin menegang, ia memeluk wanita seksi itu erat-erat. Dengan bantuan sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada Lidya, ia menggerakkan payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.<br /><br />Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok dada Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat si jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap jengkal kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower, mulai dari lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih belepotan sabun. Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan tangan, ia juga menciumi kedua balon payudara si cantik itu dengan penuh nafsu, kali ini ia menghindar dari puting payudara Lidya. Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah perut, terus turun sampai akhirnya ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini Ngadi tak menghindar.<br /><br />Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok hingga kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus mengalir membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan menyaksikan adegan demi adegan sambil mengocok kemaluannya sekuat tenaga.<br /><br />Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian, kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti dan makin lama makin masuk ke arah selangkangan.<br /><br />Ohhhhmmm esssstttt desah Lidya tak berdaya saat bibir vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.<br /><br />Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya yang berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam liangnya. Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air shower membuat sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya makin tak mampu menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek diperlakukan sedemikian rupa oleh Ngadi.<br /><br />Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.<br /><br />Mmmmhhhh! Sssttthhh oooohhh desahan Lidya terus menguat.<br /><br />Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.<br /><br />Yaaaaaaaaaaaaaahhhh Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang lalu ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera menangkap tubuh Lidya agar tidak sampai jatuh.<br /><br />Aduh aku lemas sekali kata Lidya dengan suara lirih.<br /><br />Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir, mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan handuk. Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah tidak basah dan berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik itu sebenarnya keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan menundukkannya. Dengan berani penjual mainan anak-anak yang beruntung itu mulai mengangkat tubuh Lidya.<br /><br />Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat. bisik Lidya. Dia khawatir penjual mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. Kalau tidak kuat saya jalan sendiri saja<br /><br />Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya. Kata Pak Ngadi.<br /><br />Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya tidaklah jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra semangat, baru kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang berukuran besar menempel di dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan tenaga ekstra di hati sang penjual mainan.<br /><br />Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang penjual mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak mengocok kemaluannya. Nduk, kamu tidur tengkurap saja. Kata Pak Hasan.<br /><br />Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus, lembut dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan dengan jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan sandal. Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.<br /><br />Ehhhhmmm erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.<br /><br />Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya yang putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati jengkal demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi nikmatnya bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi beralih ke kaki yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati jemari kaki sang dewi.<br /><br />Engghhh Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan pada serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang masih duduk di kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas melihat menantunya keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri dengan gerakan ringan yang makin lama makin cepat.<br /><br />Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru namanya paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi menikmati detik demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa menikmati keindahan tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin terburu-buru. Ini yang namanya sekali seumur hidup. Dia merasa sangat beruntung tadi Pak Hasan menyuguhkan jamu kuat yang diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi bersama Lidya.<br /><br />Ohhhhh ehhhmm Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha membuat wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya. Ohhhhh sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati pahanya. Pria tua itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha dan gunung pantat mulus Lidya.<br /><br />Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan bulat.<br /><br />Ouggghhsssttt essssstt desah Lidya berulang-ulang, suara erotis yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi. Pria tua mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-remas pantat Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau membuka matanya, tapi ia tak tahan dan menahan jeritannya.<br /><br />Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela. Kini tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi yang menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering melakukan ini pada sang istri, dia mahir sekali melakukannya. Sebaliknya, Lidya yang belum pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi pun takluk dan tak bisa bertahan. Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini menyapu pinggir sela lengan dan dinding buah dada Lidya.<br /><br />Ouuuugghhhhh asssstttt eessssssssttt mulut Lidya mendesah-desah, tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka matanya.<br /><br />Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang tubuh dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.<br /><br />Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan lidahnya menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang leher dan akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah satu titik kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang daun telinganya. Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia pasrah sepasrah-pasrahnya.<br /><br />Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya. Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus bergerak tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang dinamakan mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang sebenarnya.<br /><br />Auuuuuhhmmm esssssttt eehhhgg walau tak mau mengakui dan merasa terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau Lidya mau jujur, dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak Ngadi. Siapa sangka orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak ini?<br /><br />Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum mau melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya. Selama ini Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan cucian, ia tak mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi kesempatan mencicipi payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua itupun memanfaatkan waktunya yang longgar selama mungkin, dijilatinya gunung payudara Lidya tanpa menyentuh ujung pentilnya. Buah dada Lidya yang montok dilalap habis oleh Ngadi, istri Andi yang sudah pasrah itu hanya bisa mendesah penuh nikmat saat payudaranya dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah mengeras sedari tadi, ujung payudara itu menonjol ke atas, memohon dikulum secepatnya.<br /><br />Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya sempurna itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang ditebarkan ke puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung pentil Lidya dengan ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit sampai ke puncak.<br /><br />Uaaaaaaahhhh!! Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua yang kini sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga kemampuannya, ia ternyata mampu menundukkan menantunya yang jelita dengan lidahnya yang lincah.<br /><br />Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya mengangkat payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi. Melihat istri Andi itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin bertepuk tangan. Hebat, sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!<br /><br />I ini tolong cepat desah Lidya, ia memejamkan matanya kembali dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah menjorok. Ngadi melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan. Ketika Pak Hasan mengangguk, pria tua itu memberanikan diri, bibirnya menelan pentil payudara Lidya dan menghisap-hisapnya dengan buas.<br /><br />AAAAAAAAAHHHH!!! Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan akses ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang suami tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. Ah! Ah! Auuuhhh!! Esssstt! Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap meledak di selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu menahan semua getaran nafsunya.<br /><br />Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang bugil itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi pagi. Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay Pak Ngadi, Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu yang berlipat. Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara paha Lidya, dengan lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu sambil memijit tonjolan di bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah basah.<br /><br />Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!! Lidya tersentak kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari Pak Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan yang dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.<br /><br />Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan penuh nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini terdiam dalam dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat apa-apa lagi menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia pasrah ketika Pak Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas ciuman sang penjual mainan dengan permainan lidah yang saling memilin.<br /><br />Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan menggerakkan jemarinya di selangkangan sang menantu dengan lincah. Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya sementara jari telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya sudah lupa diri, si cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak tahan, ia ingin memeknya segera ditembus sesuatu yang keras dan panjang.<br /><br />Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar, lidah si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan yang tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya berhenti, ia terus menerjang, menjilat dan melumat.<br /><br />Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis ke dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti kayu ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu si empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke samping memberi tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya mengerang dan mendesah, ia bingung sekaligus menikmati. Ia lupa pada suaminya, ia lupa pada statusnya sebagai seorang istri, ia lupa semuanya, ia hanya ingat ia sedang bermain cinta dengan dua orang lelaki tua yang perkasa yang memberinya kenikmatan tiada tara.<br /><br />Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke dalam liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu menggelinjang dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan Pak Ngadi yang belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-remas payudaranya.<br /><br />Iiiiihhh ehmmm aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!! desi Lidya berulang kala Pak Ngadi melepaskan pagutannya.<br /><br />Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang, walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini mengait pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai menggerakkan pinggul untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak maju mundur dengan pelan.<br /><br />Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya termasuk jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan tidur dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena memek Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah karena jarang bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol Andi hanya sebesar tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan dinding dalam kemaluan si cantik itu.<br /><br />Heeeeennghhhgghhh!! Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.<br /><br />Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke wajah Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi yang bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi ukuran, mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam dalam nafsu birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan kontolnya. Segera saja Lidya meraih penis hitam itu dan memasukkannya ke mulut.<br /><br />Ughhhhhoooooohhh sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi bermulut indah seperti Lidya?<br /><br />Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini. Tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara payudara yang kanan menjadi santapan tangan Pak Ngadi.<br /><br />Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak tahan sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.<br /><br />Huuuungghhhh!!! akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.<br /><br />Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah cantik Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan putih kental yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu. Lidya tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain dengan dua orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua laki-laki ini bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan pantatnya terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang, sampai hanya bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu juga telah mencapai tingkat kepuasan maksimal.<br /><br />Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti. Tak terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga mencapai ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.<br /><br />Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria tua itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air mani yang mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas dia kali ini, untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa melawan dan menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah dan bersedia dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya dari vagina Lidya diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke ranjang.<br /><br />Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong wanita secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang tak akan dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai pakaiannya dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang sederhana dengan membawa memori terindah yang pernah dirasakannya.<br /><br />Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja dirinya ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini, sampai kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti ini? Sampai kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok hari?<br /><br />Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam dalam tidurnya.<br /><br />TamatPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-51295481830599129682012-04-12T15:29:00.000-07:002012-04-12T15:29:01.639-07:00Mulusnya ibuku, nikmatnya kakakkuCerita ini adalah cerita yang benar-benar terjadi. Tapi nama-nama dalam cerita ini terpaksa kusamarkan untuk kepentingan privasiku. Sebelumnya akan saya ceritakan sedikit tentang latar belakang keluargaku. Aku (Anto), usiaku kini 23 tahun anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku Atik lima tahun lebih tua dari aku. Aku berasal dari keluarga sederhana ayahku sebagai mantri dan ibuku sebagai bidan di puskesmas yang sama. Kami tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur.<br /><br />Cerita ini bermula sekitar sepuluh tahun yang lalu dan berlangsung terus sampai saat ini. Malam itu karena hawa panas sekali aku tiba tiba terbangun aku lihat jam dinding di kamarku waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tidur sekamar dengan kakakku (satu kamar dua ranjang). Kamarku berada tepat disamping kamar ayahku, di dinding antara kamarku dan kamar ayahku ada sebuah jendela yang tak pernah dibuka lagi, kebetulan ranjang yang aku tempati ada di bawah jendela kayu tersebut. Entah kenapa pada saat itu aku iseng mengintip ke kamar Ayah.<br /><br />Ternyata malam itu Ayah dan ibuku sedang melakukan hubungan seks (aku tahu itu karena walaupun usiaku masih 13 tahun aku waktu itu sudah sering nonton BF bareng teman-teman dan sering pula onani). Untung lampu kamar Ibu tidak pernah dimatikan, jadi aku dapat melihat dengan jelas lekuk tubuh ibuku dengan jelas. Aku sangat terangsang melihat tubuh ibuku yang sedang telanjang, padahal sebelumnya aku tidak pernah terpikir untuk melihat lekuk tubuh ibuku walaupun sering ibuku berganti baju tanpa menutup pintu. Atau beraktifitas di dapur dengan rok yang minim, keluar dari kamar mandi hanya berlilit handuk. Entah setan apa yang ada dipikiranku malam itu sehingga aku sangat terangsang sekali menyaksikan Ayah dan ibuku sedang telanjang.<br /><br />Kulihat Ibu sedang menggenggam kontol ayahku dan jari-jari ayahku sedang masuk ke dalam vagina ibuku. Ibuku terlihat seksi di usianya yang ke 42 tahun kulit Ibu tampak mulus sekali walaupun agak sedikit gemuk, vaginanya tembem sekali susunya agak sedikit turun dengan pahanya yang gempal dan lipatan lemak di perut Ibu. Tak lama kemudian aku lihat Ayah berusaha memasukkan kontolnya ke vagina Ibu (aku maklum Ayah orang yang kolot jadi tak ada acara oral seks setiap kali melakukan hubungan seks). Ibuku menggoyang pantatnya seiring dengan ayahku menaik turunkan pantatnya.<br /><br />"Bu, enak sekali Bu ah.. ah.." kata ayahku sambil nafasnya ngos-ngosan.<br />"Iya Pak sampai mentok rasanya.." jawab ibuku gaya yang dipakai Ayah Ibu-ku cuma gaya konvensional, tak lama berselang pantat ayahku terlihat berkejat kejat tanda orgasme. Lalu Ayah turun dari tubuh ibuku dan pergi kekamar mandi sekarang tinggallah tubuh ibuku yang telentang melepas lelah dan tampak pejuh ayahku keluar lagi dari vagina Ibuku.<br /><br />Aku makin tak tahan maka aku mulai mengeluarkan kontolku yang sudah siap dikocok. Sedang asyik mengocok tiba tiba aku dikagetkan kakakku yang menggeliat berubah posisi tidurnya. Otak isengku kembali muncul karena melihat selimut dan daster kakakku tersingkap. Aku segera berdiri dan pelan-pelan naik keranjang Atik. Aku mengambil posisi dibelakangnya, lalu aku singkap celana pendekku kukeluarkan kontolku lalu pelan pelan aku tempelkan ke pantatnya dan aku sodok sodokkan ke pantatnya yang masih tertutup celan dalamnya. Tanganku aku taruh ke susunya, ternyata ia tidak pakai BH lalu kuremas pelan pelan.<br /><br />Tiba tiba ia terbangun aku segera diam dan pura-pura masih tidur. Perasaanku waktu itu sangat kacau antara takut dan terangsang campur jadi satu. Setelah ia menoleh ke arah ku dan menepis tanganku ia kembali tidur lagi. Aku berpikir keras apakah ia tahu apa yang sedang aku lakukan sebab aku tidak sempat menutup celanaku. Pelan pelan kembali aku mencoba goyang-goyangkan pantatku lagi dan Atik tak bereaksi aku rasa ia pura pura tidur, tangankupun kembali aktif membelai belai susunya.<br /><br />Susu kakakku agak kecil dibanding susu ibuku tapi punya kakakku lebih keras dan putingnya sangat kecil. Aku makin yakin ia pura-pura tidur karena nafasnya makin memburu. Tidak puas hanya bermain susu maka tanganku berusaha masuk celana dalamnya tanganku bergerak gerak diluarnya, terasa agak lembab dan licin rupanya ia terangsang juga. Saat aku berusaha memasukkan jariku ke dalam lubang dimemeknya tiba tiba ia berbisik.<br /><br />"Jangan Tok.." Aku kaget setengah mampus..<br />"Aku masih perawan Tok.." katanya lagi.<br />"Aku kepingin sekali Mbak" kuberanikan diri untuk menjawabnya.<br />"Sebenarnya aku juga pingin, tapi jangan dimasukin nanti aku tidak perawan lagi"<br />"Terus gimana dong?" kataku.<br />"Pakai ini.." katanya sambil menunjuk bibirnya lalu ia segera memegang kontolku dan segera memasukkan kontolku dalam mulut nya.<br /><br />Dari gerakannya sepertinya ia ahli dalam melakukan ini mungkin sudah terbiasa sama pacarnya. Aku tak mau kalah aku meraih selangkangannya dan menciumi memeknya. Tak lama kemudian tiba tiba laharku seakan mau meledak dan aku tumpahkan semuanya dalam mulut kakakku. Tak lama setelah itu di susul dengan erangan halus kakakku tanda ia orgasme juga.<br /><br />"Kamu nakal.." kata kakakku setelah memuntahkan seluruh pejuhku ke selembar tissu.<br />"Mbak cantik sih.." kataku merayu.<br />"Sudah tidur sana."<br />"Lain kali lagi ya" kataku lagi.<br />"Idih maunya?" jawabnya.<br /><br />Aku segera tertidur dengan senyum kepuasan. Keesokan harinya kulihat kakakku bersikap biasa seperti tak pernah terjadi apa apa. Tapi yang berubah justru aku, aku kini jadi semakin binal sebab aku jadi suka sekali memperhatikan lekuk tubuh ibuku dan kakakku. Hampir setiap malam aku mengintip kegiatan Ayah dan Ibu. Rupanya mereka doyan juga hampir tiap malam aku saksikan mereka melakukan itu. Pantas tiap hari ibuku pasti mandi basah. Sedangkan aku sendiri makin sering curi-curi kesempatan untuk melihat keseksian tubuh ibuku dari dekat.<br /><br />Pernah suatu saat aku memperhatikan ibuku yang sedang ganti pakaian. Dan pada saat itu aku menyadari kenapa aku sangat tergila gila pada tubuh ibuku. Tubuh ibuku sangat ideal walaupun sedikit gemuk. Ia sangat rajin merawat tubuh, ia sering luluran sehingga kulitnya putih bersih. Yang aku suka dari tubuh ibuku adalah kulitnya yang putih dan pahanya yang gempal. Ibuku memang suka teledor dan sembarangan sehingga hari-hariku selalu aku manfaatkan untuk memperhatikan kemulusan tubuh ibuku. Kalau malam aku selalu melampiaskannya pada kakakku hampir tiap malam aku melakukan dengan kakakku, walaupun kami melakukannya sampai bugil kami saling menjaga agar tidak sampai memasukkannya ke dalam memeknya.<br /><br />Pernah suatu saat kami mencoba memasukkan ke lubang pantatnya tapi tidak jadi karena sangat sakit katanya sehingga aku tidak tega meneruskan. Kakakku sangat cantik dan mulus sekali sehingga ketika melihat ia telanjang saja aku sudah sangat terangsang. Jadi hampir setiap malam aku dipuaskan oleh kakakku dengan cara oral.<br /><br />Sampai pada tahun lalu saat persiapan pernikahan kakakku. Kakakku meminta pengertian dari aku untuk segera menghentikan hubungan terlarang ini, aku setuju saja. Tapi ini cuma bertahan dua bulan. Waktu itu suami Kakak saya ke luar kota untuk suatu urusan kakakku menginap dirumah kami. Saat itu sebenarnya aku cukup kikuk dalam bersikap dengan kakakku (mengingat kami sudah berjanji). Lalu pada malam itu kami kembali tidur dalam sekamar. Kami sama-sama kikuk. Aku sangat gelisah dan tidak bisa tidur, aku perhatikan begitu juga kakakku.<br /><br />"Belum tidur Tok..??" kata kakakku.<br />"Iya nih susah banget tidurnya.." jawabku.<br /><br />Lalu tiba tiba kakakku pindah keranjangku sambil berbisik.<br /><br />"Pingin.. Ya.."<br />"Tapi kan sudah janji.."<br />"Nggak apa deh Mbak juga lagi pingin nih" katanya sambil meraih kontolku.<br /><br />Akupun tak ingin kalah segera kulucuti bajunya segera pula kuraih susunya dan aku jilati putingnya. Kini ia merosot sampai bawah perutku dan segera memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Segera aku menggenjotnya lalu ia menahan pinggulku sehingga menghentikan genjotanku.<br /><br />Lalu ia berkata, "Masukin sini aja tok.." katanya sambil menunjuk memeknya.<br /><br />Wah asyik nih.. Ini yang aku tunggu tunggu pikirku. Maka segera saja aku mengambil posisi siap tembak. Lalu pelan-pelan Mbak Atik mengarahkan kontolku ke memeknya. Aku dapat merasakan betapa sempit dan hangatnya vagina kakakku ini.<br /><br />"Pelan pelan Tok.. Agak sakit.."<br />"Soalnya punya kamu lebih gede dari punya Mas Ari.."<br /><br />Memang sih aku dapat merasakan sempit sekali dan masih berasa seperti kretek.. kretek.. Lama-lama aku goyang terus dan aku kembali bertanya.. "Enak nggak Mbak?"<br />Lalu ia menjawab, "Iya Tok sudah mulai enak lebih terasa dari punya Mas Ari.."<br /><br />Aku genjot terus sampai kira kira lima belas menit saat mau keluar tiba tiba ia berbisik.<br /><br />"Jangan di keluarin di dalem tok nanti aku hamil anakmu.."<br /><br />Maka ketika aku ingin orgasme cepat-cepat aku cabut dan aku kocok di atas perutnya sehingga pejuhku menyembur ke perut dan susunya.<br /><br />Hari itu kakakku menginap di rumahku selama seminggu jadi setiap malam aku puaskan birahiku bersama kakakku sampai pagi. Akhirnya aku bisa benar benar menikmati vagina kakakku tanpa takut perawannya rusak. Untuk menjaga supaya tidak hamil aku selalu tumpahkan pejuhku di luar dan kadang kadang dimulutnya. Berbagai macam gaya dan variasi aku praktekkan bersama kakakku tapi dengan pelan pelan taku didengar Ayah Ibu. Kakakku ini nafsunya sangat besar seperti ibuku ia maunya tiap malam pasti mengajakku untuk mengulanginya lagi.<br /><br />Sekembalinya kakakku ke rumahnya aku kembali kesepian. Sekarang hari hariku kuisi dengan mengintip ibuku yang masih tampak seksi di usianya yang kepala lima sambil onani, tapi kegiatan ini kuanggap mengasyikkan juga aku makin betah tinggal di rumah, kadang kalau siang aku melihat Ibu tidur siang dengan rok yang menyingkap ingin sekali aku meraba pahanya yang mulus tapi aku tidak berani melakukan itu. Sesudah itu aku melakukan onani di kamarku sepuas puasnya.<br /><br />Pernah suatu saat aku kepergok ibuku saat onani dan aku lupa mengunci pintu kamarku. Ibu nyelonong masuk aku cepat-cepat menutupi kontolku dengan bantal. Ibu pura pura tidak tahu dan berkata, "Ibu kira kamu keluar.. Tok"<br />Sejak saat itu aku selalu mengunci kamarku bila ingin onani. Kini aku selalu menunggu saat saat kakakku bisa menginap di rumah kami (biasanya satu bulan sekali).<br /><br />*****<br /><br />Sekian ceritaku ini salam kenal untuk semua pengunjung RumahSeks.<br /><br />TAMATPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-62352110101168100282012-04-12T15:26:00.002-07:002012-04-12T15:26:52.706-07:00Gairah ibu dan anaknya - 2Mulut liang peranakan ibunya terasa sempit sekali, tapi karena adanya lendir yang sudah keluar tadi membuatnya agak licin. Dengan mendorong pantatnya kuat-kuat, sebagian kepala penisnya berhasil masuk dijepit mulut vagina yang kelihatan rapat tersebut. Rudi merasakan agak sedikit pegal di kepala penisnya karena jepitan kuat muulut vagina. Sementara ibunya mulai memperlihatkan kesadaran dari tidurnya. Sebelum ibunya benar-benar terjaga, Rudi menekankan kuat-kuat pinggulnya ke arah selangkangan ibunya sambil merebahkan diri diatas tubuh bugil ibunya. Kemaluannya dengan cepat menerobos masuk dengan cepat ke dalam lubang yang relatif sempit itu. Bunyi "Prrtt.." nampak keras terdengar ketika penis besar Rudi menggesek permukaan liang senggama ibunya. Bu Ambar segera terjaga ketika menyadari tubuhnya terasa berat ditindih tubuh besar dan kekar anaknya. Sementara itu kemaluannya juga agak nyeri dan seperi mau robek karena dorongan paksa benda bulat panjang yang yang sangat besar. Ia merasa selangkangannya seperti terbelah oleh benda hangat dan berdenyut-denyut itu. Perutnya agak mulas karena sodokan keras benda itu. Liang peranakannya terasa mau jebol karena memuat secara paksa benda besar yang terasa sampai masuk rahimnya itu.<br /><br />Ketika didapatinya anaknya yang melakukan ini semua terperanjatlah Bu Ambar. Secar··············erusaha mendorong tubuh kekar anaknya yang mendekap erat di atas tubuhnya yang tanpa busana lagi. Kakinya menjejak-jejak kasur dan pinggulnya ia goyang-goyangkan dan hentak-hentakkan untuk melepaskan kemaluannya dari benda sebesar knalpot motor. Tapi Rudi makin merasa keenakan dengan gerakan meronta-ronta ibunya itu karena penisnya menjadi ikut terguncang-guncang di dalam liang peranakan. Ia merasakan liang itu terasa sangat hangat dan berdenyut-denyut memijit kemaluannya. Tubuh montok ibunya yang didekap erat terasa hangat dan empuk.<br /><br />"Rud apa yang kamu lakukan pada Ibu, lepaskan, lepaskan..!" teriak ibunya pelan karena takut membangunkan Mbok Inah sambil tetap menggeliat-geliatkan tubuh montoknya berusaha melepaskan diri.<br />"Bu, Rudi ingin dikelonin kayak dulu lagi," Rudi merengek sambil makin menekan tubuh polos ibunya.<br />"Rud. Ini nggak boleh Rud. Aku kan ibumu, nak," kata ibunya yang kini sudah mulai mengendurkan perlawanannya yang sia-sia.<br />Posisinya memang sudah kalah. Tubuhnya sudah ditelanjangi, didekap kuat serta kakinya mengangkang lebar sehinnga selangkangannya terkunci oleh benda besar irtu.<br />"Bu, Rudi pokoknya ingin dikelonin Ibu. Kalau nggak mau berarti Ibu nggak sayang lagi sama Rudi. Rudi mau cari pelacur saja di pinggir jalan," sahut Rudi dengan nada keras.<br />"Jangan, Rudi nggak boleh beginian dengan wanita nakal. Nanti kalau kena penyakit kotor, Ibu yang sedih," kata ibunya pelan sambil mengusap rambut Rudi perlahan.<br /><br />"Ya, sudah karena sudah terlanjur malam ini, Rudi Ibu kelonin. Tapi jangan beritahu Bapakmu, nanti ia bisa marah-marah," sambung ibunya pelan sambil tersenyum penuh kasih sayang.<br />"Jadi Rudi boleh, Bu. Terima ksih Ya, Bu. Rudi sayang sekali sama Ibu," kata Rudi sambil mengecup pipi ibunya.<br />"Iya, Ibu juga sayang sekali sama Rudi. Makanya Rudi boleh sesukanya melakukan apapun pada Ibu. Yang penting Rudi nggak mengumbar nafsu ke mana-mana. Janji, ya Rud," kata ibunya.<br />"Iya Bu, Rudi juga nggak mau sama yang lain karena nggak ada yang secantik dan sesayang Ibu," kata Rudi dengan mengendorkan dekapan kuatnya sehingga kini ibunya tidak merasa terlalu berat lagi menahan beban tubuhnya yang sudah berat itu.<br />"Tapi Rudi harus melakukannya dengan pelan. Sebab punya Rudi terlalu besar, tidak seperti biasanya yang sering Bapakmu masukkan ke dalam punya ibu," kata Bu Ambar meminta pengertian Rudi.<br />Memang postur tubuh Rudi mengikuti garis keturunan Bu Ambar, tidak seperti bapaknya yang pendek dan kecil.<br />"Sudah, sekarang punya Rudi digerakkan pelan-pelan naik-turun. Tapi pelan ya Rud!" perintah ibunya lembut pada Rudi sambil membelai-belai rambut anaknya penuh kasih sayang.<br /><br />Kini Rudi mulai menggerak-gerakkan penisnya naik-turun perlahan di dalam liang sempit yang hangat itu. Liang itu berdenyut-denyut, seperti mau melumat kemaluannya. Rasanya nikmat sekali. Kini mulutnya ia dekatkan ke mulut ibunya. Mereka pun berciuman mesra sekali, saling menggigit bibir, berukar ludah dan mempermainkan lidah di dalam mulut yang lain. Tangan Rudi mulai menggerayangi payudara putih mulus yang sudah mengeras bertambah liat itu. Diremas-remasnya perlahan, sambil sesekali dipiojit-pijitnya bagian puting susu tang sudah mencuat ke atas. Tangan Bu Ambar membelai-belai kepala anaknya dengan lembut. Pinggulnya yang besar ia goyang-goyangkan agar anaknya merasakan kenikmatan di dalam selangkangannya. Sementara vaginanya mulai berlendir lagi dan gesekan alat kelamin ibu dan anak itu menimbulkan bunyi yang seret-seret basah. "Prrtt.. prrtt.. prrtt.. ssrrtt.. srrtt.. srrtt.. pprtt.. prrtt.."<br /><br />Penis besar anaknya memang terasa sekali, membuat kemaluannya seperti mau robek. Vaginanya menjadi membengkak besar kemerah-merahan seperti baru melahirkan. Membuat syaraf-syaraf di dalam liang senggamanya menjadi sangat sensirif terhadap sodokan kepala penis anaknya. Sodokan kepala penis itu terasa mau membelah bagian selangkangannya. Belum lagi urat-urat besar seperti cacing yang menonjol di sekeliling batang kemaluan anaknya membuat Bu Ambar merasakan nikmat. Meski agak pegal dan nyeri tapi rasa enak di kemaluannya lebih besar. Ia merasakan seperti saat malam pertama. Agak sakit tapi enak. Lendirnya kini makin banyak keluar membanjiri kemaluannya, karena rangsangan hebat pada Bu Ambar. Ketika Rudi membenamkan seluruh batang kemaluannya, Bu Ambar merasakan seperti benda besar dan hangat berdenyut-denyut itu masuk ke rahimnya. Perutnya kini sudah bisa menyesuaikan diri tidak mulas lagi ketika saat pertama tadi anaknya menyodok-nyodokkan penisnya dengan keras.<br /><br />Bu Ambar kini mulai menuju puncak orgasme. Vaginanya mulai menjepit-jepit dengan kuat penis anaknya. Kakinya diangkatnya menjepit kuat pinggang anaknya dan tangannya menjambak-jambak rambur Aanaknya. Dengan beberapa hentakan keras pinggulnya, muncratlah air maninya dalam lubang kemaluannya menyiram dan mengguyur kemaluan anaknya. Setelah itu Bu Ambar terkulai lemas di bawah tubuh berat anaknya. Kakinya mengangkang lebar lagi pasrah menerima tusukan-tusukan kemaluan Rudi yang semakin cepat. Tangannya menelentang, memperlihatkan bulu ketiaknya yang tumbuh subur lebat dan panjang. Mengetahui hal itu Rudi melepaskan kulumannya pada mulut ibunya agar ia bisa bernafas lega. Bu Ambar tampak terengah-engah seperti baru lari maraton. "Ibu sudah tua, Rud. Nggak kayak dulu lagi bisa tahan sampai lama. Tenaga dan kondisi fisik Ibu tidak sekuat dulu lagi. Jadi, Ibu tidak bisa mengimbangi kamu," bisik ibunya sambil mengatur napas. Keringat Bu Ambar nampak bercucuran dari sekujur tubuhnya membuat hawa semakin hangat.<br /><br />Tanpa merasa lelah Rudi terus memacu penisnya dan sesekali menggoyang-goyangkan pinggulnya. Sepertinya ia ingin mengorek-ngorek setiap sudut jalan bayi yang dulu dilaluinya. Suara bunyi becek makin keras terdengar karena liang itu kini sudah dibanjiri lendir kental yang membuatnya agak lebih licin. Bu Ambar mulai merasakan pegal lagi di kemaluannya karena gerakan anaknya yang bertambah liar dan kasar. Tubuhnya ikut terguncang-guncang ketika Rudi menghentak-hentakkan pinggulnya dengan keras dan cepat. "Plok.. plokk.. ploll.. plookk.. crrpp.. crrpp.. crrpp.. srrpp.. srrpp.." Bunyi keras terdengar dari persenggamaan ibu anak itu. "Rud pelan, Rud..!" desis ibunya sambil meringis kesakitan. Kemaluannya terasa nyeri dan pinggulnya pegal karena agresivitas anaknya yang seperti kuda liar. Rudi yang merasakan dalam selangkangannya mulai terkumpul "bom" yang mau meledak tidak menyadari ibunya sudah kewalahan, malahan terus mempercepat gerakannya.<br /><br />Bu Ambar hanya bisa pasrah membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Ia tidak ingin mengganggu kesenangan anaknya. Baginya yang lebih penting hanyalah bisa memberikan tempat penyaluran kebutuhan biologis yang aman dan nyaman untuk anak yang disayanginya. Kakinya menjejak-jejak kasur dan pinggulnya yang besar disentak-sentakkannya perlahan untuk mengimbangi rasa nyeri dan pegal. Napasnya mendesah-desah seperti orang kepanasan habis makan cabai dan tangannya menjambak rambut anaknya. Kini Rudi sudah mencapai orgasme. Dipagutnya leher jenjang ibunya dan ditekankannya badannya kuat-kuat sambil menghentakkan pinggulnya keras berkali-kali membuat tubuh ibunya ikut terdorong. Muncratlah air mani dari penisnya mengguyur rahim dan kemaluan ibunya. Karena banyaknya sampai-sampai ada yang keluar membasahi permukaan sprei.<br /><br />Sementara Bu Ambar merasakan tulang-tulang di daerah pinggulnya seperti rontok, karena sodokan bertenaga dari anaknya. Tapi ia bahagia karena anaknya bisa mendapatkan kepuasan dari tubuhnya yang sebenarnya sudah tua. Rudi akhirnya terbujur lemas di atas tubuh ibunya dengan keringat bercucuran membasahi tubuh keduanya. Dikecupnya lembut bibir ibunya. "Bu, terima kasih, yaa. Rudi sayang sekali dengan Ibu," bisik Rudi terengah-engah mengatur napasnya kembali. "Ibu juga, sayang," desah Bu Ambar pelan sambil membelai rambut anak semata wayangnya.<br /><br />TAMATPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-66960730950194430312012-04-12T15:25:00.002-07:002012-04-12T15:25:55.688-07:00Gairah ibu dan anaknya - 1Ibu Ambar berusia 47 tahun, pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan asuransi di kota Jakarta. Penampilannya sangat menarik. Wajah ayu karena ia adalah seorang peranakan Arab-Sunda-Jawa. Postur tubuhnya tinggi, montok dan berisi. Payudaranya besar, mengkal, meski agak turun menyerupai buah kelapa. Pinggangnya ramping dan makin ke bawah pinggulnya membesar seperti gentong besar. Bokongnya bulat, besar, dan kencang mendongak seperti bebek yang megal-megol bila ia berjalan. Kakinya panjang indah menyerupai kaki belalang. Betis halus mulus berbentuk bulir padi yang berisi ditumbuhi bulu-bulu halus yang kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Pahanya makin ke atas makin membesar dan bulu halus itupun makin ke atas makin jelas menghiasinya. Gerak-geriknya lembut keibuan dan tenang penuh kematangan. Suaranya merdu agak mendesah dan menggairahkan.<br /><br />Suaminya bernama Pak Widyo, berumur 53 tahun dan bekerja di perusahaan minyak asing. Dari perkawinan mereka, dikaruniai 3 orang anak. Dua orang anaknya meninggal karena kecelakaan mobil sewaktu mereka kecil, sedangkan yang masih hidup cuma Rudi yang sudah berusia 18 tahun dan duduk di bangku SMU. Keinginan untuk memiliki anak sudah tidak memungkinkan lagi karena rahim Bu Ambar sudah diangkat karena adanya gejala kanker rahim. Karenanya perhatian mereka terhadap Rudi sangatlah berlebihan. Sejak kecil mereka selalu memanjakan Rudi dan memenuhi semua permintaannya apapun itu. Bila Rudi masuk angin sedikit saja mereka akan dibuatnya kalang kabut.<br /><br />Kejadian diawali ketika Pak Widyo tugas meninjau ladang minyak baru di lepas pantai. Di rumah cuma ditunggui oleh Bu Ambar, Rudi dan seorang pembantu setengah baya Mbok Inah namanya. Seperti biasa, pada malam hari Rudi sedang belajar untuk menghadapi Ebtanas minggu depan. Ia tengah sibuk berkutat dengan soal-soal latihan ketika ibunya datang membawa makanan kecil untuknya sambil menenteng majalah.<br /><br />"Rud, ini ada oleh-oleh dari Bogor tadi siang untuk menemani kamu belajar," kata ibunya sambil meletakkannya di atas meja belajar Rudi.<br />"Kapan Ibu datang, kok suara mobilnya tidak kedengaran," tanya Rudi sambil tetap memelototi soal-soal sulit di depannya.<br />"Baru saja Rud, ini ibu sudah pakai baju mandi mau mandi," jawab ibunya.<br />"Sambil menunggu air panasnya Ibu mau membaca majalah dulu di kamarmu," sambung ibunya sambil merebahkan diri di ranjang yang membelakangi meja belajar Rudi.<br />"Ya, boleh saja tapi jangan sampai ketiduran nanti malah nggak jadi mandi," timpal Rudi.<br /><br />Singkat cerita Rudi kemudian berkonsentrasi lagi dengan belajarnya. Akhirnya setelah hampir 1 jam ia merasakan matanya mulai lelah, ia memutuskan untuk tidur saja. Sewaktu Rudi beranjak dari kursinya dan membalikkan badannya, tatapannya terpaku pada sosok tubuh montok yang teronggok di atas ranjangnya. Rupanya karena terlalu kelelahan, ibunya ketiduran. Posisi tidurnya tidak karuan. Tangannya telentang sementara kakinya mengangkang lebar seperti orang yang sedang melahirkan. Baju mandi ibunya yang panjangnya selutut nampak tersingkap sehingga paha putih mulus ibunya bisa terlihat jelas. Rudi bingung, apakah harus membangunkan ibunya atau menikmati pemandangan indah dan langka ini dulu. Sebelumnya ia tidak pernah berpikiran kotor terhadap ibunya sendiri tapi entah kenapa dan setan mana yang merasuki dirinya sehingga ia merasakan rangsangan ketika melihat paha ibunya yang tersingkap.<br /><br />Perlahan didekatinya tepian ranjang dengan hati berdebar-debar. Diperhatikan dengan seksama tubuh ibunya yang montok dan wajahnya yang ayu keibuan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Rudi menyadari ternyata ibunya sangat cantik dan menggairahkan. Kemudian dengan tangan gemetaran diberanikannya dirinya mengelus-elus kaki ibunyna sampai ke paha. Begitu halus, lembut dan hangat kulit ibunya ia rasakan. Ketika menyentuh paha yang ditumbuhi bulu-bulu halus, Rudi merasakan kehangatan yang makin terasa mengalir ke telapak tangannya. Kemaluannya menjadi menegang keras dan membuat celananya terasa sesak dan ketat. Jantungnya makin berdegup kencang ketika ia meneruskan belaian tangannya makin jauh ke arah pangkal kaki yang masih tertutupi baju mandi ibunya. Kulit tangannya merasakan hawa yang makin hangat dan lembab ketika tangannya makin jauh menggerayangi pangkal kaki ibunya yang bak belalang itu. Gerakannya terhenti ketika ia merasa telah meraba bulu-bulu halus yang lebat sekali dan menyentuh gundukan daging yang begitu lunak dan hangat. Beberapa saat ia meraba-raba gundukan daging lunak hangat itu.<br /><br />Akhirnya dengan rasa penasaran ia singkapkan baju mandi ibunya ke atas. Sehingga kini di depan matanya teronggok bagian selangkangan dan pinggul ibunya yang besar dan montok. Bulu-bulu halus yang sangat lebat nampak tumbuh di sekitar anus, kemaluan sampai perut bagian bawah. Begitu panjang-panjang dan lebatnya bulu kemaluan ibunya sampai kemaluan ibunya agak tertutupi. Kemudian dengan tangannya ia sibakkan bulu-bulu kemaluan di sekitar kemaluan ibunya. Sehingga kini kemaluan ibunya nampak jelas terlihat. Gundukan daging yang memanjang membujur di selangkangan kelihatan empuk dan menggunung berwarna agak kegelapan. Bila diperhatikan bentuknya mirip mulut monster berkerut-kerut. Ini pasti yang namanya labium mayora (bibir besar) seperti dalam atlas anatomi, batin Rudi. Dari celah atas bibir monster yang besarnya setempurung kelapa itu tampak menonjol keluara bulatan daging sebesar kacang tanah yang berwarna kemerah-merahan. Kalau yang ini pasti yang namanya kelentit, pikir Rudi lagi sambil mengusap-usap tonjolan liat itu.<br /><br />Kemudian jarinya ia gerakkan ke bawah menyentuh lipat-lipat daging yang memanjang yang mirip daging pada kantong buah pelir laki-laki. Wah, ternyata labium minora Ibu sudah memble begini, pasti karena terlalu sering dipakai Bapak dan untuk melahirkan, batin Rudi. Hidungnya lalu disorongkan ke muka kemaluan sebesar mangkok bakso itu. Sambil membelai-belai bebuluan yang mengitari kemaluan ibunya itu, Rudi menghirup-hirup aroma harum khas kemaluan yang menyengat dari kemaluan ibunya itu. Tak puas dengan itu, ia meneruskan dengan jilatan keseluruh sudut selangkangan ibunya. Sehingga kini kemaluan di hadapannya basah kuyup oleh air liurnya. Dijulurkannya panjang-panjang lidahnya ke arah klitorisk dan menggelitik bagian itu dengan ujung lidahnya. Sementara tangan satunya berusaha melepaskan ikatan tali baju mandi, dan setelah lepas menyingkapkan baju itu sehingga kini tubuh montok ibunya lebih terbuka lagi. Muka Rudi sampai terbenam seluruhnya dalam kemaluan ibunya yang sangat besar itu, ketika dengan gemas ia menempelkan mukanya ke permukaan kemaluan ibunya agar lidahnya bisa memasuki celah bibir monster itu. Usahanya tidak berhasil karena bibir itu terlalu tebal menggunung sehingga ujung lidahnya hanya bisa menyapu sedikit ke dalam saja dari celah bibir monster itu. Ia merasakan gundukan daging itu sangat empuk, hangat dan agak lembab.<br /><br />Sementara itu Bu Ambar masih tetap lelap dalam mimpinya dan tidak menyadari sedikitpun apa yang dilakukan anak yang sangat disayanginya terhadap dirinya. Tampaknya ia benar-benar kelelahan setelah seharian tadi pergi keluar kota menghadiri resepsi pernikahan kerabat jauhnya. Dengkurannya malah makin keras terdengar. Sambil tetap membenamkan mukanya ke kemaluan besar itu, Rudi meraih payudara ibunya yang sebesar buah kelapa dengan tangannya. Diremas-remasnya perlahan payudara mengkal yang putih mulus itu. Rasanya hangat dan kenyal. Lalu tangannya berpindah di sekitar puting susu gelap kemerahan yang dilingkari bagian berwarna samar yang berdiameter lebar. Ketika tangannya memijit-mijit puting susu itu dengan lembut, ia merasakan payudara ibunya bertambah kencang terutama di bagian puting tersebut. Denyutan-denyutan di celah kemaluan ibunya juga terasa oleh bibirnya. Sementara itu dalam tidurnya ibunya terlihat bernapas dengan berat dan mengerang perlahan seperti orang yang sedang sesak napas.<br /><br />Melihat ekspresi muka ibunya yang seperti orang sedang orgasme dalam film-film porno yang pernah ditontonnya, Rudi makin gemas. Sehingga sambil lidahnya menggelitik klitoris ibunya, ia menusuk-nusukkan jari tangannya ke dalam celah kemaluan itu. Makin ke dalam rasanya makin hangat, lembab dan lunak. Ada pijitan-pijitan lembut dari lubang vagina ibunya yang membuat jari tangannya seperti dijepit-jepit. Makin lama lubang itu makin basah oleh cairan bening yang agak lengket, sehingga ketika jari tangannya ditarik terlihat basah kuyup. Ibunya kini makin keras mengerang dan terengah-engah dalam tidurnya. Rupanya ia merasakan kenikmatan dalam mimpi, ketika kemaluan dan payudaranya dijadikan barang mainan oleh anaknya. Pinggulnya mulai menggeliat-geliat dan kakinya ikut menendang-nendang kasur.<br /><br />Melihat tingkah ibunya yang sangat menggoda itu, Rudi tanpa banyak berpikir lagi segera melepaskan kaos dan celananya. Sehingga kini ia berdiri di depan tubuh bugil ibunya dengan keadaan bugil pula. Badannya terlihat besar dan kekar serta penisnya mencuat kokoh dan besar ke atas. Urat-urat penis itu tampak beronjolan seperti ukiran yang mengelilingi penisnya yang berukuran panjang 20 cm dan diamerer batang 5 cm. Kepala penisnya yang sebesar bola tenis terlihat kemerah-merahan dan mengangguk-angguk seperti terlalu besar untuk dapat disangga oleh batang kemaluannya. Ia ingin menusukkan batang penisnya ke dalam kemaluan ibunya, tapi ia ragu-ragu apakah lubangnya tadi cukup. Ia kini membandingkan ujung penisnya dengan kemaluan ibunya yang sebesar mangkuk bakso. Sepertinya bisa jika dipaksakan, pikirnya kemudian. Lalu ia naik ke atas ranjang dan menekuk kakinya di antara kangkangan lebar kaki ibunya. Ditempelkannya ujung penisnya ke celah mulut "monster" yang hangat dan lunak itu. Dengan diarahkan satu tangannya ia berusaha menusukkankan penisnya ke mulut vagina yang berwarna kemerahan setelah sebelumnya celah bibir itu dikuakkan lebar-lebar dengan tangan satunya lagi.<br /><br />Bersambung...Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-59479626531524100422012-03-31T16:12:00.001-07:002012-03-31T16:12:40.713-07:00Hilangnya MahkotakuOrang boleh menilai apa saja tentang diriku, terutama para pembaca cerita dewasa seru wiro sableng, bagiku itu tidak masalah, karena memang kenyataan itulah yang pernah kualami selama ini. Kurasa banyak juga wanita di muka bumi ini, yang sebenarnya juga punya banyak petualangan sex, namun belum ada yang berani mengungkapkannya.<br /><br />Kenapa mesti takut dan malu? Itu semua hak kita, memangnya hanya laki-laki saja yang punya hasrat dan libido? Wanita juga punya, hanya mereka biasanya malu dan takut mengungkapkannya, apa lagi untuk menyalurkannya. Lain halnya denganku, apa yang kumau kujalani saja apa adanya, yang penting aku belum mau ada ikatan.<br /><br />Banyak juga yang mengatakan kalau hubungan antar suami istri pasti lebih nikmat, karena ada dasar saling mencintai, siapa bilang? Banyak juga kaum istri yang merasa tidak puas dan tidak mengalami orgasme karena sang suami melakukannya dengan cepat tanpa foreplay dan tidak peduli apakah lawan mainnya sudah puas atau belum, yang penting dirinya sudah orgasme. Akibatnya apa yang dilakukan sang istri? Mau nyeleweng juga takut, mau masturbasi malu, walau terkadang ada juga yang sembunyi-sembunyi melakukan masturbasi, Hi.. hi.. hii..! Kacian deh loe!<br /><br />Kali ini akan kuceritakan pengalaman pertamaku melakukan hubungan sex atau make love (ML) yang sebenarnya. Ini kulakukan saat aku memasuki bangku kuliah di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Aku memang kuliah di sana mengambil jurusan kedokteran hewan. Di antara teman cowokku saat itu, yang paling akrab denganku adalah Charles, anaknya cukup ganteng dan pandai.<br /><br />Namun sayangnya Charles akhirnya tidak meneruskan kuliahnya karena dia merasa patah hati denganku (bukan GR lho!). Charles memang merupakan cowok yang pertama kali merasakan mahkota kegadisanku, kulakukan semua itu dengan suka rela tanpa ada tuntutan.<br /><br />Kuanggap saat itu kami memang saling suka sama suka dan saling membutuhkan, bukan berarti itu sebagai suatu ikatan yang mana aku harus bersedia menjadi istri Charles kelak. Hal inilah yang membuat Charles akhirnya harus terpukul dan patah hati, karena setelah kupersembahkan mahkota kegadisanku, Charles merasa harus bertanggung jawab dan akan menikahiku. Sedangkan aku tidak ingin mendapat ikatan apa-apa, maka akhirnya Charles patah hati dan berhenti kuliah, sejak saat itu aku juga tidak tahu dia ada dimana, kalau seandainya saat ini di manapun Charles berada dan sedang membaca kisahku ini, aku mohon maaf, bukannya aku bermaksud menyakiti hatinya, tapi begitulah aku, Natalia yang masih tetap seperti yang dulu.<br /><br />Sejak awal perkenalanku dengan Charles, kami memang telah merasa saling cocok satu sama lain. Banyak hal yang kami selalu lakukan dan lalui bersama, entah bagaimana perasaan Charles padaku saat itu, namun aku menganggap Charles tak lebih sebagai seorang teman yang akrab dan enak diajak berbincang maupun bergaul, atau mungkin sebagai kakak yang bisa diajak curhat misalnya.<br /><br />Hubungan kami makin hari makin dekat dan akrab, kami juga mengawali dengan saling berciuman, berpelukan sambil terkadang saling raba dan saling remas, tentunya di tempat-tempat sepi yang memungkinkan. Belakangan kami juga sering melakukan petting atau oral sex.<br /><br />Kalau yang satu ini kami lakukan terkadang di rumahku saat tidak ada siapa-siapa, terkadang juga di tempat kost Charles, atau di losmen-losmen murah dengan membayar patungan, maklum Charles bukan asli anak Surabaya, kedua orang tuanya asli dan tinggal di Medan sana.<br /><br />Kami gapai kepuasan itu melalui hubungan oral sex, kami saling cium, saling lumat dan saling cumbu. Tangan-tangan kami saling meraba dan mengelus daerah sensitif kami masing-masing, hingga pada puncaknya kami saling jilat dengan posisi 69. Kepala Charles membenam di selangkanganku, mengoral vaginaku dan menjilati klitorisku.<br /><br />Sebaliknya aku juga sibuk mengocok batang kemaluan Charles sambil mulutku mengulum kepala batang kemaluannya, kujilat biji pelirnya hingga ke bagian kepala batang kemaluannya. Awalnya aku tidak mengizinkan sperma Charles tumpah keluar di mulutku, namun akhir-akhirnya sering kali kubiarkan spermanya menyembur di dalam mulutku.<br /><br />Bahkan beberapa kali sperma itu yang awalnya tidak sengaja tertelan menjadi sengaja kutelan sampai habis. Memang awalnya aku merasa jijik dan hampir mau muntah rasanya, apa lagi kalau semburan spermanya muncrat dengan keras hingga langsung menyumbat kerongkonganku.<br /><br />Memang pengalaman adalah guru yang terbaik, akhirnya aku pun terbiasa dan boleh dibilang piawai dalam melakukan oral sex sampai lawan mainku orgasme, dan spermanya menyembur keluar di mulutku, kemudian langsung kutelan habis sampai bersih kembali.<br /><br />Hal yang sama justru sudah dilakukan Charles sejak dari awal kami melakukan hubungan oral sex, dan Charles pula yang mengawali mengoral vaginaku, jauh hari sebelum aku berani dan mau melakukan oral sex pada dirinya. Charles selalu tidak membiarkan cairan hangat yang keluar dari dalam liang vaginaku, tumpah begitu saja membasahi sprei tempat tidur yang kami pakai.<br /><br />Charles selalu menjilat dan menelas habis semua cairan beningku saat aku mengalami orgasme saat dioralnya, soal kenikmatan yang kualami saat itu, sungguh sangat sulit kulukiskan dengan kata-kata, karena rasanya tidak ada kata atau kalimat yang dapat mengartikan bagaimana nikmatnya saat orgasme itu.<br /><br />Suatu siang yang tanggal dan harinya aku sudah lupa, aku dan Charles pulang kuliah agak siang karena memang tidak ada kegiatan di kampus. Kuajak Charles mampir ke rumahku seperti biasanya, dan waktu itu di rumahku juga sedang tidak ada siapa-siapa, kedua orang tuaku sibuk dengan urusannya masing-masing, sedang adikku ada yang masih kuliah dan yang kecil juga belum pulang dari sekolahnya.<br /><br />Suasana dan kondisi rumahku yang kosong dan sepi memungkinkan Charles untuk bebas mencumbuku, Charles mengawalinya dengan mencium lembut bibirku yang tipis dan mungil. Kami saling berciuman dan berpagutan, bibir kami saling mengulum, dan tangan kami saling meraba dan meremas daerah-daerah yang sensitif.<br /><br />Cukup lama kami bergumul di tempat tidurku, sampai akhirnya kami saling menanggalkan busana kami masing-masing, seperti biasanya saat kami melakukan oral sex. Lalu kami sudah telanjang bulat tanpa sehelai pun benang yang menutupi tubuh kami.<br /><br />Dan cumbuan dan ciuman tadi sudah berubah menjadi jilatan yang kami lakukan, kami saling menjilati hingga mencapai posisi favorit kami yaitu 69. Ternyata aku lebih dahulu mengalami orgasme saat melakukan oral sex kali ini, aku benar-benar hanyut dan terobsesi dengan permainan lidah Charles yang menyapu rata setiap bagian vaginaku.<br /><br />Terus terang aku paling tidak tahan saat klitorisku dijilat apa lagi dikulum-kulum. Biasanya darahku seakan serentak secara bersamaan mengalir ke atas kepalaku dan berkumpul di ubun-ubun kepalaku, kalau sudah demikian bendungan pertahananku jebol diterjang badai dan gelombang birahiku yang dahsyat.<br /><br />Namun kali ini rupanya Charles lebih lama bertahan daripada biasanya, memang tidak biasanya Charles mampu mempertahankan orgasmenya sebegitu lama saat kukulum batang kemaluannya. Kali ini rupanya lain, dan karena orgasmenya tak kunjung tiba, Charles mengubah posisinya dengan menindih tubuhku dengan posisi kami saling berhadap-hadapan.<br /><br />Charles kembali mencium dan melumat bibirku, masih terasa sisi bekas lendirku yang menempel di mulut Charles, rasanya sedikit asin dengan aroma yang khas sekali, karena aku juga pernah menjilati jari-jariku setelah melakukan masturbasi, saat itu jari-jariku juga dipenuhi oleh cairan kenikmatan sisa orgasmeku.<br /><br />Sambil menciumku, Charles memegang batang kemaluannya dan menggosok-gosokkan ujung kepala batang kemaluannya di antara celah belahan bibir vaginaku, aku merasakan geli yang bercampur kenikmatan, ada rangsangan tersendiri yang kurasakan saat itu, sehingga membuat liang vaginaku kembali basah dibanjiri oleh cairan birahi yang mengalir dari dalam rahimku.<br /><br />Charles mulai menusuk-nusukkan ujung kepala batang kemaluannya di celah liang vaginaku, desakan batang kemaluannya terasa agak sakit saat memasuki terlalu dalam ke liang vaginaku, hingga terkadang aku sedikit tersedak dan mengaduh, namun lama kelamaan aku juga menjadi tidak tahan dengan perlakuan seperti itu, ingin rasanya aku merasakan batang kemaluan Charles dimasukkan lebih dalam lagi ke liang vaginaku.<br /><br />Charles sepertinya juga tahu apa yang kumau, ia mulai menggosokkan batang kemaluannya masuk lebih dalam lagi ke liang vaginaku. Aku kembali merasakan sakit di dalam liang vaginaku yang memang belum pernah dimasuki benda apa pun, kali ini ada sedikit rasa perih dari dalamnya.<br /><br />Charles rupanya juga mengerti akan hal itu, dan ia tidak melanjutkannya dengan gegabah, sambil sesekali meneruskan dorongannya agar batang kemaluannya masuk lebih dalam lagi, Charles juga memberikan aku waktu luang untuk menarik nafas menahan rasa sakit dan perih yang bercampur nikmat di vaginaku.<br /><br />Akhirnya setengah dari batang kemaluan Charles berhasil menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku, dan Charles mulai memompanya pelan-pelan sambil terus melakukan tekanan hingga batang kemaluannya benar-benar dapat masuk secara utuh di dalam kemaluanku.<br /><br />Rasa sakit dan perih yang kualami juga makin lama makin hilang berganti dengan rasa nikmat yang selama ini belum pernah kualami. Charles makin mempercepat pompaannya, batang kemaluannya digenjot keluar masuk di liang vaginaku, yang makin becek oleh lendir yang tak terbendung, keluar dari dalam rahimku.<br /><br />"Oo.. Ooh! Aduu.. Uuh!"<br /><br />Aku hanya bisa menyeracau tidak karuan, tanganku berusaha meraih apa saja yang ada di sekitarku, dan kain sprei tempat tidurku yang menjadi sasaran jambakan tanganku, kuremas kain spreiku hingga tempat tidurku makin acak-acakan. Tubuhku sedikit bergetar, kurasakan ada sesuatu yang aneh di dalam liang vaginaku, aku sepertinya sedang kencing namun bukan air seniku yang mengalir keluar, namun kutahu itu adalah semburan pelumasku, yang kembali membasahi liang vaginaku.<br /><br />Vaginaku mengedut kuat meremas batang kemaluan Charles yang masih asyik terus memompa liang vaginaku, kedutan vaginaku itu akhirnya juga membuat pertahanan Charles ikut jebol juga. Dapat kurasakan semburan dahsyat di dalam liang vaginaku saat Charles melepaskan orgasmenya.<br /><br />Cukup lama kami berpelukan sambil posisi batang kemaluan Charles masih tertancap di dalam liang vaginaku, kurasakan batang kemaluan Charles pelan-pelan kembali mengecil seukuran normal di dalam liang vaginaku. Cairan birahi kami berdua yang bercampur di dalam liang vaginaku merembes keluar melalui celah lipatan bibir vaginaku, belakangan baru kutahu diantara rembesan tersebut ada bercak merah yang membasahi sprei tempat tidurku.<br /><br />Selamat tinggal mahkotaku, demikian bisikku dalam hati sambil mencium bibir Charles, orang pertama yang memberikan kepuasan sejati padaku.<br /><br />THE ENDPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-6221805965983807382012-03-31T16:02:00.000-07:002012-03-31T16:02:36.331-07:00Riri, si Gadis Tukang SampahTidak mau ambil pusing, Riri tidak memikirkan tantangan yang diberikan Lina. Riri benar-benar malas dengan liburan beda yang diusulkan Intan. Meski Riri tahu kalau Lina, Moniq, dan Intan sudah mendapatkan ‘tantangan’ pada liburannya, Riri sama sekali tak berniat mencari pekerjaan kasar yang akan dicobanya.<br />Riri pergi makan ke sebuah restoran sendirian saja. Bukan restoran sebenarnya, hanya merupakan sebuah rumah makan saja. Kebetulan Riri datang di saat jam makan siang sehingga rumah makan itu cukup ramai. Kebanyakan orang-orang berpakaian rapih dan berdasi yang makan di restoran itu. Meski di sekitarnya banyak pegawai kantoran yang berpakaian rapih, Riri santai saja makan sendirian dengan kaos dan celana jeans pendek sampai lutut, dan memakai sandal. Riri memang orang yang tak ambil pusing dengan pandangan orang, lo lo gue gue, prinsip hidup Riri. Tapi, meskipun Riri orangnya cuek, sebenarnya dia orang yang mudah merasa iba, dan jika sudah cocok dengan seseorang, sikap Riri berubah menjadi ramah dan hangat ke orang tersebut.<br /><br /><br />“hai”, sapa seorang bapak-bapak.<br /><br /><br />“…”.<br /><br /><br />“boleh gabung ? tempatnya penuh semua..”.<br /><br /><br />“yaudah..”, jawab Riri singkat.<br /><br /><br />“makasih ya cantik…”, pria itu tersenyum licik. Riri pun meneruskan makan.<br /><br /><br />“nama kamu siapa ?”.<br /><br /><br />“Riri…”, jawab Riri tanpa menyalami tangan pria itu.<br /><br /><br />“kalo Om..Tio…”.<br /><br /><br />“kok kamu makan sendirian aja ?”.<br /><br /><br />“maaf ya, Pak !! saya bukan jablay !!!”, ucap Riri kencang sambil berdiri dan menggebrak meja.<br /><br /><br />Otomatis yang lain pun melihat Riri. Riri berjalan meninggalkan Om yang tertunduk dan salah tingkah karena malu. Sementara Riri berjalan keluar rumah makan sambil tersenyum, puas mengerjai Om nakal itu. Riri mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumah, rumah milik Riri sendiri. Sebenarnya, keluarga Riri sudah pindah semua ke luar negeri, hanya Riri yang masih tinggal. Riri tidak mau pindah ke luar negeri karena tidak suka dengan ibu tirinya yang mengajak ayah dan adiknya tinggal di luar negeri. Ayah Riri pun tidak bisa berbuat banyak karena Riri memang keras kepala.<br /><br /><br />Setiap bulan, ayahnya mengirimi banyak uang ke rekening Riri untuk biaya hidup Riri.<br /><br /><br />“eh non Riri udah pulang..”.<br /><br /><br />“iyaa mbok…Riri mau istirahat ya mbok…”.<br /><br /><br />“iyaa, non…”. Hanya Mbok Ratih saja yang menemani Riri sehari-hari. Tapi, Mbok Ratih pulang pergi, tak tinggal bersama Riri.<br /><br /><br />“non..non Riri…”, Mbok Ratih menggoyang-goyang tubuh Riri pelan.<br /><br /><br />“em..i..iya..ada apa ?”, jawab Riri setengah sadar.<br /><br /><br />“non Riri..Mbok Ratih pulang dulu ya..udah malem..”.<br /><br /><br />“oh iyaa, Mbok…hooahhmm..”, ujar Riri sambil mengucek-ngucek matanya. Riri pun turun dari ranjang dan mengikuti Mbok Ratih sampai ke pintu depan. Riri mengunci pintu depan setelah Mbok Ratih pulang seperti biasanya.<br /><br /><br />“haah..nggak ada temen buat keluar..”, ujar Riri.<br /><br /><br />Biasanya, malam hari Riri sering jalan-jalan bersama 3 sahabatnya atau setidaknya main ke rumah mereka, tapi karena Intan, Lina, dan Moniq sudah memulai liburan mereka, Riri jadi bingung harus kemana. Meski punya teman yang lain selain 3 sahabatnya, Riri hanya nyaman bersama 3 temannya. Riri pergi ke mandi, menyegarkan tubuhnya sekalian mengganti pakaiannya. Riri akhirnya memutuskan untuk menonton film dengan dvd playernya saja. Mungkin sampai 2 film yang dia tonton sebelum akhirnya mengantuk dan tidur lagi.<br /><br /><br />“hoaammm…nymmm…”, Riri menguap dan ngulet sehabis bangun tidur. Gara-gara terlalu cepat tidur, Riri jadi terlalu pagi bangunnya. Baru jam setengah 6 pagi, Riri mengganti pakaiannya, dia berniat untuk lari pagi di taman dekat rumahnya. Riri mulai berlari-lari kecil menuju taman yang ada di dekat rumahnya.<br /><br /><br />“suit-suit…neng, mau lari pagi yaa ?”, goda seorang om-om.<br /><br /><br />“lari pagi bareng om aja, gimana ?”, pria itu pun berlari-lari kecil mengikuti Riri. Riri tidak menjawab, dia hanya mempercepat larinya. Mau tak mau, pria itu harus mempercepat lajunya juga. Riri yang terbiasa lari pagi sama sekali tak berasa, sedangkan pria yang gendut itu sudah ngos-ngos dan berhenti mengejar Riri. Riri hanya menengok ke belakan dan tersenyum mengejek ke pria itu.<br /><br /><br />Dasar bandot gembrot, sok-sokan ngegodain, lari dikit aja langsung ngos-ngosan, komentar Riri. Matahari semakin tinggi, pagi pun semakin cerah.<br /><br /><br />“hufh hufh hufh”, Riri berusaha mengatur nafasnya sambil sesekali melap keringat dari wajahnya dengan handuk kecilnya. Hampir 1 1/2 jam Riri lari pagi tanpa beristirahat, paling-paling dia hanya memperlambat larinya sambil mengelap keringatnya yang bercucuran. Riri pun menuju warung untuk membeli minuman.<br /><br /><br />“segeerr…”. Riri melihat ada seorang bapak-bapak sedang mengaduk-aduk bak sampah yang ada di depan rumah orang. Penampilannya begitu lusuh, dan bapak itu kelihatan tua. Setelah memasukkan beberapa sampah ke gerobaknya, bapak itu mengambil botol minumannya. Botol itu sudah tak ada isinya, si bapak menghela nafasnya, padahal dahaganya benar-benar menyiksa, tapi tak ada air lagi. Riri yang memperhatikan dari tadi langsung membeli minuman dan berjalan mendekati bapak itu.<br /><br /><br />“maaf, Pak…”.<br /><br /><br />“iya, neng ? ada apa ?”, tanya bapak itu kebingungan didatangi seorang wanita cantik.<br /><br /><br />“ini, Pak..diminum minumannya..”.<br /><br /><br />“nggak usah, neng…”, tolak bapak itu dengan sopan dan halus.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak…minum aja, tadi saya liat bapak keausan, yaudah saya beliin aja…”.<br /><br /><br />“bener buat saya, neng ?”.<br /><br /><br />“bener, Pak…”, jawab Riri tersenyum. Riri dan bapak itu pun duduk di tepi jalan.<br /><br /><br />“makasih banyak, neng…bapak gak tau harus bilang apa…”.<br /><br /><br />“ya gak usah bilang apa-apa, Pak..hehe..”, canda Riri.<br /><br /><br />“tapi, kenapa neng beliin saya minuman ?”.<br /><br /><br />“kan udah saya bilang tadi, saya liat bapak keausan ya saya beliin aja minuman..”.<br /><br /><br />“makasih banyak ya neng..”.<br /><br /><br />“Bang !! sini, Bang !!”. Tukang bubur yang tadi dipanggil Riri pun mendekat.<br /><br /><br />“Bapak udah sarapan ?”.<br /><br /><br />“belum, neng..”.<br /><br /><br />“kalo gitu kita sarapan bubur yuk, Pak…”.<br /><br /><br />“ha ? gak usah, neng…saya udah biasa nggak sarapan…lagian masa udah dibeliin minuman..neng mau beliin saya bubur..saya bener-bener nggak enak ama neng..”.<br /><br /><br />“ayo dong, Pak..temenin Riri sarapan..”.<br /><br /><br />“…”.<br /><br /><br />“nih, Pak..”.<br /><br /><br />“yaudah deh, neng…”.<br /><br /><br />Sebenarnya, bapak itu memang lapar sekali, tapi dia sungguh enggan menerima pemberian dari orang yang baru dikenalnya. Enggan karena selama ini, tak ada yang sebaik ini kepadanya, malah banyak yang jijik dan mencemoohnya, tapi kenapa gadis cantik ini begitu baik kepadanya. Tentu tak ada rasa curiga di pikiran bapak itu, tak mungkin gadis cantik ini mau berbuat jahat, lagipula tak ada sesuatu dari diri bapak itu yang bisa di ambil. Sambil sarapan, mereka berdua mengobrol dan saling memperkenalkan diri. Nama bapak itu adalah Malih, umurnya 58 tahun, penampilannya kelihatan lebih tua daripada umurnya. Tukang bubur itu keheranan, kok ada cewek cakep mau sarapan ama tukang sampah, di pinggir jalan lagi, pikir tukang bubur itu. Sekali-sekali, tukang bubur itu curi-curi pandang ke Riri. Cantik dan sangat putih mulus, benar-benar idaman lelaki. Setelah dibayar, tukang bubur itu pun pergi.<br /><br /><br />“gimana, Pak ? kenyang nggak ?”.<br /><br /><br />“kenyang, neng…enak banget..”. Riri pun tersenyum.<br /><br /><br />“saya bener-bener makasih ya neng Riri, udah beliin saya minuman ama sarapan..”.<br /><br /><br />“iya, Pak..sama-sama..”.<br /><br /><br />“kenapa neng Riri baik banget sama saya ?”.<br /><br /><br />“kalo ngeliat bapak, saya jadi inget sama kakek saya..”.<br /><br /><br />“emang kakek neng Riri kemana ?”.<br /><br /><br />“udah meninggal 2 tahun lalu…”.<br /><br /><br />“maaf neng, saya nggak tau..”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak…saya bener-bener kaget pas ngeliat bapak, mirip sama kakek saya, saya kira lagi mimpi..”.<br /><br /><br />“udah neng, jangan sedih lagi. kakek neng Riri pasti seneng ngeliat cucunya baik sama orang lain..”, Malih mau merangkul, tapi takut Riri marah.<br /><br /><br />“makasih, Pak…”.<br /><br /><br />“mendingan neng Riri saya anter pulang, gimana ?”.<br /><br /><br />“iyaa, Pak…”. Riri berjalan di samping Malih yang menarik gerobak sampahnya.<br /><br /><br />“makasih ya, Pak..udah nganterin saya sampai rumah..”.<br /><br /><br />“justru saya yang makasih, neng. neng Riri udah beliin saya minuman ama sarapan..”.<br /><br /><br />“iyaa, sama-sama, Pak…”, Riri tersenyum manis.<br /><br /><br />Di antara 3 temannya, Riri yang paling sensitif perasaannya. Sensitif maksudnya perasa atau mudah merasa kasihan dan juga mudah sedih. Bagi Riri, perasaannya yang sensitif merupakan kelemahan yang bisa saja dimanfaatkan teman-temannya yang cowok untuk mendapatkan hatinya, jadi Riri menyembunyikan kelemahannya dengan sikap sok cuek dan seenaknya sehingga cowok-cowok tak banyak yang mendekatinya karena Riri dianggap judes.<br /><br /><br />“saya masuk ke dalem dulu yaa, Pak..”.<br /><br /><br />“makasih banyak yaa, neng..”.<br /><br /><br />“sama-sama, Pak…”. Riri masuk ke dalam rumah dan mandi.<br /><br /><br />“kriiing !!!”, Riri keluar kamar dengan terburu-buru.<br /><br /><br />“halo ?”.<br /><br /><br />“halo non Riri ?”.<br /><br /><br />“Mbok Ratih, ada apa ?”.<br /><br /><br />“ini non, saya mau pulang ke kampung, jadi saya nggak bisa bantu-bantu non..”.<br /><br /><br />“berapa lama, Mbok ?”.<br /><br /><br />“ya mungkin 2-3 mingguan kali non..”.<br /><br /><br />“oh yaudah Mbok..tapi kalo bisa jangan lama-lama ya Mbok..”.<br /><br /><br />“iya, non..”. Riri masuk ke dalam kamar lagi dan mengenakan pakaian. Dia memikirkan si bapak tukang sampah tadi. Sudah tua tapi masih sanggup bekerja keras, di ajak ngobrol juga enak. Riri jadi ingin tahu kehidupan sehari-hari bapak tadi, lagipula kemungkinan besar dia bosan di rumah.<br /><br /><br /><br />Malih, si tukang sampah<br /><br />Riri keluar rumah berniat mencari Malih. Pas sekali, Riri baru keluar pagar rumah, dia melihat Malih di ujung gang.<br /><br /><br />“Pak Malih !!”. Malih berhenti dan menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari siapa yang memanggil namanya.<br /><br /><br />“Pak Malih !!”. Malih langsung nengok ke belakang.<br /><br /><br />“eh neng Riri..ada apa manggil saya ?”.<br /><br /><br />“gini, Pak…saya baru inget, saya ada tugas, cari tau kehidupan sehari-hari orang-orang seperti bapak, tadinya saya males ngerjain tugas, nah mendingan saya nyari tau kehidupan Pak Malih aja, gimana, Pak ?”.<br /><br /><br />“mm..boleh aja sih, neng..tapi emangnya tugasnya neng Riri kayak gimana ?”.<br /><br /><br />“yaa kehidupan sehari-hari Bapak aja..ntar saya rekam pake handycam..”.<br /><br /><br />“yaudah, neng..”.<br /><br /><br />“oke, tunggu bentar ya, Pak..”.<br /><br /><br />“…”. Lumayan lama Malih menunggu Riri kembali.<br /><br /><br />“neng Riri ngapain, lama amat..”, ujar Malih. Riri pun kembali dengan membawa tas yang biasa di bawa untuk kuliah.<br /><br /><br />“neng Riri abis ngapain ?”.<br /><br /><br />“ini, Pak..saya ambil handycam, dompet, sama pakaian..”.<br /><br /><br />“pakaian ? buat apa, neng ?”.<br /><br /><br />“ya buat ganti baju, kan saya mau tinggal di rumah bapak 4-5 hari..”.<br /><br /><br />“ha ? neng Riri mau tinggal di rumah saya ?”.<br /><br /><br />“iya, Pak..Bapak keberatan ya ?”.<br /><br /><br />“bukan gitu, neng…rumah saya gubuk, lagian apa orang tua neng Riri gak khawatir nanti ?”.<br /><br /><br />“orang tua saya lagi di luar negeri, nah soal rumah bapak, justru tugas saya tuh untuk cari tau sisi lain dari kehidupan..gimana, Pak ? boleh ya ?”.<br /><br /><br />“yaudah, neng..boleh, mudah-mudahan neng Riri ntar gak kaget ngeliat rumah saya..”.<br /><br /><br />“tenang aja, Pak..oh iya, Pak..boleh naro tas di sini nggak ?”, ujar Riri sambil menunjuk paku yang mencuat dari pinggir gerobak sampah.<br /><br /><br />“boleh aja neng..tapi ntar tas neng Riri kotor ?”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak..kotor ya tinggal di cuci ini..”, canda Riri yang membuat Malih tersenyum.<br /><br /><br />“neng Riri mau ngapain ?”.<br /><br /><br />“saya bantu dorong gerobaknya, Pak…”.<br /><br /><br />“nggak usah, neng..saya udah biasa..udah neng, gak usah..”.<br /><br /><br />“gak apa-apa, Pak..saya pengen bantu..kayaknya berat banget..”.<br /><br /><br />“tapi ntar tangan neng kotor ?”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak..tenang aja..”.<br /><br /><br />Malih menarik, dan Riri mendorong. Gerobak sampah itu terasa lebih ringan dari biasanya bagi Malih. Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di tempat seperti tempat pembuangan akhir.<br /><br /><br />“neng Riri tunggu di sini bentar..”, ujar Malih sambil menyerahkan tas Riri.<br /><br /><br />“iya, Pak..”. Malih kembali tak bersama gerobaknya.<br /><br /><br />“lho ? gerobaknya mana, Pak ?”.<br /><br /><br />“ya ditaro di sini, neng..sekalian minta bayaran..”.<br /><br /><br />“oh gitu..”. Riri tidak bertanya berapa bayaran yang didapat Malih karena tidak sopan meskipun Riri sebenarnya penasaran.<br /><br /><br />“nah sekarang baru kita pulang, neng..”.<br /><br /><br />“ayo deh, Pak..”. Riri pun mengobrol dengan Malih selama perjalanan pulang.<br /><br /><br />“Lih siape tuh ? cakep banget ?”, tanya seorang bapak gendut.<br /><br /><br />“ini anaknye temen gue..”, jawab Malih sekedarnya sambil lalu bersama Riri.<br /><br /><br />“tadi siapa, Pak ?”.<br /><br /><br />“yang tadi ? namanya Pak Sueb, ati-ati, neng..disini banyak bapak-bapak iseng..apalagi neng Riri cakep..”.<br /><br /><br />“ah Pak Malih bisa aja…”. Malih dan Riri berhenti di depan sebuah rumah kecil, atau lebih tepatnya gubuk sederhana.<br /><br /><br />“ini rumah saya, neng..ayo masuk neng…”. Riri memperhatikan dalam rumah Malih. Begitu sederhana dan kecil, Riri tak pernah membayangkan ada orang yang tinggal di rumah seperti ini, tapi di sinilah dia sekarang, rumah yang sangat sederhana.<br /><br /><br />“ayo, neng..duduk dulu di sini, maaf neng nggak ada bangku..”, Malih menggelar tikar.<br /><br /><br />“iya, Pak…”. Tak lama Malih kembali dengan membawa segelas air putih dengan gelas plastik.<br /><br /><br />“yah beginilah, neng rumah saya…ayo neng diminum..”.<br /><br /><br />“makasih, Pak…”.<br /><br /><br />“oh iya, Pak..istri bapak dimana ?”.<br /><br /><br />“udah meninggal 4 tahun lalu, neng..”.<br /><br /><br />“oh maaf, Pak..saya nggak tau, Pak…”.<br /><br /><br />“iya, nggak apa-apa kok neng..saya udah biasa tinggal sendiri..”.<br /><br /><br />“maaf, Pak..emang anak bapak kemana ?”.<br /><br /><br />“saya nggak punya anak, neng…katanya istri saya mandul..”.<br /><br /><br />“aduh maaf, Pak..jadi buat bapak sedih…”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, neng..”. Riri jadi merasa tak enak telah membuat Malih jadi teringat tentang almarhum istrinya.<br /><br /><br />Tapi, Riri pun jadi berpikir, apakah selama 3 tahun Malih tidak merasa kesepian tinggal sendirian.<br /><br /><br />“oh iya, neng..neng Riri mau makan apa ?”.<br /><br /><br />“Pak Malih mau beli makanan ya ?”.<br /><br /><br />“iya, neng..neng Riri tunggu di sini bentar..”.<br /><br /><br />“gimana kalo kita makan di luar aja, Pak..”.<br /><br /><br />“maaf neng, tapi…”.<br /><br /><br />“tenang aja, Pak…saya traktir…”.<br /><br /><br />“tapi, neng…”.<br /><br /><br />“udah lah, Pak…saya udah laper nih, yuuk..”.<br /><br /><br />“yaudah deh, neng..”. Mereka berdua pun makan di rumah makan. Malih mengenakan pakaian yang paling bagus yang ia miliki agar tidak membuat Riri malu. Satu-satunya pakaian yang cukup bagus yang Malih miliki, pakaian yang dulu diberikan mantan majikannya saat dia masih menjadi supir untuk orang. Mereka pun kembali ke rumah.<br /><br /><br />“oh iya, Pak..ada kamar mandi nggak ?”.<br /><br /><br />“ada neng, sebelah sini…maaf kamar mandinya kecil, neng..”.<br /><br /><br />“iya, Pak..nggak apa-apa kok, Pak..”. Lumayan juga, rumah kayak gini, tapi ada kamar mandinya, pikir Riri. Rumah Malih cuma ada 2 ruangan kecil, 1 ruangan untuk kamar mandi, dan satunya ada kasur untuk tidur.<br /><br /><br />“neng Riri udah mau tidur ya ?”.<br /><br /><br />“iya, Pak udah pegel-pegel nih…”.<br /><br /><br />“yaudah, neng Riri tidur di sini..”.<br /><br /><br />“lho ? bapak tidur di mana ?”.<br /><br /><br />“saya tidur di bawah aja, neng…”.<br /><br /><br />“biar saya aja yang tidur di bawah..bapak yang di kasur..”.<br /><br /><br />“nggak, neng..saya aja yang di bawah..neng Riri kan cewek..masa tidur di bawah..”.<br /><br /><br />“ya, tapi saya masih muda, nggak gampang sakit..”.<br /><br /><br />“ya tetep aja, neng Riri kan cewek..udah neng, tenang aja..biar udah tua, tapi badan saya masih tahan kalo masuk angin doang..”. Riri merebahkan tubuhnya di kasur kapuk, sementara Malih tiduran di tikar. Keadaan memang sunyi dan gelap, tapi Riri tak bisa tidur. Mungkin karena merasa tak enak hati melihat Malih yang sudah tua tidur di tikar. Riri memandangi Malih yang tidur membelakanginya. Rasa kagum muncul di hati Riri. Seorang pria tua mampu bekerja keras, dan kelihatan begitu tegar meski tinggal sendirian selama 3 tahun. Sikapnya juga sopan, tak seperti kebanyakan pria yang kurang ajar dan menggodanya.<br /><br /><br />“Pak Malih..”.<br /><br /><br />“ha ? iya, neng ?”.<br /><br /><br />“tidur di atas aja, Pak..”.<br /><br /><br />“tapi, neng…”.<br /><br /><br />“udah, Pak…nanti bapak masuk angin…”. Malih pun jadi tidur di kasur bersama Riri. Malih sengaja tidur agak jauh dan membelakangi Riri agar Riri tidak menyangka dia akan berbuat macam-macam. Saat mata Riri sudah terasa berat, tiba-tiba dia dipeluk dari belakang. Riri menengok ke belakang, rupanya Malih memeluknya, tapi tanpa sadar karena kelihatan matanya tertutup. Entah itu sengaja atau tak sengaja, Riri membiarkan Malih memeluknya dari belakang. Mungkin keinget istrinya, pikir Riri. Tapi, anehnya Riri merasa pelukan Malih begitu hangat dan nyaman seolah terasa seperti pelukan kakeknya. Riri pun jadi nyaman dan langsung tidur terlelap.<br /><br /><br />“mm ?”, Riri terbangun karena mendengar suara grasak-grusuk.<br /><br /><br />“mau kemana, Pak ?”.<br /><br /><br />“mau berangkat, neng..”.<br /><br /><br />“tunggu sebentar, Pak..saya ikut..”. Tak lama kemudian, Riri keluar dari kamar mandi. Kaos dan celana pendek selutut membalut tubuh Riri.<br /><br /><br />“ayo, Pak..”, ujar Riri sambil merapikan baju dan rambutnya.<br /><br /><br />Tak lupa, Riri membawa handycamnya. Mereka berdua berjalan ke tempat TPA yang kemarin tanpa mengobrol sedikit pun. Riri merekam Malih yang keluar dari TPA sambil menarik gerobak sampahnya.<br /><br /><br />“Pak, liat ke kamera donk..”. Malih melihat ke arah Riri dan tersenyum.<br /><br /><br />“Pak..coba dong saya yang narik gerobaknya..”.<br /><br /><br />“ini berat, neng..”.<br /><br /><br />“saya mau nyoba, Pak..n’ bapak ngerekam saya narik gerobak..”. Sebenarnya Malih tak tega melihat Riri menarik gerobak sampahnya yang berat dan bau, tapi mau apa lagi, memang Riri yang mau.<br /><br /><br />“berhenti di sana, neng..”, tunjuk Malih ke bak sampah yang di depan mereka.<br /><br /><br />“fuh..lumayan pegel juga ya, Pak..”, ucap Riri sambil meluruskan kedua tangannya dan mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangannya.<br /><br /><br />“ya namanya juga gerobak sampah..lumayan berat..”.<br /><br /><br />“iya ya..oh iya, Pak..itu dimasukkin ke gerobak ya ?”.<br /><br /><br />“iya, neng..biar saya aja..”.<br /><br /><br />“nggak usah, bapak terus rekam aja, biar saya..”. Riri melempar tiga bungkusan plastik ke dalam gerobak.<br /><br /><br />Mereka berdua pun berkeliling dari bak sampah satu ke bak sampah lainnya. Sampah-sampah yang di luar bak sampah juga diangkut oleh Riri. Riri tidak kuat menarik gerobak terus, jadi dia hanya melemparkan sampah ke dalam gerobak saja. Tubuh Riri yang tadinya wangi kini jadi bau, kulit tangannya yang putih bersih jadi kotor dan hitam. Banyak orang khususnya laki-laki memandangi Malih dan Riri. Mungkin aneh dan bingung, seorang gadis cantik yang berkulit putih mulus memunguti sampah bersama pria tua. Teriknya sinar matahari dan lamanya berkeliling membuat Riri berpeluh keringat, bulir-bulir keringat bercucuran.<br /><br /><br />“Pak..kita istirahat dulu yuk..capek nih..”.<br /><br /><br />“ayo, neng..kita istirahat di sana aja..”.<br /><br /><br />“ayo, Pak..”. Mereka berdua duduk di bawah pohon rindang dan memakan makanan bungkus yang tadi mereka beli.<br /><br /><br />“neng Riri..”.<br /><br /><br />“iya, Pak ?”.<br /><br /><br />“saya mau minta maaf soal tadi malem..”.<br /><br /><br />“minta maaf soal apa, Pak ?”.<br /><br /><br />“tadi malem saya nggak sadar meluk neng Riri..”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa kok, Pak..pasti Pak Malih keinget sama istrinya ?”.<br /><br /><br />“hehe iya neng, biasa tidur sendiri, jadi pas ada neng Riri, gak sadar kerasa kayak tidur sama istri saya..”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa kok, Pak…saya ngerti..”. Malih kelihatan senang sekali, sudah lama dia tak punya teman ngobrol, paling-paling hanya para tetangga di dekat rumahnya. Dengan kehadiran Riri, Malih jadi punya teman ngobrol saat memulung sampah ataupun di dalam rumah.<br /><br /><br />“oh iya, Pak..saya boleh nanya sesuatu yang agak pribadi nggak, Pak ?”.<br /><br /><br />“mau nanya apa, neng ?”.<br /><br /><br />“Pak Malih nggak kesepian ? nggak ada rencana buat cari istri lagi ?”.<br /><br /><br />“kesepian ya pasti, neng..tapi mana ada yang mau ama saya..udah tua gini..”.<br /><br /><br />“ya siapa tau aja, Pak…”.<br /><br /><br />“nggak deh, neng…saya nggak mau repot nyari istri lagi..”.<br /><br /><br />“oh..”. Setelah berkeliling seharian dan Malih juga telah mengembalikan gerobaknya, mereka berdua pulang ke rumah.<br /><br /><br />“Pak Malih, saya mandi duluan boleh gak ? badan saya udah gerah nih..”.<br /><br /><br />“oh..iya, neng..silahkan..”. Malih pun duduk bersender di tikar untuk beristirahat.<br /><br /><br />Sambil membersihkan tubuhnya, Riri ingin sekali membuat pria tua yang sangat baik dan sopan seperti Malih senang, dan Riri pun mendapatkan ide. Malih terbengong saat melihat Riri keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan handuk yang cukup pendek untuk menutupi tubuhnya. Bagian bawah handuk hanya menutupi 1/4 dari paha Riri. Meski sudah tua, tapi tetap saja Malih adalah laki-laki normal. Melihat paha Riri yang putih mulus membuatnya tak berkedip.<br /><br /><br />“maaf neng, saya keluar dulu..”, izin Malih menyadari dirinya harus keluar agar tak membuat Riri risih. Tiba-tiba Riri menahannya.<br /><br /><br />“sebentar, Pak..ada yang mau saya omongin…”.<br /><br /><br />Dalam pikiran Riri, hadiah yang mungkin akan membuat Malih sangat senang dan juga yang dia rasa paling tepat untuk pria yang benar-benar kesepian seperti Malih adalah dengan memberikan tubuhnya agar Malih bisa melepas semua kebutuhan biologisnya. Tapi, Riri juga masih bingung, jika dia yang menawarkan diri ke Malih, apakah itu tak membuatnya seperti pelacur. Namun, setelah dipikir-pikir, tak apalah, sebuah hadiah yang memang pantas ditawarkan untuk laki-laki yang baik dan sopan seperti Malih.<br /><br /><br />“mau ngomong apa, neng ?”.<br /><br /><br />“bapak duduk dulu deh..”. Dengan agak kebingungan, Malih duduk, Riri duduk di depannya. Tentu, handuknya terangkat ke atas, kedua paha Riri kini terlihat seluruhnya oleh Malih. Malih menelan ludah melihat paha Riri yang begitu putih mulus, tapi dia berusaha tetap memandang mata Riri.<br /><br /><br />“saya mau nanya, apa Pak Malih rindu sama istrinya ?”.<br /><br /><br />“iya, kangen banget, neng..”.<br /><br /><br />“kalau gitu, mulai hari ini, anggep aja saya istri bapak..”.<br /><br /><br />“maksudnya ?”.<br /><br /><br />“saya akan nemenin bapak..”. Riri meletakkan tangan Malih di paha kanannya.<br /><br /><br />“maksud neng Riri, saya boleh….”. Riri mengangguk dan tersenyum.<br /><br /><br />Malih mulai mengelus-elus paha Riri. Elusan tangan Malih semakin dalam merayapi paha Riri. Benar-benar halus kulit gadis cantik ini, pikir Malih. Sudah lama tidak merasakan kehalusan dan kehangatan tubuh seorang wanita, kini Malih mengelus-elus kedua paha Riri. Kedua tangan Malih semakin merayap ke dalam, menyentuh paha bagian dalam Riri.<br /><br /><br />“hmmm…”, lirih Riri sambil tetap tersenyum. Elusan-elusan Malih sedikit demi sedikit membangunkan gairah Riri. Malih membelai kedua pangkal paha Riri dengan lembut dan perlahan. Meski sudah tua dan sudah lama tidak ‘berurusan’ dengan wanita, insting pejantannya masih ada, dia tahu bagaimana caranya ‘memanaskan’ suasana dan membangkitkan gairah seorang perempuan. Malih terus mengelusi kedua pangkal paha, nafas Riri semakin berat. Sentuhan Malih terasa tepat sekali.<br /><br /><br />“eemmhhh…”, Riri sedikit bergetar saat Malih mulai meraba-raba tengah-tengah selangkangannya. Malih semakin berani mengusik alat kelamin gadis muda nan cantik yang ada di depannya. Jari tengahnya tepat ‘membelah’ bibir vagina Riri, lalu Malih menggerakkannya ke atas dan bawah untuk semakin meningkatkan ‘tensi’ Riri. Riri yang tadi duduk beralaskan kedua tumitnya (duduk ala Jepang), pahanya rapat menutup, kini seiring dengan gesekan jari Malih di belahan vaginanya, kedua pahanya semakin membuka lebar.<br /><br /><br />“uummhhh heemmhhh…”, gumam Riri. Malih tersenyum, tangannya terasa semakin panas sekaligus lembap. Riri menutup kedua matanya.<br /><br /><br />“aaaahhh…”, lirih Riri pelan saat merasakan ada sesuatu benda yang masuk ke dalam vaginanya, apalagi saat benda itu berputar-putar seperti sedang mengebor vaginanya. Malih hanya mengetes rongga vagina Riri. Ternyata, benar-benar sempit dan kesat. Jari telunjuknya menyusul masuk ke dalam liang vagina Riri.<br /><br /><br />“ooohh aahhh emmhh..”. Rasanya nikmat sekali, selain keluar masuk, 2 jari Malih sesekali mengorek-ngorek bagian dalam vagina Riri. Keadaan terus berlanjut, Malih memperhatikan Riri yang kelihatan sangat keenakan. Yang terdengar hanyalah suara desahan pelan Riri di malam yang sunyi itu. Riri memegangi tangan kiri Malih agar tetap berada di sana, tetap mengerjai vaginanya. Tangan kanan Malih bergerak ke arah dada Riri dan menangkap buah yang sangat menonjol di handuk yang menutupi tubuhnya.<br /><br /><br />Empuk sekali rasanya, apakah payudara gadis muda seempuk ini, pikir Malih. Sambil terus mengobel alat kelamin Riri, pria tua itu juga sibuk meremas-remas lembut kedua buah payudara Riri bergantian.<br /><br /><br />“AAAHHH !! PAAKKHHH !!!”, tubuh dan wajah Riri terlihat tegang, tangan Malih dicengkram kuat oleh Riri. Orgasme sedang melanda gadis cantik itu. Malih tersenyum puas, gadis cantik seperti Riri bisa dibuat orgasme hanya dengan jarinya, ternyata dia masih hebat seperti dulu. Malih mengeluarkan tangannya dari ‘kolong’ Riri.<br /><br /><br />“neng Riri…boleh saya buka handuknya ?”.<br /><br /><br />“boleh..”, jawab Riri sambil tersenyum.<br /><br /><br />Malih perlahan membuka lilitan handuk di tubuh Riri. Begitu lilitan handuknya terbuka, Riri sedikit berdiri, handuknya pun langsung lolos ke lantai dan memperlihatkan apa yang dari tadi tertutupi handuk itu. Mata Malih tak bisa lepas dari pemandangan yang begitu indah yang ada di depannya. Begitu putih, begitu mulus, dan begitu sempurna lekuk-lekuk tubuh Riri. Payudaranya pun terlihat sangat bulat, sangat padat berisi, pokoknya benar-benar ‘pas’ sekali. Sampai umurnya yang sudah tua sekarang, rasanya Malih belum pernah melihat tubuh wanita yang begitu indah dan sangat sempurna. Kulit Riri yang putih mulus juga menambah daya tarik tubuhnya. Tapi, tetap saja, yang paling menarik perhatian Malih adalah daerah segitiga Riri. Tak ada bulu yang menutupinya, bersih, dan kelihatan sangat menggiurkan. Sungguh kelamin yang begitu indah, bibir vaginanya berwarna seperti kulit di sekitarnya dan masih rapat menutup. Apakah ini yang namanya vagina cewek cakep, pikir Malih.<br /><br /><br />“harummm…”, gumam Malih agak tak jelas karena wajahnya terbenam di selangkangan Riri. Malih menghirup dalam-dalam aroma harum melati dari daerah kewanitaan Riri.<br /><br /><br />“hmmhh…”, desah Riri saat ada rasa hangat dan basah mengenai vaginanya.<br /><br /><br />Pastilah itu lidah Malih. Belaian-belaian lidah nakal Malih terus dirasakan Riri di daerah pribadinya. Tanpa sadar, kaki kanan Riri berada di bahu kiri Malih. Tanpa mampir ke otaknya, tubuh Riri merespon kenikmatan yang sedang ia rasakan secara alamiah. Dengan meletakkan satu kaki di bahu Malih, tentu selangkangannya akan semakin terbuka dan Malih akan semakin leluasa dan semakin banyak memberikan kenikmatan. Benar saja, pintu surga dunia yang dimiliki Riri semakin terbuka, Malih semakin gencar menyerbu alat kelamin Riri.<br /><br /><br />“aaaahhh ooouuhhh teeruusshh”. Meski rasanya nikmat, tapi kakinya yang satu lagi terasa pegal menopang tubuhnya sekaligus gemetaran. Riri pun menekan dan menahan kepala Malih di selangkangannya, lalu dengan selangkangannya, dia mendorong kepala Malih ke bawah. Badan Malih mengikuti kepalanya terjatuh ke bawah. Kini, Riri duduk mengangkangi wajah Malih, dalam posisi itu, vagina Riri telah resmi menjadi bulan-bulanan pria tua yang kesenangan ‘kejatuhan’ vagina. Terkurung di antara paha gadis secantik Riri tentu membuat Malih bersemangat. Pandangannya tertutup vagina Riri, hidungnya hanya mencium aroma harum vagina Riri, sungguh keadaan ‘terjepit’ yang paling menyenangkan bagi Malih. Ruang yang tersedia juga terbatas, hanya untuknya seorang. Riri memang mempersembahkan vaginanya, tak ada orang lain yang bisa mengganggu gugat, pikir Malih. Lidahnya langsung melata masuk ke dalam lubang kenikmatan Riri.<br /><br /><br />“ooohhh iyaaa Paaakhh disiituu”, desah Riri merasakan lidah Malih tepat sekali mengenai bagian yang memberikan kenikmatan lebih dari sebelumnya. Riri pun semakin menekan vaginanya ke wajah Malih. Tak sopan memang menduduki orang yang lebih tua, tapi apa mau dikata, yang tua sendiri juga tak keberatan diduduki si gadis muda. Mata Riri menutup, bibir bawahnya dikulum sendiri olehnya. Gadis cantik itu sedang terhanyut, meresapi kenikmatan yang sangat luar biasa yang dirasakannya pada bagian bawah tubuhnya.<br /><br /><br />“AAAAHHHH”, vagina Riri semakin ditekan ke wajah Malih.<br /><br /><br />Kucuran cairan yang berasal dari alat kelamin Riri tak ubahnya bagai air mata pegunungan yang segar dan alami bagi Malih. Semuanya habis dalam hitungan detik saja, lidah Malih pun mengorek-ngorek sisa cairan yang tertinggal di dalam rongga vagina Riri. Memang benar, berhubungan intim memang seperti naik sepeda, awalnya memang perlu belajar, tapi selanjutnya tak akan lupa seumur hidup karena insting dasar manusia selain bertahan hidup adalah bereproduksi sehingga tak perlu keakhlian dalam bersetubuh. Terbukti, 3 tahun tak pernah menyentuh tubuh perempuan, tapi Malih masih ingat bagaimana membuat seorang perempuan begitu keenakan. Riri mengangkat vaginanya dari wajah Malih, takut ‘digerogoti’ lagi oleh Malih. Dia duduk tepat di tonjolan celana Malih.<br /><br /><br />“neng Riri…”, ujar Malih mengelus-elus pinggang Riri.<br /><br /><br />Riri tersenyum, dan merundukkan tubuhnya, Malih pun langsung memeluk tubuh Riri, begitu hangat, aroma tubuh Riri benar-benar segar dan harum. Kedua tangan Malih merayap turun ke bawah, menampung kedua bongkahan pantat Riri dan meremas-remasnya, menikmati kekenyalan dari dua bongkah pantat Riri. Sudah lama rasanya Malih tidak merasakan hangatnya tubuh seorang wanita, Malih dan Riri berpelukan begitu erat. Sungguh pemandangan yang begitu sensual dan erotis. Kekontrasan di antara dua insan manusia itu justru menambah aura erotis dan sensual yang ada. Riri, si gadis muda yang begitu cantik dan putih mulus sudah telanjang bulat sepenuhnya, memeluk Malih, pria tua yang keriput dan berkulit hitam terbakar matahari dan masih berpakaian lengkap.<br /><br /><br />“mmm…ccpphhh..mmm…”. Ciuman yang terjadi begitu mesra dan kompak. Keduanya bergantian saling lumat dan pagut. Bibir Riri yang lembut membuat Malih benar-benar gemas. Dilumat, dihisap, dikenyot, dikulum, bibir Riri habis-habisan diserbu Malih. Lidah keduanya pun tak jarang saling belit, saling kait, dan saling silang.<br /><br /><br />“hmmm…mmm…”. Terlihat jelas sekali kalau tak hanya Malih yang menikmati percumbuan ini, tapi Riri juga sangat, sangat menikmatinya. Rambut Riri pun menutupi sisi kiri dan kanan seperti tirai/hordeng yang menutupi bibir mereka berdua yang menyatu seakan tak ingin ada seorang pun yang melihat percumbuan mereka.<br /><br /><br />“uuah..”, Riri mengatur nafasnya setelah melepaskan bibirnya dari bibir Malih dan menegakkan tubuhnya.<br /><br /><br />Kedua tangan Malih berpindah ke pinggang Riri yang ramping. Malih menggerakkan tangannya. Dari perut Riri, kedua tangan Malih naik, terus naik ke atas sampai kedua tangan Malih berhasil menangkap gumpalan daging kembar milik Riri. Begitu empuk dan begitu kenyal. Malih meremasi susu Riri dengan gemasnya. Kedua puting Riri dimainkan, dipencet-pencet, dan dipilin-pilin Malih. Puting Riri semakin mengeras, semakin sensitif juga rasanya, dan tentu semakin nikmat. Bagai sudah lama mengenal Malih, Riri tahu apa yang diinginkan Malih. Riri duduk agak maju. Dia kini duduk di perut Malih, langsung merunduk. Kedua buah payudaranya ‘jatuh’ tepat di hadapan Malih. Malih langsung menangkap susu kiri Riri dengan mulutnya, sementara susu Riri yang satunya ditampung oleh tangan Malih.<br /><br /><br />“hmmmhhh eemmmm”. ‘tutup’ kemasan susu kiri Riri sama sekali tak terlihat, ditelan seluruhnya oleh Malih yang asik menghisapi puting kiri Riri sampai pipinya yang sudah kempot menjadi bertambah kempot.<br /><br /><br />Sajian payudara Riri dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Malih. Malih menarik Riri ke bawah. Wajahnya terbenam di kedua buah payudara Riri. Rasanya benar-benar empuk, hangat, dan nyaman. Lama juga Malih ‘terbenam’ di payudara Riri sebelum Riri mengangkat tubuhnya lagi. Riri kembali duduk tepat di selangkangan Malih, tonjolan di celana Malih tepat face to face dengan vaginanya yang tak terlindungi. Agak terkejut Malih saat Riri menciumnya lagi. Tak begitu lama, ciuman Riri tadi hanya berupa kecupan mesra. Lebih terkejut saat Riri menjulurkan lidahnya. Lidah Riri menempel di dahi Malih lalu bergerak turun. Malih diam, dia bingung dan heran. Dulu, istrinya tak pernah melakukan ini, tapi gadis cantik ini malah kelihatan asik menjilati wajah, hidung, dan dagunya serta menggeluti kedua telinganya. Riri memasukkan lidahnya lagi dan menciumi dari dagu sampai ke bawah batang leher Malih sebelum menjilati leher Malih. Malih merinding antara geli dan nikmat. Ternyata seperti ini rasa yang dirasakan istrinya dulu saat dijilati lehernya. Sambil tersenyum, Riri mengangkat badan Malih sampai dia duduk dengan kaki menyelonjor. Riri menarik kaos Malih ke atas, tentu Malih meluruskan kedua tangannya ke atas. Badan kurus yang sudah agak peyot itu terlihat hitam dan rapuh. Riri mendorong Malih perlahan hingga Malih terlentang lagi. Riri melipat baju Malih dan menaruhnya di samping tikar. Malih merasa sangat aneh, harusnya ia yang menelanjangi Riri, tapi kenapa Riri yang menelanjanginya? Riri memberi kecupan-kecupan mesra pada dada Malih sebelum menjilati kedua puting hitam Malih.<br /><br /><br />“neng Riri mau apa ?”, tanya Malih. Riri mengangkat lengan kanan Malih, dan tanpa ragu-ragu, Riri langsung membenamkan wajahnya di ketiak Malih.<br /><br /><br />“cuph cuph eeem”, Riri memberi kecupan lalu menjilati ketiak Malih. Malih sadar betul kalau ketiaknya tak main-main baunya, tapi kenapa Riri begitu nyaman berada di sana.<br /><br /><br />Lidah Riri bergerak naik ke atas sampai ke tangan Malih.<br /><br /><br />“jangan neng. tangan saya bekas sampah..”, ujar Malih karena Malih memang belum membersihkan diri setelah berkeliling. Dan untuk sekali lagi, Riri hanya memberikan senyumannya sebagai jawaban. Riri begitu telaten menjilati tangan kanan Malih. Punggung tangan, telapak tangan, sela-sela jari, semuanya dijilati Riri. Kelima jari Malih pun diemut-emut dan dikulum oleh gadis cantik itu. Lengan kiri Malih juga mendapat perlakuan sama dari Riri. Riri kembali menciumi dada Malih, turun ke bawah, dan mengecupi perut Malih. Dengan gerakan perlahan, Riri membuka kancing dan resleting celana Malih. Malih mengangkat pahanya, Riri jadi mudah menarik celana Malih. Riri melipat dengan rapih celana Malih dan menaruhnya di samping. Riri mengangkat kaki kiri Malih, menempelkan payudara kanannya ke telapak kaki Malih. Entah tujuannya apa, tapi Riri menggunakan payudaranya seperti keset untuk membersihkan telapak kaki Malih. Malih benar-benar bingung melihat sikap Riri yang agresif. Riri mengelus-eluskan pipinya sendiri ke telapak kaki Malih.<br /><br /><br />“hmmm…”. Tiba-tiba Riri menjilati telapak kaki Malih, dari tumit sampai ke sela-sela jarinya. Lidah Riri menyelip masuk ke sela-sela jari kaki Malih. Kelima jari kaki Malih dijilati dan diemut-emut Riri sebelum menjilati seluruh kaki Malih. Tak terlihat ekspresi jijik ataupun mual, Riri malah kelihatan begitu serius menggunakan lidahnya untuk membersihkan kaki Malih. Tak hanya kaki kiri, kaki kanan Malih juga mendapatkan ‘perawatan’ dari lidah Riri. Inilah Riri sebenarnya. Entah disebut kelainan atau malah kesempurnaan dari seorang wanita, dari dulu Riri memang sangat senang menjilati tubuh lawan mainnya tak terkecuali kaki dan ketiak. Lina, Intan, dan Moniq bahkan menyebut Riri sebagai ‘sex treatment’ berjalan, tapi Riri menyebutnya sebagai ‘mandi kucing’. ‘penyakit’nya lah yang membuat Riri benar-benar menjaga perasaannya terhadap teman cowok yang mendekatinya. Tentu Riri akan dicap sebagai cewek agresif dan nakal jika semua pria yang mendekatinya mendapatkan ‘mandi kucing’ darinya.<br /><br /><br />Jadi, Riri memang sengaja menciptakan kepribadian yang lain, cewek judes dan cuek agar tak sembarang pria bisa mendekatinya. Sampai saat ini, hanya ada 2 pria yang pernah merasakan mandi kucing dari Riri. Pertama, mantan pacarnya yang keempat, meski mantan pacarnya ada 6, tapi hanya yang keempat yang pernah mendapatkan Riri sepenuhnya. Riri dan mantannya yang keempat itu saling mencintai, tapi sayang mantannya harus pergi ke Sumatra mengikuti keluarganya. Dan pria kedua adalah kakeknya sendiri. Ya, pria yang mengambil keperawanan dan mengajari Riri untuk melayani pria dengan sepenuh hati termasuk mandi kucing adalah kakeknya sendiri. Secara teknis, kakek yang Riri kenal bukanlah kakek kandungnya. Kakek kandungnya meninggal dunia sudah lama sekali ketika ibu Riri masih berusia 7 tahun, dan peran kakek kandungnya digantikan oleh kakek tiri yang baik dan perhatian. Entah setan darimana, Riri dan kakeknya itu bisa berhubungan intim saat Riri masih 3 SMP. Sejak saat itu, Riri dan kakeknya menjalin hubungan tanpa dicurigai kedua orang tuanya sampai akhirnya kakeknya meninggal. Itulah mengapa Riri tak bisa melupakan kakeknya sampai sekarang.<br /><br /><br />“mmm…”. Malih hanya memandangi kakinya yang sedang dijilati Riri dengan penuh seksama.<br /><br /><br />“Ah, benar-benar mimpi yang indah”, pikir Malih.<br /><br /><br />Tak heran kalau Malih menganggap semua yang terjadi adalah mimpi. Jika bukan mimpi, rasanya tak mungkin ada seorang gadis muda yang sangat cantik seperti Riri mau melakukan seperti ini, di dunia nyata pasti tak ada yang mau mendekatinya, pikir Malih lagi. Kedua kaki Malih telah berlumuran air liur Riri. Kini, lidah Riri berjalan dari mata kaki kanan naik terus ke ujung bawah kolor Malih. Riri berpindah ke mata kaki kiri Malih. Pemandangan yang begitu liar melihat gadis secantik Riri menjilati seluruh tubuh pria tua seperti Malih. Kedua tangan Riri merayap masuk ke dalam kolor Malih di 2 sisi, kanan dan kiri dan bertemu di senjata Malih.<br /><br /><br />“hmmm…”, gumam Riri. Benda yang ada di dalam kolor Malih terasa begitu hangat dan kokoh.<br /><br /><br />“emm..”, Malih menikmati remasan dan pijatan tangan Riri di batang kejantanannya. Tangan gadis cantik itu terasa sangat hangat, lembut, dan lihai memijat. Riri mencumbui dan menjilati kolor Malih tepat di tengah-tengahnya. Padahal, kolor itu menyebarkan bau apek, tapi Riri kelihatan sangat nyaman berada di sana. Malih memang tidak terlalu merasakan efeknya, tapi rasa hangat dari ciuman mesra dan jilatan Riri benar-benar terasa. Merasa cukup, Riri menarik kolor Malih. Dia sempat terdiam saat melihat batang kejantanan Malih meloncat keluar. Riri tak pernah melihat penis yang kelihatan sangat kokoh, besar, dan panjang. Badannya memang kurus, tapi itunya, pikir Riri. Riri menarik kolor Malih dan melipatnya lagi dengan rapih. Kedua tangan halus Riri mendekati tongkat yang sudah berdiri tegak itu. Dielus-elusnya burung Malih, sesekali Riri mengusap-usap helm lunak Malih.<br /><br /><br />Malih merasa begitu dimanjakan oleh gadis cantik yang sedang ‘mengurusi’ alat kelaminnya. Ia memandangi Riri yang kelihatan begitu terampil dan tahu benar bagaimana memijat dan mengurut alat kelaminnya. Batang kejantanan Malih dielus-elus, diusap-usap, ditekan-tekan Riri di beberapa titik dengan satu atau kedua jempolnya, dan sesekali Riri menggunakan kedua tangannya untuk mengurut dari pangkal sampai ke kepalanya. Kantung zakar Malih juga dipijat dan diremas-remas lembut oleh Riri. Riri mendekatkan wajahnya ke selangkangan Malih. Bau apek ditambah aroma kejantanan yang begitu tajam tercium oleh Riri.<br /><br /><br />“cph cph cph”. Sekujur ‘roket’ Malih diciumi Riri. Bagian bawah, atas, kanan, kiri, dan juga lipatan antara batang dan zakar Malih mendapat ciuman dari gadis cantik itu. Riri berpindah ke zakar Malih sekarang. Sama sekali tak ada rasa enggan ataupun jijik, Riri terlihat begitu senang memanjakan alat kelamin Malih seolah sudah terbiasa dan menjadi kewajiban baginya untuk ‘membahagiakan’ Malih.<br /><br /><br />“mm..neeng..”, nikmat sekaligus basah sekali di bawah sana, begitulah yang dirasakan Malih.<br /><br /><br />Dengan lidahnya, Riri terus ‘menyapu’ kantung zakar. Sesekali Riri mencium dan mengemut-emut pelir Malih. Cantik, muda, baik, tubuh putih mulus, dan tahu benar cara ‘merawat’ alat kelamin pria, benar-benar cewek idaman. Batang kejantanan Malih mungkin terlihat seperti eskrim di mata Riri karena Riri kelihatan begitu menikmati senjata Malih itu.<br /><br /><br />“oooohhh teruss nenggg…enaaakkhhh”. Sudah lama tak merasakan nikmat dan hangatnya mulut wanita di alat kelaminnya, jadi tak heran kalau Malih sangat keenakan. Lidah Riri naik-turun di tongkat Malih dan sesekali, lidah gadis cantik itu berputar mengelilingi diameter penis Malih dari bawah sampai ke pucuknya. Riri tak henti-hentinya melumuri senjata Malih dengan air liurnya. Riri juga asik mengulik lubang kencing Malih seakan sumber mata air yang sedang dipancing keluar.<br /><br /><br />“mmm..”, desah Riri lembut dengan suara yang begitu menggoda saat dia mulai mengemuti kepala penis Malih.<br /><br /><br />“oohhh…”, desah Malih saat penisnya ditelan Riri sepenuhnya.<br /><br /><br />Kehangatan yang begitu luar biasa menyelimuti alat vitalnya, Malih pun menahan kepala Riri agar tidak bergerak. Lidah Riri senantiasa memberikan belaian kepada batang Malih. Riri mulai menggerakkan kepalanya naik-turun. Sesekali, Riri hanya mengemut kepala penis Malih sambil menggelitik lubang kencing Malih. Tangan Riri senantiasa memberikan pijatan dan remasan lembut pada pelir Malih. Riri bisa merasakan sedikit sperma Malih yang memang keluar dari lubang kencingnya. Batang Malih sesekali dikocok Riri untuk meratakan air liurnya. Riri berdiri, pandangan mata Malih tertuju pada tengah selangkangan gadis cantik itu. Sama sekali tak ada rambut kemaluan yang tumbuh di daerah itu sehingga bentuk vagina Riri dapat dilihat dengan sangat jelas oleh Malih. Riri menurunkan pinggangnya. Tangannya memegangi penis Malih. Begitu terasa posisi rudal Malih sudah tepat dan pas dengan vaginanya, Riri menurunkan pinggangnya.<br /><br /><br />“mmmm….”, gumam Riri senada dengan Malih.<br /><br /><br />Perlahan, vagina Riri terus menelan alat kelamin Malih.<br /><br /><br />“eemmhhh”, lirih Riri pelan merasakan sensasi di selangkangannya. Liang vaginanya terasa penuh sesak, terasa seperti ada sesuatu yang ‘mengganjal’ bagian tubuhnya, tapi sesuatu itu juga memberikan rasa yang sungguh nikmat di sekujur urat sarafnya, begitulah yang sedang dirasakan Riri. Sementara, Malih juga sedang meresapi hangatnya liang vagina Riri. Alat kelamin mereka saling mengikat satu sama lain. Vagina Riri mencengkram batang Malih dengan kuat, sementara penis Malih mengait rahim Riri dengan kokoh. Bentuk, panjang, dan diameter benda tumpul yang ada di dalam rahimnya terasa begitu pas sekali bagi Riri. Riri mendekatkan wajahnya ke wajah Malih. Begitu cukup dekat, bibir Riri langsung disambar Malih.<br /><br /><br />“mmpphh..ccpphhh..ccpphh…”. Keduanya begitu menikmati momen ini, ciuman mereka semakin dalam, semakin erat, semakin hangat, dan semakin mesra. Sementara itu, kedua alat reproduksi mereka pun sudah saling beradaptasi satu sama lain.<br /><br /><br />Riri mengangkat tubuhnya tegak. Mulutnya berlumuran air liur Malih, begitu juga sebaliknya. Pinggul Riri mulai bergerak maju-mundur.<br /><br /><br />“emmmmmmhhh…”, lirihan Riri pelan namun panjang dengan suara yang lembut.<br /><br /><br />“ooohhh neengghh”, desah Malih merasa luar biasa enak, burungnya seperti sedang digilas dan dikucek oleh vagina Malih. Riri juga merasakan kenikmatan yang sama. Selama waktu terus berjalan, Riri terus menggerakkan pinggulnya untuk tetap mengocok senjata Malih. Maju-mundur, kanan-kiri, naik-turun, berputar-putar, dan bahkan Riri mengangkat pinggulnya agak ke belakang, perlahan turun ke bawah sambil mendorong maju ke depan dan terakhir pinggulnya diangkat, seperti gerakan orang menyendok.<br /><br /><br />“ooohh aaahhh aaahhhh OOOUUHHH !!”, Riri menekan vaginanya ke bawah, sedangkan kedua tangannya menekan perut Malih.<br /><br /><br />Otot-otot gadis cantik itu menegang, dia sedang melepaskan puncak kenikmatannya. Padahal dia yang setidaknya memegang kendali, tapi kenapa dia yang tidak mampu menahan orgasmenya, Riri kebingungan. Sambil menunggu Riri mengatur nafasnya, Malih memegang kedua tangan Riri seolah sedang memberikan semangat kepada Riri. Malih menarik tubuh Riri ke bawah, dipeluknya tubuh putih mulus Riri. Dengan perlahan, Malih mengangkat tubuh Riri. Riri langsung melingkarkan tangannya di leher Malih dan kakinya di pinggang Malih, takut jatuh. Malih meletakkan tubuh Riri di kasurnya. Sekarang Riri berada di bawah dan Malih yang berada di atas. Mereka berdua bertukar posisi tanpa harus melepaskan ‘ikatan’ alat kelamin mereka. Ternyata masih bisa, pikir Malih merasa bangga masih bisa bertukar posisi tanpa harus mencabut penisnya seperti dulu.<br /><br /><br />“emmmhhh ooohh uuuhhh”. Malih mulai menyodok-nyodok rahim Riri, tak heran Riri mulai melirih keenakan.<br /><br /><br />Benda tumpul milik Malih terus bergerak maju-mundur di dalam liang kewanitaan Riri. Kecepatan genjotan Malih bertambah setiap menitnya. Semakin lama terasa semakin nikmat, keduanya semakin larut dalam kenikmatan persenggamaan yang begitu panasnya. Alat kelamin yang saling bergesekkan memang memberikan kenikmatan surga duniawi yang amat besar.<br /><br /><br />“OOOUUHHHH !!!”, lenguh Riri melepaskan orgasmenya. Malih mengubur penisnya dalam-dalam di rahim Riri dan mendiamkan burungnya itu sejenak untuk membiarkan Riri menikmati puncak kenikmatannya dan juga sekaligus menikmati burungnya yang berendam dalam kehangatan cairan vagina Riri.<br /><br /><br />“ccllkk ccllkk”, Malih mulai mencekoki vagina Riri lagi. Kini, mereka berdua menyelaraskan gerakan alat reproduksi masing-masing. Saat Malih mendorong penisnya masuk, Riri menekan vaginanya ke bawah.<br /><br /><br />Desahan-desahan Riri menghiasi malam di rumah Malih. Keduanya berpeluh keringat, sama-sama merasakan panasnya persenggamaan mereka. Nafas mereka sama-sama memburu, tubuh mereka sangat menikmatinya. Malih mendekap tubuh Riri dan menghujami liang kewanitaan Riri lebih cepat daripada sebelumnya.<br /><br /><br />“aahhh ooohhh ooohh mmhhh uuuhhh aaaaahhh”, Riri tak kuat menahan rasa nikmat yang dirasakannya.<br /><br /><br />Sodokan-sodokan Malih benar-benar cepat dan kuat, Riri hanya bisa melingkarkan kedua kakinya di pinggang Malih.<br /><br /><br />“eeennhhh dikiiid lagiii”, teriak Malih. Dengan dorongan yang sangat kuat, penisnya mentok di dalam rahim Riri. Tiba-tiba Malih mencabut keluar penisnya dan mengangkangi wajah Riri. Sambil mengocok dengan cepat, Malih mengarahkan senjatanya ke muka Riri. Riri langsung menyingkirkan tangan Malih, dan menggunakan tangannya untuk gantian mengocok.<br /><br /><br />“neeengghh..”, desah Malih saat Riri mengulum kepala penisnya sambil mengocok batang penisnya. Gadis cantik itu tahu benar kalau Malih akan ejakulasi.<br /><br /><br />“OOOKKKHHH !!!”, erang Malih, kedua tangannya menahan kepala Riri.<br /><br /><br />“crooot crooot !!”, semburan sperma Malih benar-benar kencang bagai keran air. Namun, Riri memang sudah siap untuk menampung sperma Malih. Rasanya sungguh kental, asin, dan begitu ‘laki-laki’, inikah rasa sperma yang sudah 3 tahun tidak dikeluarkan, pikir Riri. Riri menggelitiki lubang kencing pria tua itu untuk mendapatkan sisa-sisa spermanya.<br /><br /><br />Malih pun mengeluarkan penisnya dari mulut Riri.<br /><br /><br />“gllkk”, terlihat Riri menelan seluruh sperma Malih yang ada di mulutnya. Malih tidur di samping Riri.<br /><br /><br />“makasih neng Riri…”, ucap Malih membelai kepala Riri. Riri tersenyum dan memeluk Malih. Benar-benar mimpi yang sangat tak terlupakan, pikir Malih. Mereka berdua saling berpelukan erat dalam ketelanjangan mereka. Aroma keringat dan aroma persetubuhan begitu kental tercium di rumah Malih yang sempit. Mudah-mudahan gue gak sampe bangun, pikir Malih yang sedang ‘anget’ dipeluk Riri.<br /><br /><br />Nafsu Malih pun muncul lagi, tangannya iseng merayap ke bawah dan mengelus-elus selangkangan Riri. Riri memandang Malih dan tersenyum. Kayaknya neng Riri gak keberatan nih, kalimat yang ada di dalam benak Malih. Nafsu Malih yang tidak pernah dikeluarkan 3 tahun, semuanya dilampiaskan kepada Riri, seorang gadis cantik yang sangat ‘pengertian’ terhadapnya. Tak ada rasa enggan ataupun sungkan lagi pada diri Malih terhadap Riri, yang ada hanyalah otak mesum yang berpikir untuk merengkuh kenikmatan dari Riri. Nafsu Malih yang menggebu-gebu juga memancing gairah Riri. Keduanya bagaikan pengantin baru yang sedang menjalani malam pertama. Begitu bernafsu, begitu bergairah, tak ada yang bisa memisahkan mereka. Malih bisa menikmati setiap jengkal tubuh Riri sepuasnya seakan-akan Riri sudah menjadi istrinya. Riri pun melayani Malih dengan sepenuh hati seolah-olah jiwa dan raganya sudah menjadi hak milik Malih. Layaknya anak kecil yang mendapatkan permainan baru, mereka berdua terus melampiaskan gairah, bercinta dengan nafsunya sampai 4 ronde, meskipun mereka belum makan. Tapi, sepertinya rasa lapar terkalahkan oleh rasa nikmat duniawi yang tengah mereka rasakan. Mereka berdua sampai kelelahan dan akhirnya tertidur dalam berpelukan.<br /><br /><br />“hhhoohhmm..”, Malih bangun, dan mendapati dirinya tidur sendiri, hanya mengenakan kolornya.<br /><br /><br />“Pak Malih udah bangun ?”, tanya Riri yang masuk ke dalam. Sepertinya Riri dari luar.<br /><br /><br />“iyaa neng, hehe..”.<br /><br /><br />Malih tersenyum sendiri mengingat mimpinya ketika melihat Riri yang sepertinya sedang menyiapkan sesuatu.<br /><br /><br />“ayoo, Pak..sarapan dulu..kan dari tadi malem, kita belom makan..”. Seketika Malih kaget mendengar perkataan Riri. Malih juga jadi menyadari, mimpi tadi malam pastilah mimpi basah, tapi kenapa kolornya tidak terasa apa-apa alias kering-kering saja. Mereka berdua makan tanpa berbicara. Sebenarnya, Malih ingin sekali menanyakan tentang semalam kepada Riri, tapi tentu rasanya tak sopan.<br /><br /><br />“sini, Pak..piringnya..”. Riri membawa piring tadi ke kamar mandi untuk dicuci. Malih pun keluar rumah. Pagi hari ini terasa lebih segar dan lebih cerah bagi Malih. Badannya terasa segar bugar, enak sekali rasanya.<br /><br /><br />“ayo, Pak..kita keliling…”.<br /><br /><br />“ayo, neng…”. Sampai siang, mereka berdua berkeliling mengumpulkan sampah.<br /><br /><br />“neng Riri..”.<br /><br /><br />“iya, Pak ?”.<br /><br /><br />“apa neng Riri inget tadi malem ?”.<br /><br /><br />Tiba-tiba Riri berhenti menyuap makan siangnya.<br /><br /><br />“emang kenapa, Pak ?”.<br /><br /><br />“sebelumnya saya minta maaf, neng..”.<br /><br /><br />“iya, kenapa, Pak ?”.<br /><br /><br />“apa tadi malem saya ngapa-ngapain neng Riri ?”, kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Malih. Riri pun tersenyum dan mengangguk pelan.<br /><br /><br />“jadi tadi malem bukan mimpi ?”.<br /><br /><br />“bukan..”, jawab Riri tersenyum manis.<br /><br /><br />“maafin saya, neng, saya bener-bener minta maaf, neng…tolong jangan laporin saya ke polisi, neng…”, ujar Malih hampir sujud ke Riri.<br /><br /><br />“udah, Pak…”.<br /><br /><br />“saya bener-bener minta maaf, neng…”.<br /><br /><br />“saya nggak marah, Pak..”.<br /><br /><br />“ne..neng nggak marah ?”.<br /><br /><br />“iya, Pak…itu ucapan terima kasih saya..”.<br /><br /><br />“terima kasih apa, neng ?”, Malih jadi semakin bingung saja.<br /><br /><br />“terima kasih udah buat saya sadar, meskipun kehilangan orang yang di sayangi, tapi bapak tetep jalanin hidup…nggak kayak saya yang terus sedih keinget kakek saya..”. Malih tak bisa berkomentar. Dengan instingnya sebagai laki-laki untuk melindungi wanita dan membuatnya nyaman, Malih pun merangkul gadis cantik itu.<br /><br /><br />“maaf, neng..saya buat neng jadi sedih…”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak..ayo, Pak kita lanjut lagi, yuk..”.<br /><br /><br />“neng nggak apa-apa ?”.<br /><br /><br />“nggak apa-apa, Pak..ayoo, Pak…”.<br /><br /><br />Malih benar-benar bingung dengan Riri. Gadis cantik ini sangat sulit ditebak perasaannya. Tadi dia sedih, tapi sekarang dia kelihatan bersemangat dan senang. Tadi juga pas ditanya tentang semalam, Riri menjawab dengan malu-malu, padahal tadi malam, dia begitu bergairah dan sangat agresif. Seperti orang yang memiliki kepribadian ganda. Mereka berdua berkeliling seperti biasa sampai sore.<br /><br /><br />“ujan !!”.<br /><br /><br />“kita neduh di sana aja, neng…”. Padahal sudah mengembalikan gerobak, hanya tinggal kembali ke rumah saja, tapi mereka berdua harus berteduh karena hujannya cukup deras.<br /><br /><br />“neng Riri..”.<br /><br /><br />“iya, Pak ?”.<br /><br /><br />“saya mau ngucapin makasih…”.<br /><br /><br />“makasih kenapa, Pak ?”.<br /><br /><br />“udah ngebolehin saya kemaren malem..”.<br /><br /><br />“iya, Pak..sama-sama..”.<br /><br /><br />“saya nggak tau harus gimana lagi ngucapin makasih ke neng Riri..”.<br /><br /><br />“hmm…kata bapak, bapak dulu supir kan ?”.<br /><br /><br />“iya, neng..emangnya kenapa ?”.<br /><br /><br />“gimana kalau bapak kerja jadi supir saya aja ?”.<br /><br /><br />“nggak usah, neng..udah cukup neng Riri bantu saya..terutama tadi malem, saya nggak tau harus bales gimana ke neng Riri ?”.<br /><br /><br />“apa bapak bener nggak mau ? ntar bapak bisa pindah ke rumah saya..”. Tawaran Riri itu membuat Malih jadi berpikir keras. Satu sisi, Malih benar-benar merasa tak enak dengan Riri. Tapi di sisi lain, Malih membayangkan serumah dengan Riri. Jika beruntung, kejadian kemarin malam bisa terulang terus setiap malamnya.<br /><br /><br />“yang bener, neng ?”.<br /><br /><br />“iya, Pak..gimana, mau ?”.<br /><br /><br />“boleh deh, neng…tapi saya nggak usah digaji..”.<br /><br /><br />“lho ? masa bapak nggak mau digaji ?”.<br /><br /><br />“nggak usah, neng…saya serumah ama neng Riri udah seneng..hehe…”, Malih sudah berani merayu Riri.<br /><br /><br />“ah bapak bisa aja..”.<br /><br /><br />“hehe…yaudah, neng..saya beli makanan buat ntar malem..”.<br /><br /><br />“oh iya deh, Pak..kalo gitu saya tunggu di rumah yaa..”. Setelah membeli makanan, Malih pun berpikir selama perjalanan. Pria tua itu berpikir bagaimana caranya bilang ke Riri kalau dia ingin seperti kemarin malam.<br /><br /><br />“neng Riri ! ini makanannya !!”.<br /><br /><br />“iya, Pak !!”, jawab Riri yang sepertinya sedang berada di dalam kamar mandi.<br /><br /><br />Malih kaget sekali ketika melihat Riri keluar dari kamar mandi. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh putih mulus Riri. Mata Malih sangat dimanjakan oleh pemandangan yang ada di depannya. Kali ini, Malih sudah yakin, bahwa gadis cantik ini telanjang tidak di dalam mimpinya tapi memang betul-betul telanjang. Malih langsung memeluk Riri dan menciumi payudaranya.<br /><br /><br />“hihi…udah, Pak…kita makan dulu aja…”, canda Riri, tapi tak menghentikan Malih. Tak ada rasa canggung lagi di antara mereka berdua, rasa itu telah sirna. Seolah mereka sudah terbiasa. Malih merasa sudah memiliki Riri sepenuhnya, jadi tak perlu sungkan lagi terhadap Riri. Riri pun merasa dirinya tak bisa menolak kemauan Malih.<br /><br /><br />“oh iya deh, neng..kita makan dulu…”. Mereka berdua makan. Sesekali Malih iseng mencolek puting Riri. Mereka sama sekali tak kelihatan seperti orang yang baru kenal, mereka seperti pasangan suami-istri yang setidaknya telah bersama selama 2 tahun.<br /><br /><br />Semuanya karena Riri yang agresif dan nakal. Tapi, bukan tanpa alasan Riri jadi ‘nakal’ seperti temannya Lina, Riri merasa sedang bersama kakeknya karena wajah Malih mirip dengan kakeknya. Tak heran kalau Riri tak merasa canggung bugil di hadapan Malih.<br /><br /><br />“rrsss…”.<br /><br /><br />“ujan ya, Pak ?”.<br /><br /><br />“iya, neng..kayaknya ujan..”. Sungguh keadaan yang ideal, hujan deras, hawa dingin, dan bersama seorang gadis cantik yang sudah telanjang bulat. Hanya satu yang bisa dilakukan, pikir Malih.<br /><br /><br />“neng Riri kedinginan nggak ?”.<br /><br /><br />“hmm..”.<br /><br /><br />“saya buat anget..mau gak ?”. Riri hanya tersenyum. Malih pun mendorong tubuh Riri hingga gadis cantik itu terlentang dengan pasrah. Hampir tak percaya dengan nasibnya sendiri, Malih memandangi Riri. Sama sekali tak menduga, setelah 3 tahun, ia bisa merasakan kehangatan seorang wanita, apalagi wanita yang masih muda dan sangat cantik. Kali ini Malih memastikan dia yang berkuasa dengan menindih Riri. Digelutinya setiap jengkal tubuh Riri yang segar nan harum, membuat Malih semakin bernafsu untuk merengkuh kenikmatan darinya. Bercinta dengan gadis muda nan cantik yang sangat bergairah membuat Malih merasa muda kembali. Malam yang dingin sama sekali tak terasa oleh mereka berdua. Malam itu mereka lalui dengan kehangatan. Esoknya, Malih membawa barang-barangnya untuk pindah ke rumah Riri.<br /><br /><br />“ayo, Pak..masuk..”.<br /><br /><br />“waah..apa kamar ini nggak kebagusan, neng ?”.<br /><br /><br />“nggak lha, Pak…ini kan kamar Riri..”, Riri sudah tidak memakai saya lagi.<br /><br /><br />“ha ? kamar neng Riri ? terus kamar bapak di mana, neng ?”.<br /><br /><br />“ya disini..”.<br /><br /><br />“sekamar ama neng Riri ?”.<br /><br /><br />“iya, Pak..apa bapak mau kamar sendiri ?”, goda Riri.<br /><br /><br />“nggak ah, neng…di sini kayaknya enak..hehe..”. Malih langsung menomplok Riri yang sedang tidur terlentang di ranjang.<br /><br /><br />“bentar dulu, Pak…Riri mau ngejelasin sesuatu dulu…”. Malih pun bangun dan duduk di tepi ranjang, Riri duduk dengan kaki selonjoran.<br /><br /><br />“mau jelasin apa, neng ?”.<br /><br /><br />“gini, Riri kan nyewa orang buat bantu Riri beres-beres rumah, namanya mbok Ratih..”.<br /><br /><br />“iya, terus neng..?”.<br /><br /><br />“Pak Malih nggak apa-apa kan kalo pura-pura pulang pas mbok Ratih pulang juga ?”.<br /><br /><br />“emangnya mbok Ratih pulang jam berapa ?”.<br /><br /><br />“jam 6 sore, Pak…”.<br /><br /><br />“tapi bapak boleh balik lagi kan, neng ?”.<br /><br /><br />“ya boleh lah, Pak…ntar nggak ada yang nemenin Riri..”.<br /><br /><br />“beres deh kalo gitu, neng..hehe”.<br /><br /><br />“satu lagi, Pak…bapak gak keberatan kan manggil Riri pake non ?”.<br /><br /><br />“ya nggak lha, neng..eh non..kan non Riri emang majikan bapak..hehe…”.<br /><br /><br />“majikan ? tapi kok digrepe gini ?”, canda Riri.<br /><br /><br />“abisnya majikannya baik sih..jadi gak bakal marah kalo bapak grepe…hehehe..”.<br /><br /><br />“dasarr…”, Riri menjepit hidung Malih dengan kedua jarinya.<br /><br /><br />“oh iyaa, non..terus sekarang mbok Ratihnya mana ?”.<br /><br /><br />“pulang kampung, Pak…”.<br /><br /><br />“berapa lama, non ?”.<br /><br /><br />“katanya sih 2 sampai 3 minggu..”.<br /><br /><br />“kalo gitu, cuma ada kita bedua nih, non ? 2 minggu ?”, kedua tangan Malih meremasi gumpalan daging kembar Riri yang empuk dan kenyal itu untuk menaikkan ‘tensi’nya. Riri mengangguk sambil merasakan nikmat dari payudaranya yang sedang diremas-remas oleh Malih.<br /><br /><br />Kedua insan itu pun melakukan proses reproduksi seksual yang begitu ‘panas’. Benar saja sebuah ungkapan “kehidupan seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah”. Yang tadinya hanya seorang tukang sampah yang sendirian kini menjadi supir yang bisa bercinta dengan majikannya yang masih muda dan sangat cantik itu, ditambah gaji 750000/bulan. Sungguh perubahan nasib yang drastis yang dirasakan Malih. Handycam Riri merekam semuanya dari pertama kali Riri membantu Malih mengumpulkan sampah sampai kini Malih tinggal bersamanya. Riri memang tidak mengincar hadiah dari tantangan, tapi dia menggunakan handycamnya untuk menyimpan momen-momen kebersamaannya bersama Malih.<br /><br /><br />“halo Ri ?”.<br /><br /><br />“eh, Lin ? lo gimana sih ? gak ada kabar ? Moniq n’ Intan juga gak ada kabarnya ?”.<br /><br /><br />“iyaa, maaf…seminggu ini pada sibuk ama liburan siih…”.<br /><br /><br />“yaudah..kapan nih ketemu lagi ? gue bosen banget di rumah…”.<br /><br /><br />“besok ke villa gue aja, nih gue lagi di villa bareng Intan n’ Moniq, nonton video liburan si Moniq…lucu banget..hihi..”.<br /><br /><br />“lucu gimana ?”.<br /><br /><br />“dia kan liburannya jadi peternak..nah ama bapak yang direpotin Moniq..si Moniq dijadiin sapi, diperah n’ dimandiin kayak sapi..hihi..kocak..”.<br /><br /><br />“gue jadi penasaran pengen liat si Moniq jadi sapi..haha..”.<br /><br /><br />“yaudah..besok ke sini..bawa handycam lo..gue pengen liat..pasti lo hot maennya..”.<br /><br /><br />“tapi pasti lebih hot lo lah..lo kan terangsang terus..”.<br /><br /><br />“enak aja lo…lo tuh sex treatment berjalan..oh iyaa lo jadi apa ceritanya ?”.<br /><br /><br />“tukang sampah..”.<br /><br /><br />“ha ? tukang sampah ? kan tukang sampah bau ? lo masih ngelakuin sex treatment ?”.<br /><br /><br />“iyaa, kan udah kebiasaan..hehe..lo jadi apaan, Lin ?”.<br /><br /><br />“jadi bu tani…”.<br /><br /><br />“jangan bilang lo begituan di sawah ?”.<br /><br /><br />“ya nggak lah..emangnya gue si Intan..”.<br /><br /><br />“ya kirain gtu..haha..”.<br /><br /><br />“yaudah, gue tunggu besok ya, beib…”.<br /><br /><br />“okee, beib..duduw…”. Riri keluar kamar.<br /><br /><br />“Pak Malih..besok anterin Riri ke villa temen yaa ?”.<br /><br /><br />“beres non…”.<br /><br /><br />So, di antara 4 bunga kampus itu, siapakah yang akan mendapatkan hadiahnya. Apakah Lina Arliani Gevistha, seorang gadis cantik yang mudah terangsang, sedikit eksibisionis, dan sangat suka bercinta sampai larut malam. Atau Intannia Savitri, gadis manis dengan sifat asli sebagai eksibisionis sejati, sangat suka berhubungan intim di alam terbuka, dan tidak pernah menolak jika ‘dikeroyok’. Atau mungkin, Monica Cynthia Margaret, gadis imut yang sangat menyukai bondage sex, dan semakin bergairah jika semakin ‘tersiksa’ saat disetubuhi. Atau malah, Riri Oktaviana, gadis cantik yang memiliki 2 kepribadian, dan memiliki sex treatment dengan lidahnya sebagai pelayanan total untuk lelaki yang dikaguminya. Who knows ?Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-81936554405963265692012-03-31T15:59:00.001-07:002012-03-31T15:59:34.909-07:00Kisah Beauty & the Beast: Tamara Bleszinsky’s Hidden Diary<a href="http://kisahbebe.blogspot.com/2011/08/tamara-bleszinskys-hidden-diary.html?spref=bl">Kisah Beauty & the Beast: Tamara Bleszinsky’s Hidden Diary</a>: Agustus 27, 2007 <br />
<br />
Tamara Bleszinsky <br />
Suasana di kamar Presidential Suite itu jelas dirancang untuk membangun suasana yg romantis. Caha...Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-54608425157800048192012-03-31T15:53:00.001-07:002012-03-31T15:53:28.600-07:00Nikmatnya Membalas BudiHai teman-teman, jumpa lagi dengan saya Citra. Wah setelah sekian lama mengundurkan diri dari tulis menulis cerita dewasa, saya terhenyak ketika mendapati cerita dewasa Indonesia ternyata telah berkembang sedemikian pesat. Setelah situs kesayangan kita 17tahun.com wafat, ternyata banyak penulis-penulis kreatif yang bermunculan seperti contohnya ya situs Kisabb nya Bang Shusaku ini, yang katanya terinspirasi dari cerita-cerita saya, duh malunya, masa sih saya sampe segitunya. Makasih ya Bang, makasih juga atas dukungan para penggemar cerita saya yang masih mengalir sampe sekarang, terbukti dari email-email yang masih sering masuk padahal cerita saya sudah lama terkubur. Melihat perkembangan cerita dewasa Indonesia yang sangat pesat saya jadi tergoda untuk turut menyumbang tulisan lagi nih, maka di tengah-tengah kesibukan kerja saya sengaja menyempatkan diri untuk menulis lagi memenuhi permintaan teman-teman sekaligus meramaikan blog Mr. Shusaku ini. Makasih banget ya Bang karena telah berhasil ‘memaksa’ saya turun gunung menulis pengalaman saya lagi. Baiklah supaya tidak buang waktu lagi perkenankan saya memulai saja cerita saya kali ini, moga-moga berkenan di hati teman-teman.<br /><br />Namaku Andani Citra, kini aku telah berusia 26 tahun dan telah bekerja di sebuah perusahan multinasional. Kehidupan seksku masih beraliran bebas (atau mungkin lebih tepatnya liar) walau setelah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja aku harus menguranginya seiring dengan kesibukanku di perusahaan dan tentunya harus lebih mampu membawa diri dong, jangan gara-gara nafsu sesaat berpengaruh buruk bagi karirku di perusahaan. Cerita ini terjadi tahun 2009 yang lalu ketika aku di Bandung, saat itu aku menghadiri sebuah resepsi pernikahan salah seorang anggota keluarga dari pihak mamaku. Karena kedua orang tuaku berhalangan hadir aku lah yang menghadiri undangan tersebut bersama Tante Linda, adik dari mamaku yang paling kecil atau bungsu dari 7 bersaudara keluarga mamaku. Beliau berumur 35 tahun dan telah menjanda sekitar lima tahun yang lalu dengan seorang anak perempuan yang telah berusia 8 tahun. Meskipun usianya telah kepala tiga dan pernah melahirkan, Tante Linda masih terlihat segar dan menggairahkan, terlebih dandanannya yang modis dan natural membuatnya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Hubungannya denganku terbilang cukup akrab, obrolan kami saling nyambung satu dengan lainnya, mungkin karena usianya relatif masih muda sehingga masih bisa mengikuti gaya satu generasi di bawahnya seperti aku ini. Di Bandung kami menginap di salah satu hotel bintang tiga di jalan Pasirkaliki. Hari Sabtu malam kami berdua menghadiri undangan tersebut yang diselenggarakan di sebuah gedung serbaguna yang tidak terlalu jauh dari hotel tempat kami menginap. Dapat dibilang hari itu sangat melelahkan, bagaimana tidak begitu sampai di Bandung siangnya kami sudah dijamu oleh keluarga yang punya pesta (kami tidak sempat menghadiri pemberkatan nikah karena terlambat) lalu disusul harus ke salon untuk menata rambut dan make up kami, kemudian kembali ke hotel untuk bersiap-siap. Pesta pernikahan yang termasuk mewah itu berjalan lancar, kami pulang kembali ke hotel jam sembilan lebih. Setelah sikat gigi dan membersihkan make up aku langsung menjatuhkan diri ke ranjang, rasanya seperti surga saja setelah hari yang demikian padat. Aku sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan Tante Linda sebelum akhirnya terlelap di ranjang hotel yang empuk.<br /><br />Keesokan harinya setelah sarapan di hotel, itulah saat yang kutunggu-tunggu, apa lagi kalau bukan belanja. Andre salah satu sepupuku mengantar kami berkeliliing kota Bandung yang terkenal sebagai sorganya belanja dan kuliner. Tujuan pertama kami adalah factory-factory outlet di sepanjang jalan Dago. Yang namanya berbelanja memang sering membuat orang lupa waktu, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul dua siang, sudah lebih dari jam makan siang. Kami menenteng belanjaan kami memasuki sebuah kafe di sana dan makan dengan lahap. Kulihat belanjaan Tante Linda, wow ternyata tanteku yang satu ini gila belanja juga, beliau juga tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pakaian atau aksesoris yang disukainya. Setelah Dago kami meneruskan perjalanan ke Rumah Mode di kawasan Setiabudi, kami tidak terlalu lama di sana sebelum akhirnya kembali ke hotel jam setengah enam sore. Acara selanjutnya adalah kumpul-kumpul bersama famili lagi. Aku cukup menikmati acara itu karena dapat bertemu lagi dengan saudara-saudara dan ngobrol-ngobrol sampai lupa waktu. Sepulangnya ke hotel jam 9 malam, aku baru sadar ternyata blackberry ku tidak ada di tasku. Alat komunikasi itu biasanya kutaruh di sebuah pouch berwarna merah muda, di dalamnya juga ada sedikit uang, beberapa kartu nama, serta beberapa benda kecil lainnya. Tentu saja aku panik setelah menyadari blackberry ku hilang karena di dalamnya ada nomor dan data-data penting. Aku mulai mengingat-ngingat di mana aku meletakkan benda itu sebelumnya. Apakah di restoran tempat acara keluarga tadi? Atau di tempat berbelanja atau tempat makan tadi siang?<br />“Kenapa ga hubungin langsung aja ke nomornya Ci?” usul Tante Linda melihatku yang mulai panik.<br />Benar juga pikirku, kenapa tidak kuhubungi saja, siapa tahu diterima oleh orang yang memungutnya yang kuharap orang jujur dan bersedia mengembalikannya. Tante Linda mengulurkan ponselnya padaku membiarkanku untuk memakainya menghubungi nomorku sendiri. Dengan harap-harap cemas aku menanti seseorang menerima panggilanku.<br /><br />“Ya…hallo!” terdengar suara pria di seberang sana menerima teleponku.<br />“Hallo, ini siapa ya?” tanyaku<br />“Ai neng siapa ya?” tanyanya lagi dalam logat Sunda.<br />“Saya…saya yang punya blackberry Pak, eemm…maaf Pak blackberry yang Bapak pegang sekarang itu punya saya”<br />“Oooh…jadi Neng yang punya hape ini teh?“<br />“Iya Pak, Bapak dapet barang itu darimana? Tolong Pak itu barang penting”<br />“ Bapak mah nemu hapenya di bangku depan Rumah Mode neng, kayanya si neng lupa bawa nya??? tanya pria itu<br />Rumah Mode…ya ampun aku baru ingat, setelah selesai berbelanja di sana, kami duduk-duduk dulu di bangku batu di depan FO itu sambil beristirahat dan menikmati snack. Ternyata di sana lah pouch berisi blackberryku tertinggal.<br />“Eeennggg…Pak apa kita bisa ketemu saya buat ngembaliin barang itu, itu penting Pak, saya bersedia ngasih imbalan kalau Bapak mau ngembaliin” ucapku penuh harap<br />“Bisa Neng…bisa…Bapak juga lagi nunggu yang punya nelepon ke sini, da dosa atuh nyimpen barang yang bukan punya Bapak mah!” jawab suara di sana, “Neng di mana? Biar nanti Bapak anterin hapenya besok?”<br />“Saya di Hotel D’batoe di Pasirkaliki Pak, Bapak tau ga? Bapak besok siang bisa anterin? Soalnya saya sorenya udah harus pulang ke Jakarta”<br />“Ooh…boleh Neng, jadi besok Bapak anter ke sana aja yah, jam 1an abis makan siang bisa Neng?”<br />“Bisa Pak, saya tunggu ya, nanti kalau udah dateng bilang aja ke resepsionis biar nanti dia panggil saya di kamar, bilang mau ketemu Citra dari kamar 2011”<br />“Iya Neng siap, Bapak pasti dateng besok!”<br />“Makasih ya Pak, saya tunggu besok, maaf ini dengan Bapak siapa ya?”<br />“Agus Neng”<br />“Ooh…ok deh Pak Agus, sampai besok ya”<br />Setelah selesai menelepon, hatiku sedikit lega dan mengembalikan ponsel itu pada Tante Linda. Semoga saja bapak itu menepati janjinya besok akan datang untuk mengembalikan blackberryku.<br /><br />*********************<br />Keesokan harinya<br /><br />Pagi setelah sarapan kami mulai membereskan barang-barang kami karena akan pulang sore hari jam 6.45. Aku bersama Tante Linda menyempatkan diri berjalan-jalan di Mall Istana Plaza dekat tempat kami menginap. Dasar wanita, dari yang tadinya cuma mau jalan-jalan menghabiskan waktu menunggu kereta berangkat malah akhirnya berbelanja juga, ga tahan deh lihat barang bagus hehehe...Jam 11an ketika masih di mall, saudaraku menelepon Tante Linda katanya akan menjemput kami untuk makan siang bersama. Mereka datang sekitar setengah jam setelahnya. Mereka menjamu kami makan siang di sebuah restoran Thai di mall itu. Di tengah makan dan berbincang-bincang, tiba-tiba aku teringat akan bertemu dengan Pak Agus di hotel tempatku menginap untuk menerima blackberryku. Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit, astaga…bagaimana kalau dia sudah datang dan menungguku? Aku pun terpaksa harus mohon diri pada saudara-saudaraku untuk kembali ke hotel dan akan segera kembali kalau sudah selesai urusannya. Mereka pun nampaknya mengerti alasanku.<br />“Lain kali taro barang hati-hati Ci, untung ada orang yang baik mau ngembaliin” nasehat salah seorang tanteku yang sudah berumur di atas setengah abad.<br />Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya sebelum meninggalkan mereka. Hanya dengan berjalan kaki lima menitan aku sudah tiba ke hotel dan langsung ke meja resepsionis menanyakan apakah tadi ada orang mencariku.<br />“Belum ya Mbak, dari tadi pagi saya disini tapi belum ada” jawab si mbak resepsionis.<br />“O, ya udah deh Mbak, saya tunggu aja di kamar, nanti kalau sudah datang telepon aja ya, janjinya sih deket-deket jam segini” pesanku<br />Setelahnya aku pun kembali ke kamar dan menyalakan TV untuk menunggu kedatangan Pak Agus. Waktu terus berjalan, sebentar lagi sudah mau setengah dua, tapi belum ada juga yang menelepon ke sini. Kegelisahan mulai kembali menyelubungiku, jangan-jangan si bapak berubah pikiran tidak mengembalikan blackberry itu dan menjualnya, pikiran-pikiran negatif lain mulai membayangi pikiranku. Aku menelepon Tante Linda menanyakannya apakah akan sudah mau pulang ke hotel atau masih akan kemana lagi?<br /><br />Tante Linda berkata bahwa selanjutnya mereka akan ke Kota Baru Parahyangan dan menyuruhku segera kembali ke Istana Plaza. Aku sempat agak bingung memilih apakah harus tetap menunggu atau pergi saja karena Pak Agus tidak akan datang mengembalikan blackberry itu. Tapi feelingku mengatakan aku harus menunggu sehingga kujawab sebaiknya mereka pergi saja tanpa aku karena masih belum datang, tidak enak pada yang lain, aku juga beralasan agak tidak enak badan, takutnya tambah parah.<br />“Ya ok deh Ci, kalau gitu kamu istirahat aja, Tante ga lama kok jam tiga udah balik katanya” jawab Tante Linda.<br />“Ok deh tante, sori nih jadi pada nunggu, sampe nanti ya!” kataku menutup pembicaraan.<br />Kini aku hanya berharap supaya tidak menyesal memutuskan demikian, kuharap Pak Agus akan datang sesuai janjinya kemarin. Omong-omong kalau dia benar datang akan kuberi apa sebagai imbalannya ya? Hhhmmm…tiba-tiba aku mulai mupeng nih, aku berpikir bagaimana kalau mengajaknya ML saja, kan mumpung cuma aku sendirian di kamar ini. Aku mulai terangsang membayangkan yang tidak-tidak, tanganku mulai meraba bagian selangkanganku dan membayangkan seperti apa Pak Agus orangnya, kalau dari suaranya sih sudah setengah baya, tapi itu tidak masalah, aku toh sudah mencoba berbagai jenis pria sebagai partner seksku. Baru saja tanganku hendak membuka resleting hotpants yang kupakai telepon di sebelah ranjangku berbunyi. Aku segera mengangkatnya, telepon itu dari resepsionis yang memberitahukan bahwa ada seorang pria mencariku dan kini sedang menunggu di lobby hotel. Thanks God, betapa lega hatiku karena orang itu akhirnya menepati janjinya sehingga aku tidak perlu kehilangan data-data di blackberryku, di saat yang sama aku juga berdebar-debar kalau aku harus memberi hadiah ‘nakal’ pada Pak Agus itu. Aku segera keluar dari kamar setelah memastikan diriku sudah rapi di depan cermin besar di dekat pintu. Saat itu pakaian yang melekat di tubuhku adalah sebuah kaos lengan pendek berwarna pink dan sebuah hotpants biru tua yang memamerkan sepasang paha jenjangku. Sejak di mall tadi memang penampilanku telah mengundang decak kagum para pria, aku dapat merasakan mereka ngiler melihat bentuk tubuhku ini. Aku melangkahkan kakiku menuruni tangga, di ruang tunggu lobby aku melihat seorang bapak setengah baya kira-kira berusia 50 tahun ke atas, berambut cepak hampir botak, sedang duduk di sofa, kutebak itulah Pak Agus karena tidak ada tamu lain lagi.<br />Pak Agus<br /><br />“Ehehe…Neng Citra yah?” pria itu berdiri dan memberi salam sambil tersenyum ramah.<br />“Iya bener…siang Pak Agus, makasih ya udah repot-repot nih!” aku mengulurkan tangan padanya untuk bersalaman<br />Aku dapat memperhatikan matanya mencuri-curi pandang tubuhku, terlebih ketika aku duduk dan menyilangkan kakiku, pasti dalam otaknya sudah mulai mupeng tuh hehehe…<br />“Maaf yah Neng bapak terlambat, tadi di jalan macet, tempat bapak kan lumayan jauh, ke sini juga pake angkot!” katanya<br />“Gak papa kok Pak, justru saya yang maaf udah bikin Bapak datang jauh-jauh ke sini buat anterin barang saya!” kataku sambil tersenyum manis<br />“Ini Neng barang punya Neng, coba diperiksa aja dulu!” katanya seraya mengeluarkan pouch blackberry ku dari balik jaket lusuhnya.<br />Aku senang sekali melihat benda itu kembali, setelah menerimanya aku segera memeriksa isinya, kartu-kartu nama masih lengkap bahkan sedikit uang yang kuselipkan di situ tidak kurang sedikitpun. Dalam hati aku sangat bersyukur masih ada orang jujur di dunia ini.<br />“Duh makasih banget yah Pak, ini penting semua loh…Bapak nemuin ini gimana??” tanyaku<br />“Ya itu Neng, ketinggalan di bangku, bapak kan tukang parkir di situ, jadi pas ngeliat, langsung diamanin sama bapak teh” ia menjelaskan sambil pandangannya terus saja menyapu tubuhku.<br />“Iya nih Pak keasyikan belanja sampe ceroboh, bener Pak saya berterima kasih sekali ke Bapak” aku berterima kasih lagi, “Emm…sebagai balasannya saya sudah mempersiapkan hadiah buat Bapak, apa Bapak mau ikut saya ke kamar soalnya masih saya simpan di sana?”<br />“Oh gak usah Neng ga usah, Bapak gak ngeharap hadiah kok, cuma nolongin orang aja!” tolaknya halus, “Bapak punten dulu yah!” ia berdiri hendak pergi<br />“Pak tolong diterima ya, ini sebagai rasa terima kasih saya pada Bapak!” aku berdiri dan menatapnya dengan penuh harap.<br />“Eeemmm...kalau Neng maksa, ya udah tapi jangan lama ya Neng kan ga enak” ia akhirnya mengiyakan juga<br />Akupun berjalan kembali ke kamarku di atas dengan diikuti olehnya. Aku dapat merasakan ia terus memperhatikan tubuhku terutama saat naik tangga.<br />“Hehehe...ga enak, ga enak apanya? Nanti juga keenakan lo!” tawaku dalam hati.<br />“Duduk dulu Pak, mau minum apa?” tanyaku setelah masuk ke kamar.<br />“Ehehe...apa aja deh Neng” jawabnya masih agak grogi.<br /><br />Aku membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol Pulpy Orange, kubuka tutupnya dan kutuangkan isinya ke dalam gelas.<br />“Diminum Pak!” kataku seraya menyodorkan gelas itu padanya.<br />Saat ia meneguk minumannya aku dengan gerakan menggoda membuka kaosku lalu hotpantsku. Pria itu hampir tersedak melihat pertunjukan erotisku tepat di hadapan matanya. Kini tinggal bra dan celana dalam ungu yang tertinggal di tubuhku. Matanya membelakak menyaksikan kemulusan tubuhku dengan mulut melongo.<br />“Eee...ehhh...apa nih Neng, kok kaya gini sih?” tanyanya tergagap-gagap.<br />Aku yakin perasaannya berkecamuk antara bingung dan tidak percaya, rasanya ia seperti sedang bermimpi, tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku mendekati dirinya yang sedang terpana, kuambil gelas yang isinya tinggal seperempatnya itu dan kuletakkan di meja di sebelahnya, lalu aku naik ke pangkuannya. Kuraih tangan kanannya dan kuletakkan di dadaku dan tanpa banyak bicara lagi, wajahku mendekati wajahnya hendak menciumnya. Tapi tanpa kuduga, ia menurunkanku dari pangkuannya dan buru-buru berdiri.<br />“Neng apa-apaan nih? Jangan gini ah, ga baik Neng, dosa...ga pantes Neng!” katanya gugup.<br />“Nggak Pak...nggak apa-apa, saya cuma ingin berterima kasih ke Bapak karena sudah membantu saya, Bapak boleh nikmati saya sepuasnya” kataku sambil merangkul lengannya, tapi ia segera menepiskannya<br />“Iyah tapi jangan gini Neng, Bapak udah punya istri sama anak, dosa atuh kalau selingkuh mah Neng!” katanya dengan logat Sunda yang kental.<br />Kulihat wajahnya serius dan nampaknya tidak ingin berbuat selingkuh, aku pun sempat kagum dibuatnya, baru kali ini ada yang menolak kenikmatan yang kutawarkan.<br />“Ya udah deh Pak, maaf ya kalau saya keterlaluan, kita anggap aja kejadian barusan itu nggak ada” kami sempat saling terdiam beberapa saat lalu aku melanjutkan, “kalau sudah tidak ada apa-apa Bapak boleh pergi, sekali lagi terima kasih dan maaf ya Pak”<br />Ia mengangguk, tapi matanya tidak lepas memandangi tubuhku yang tinggal memakai pakaian dalam.<br /><br />“Bapak permisi ya Neng!” katanya seraya mengambil kembali topi petnya di atas meja lalu berdiri.<br />Aku berjalan dulu di depan untuk membukakan pintu baginya. Tapi tanpa kuduga-duga, bar u saja hendak membuka kunci, tiba-tiba tubuhku didekap dari belakang. Aku pun secara refleks meronta panik.<br />“Eeehhh...Pak, ngapain nih!” kataku sambil berusaha melepaskan diri.<br />Ia menghimpitku ke sudut ruangan sebelah pintu dan tangannya mulai menggerayangi tubuhku. Memang inilah yang sejak tadi kuharapkan, tapi aku sengaja bersikap seolah-olah menolak untuk menaikkan nafsunya dan juga menaikkan gengsiku akibat penolakkannya barusan.<br />“Jangan Pak...apa-apaan sih!” aku setengah berteriak dan menepiskan tangannya yang meremas payudaraku yang masih tertutup bra.<br />“Maaf Neng, kan Neng yang tadi ngajak duluan, Bapak jadi gak tahan nih ngeliat bodi Neng bahenol gini...masih boleh kan? Hehehe” tangannya kembali mencaplok payudaraku sementara tangan satunya mengelusi pahaku hingga ke pantat.<br />“Uuuh...jangan gitu Pak, ssshhh!!” desahku saat tangannya yang kasar dan sudah berkeriput menyusup ke balik cup bra ku dan bersentuhan langsung dengan payudaraku.<br />“Kok jangan Neng? Kan tadi Neng yang godain Bapak huehehehe...” sahutnya sambil memencet putingku sehingga aku seperti merasakan gelombang kenikmatan mengaliri tubuhku.<br />Perlakuannya membuatku langsung lemas terbuai kenikmatan sehingga rontaanku pun semakin lemah. Ia kini membalik tubuhku hingga saling berhadapan dengannya lalu bibirnya melumat bibirku dengan rakusnya.<br />“Eeemmm...mmmhh....ssllkk...ssssllrrp!” suara desahan tertahan terdengar dari mulutku saat berpagutan dengannya.<br />Selama beberapa menit lamanya kami bercumbu dengan penuh gairah, lidah kami saling belit dan saling jilat, air liur kami saling bertukar, aku juga dapat merasakan bau cengkeh pada mulutnya, agaknya ia lumayan perokok juga. Selama itu pula tangannya tidak pernah diam menjelajahi tubuhku, tangan satunya masuk ke celana dalamku bagian belakang dan meremasi bongkahan pantatku dengan gemasnya sementara tangan lainya memeloroti bra sebelah kiriku lalu mempermainkan payudaraku yang sudah terbuka.<br /><br />Mulut Pak Agus kini turun ke bawah sambil mencium dan menjilati leherku terus menuju payudaraku. Lidahnya menjalar dan meliuk-liuk pada putingku yang makin mengeras, menghisap dan meremas-remas payudaraku. Sementara itu tangannya yang tadi meremasi pantatku kini mulai merayap ke depan menyentuh kemaluanku yang ditumbuhi bulu-bulu lebat. Jari-jari nakal itu mengelus-elus bagian sensitifku dari balik celana dalam. berusaha membuka penutup terakhir itu, tapi aku sengaja pura-pura menolak agar ia semakin bernafsu padaku<br />"Udah ah Pak, jangan terusin!" tolakku dengan suara sedikit mendesah.<br />“Si neng ah, malu-malu mau gini malah bikin bapak tambah konak pengen ngentotin neng huehehehe...mmmm....slllrrpp!” katanya sambil terus mengenyot payudaraku<br />“Eenngghh!! Pak!” desahku dengan tubuh menggelinjang ketika dua jarinya membelah bibir vaginaku dan mulai mengorek-ngorek liang kenikmatanku.<br />Jari-jari itu bergerak liar dalam vaginaku seperti ular sehingga aku pun menggeliat dan mendesah merasakan kenikmatannya. Sebentar saja wilayah kewanitaanku sudah becek dengan lendir dibuatnya.<br />“Di ranjang aja Pak!” kataku sambil memegang pergelangan tangannya yang sedang mengaduk-aduk di balik celana dalamku dan kutarik ke arah ranjang.<br />Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang sementara ia berlutut di lantai di tepi ranjang dan menarik lepas celana dalamku. Matanya seperti mau keluar menatapi vaginaku yang sudah terbuka, dengan ditumbuhi bulu-bulu hitam dan bagian tengahnya yang merah merekah mengundang gairah.<br />“Ooohh...Pak!!!” desahku sambil meremas rambutnya yang sudah beruban ketika kurasakan nafasnya menerpa vaginaku disusul sapuan lidahnya pada bibir vaginaku yang menyebabkan tubuhku menggelinjang nikmat.<br />Aku berbaring dengan tubuh setengah terangkat dengan bertumpu pada kedua siku tanganku sehingga aku dapat melihat wajahnya yang mupeng berat saat melumat vaginaku.<br />“Aaaahhh...teruss Pak, disitu enak...yahhh!!” erangku ketika pak Agus dengan nakal menyedot klitorisku dan menyeruput cairan cintaku yang memang rasanya sejak tadi terus mengalir.<br />Dan yang bisa kulakukan hanya merintih dan mengejang keenakan tanpa mampu menyembunyikan rasa nikmat yang mendera tubuhku ini. Lidah itu...lidahnya yang kasap itu terus menyapu-nyapu kewanitaanku dan kadang masuk ke dalam menimbulkan sensasi geli yang menggelitik nikmat. Ooh...rasanya cairan cintaku mau tumpah semua dibuatnya. Bukan hanya lidahnya, jarinya pun ikut keluar masuk liang vaginaku menambah kenikmatan sensual ini. Ada sekitar sepuluh menitan ia mengulum dan mencucuk-cucukkan jarinya ke vaginaku membuatku menggelinjang dan mendesah tak karuan.<br /><br />Puas melumat vaginaku, ia naik ke ranjang menindih tubuhku, bibirnya langsung menyosor bibirku. Kami berciuman dengan penuh gairah, sambil beradu lidah tanganku dengan lincah mempreteli kancing kemejanya lalu membuka kemeja lusuh itu. Kami berguling ke samping tiga kali hingga aku kini balik menindihnya. Tanganku bergerak ke bawah membuka sabuknya, dilanjutkan dengan resleting celananya. Baru meraba dari luar saja aku sudah merasakan penisnya yang menegang. Dadaku bergesekan dengan dadanya yang kurus dan tulangnya tercetak pada kulit keriputnya itu. Walau agak kurus tubuhnya masih cukup kokoh, masih memperlihatkan keperkasaan masa mudanya dulu. Setelah pakaiannya terlepas semua, aku mulai membuka celana dalamnya. Dengan hati deg-degan kuturunkan pelan-pelan pakaian terakhir yang masih melekat di tubuhnya itu. Wow...penis yang telah ereksi itu mengacung tepat di depan wajahku, lumayan keras dan panjang. Kugenggam dan kukocok pelan benda itu.<br />“Kenapa neng? Bogoh sama kontol bapak? Hehehe!” godanya karena melihatku terbengong mengamati penisnya itu.<br />Kujawab dengan membuka mulutku dan menelan benda panjang itu, hap! Mulailah aku mempraktekkan teknik oralku padanya. Pertama-tama aku mulai dari kepala penisnya dulu, bagian itu kujilati dan kuemut-emut sambil tanganku mengocok pelan batangnya. Pria setengah baya itu langsung mendesah nikmat sambil meremas rambutku. Kepalaku mulai naik-turun mengemuti penisnya yang keras itu. Tak lama kemudian aku merubah posisi, aku memutar tubuh dan menaiki wajahnya hingga kini kami dalam posisi 69.<br />“Jilat Pak!” perintahku sambil menengok ke bawah belakang, “ahhh!” tanpa kuperintah kedua kalinya lidah dan jarinya sudah menyerang vaginaku.<br />Aku juga merundukkan tubuh dan kembali memasukkan penis dalam genggamanku ke mulut. Kami saling jilat dan emut alat kelamin masing-masing. Pak Agus sangat bernafsu, ia memasukkan jari jarinya ke dalam vaginaku dengan agak kasar. Liang kenikmatanku memang sudah basah, karena orgasme barusan.<br />"Wah basah betul nih Neng, asyik ya? Nyepongnya juga Neng jago amat yah?" kata Pak Agus mengomentari, "mm…wangi lagi memeknya” sahutnya lagi sambil mengenduskan hidungnya ke vaginaku.<br />Ia sekarang mempermainkan klitorisku, ia gosok gosokkan jari dan lidahnya pada daging kecil yang sensitif itu. Tubuhku sampai bergetar ketika merasakan sapuan lidahnya pada klitorisku. Pijatan lembut telunjuk dan ibu jarinya pada klitorisku membuat pinggulku meggeliat-geliat. Semakin tidak tahan, akupun mengisap penisnya kuat-kuat. Jilatan dan coblosan jemari Pak Agus membuat tubuhku semakin bergetar menuntut pemuasan.<br />“Pakk..ohh. .sekarang yaaa…ohhh gak tahan nih!” aku mendesah tak karuan<br />“Apa yang sekarang Neng?”' Pak Agus menahan senyum-senyum mupeng<br />“Ayo Pak...entotin saya, udah pengen nih!” ujarku tanpa malu-malu sambil menggeser tubuhku ke depan, pantatku kuangkat setinggi mungkin, kedua jariku menyibak bibir vaginaku seolah mempersilakannya menusuk lubang kenikmatanku<br /><br />“Hehe...jadi Bapak ewe yang memeknya sekarang!” sahutnya sambil bangkit berlutut di belakangku.<br />Aku mengangguk dan nafasku makin terengah-engah menahan kobaran birahi, tidak sabar lagi aku menuggu vaginaku ditusuk oleh penisnya yang sudah keras itu<br />“Ooohh!!” aku mendesah merasakan kepala penisnya melesak masuk ke vaginaku.<br />Penis itu secara perlahan tapi pasti semakin memasuki kewanitaanku. Aku menggelinjang merasakan ganjalan di bibir vaginaku.<br />“Terus masukin Pak!” aku menarik nafas menahan ganjalan kejantanan Pak Agus yang terbilang keras itu.<br />Penis itu terasa sekali dalam vaginaku, begitu keras dan berdenyut-denyut. Tak lama kemudian penis itu pun mulai menyentak-nyentak, tangan kasar pria itu merayap ke arah payudaraku dan mulai meremas-remasnya. Aku pun mendesah-desah sambil meremasi kain sprei di bawahku. Pak Agus mengayuh dengan perlahan tapi kuat, sekitar dua detik selang tiap hujaman dan tarikan. Batang kemaluannya sengaja agak ditekan ke dinding kemaluanku.<br />“Ugghh...gitu Pak, tenagaan dikit...eemmhhh....eemmhh!” sahutku sambil turut menggoyang-goyangkan pinggul.<br />Sodokan-sodokan yang demikian kuat dan buas membuat gelombang orgasme kembali membumbung, dinding vaginaku kembali berdenyut, kombinasi gerakan ini dengan gerakan maju mundur membuat batang kemaluan pria itu seolah-olah diperas. Aku menengok ke belakang menyaksikan Pak Agus semakin tidak bisa menahan kenikmatan yang melandanya, gerakannya semakin liar, mukanya menegang, dan keringat meleleh dari dahinya. Melihat hal ini, timbul keinginanku untuk membuatnya mencapai puncak kenikmatan. Pinggulku kuangkat sedikit dan kemudian membuat gerakan memutar saat ia melakukan gerak menusuk. Pak Agus nampaknya mendapat sensasi luar biasa dari jurusku ini, mimik mukanya yang memangnya culun itu bertambah lucu ketika menahan nikmat, batang kemaluannya tambah berdenyut-denyut, ayunan pinggulnya bertambah cepat tetapi tetap lembut. Tidak sampai lima menit kemudian, pertahanannya pun bobol. Penisnya menghujam makin dalam ke vaginaku, lalu tubuhnya ambruk menindihku. Aku dapat merasakan tubuh kurus itu bergetar dan mengejang ketika spermanya keluar di dalam vaginaku berkali-kali. Semprotan-semprotan hangat itu mengisi liang kenimatanku hingga kurasakan penisnya makin menyusut di dalam sana, sungguh luar biasa rasanya.<br /><br />Pak Agus mengeluarkan penisnya lalu rebah di sebelah kananku. Selama beberapa menit kami beristirahat memulihkan tenaga masing-masing. Kami ngobrol ringan sambil sesekali bercanda sambil istirahat, menurut pengakuannya baru kali ini dia berkesempatan ngeseks dengan wanita secantik diriku (bukan muji diri loh, ini kata beliau kok) dan dari kelas atas pula. Aku tersenyum mendengar pengakuannya.<br />“Bapak masih kuat? Saya belum puas nih soalnya” kataku dengan suara mendesah erotis sambil naik menindih tubuhnya.<br />“Weleh...weleh si Neng gede nafsu juga euy, masih Bapak masih bisa kok, tapi mainnya pelan-pelan aja Neng, Bapak kan udah tua hehehe” katanya.<br />Tanganku ke bawah meraih penisnya, benda itu sudah mulai bangkit lagi tapi belum sepenuhnya. Untuk membangkitkan kembali gairahnya aku menciumnya, tanganku yang satu membelai dadanya, kucubit dan kupilin putingnya yang berbulu. Ciumanku merambat turun ke lehernya, bahu hingga dadanya, aku dapat merasakan aroma keringatnya. Aku melakukan mandi kucing padanya hingga sampai di putingnya kujilati dan kuhisap. Penis dalam genggamanku pun terasa semakin mengeras. Aku memposisikan vaginaku di atas penis itu. Kemudian secara perlahan aku menekan batang kemaluannya yang sudah sangat keras ke bibir kemaluanku yang sudah sangat basah karena cairanku sendiri. Aku menahan napas saat benda itu menurunkan tubuhku hingga penisnya melesak masuk. Seinci demi seinci, batang kemaluan Pak Agus mulai terbenam ke dalam jepitan liang vaginaku. Ternyata si tukang parkir ini bukanlah orang yang hijau dalam hal seks, buktinya ia tidak terburu-buru melesakkan seluruh batang kemaluannya tapi dilakukannya secara bertahap dengan diselingi gesekan-gesekan kecil ditarik sedikit lalu didorong maju lagi hingga tanpa terasa seluruh batang kemaluannya sudah terbenam seluruhnya ke dalam liang kemaluanku. Kami terdiam beberapa saat untuk menikmati kebersamaan menyatunya tubuh kami. Bibir pria itu memagut bibirku dan akupun membalas tak kalah liarnya. Aku merasakan kedutan penis Pak Agus yang terjepit dalam<br />vaginaku.<br />“Aaakkhh!” erangku dengan tubuhku tersentak saat tiba-tiba Pak Agus menyentak pinggulnya ke atas.<br />"Asoy kan Neng?" katanya dekat telingaku<br /><br />“Hihihi...nakal yahh...Ohh" belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, ia sudah menyentakkan lagi pinggulnya, kali ini lebih bertenaga hingga seolah-olah ujung kemaluannya menumbuk dinding rahimku di dalam sana.<br />Aku yang merasa tertantang mulai menggoyangkan pinggulku. Kulihat matanya membeliak-beliak ketika penisnya yang terjepit dalam liang kemaluanku kuputar dan kugoyang. Aku menegakkan tubuh sehingga semakin leluasa menaik-turunkan tubuhku agar penisnya terhujam lebih dalam ke vaginaku<br />"Shh.. Oughh.. Terushh.. Neng...enakkhh!" Pak Agus menceracau.<br />Tangannya yang kasar dan sudah keriput mencengkeram kedua payudaraku dan meremasinya. Napas kami pun semakin menderu-deru karena tubuh kami diterpa gelombang birahi yang dahsyat. Aku semakin tak dapat menahan diri lagi, tubuhku bergerak semakin liar dan kepalaku menggeleng-geleng. Dua puluh menit lamanya aku menaiki batang Pak Agus yang keras hingga benda itu merojok-rojok vaginaku hingga akhirnya keasyikan kami terganggu oleh suara pintu dibuka. Kontan aku pun menyambar guling untuk menutupi tubuh telanjangku, demikian juga Pak Agus, pria setengah baya itu nampak kalang kabut, ia meraih bantal di bawah kepalanya dan langsung menutupi selangkangannya.<br />“Citra...” ujar Tante Linda sambil melongo seolah tidak bisa meneruskan lagi kata-katanya, kami terdiam sesaat dan saling memandang.<br />“kamu...kamu apa-apaan ini? Siapa dia?” tanya Tante Linda dengan suara bergetar dan agak ditinggikan.<br />“Eeemmm...ini tante, Pak Agus, dia...dia yang nemuin BB Citra tante” jawabku masih agak tergugup.<br />“O gitu ya...ayo Ci kamu ikut tante sebentar!” kata Tante Linda seraya menarik lenganku sampai guling yang kupakai untuk menutupi tubuhku jatuh “Bapak tunggu disitu ya! Kita masih harus bicara!” hardiknya pada Pak Agus yang masih tertunduk sambil menyeretku.<br />Tante Linda menyuruhku masuk ke kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk sedangkan ia sendiri berdiri di ambang pintu sehingga bisa sambil mengawasi Pak Agus. Wah...habis deh pikirku, dia pasti bakal memarahiku dan nanti melaporkan ke orang tuaku.<br />“Ayo ceritakan ada apa ini sebenarnya, kamu benar-benar gila ya!” kata Tante Linda dengan melipat tangan.<br />Akupun akhirnya menceritakan dengan singkat kejadiannya.<br />“Tolong yah, Tante, jangan bilang-bilang ke mama papa, Citra cuma khilaf, ya namanya juga darah muda kan” aku memohon padanya setelah selesai menceritakan semuanya.<br /><br /><br />Tante Linda<br /><br /><br />“Nakal banget sih kamu Ci, tante pasti akan lapor semua ini...kalau kamu gak ngajak-ngajak Tante” kalimat terakhir ia ucapkan dengan suara berbisik.<br />Tentu saja aku terkejut mendengar kata-katanya.<br />“What? Maksud tante?” tanyaku meminta kejelasan, kulihat sebuah senyum mengembang di wajahnya<br />“Tante bilang ngajak Tante....boleh kan Tante ikutan enjoy?” jawabnya pelan agar suaranya tidak terdengar Pak Agus di luar sana, “gak dihitung selingkuh kan? Tante kan udah lama sendiri, sekali-sekali boleh dong” lanjutnya dengan senyum makin lebar.<br />“Eh...Tante...mau apain sih!?” aku memegang lengannya ketika ia hendak beranjak dari ambang pintu.<br />“Pssstt...kamu liat aja Ci!” ia melepas tanganku lalu berjalan ke arah Pak Agus yang mulai memunguti pakaiannya, saat itu ia sudah memakai celana dalamnya.<br />“Oke Pak, saya rasa kita harus bicara dulu!” sahut Tante Linda sambil mendekatinya dengan nada tegas.<br />“Eh...iya iya....Bu, duh Bapak menta maaf banget, Bapak khilaf Bu, lagian Neng Citra juga yang godain Bapak, jadi gini deh!” Pak Agus terbata-bata dan tidak berani menatap wajah Tante Linda yang sengaja dibuat judes.<br />“Bapak kira bisa pergi begitu saja setelah main gila sama keponakan saya?” tanya Tante Linda sinis.<br />“Aduh...kan Bapak udah minta maaf, jadi Ibu mau apa dong!” pria itu makin bingung seperti maling yang tertangkap basah.<br />Aku melihat itu semua dari pinggir pintu kamar mandi, aku tertawa melihat ekspresi culunnya itu, culun-culun tapi bisa gila juga kalau sudah dikasih ‘daging mentah’<br />“Tolong ke sini Pak!” perintah Tante Linda seraya menjatuhkan pantatnya ke tepi ranjang, “Sini! Berdiri di sini!” sahutnya lagi karena pria itu bengong.<br />Pak Agus kini berdiri di depan Tante Linda yang duduk di tepi ranjang hanya dengan bercelana kolor.<br />"Bu... mau ngapain? Eeehhh...jangan Bu" Pak Agus kaget ketika tangan Tante Linda menjamah batang kemaluannya yang masih tersembunyi di balik celana dalamnya, dielusnya selangkangan pria itu dengan lembut.<br />“Saya minta tanggung jawab Bapak, gara-gara Bapak saya kan jadi horny nih, jadi Bapak harus muasin saya!” kata Tante Linda seraya menurunkan celana dalam Pak Agus sehingga batang kemaluannya yang sudah mulai mengeras lagi terpampang jelas di depan wajah tanteku dan ia mulai menggenggamnya serta mengocoknya pelan.<br />Pak Agus tidak meneruskan kata-katanya lagi selain melongo lalu mendesah merasakan penisnya dikocok oleh Tante Linda. Tante Linda mulai memainkan lidahnya menjilati penis pria itu. Bukan hanya melakukan service lidah, Tanteku itu mulai memasukkan penis itu ke dalam mulutknya sehingga Pak Agus makin mengelinjang, matanya pun merem-melek dan tangannya mulai meremas rambut tanteku.<br /><br />Adegan itu berlangsung kira-kira 10 menit dan selama itu aku menontonnya dengan melongokkan kepala dari pintu kamar mandi. Tak sadar, tanganku ke bawah menggosok vaginaku sendiri. Aku merasakan vaginaku sudah berlendir lagi dan mulai serasa berdenyut-denyut ingin ditusuk. Aku pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri mereka di ranjang. Saat itu Tante Linda masih asyik memberi servis oral pada Pak Agus, kudekap tubuh pria itu dari belakang, kugesekkan buah dadaku di punggungnya dan paha kiriku yang mulus ke pahanya.<br />“Enak ya Pak, hihihi...!” kataku dengan suara mendesah di dekat telinganya<br />Mata Pak Agus seperti mau copot dan tidak berkedip ketika Tante Linda bangkit berdiri dan mulai melepaskan satu persatu kancing gaun terusannya dengan disertai senyuman menggoda. Tante Linda meloloskan pakaian itu hingga melorot jatuh ke lantai menyisakan bra dan celana dalam krem di baliknya yang membungkus tubuhnya yang masih langsing dan kencang. Karena tubuh kami menempel erat aku dapat merasakan detak jantung Pak Agus yang makin kencang saat Tante Linda membuka bra nya lalu melemparnya ke belakang. Payudaranya yang berputing coklat begitu bulat dan tegak menantang, padahal sudah punya anak dan pernah menyusui, aku jadi sirik dibuatnya apakah setelah punya anak nanti milikku masih sebagus punya tanteku ini. Tante Linda meraih tangan Pak Agus dan meletakkannya pada payudara kirinya.<br />“Ini yang harus Bapak pertanggungjawabkan, sekarang saya ingin Bapak selesaikan!” katanya<br /> “Aaahhh!” erang Tante Linda begitu menyelesaikan kalimatnya, tanpa disuruh lagi tangan Pak Agus meremas kencang payudaranya dengan gemas.<br />Tangan pria itu yang satunya mendekap tubuh tanteku dan mendorongnya ke depan sehingga tubuh mereka pun terhempas ke ranjang. Sebentar saja Pak Agus sudah menjilati dan menggerayangi tubuh tante Linda. Slluurrp...ssllrrrppp...terdengar suara seruputan saat pria itu melumat payudara tanteku secara bergantian. Tangan kanan pria itu merayap turun ke bawah menyusup masuk ke balik celana dalam Tante Linda, tampak tangannya itu bergerak-gerak di balik celana dalam itu. Tak ayal, tubuh tanteku pun menggeliat-geliat, tangannya memeluk erat tubuh pria itu. Tangan pria itu kini menarik lepas celana dalam Tante Linda dibantu oleh tanteku yang menggerakkan kakinya. Akhirnya tubuh tanteku itu pun tidak tersisa lagi pakaian apapun, vaginanya tampak masih rapat dengan dihiasi bulu-bulu lebat yang dicukur rapi. Setelah melepaskan pakaian terakhir yang tersisa di tubuh Tante Linda, Pak Agus berlutut dan menaikkan kedua paha Tante Linda ke bahunya ditariknya hingga selangkangan tanteku tepat di mulutnya. Wajah pria itu kini terjepit di antara kedua paha mulus tanteku dan seperti memakan semangka...sslluurrp....ia mulai menjilati dan mengisap vagina tanteku. Desahan erotis pun keluar dari mulut Tante Linda tanpa tertahankan. Aku yang mulai birahi lagi berlutut di lantai berkarpet di pinggir ranjang dan memiringkan sedikit tubuhku dengan bertumpu pada siku, kuraih penis Pak Agus yang nganggur dan mulai kukocok. Kami saling hisap alat kelamin selama kira-kira beberapa belas menit lamanya.<br /><br />Aku menyuruh Pak Agus berbaring telentang karena masih ingin meneruskan posisi yang tanggung tadi ketika Tante Linda tiba-tiba masuk. Aku pun segera kembali menaiki penis Pak Agus, kupegang benda itu dan kuarahkan ke vaginaku.<br />“Eeemmmhhh!” lenguhku sambil menurunkan tubuhku hingga penis itu terbenam dalam vaginaku.<br />“Diterusin Pak jilat-jilatannya!” sahut Tante Linda menaiki wajah Pak Agus dengan posisi berhadapan denganku.<br />“Ssshhh...Ci...kamu sering ya...eeemmm...gila-gilaan gini?” tanya Tante Linda terengah-engah.<br />“Iyah...Tante, apalagi....aahhh...waktu jaman kuliah dulu...aaahh!” jawabku sambil menaik-turunkan tubuhku.<br />“Dasar yah...mmmhhh...anak-anak jaman sekarang...aahhh...aahhh!”<br />Bibir dan lidah Pak Agus beraksi dengan buasnya di selangkangan tanteku. Yang membuat Tante Linda semakin histeris adalah ketika pria itu menjilat sambil mencucuk-cucukkan jarinya ke liang kenikmatannya. Decakan suara lidah pria itu yang bermain di vagina Tante Linda mengiringi desahan kami yang saling berlomba-lomba mencapai puncak kenikmatan. Sementara itu aku sendiri mulai merasakan kenikmatan dari vaginaku yang terasa semakin peret mencengkram penisnya. Telapak tanganku dan Tante Linda saling genggam erat, mengimbangi kenikmatan dari tusukan penis Pak Agus, aku memagut bibir tanteku itu, mulanya ia seperti kaget menyambut lidahku, tapi perlahan-lahan bibirnya mulai membuka dan ikut memainkan lidahnya bersamaku. Aku memeang tidak pernah membayangkan ber-french kiss dengan tante sendiri, tapi kalau dalam keadaan birahi tinggi begini apa pun bisa terjadi. Kini kami, dua wanita yang berada di atas tubuh pria setengah baya itu, saling bercumbu dan saling meraih buah dada dilanjutkan saling meremas membuat adegan di atas ranjang hotel ini menjadi semakin panas.<br />"oohh Taantee, saya...saya keluaarr.., oohh enaak, Pak terus sodok ke atas...aahh...aahh saya nggak kuat lagi oohh...enaakk!!", aku mengerang panjang dengan tubuh mengejang dahsyat.<br />Sungguh orgasme yang luar biasa, vaginaku berdenyut keras dan cairan kewanitaanku meleleh deras dari dasar liang kenikmatanku. Akhirnya aku pun rebah di samping mereka dengan tubuh bercucuran keringat.<br /><br />"Ayo Bu, kita lanjutin ngewenya.., Neng Citra istirahat aja dulu!", sahut Pak Agus.<br />"Okeh, saya sekarang nonton kalian dulu aja!", jawabku lemas sambil berbaring memandangi pria itu dan tanteku yang kini dalam posisi dogie siap untuk melanjutkan pergumulan.<br />Tante Linda bertumpu dengan kedua siku dan lututnya, ia membuka lebar-lebar kedua pahanya mempersilakan Pak Agus memasukkan penisnya ke liang yang sudah becek itu. Desahan mereka mengiringi proses penetrasi itu, tak lama kemudian mereka sudah saling memacu tubuh mereka. Adegan yang mereka lakukan sungguh hot hingga membuat aku terpana menyaksikannya. Goyangan tubuh tanteku yang begitu liar mengimbangi genjotan si tukang parkir itu sementara tangan Pak Agus meremasi payudara tanteku yang menggelanyut, terkadang ia juga meremas dan menepuk pantatnya yang montok. Suara desah nafas yang saling memburu dari keduanya terdengar sangat keras dan terpatah-patah akibat menahan kenikmatan dahsyat dari kemaluan mereka yang beradu keras saling membentur yang menimbulkan bunyi decakan becek. Daerah sekitar kemaluar mereka tampak telah basah oleh cairan kelamin yang terus mengalir dari liang vagina tanteku hingga semakin lama Pak Agus merasakan dinding kemaluan itu semakin licin dan nikmat.<br />"Gile juga nih bapak, culun-culun tapi kuat juga ternyata", kataku dalam hati kagum pada stamina pria itu.<br />Aku dibuat heran melihat keperkasaan Pak Agus dalam bermain seks. Ia masih begitu bersemangat menggoyang tubuh tanteku, seperti tak tergoyahkan oleh lincahnya pinggul Tante Linda yang tak kalah liar. Bahkan liang vagina tanteku yang pernah melahirkan anak saja seperti tak cukup untuk menampung batang penis Pak Agus yang keluar masuk bak rudal. Dalam waktu kurang dari lima belas menit saja mereka bergumul, Tante Linda yang tadinya tampak dominan, sudah tampak tak dapat lagi menguasai jalannya permainan itu. Tubuhnya tergoncang-goncang mengikuti irama goyangan Pak Agus sambil enahan rasa nikmat yang begitu dahsyat dari liang vaginanya yang terdesak oleh penis pria itu.<br />"Auuhh.., oohh.., mati aku Ci...enaak.., oohh.., Pak...ooh remas terus tetek saya Pak!! Lebih dalem Pak...lebih dalem kontolnya aaahhh!", erang tanteku tanpa risih berusaha menahan rasa klimaks yang di ambang puncaknya itu.<br />Setelah merasa tenagaku mulai terkumpul aku mencoba menggerakkan tubuhku, aku turun dari ranjang dan menuangkan air ke gelas lalu meminumnya sekali teguk. Aahhh...segar sekali rasanya.<br /><br />“Gimana Neng? Udah seger, kalau udah kita ngewe lagi atuh!” sahut Pak Agus sambil tetap menggenjot tanteku.<br />Hasratku mulai bangkit kembali untuk mencoba lagi kenikmatan dahsyat dari permainan seks liar itu apalagi ajakan Pak Agus yang membuatku merasa tertantang. Tante Linda pun tampak begitu menikmatin hubungan seks itu dengan maksimal sampai sehisteris itu. Aku pun meletakkan gelas di meja lalu berjalan mendekati kedua orang yang tengah bersetubuh itu. Aku naik ke ranjang dan berlutut di sebelah Pak Agus, kudekap tubuh pria itu. Pria itu menyambutku dengan mengulurkan tangannya ke arah vaginaku, dirabanya permukaan vaginaku yang masih basah oleh cairan kelamin.<br />“Ahhh...Pak!” desahku ketika dua jarinya masuk ke liangku dan mengocok-ngocoknya hingga membuatku semakin birahi.<br />Aku membalas dengan memagut mulut Pak Agus hingga saling mengadu bibir dan menyedot lidah. Permainan itu memanas lagi oleh teriakan nyaring Tante Linda yang kini terlihat sedang berada menjelang puncak kenikmatannya. Goyang tubuhnya semakin liar dan tak karuan sampai kemudian ia berteriak panjang bersamaan dengan menyemburnya cairan hangat dan kental dari vaginanya.<br />"Ooouuhh...!!!", tanteku menjerit panjang dengan tubuh yang tiba-tiba kejang kemudian lemas tak berdaya.<br />"Wew, masih belum keluar juga dia", benakku kagum pada Pak Agus setelah berhasil membuat tanteku terkapar dalam kenikmatan.<br />Aku kemudian berbaring pasrah membiarkan Pak Agus menindih tubuhku. Ia memegangi kemaluannya yang masih tegang dan basah oleh cairan kewanitaan tanteku, lalu dengan perlahan ia tekankan ke dalam liang vaginaku. Kuangkat sebelah kakiku agak ke atas dan menyamping hingga belahan vaginaku lebih mudah dimasuki penisnya. Ia terhenyak dan mendesah panjang saat kembali menghujamkan penisnya masuk melewati dinding vaginaku yang terasa sempit dan basah.<br />"Ohh.., enaakknya Pak!", desahku meresapi setiap milimeter pergesekan dinding vaginaku dengan penis pria itu.<br />Setelah diam sejenak meresapi himpitan vaginaku, ia mulai menggenjot pelan. Kedua kakiku melingkari pinggangnya dan memeluk dengan erat. Tak ayal gaya itu membuatku makin menggelinjang menahan nikmatnya penis Pak Agus yang terasa lebih dalam masuk dan membentur dasar liang vaginaku yang terdalam. Aku menggoyangkan pantat mengimbangi kenikmatan dari hujaman-hujaman pria itu yang kian menghantam keras ke arahku. Penisnya yang keras itu benar-benar memberi sejuta sensasi rasa yang beda dari yang lain. Kenikmatan dahsyat itu yang membuatku lupa diri dan berteriak seperti binatang disembelih.<br /><br />Aku meliuk-liukan tubuhku karena kenikmatan dari genjotan pria itu. Sesekali tangan pria itu meremasi buah dadaku bibir kami berpagutan dengan liar. Setelah bosan dengan posisi itu, ia bangkit berlutut di antara kedua pahaku, dengan berpegangan pada kedua pahaku ia teruskan menyodok-nyodokkan penisnya ke vaginaku. Beberapa saat lamanya aku disetubuhi dalam posisi demikian, lalu kulihat Tante Linda menggeser tubuh telanjangnya ke sebelahku.<br />“Asik juga yah Ci, sekali-kali main gila gini” katanya tersenyum.<br />Lalu ia menundukkan kepala ke arah dadaku dan mulutnya menangkap puting kananku. Aaahhh...aku makin menggelinjang dengan bertambahnya rangsangan ini. Tante Linda melumat payudaraku secara bergantian dan juga meremas serta memilin-milin putingnya. Sungguh tak kusangka aku terlibat threesome dengan tante sendiri. Mulut Tante Linda lalu bergerak ke atas menciumi pundak dan leherku, hingga akhirnya bibir kami bertemu lagi. Aku memeluk tanteku dan beradu lidah dengan penuh gairah dengannya.<br />“Eeemmhhh!” tiba-tiba Tante Linda mendesah tertahan di tengah percumbuannya denganku, matanya juga membelalak.<br />Aku memilihat ke arah sana, ternyata Pak Agus mencucukkan jarinya ke vagina tanteku ini. Sambil terus menggenjot vaginaku, tangannya kini aktif mengerjai vagina Tante Linda. Kami melanjutkan percumbuan kami hingga lima menit ke depan, mulut kami saling berpisah dengan air liur bertautan. Tante Linda nungging di sampingku dan entah mengapa aku juga mengikutinya nungging seolah bersaing minta ditusuk pria itu. Tante Linda mengerang nikmat saat Pak Agus memasukkan penisnya, setelah lima menitan menggenjot tanteku, ia mencabut penisnya dan pindah ke vaginaku. Demikian ia menggilir vagina kami, dari satu vagina ke vagina lainnya, entah apa dia bisa merasakan perbedaan antara vagina kami. Desahanku saling bersautan dengan desahan Tante Linda terkadang diselingi jerit kenikmatan darinya, aku terpengaruh hingga ikutan mendesah keras. Mungkin lebih dari setengah jam Pak Agus merasakan nikmat tubuhku dan istrinya secara simultan, hingga akhirnya sampailah kami di puncak kenikmatan. Akulah yang paling awal keluar, mulutku menjerit bebas lepas tanpa beban. Kemudian pria itu beralih ke tanteku. Dia mengocok Tante Linda dengan lebih bertenaga seolah berpacu menuju puncak. Tampak wajahnya menegang dan keringatnya bercucuran pertanda ia pun akan segera keluar. Tak lama kemudian Tante Linda pun orgasme, sebuah teriakan keluar dari mulutnya, ya...teriakan orgasme yang tak tertahankan, kuharap tidak sampai terdengar ke kamar sebelah. Ia meremas tanganku merasakan kenikmatan itu. Dalam waktu berdekatan tiba tiba Pak Agus pun melenguh panjang. Ia memegangi kedua lengan tanteku dan memacu tubuhnya lebih keras seperti menaiki seekor kuda saja.<br /> "Ooohhh Bu...saya mau ngecrot nih...ooh goyang yang keras...oohh goyang terus Bu...oohh memeknya legit banget.., oohh uenaakkk...oohh", pria itu menceracau tak karuan meresapi kenikmatan tubuh tanteku.<br /><br />Ingin merasakan semprotan spermanya pada mulutku, aku pun lalu bangkit dan memeluk tubuh Pak Agus dari belakang.<br />"Cabut Pak...sini keluarin di mulut saya, saya mau minum peju bapak", kataku<br />"Beres Neng...oohh.., diminum ya.., oohh", lenguh pria itu sambil berdiri di ranjang<br />Aku berlutut di hadapannya meraih penisnya dan mengocokinya. Tante Linda juga ikut berlutut di sebelahku. Tidak sampai semenit penis itu sudah menyemprotkan spermanya. Ada mungkin delapan kali penis itu menyemprotkan cairan putih kental ke mulut kami yang menganga dan membasahi wajah kami. Aku meraih batang penis itu dan mengocokkannya dalam mulut sehingga seluruh sisa cairan spermanya itu kutelan habis.<br />“Tante juga bagi dong!” sahut Tante Linda menarik penis yang masih kuhisap dengan mulutku lalu memasukkannya ke mulutnya. Akhirnya tergapai juga puncak kenikmatan tertinggi itu. Kami bertiga pun terkapar lemas dan tak sanggup lagi melanjutkan permainan itu. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara nafas naik turun. Setelah mengumbar nafsu birahi sampai puas kami pun tertidur kelelahan tanpa seutas benang pun di tubuh kami. Sebelum terlelap aku masih sempat mengatur alarm di BB ku agar bangun untuk bersiap pulang nanti. Aku terbangun sebelum alarm berbunyi, kulihat waktu telah menunjukkan pukul 4 lebih. Untungnya tadi siang aku sudah beres-beres sebagian barang sehingga tidak terlalu buru-buru lagi sekarang. Aku hanya menemukan diriku sendirian di ranjang, Tante Linda dan Pak Agus pasti di kamar mandi karena terdengar kucuran shower dari sana. Seperti biasa sehabis bercinta, aku ke kamar mandi membersihkan tubuhku, sebelumnya aku minum dulu segelas air. Semakin mendekati kamar mandi yang pintunya tidak ditutup itu semakin terdengar suara desahan. Benar saja, aku menemukan Pak Agus sedang menyetubuhi tanteku dalam posisi berdiri berhadapan. Tante Linda bersandar pada tembok dengan kaki kiri diangkat oleh pria itu yang merojok-rojokkan penisnya ke vaginanya. Air shower yang hangat terus mengucur membasahi tubuh keduanya.<br />“Hai Ci!” sapa Tante Linda yang pertama melihatku.<br />Aku balas menyapa sambil berjalan ke arah shower, kusiram tubuhku dengan air hangat menghilangkan keringat yang menempel di tubuhku. Mereka masih terus bersetubuh sementara aku mandi. Aku menyelesaikan mandiku yang cukup singkat bersamaan dengan keduanya mencapai orgasme. Pak Agus mendekap tubuhku dari belakang tapi tidak sampai bersetubuh lagi karena sudah lelah hari ini. Setelah yakin semua telah beres, kami pun bersiap check out dari hotel ini. Sebelumnya Pak Agus keluar terlebih dahulu agar tidak mengundang perhatian. Jarak stasiun KA dengan hotel tidak jauh, hanya 15 menit saja kami tiba di stasiun. Dalam perjalanan pulang kami banyak mengobrol tentang kesan-kesan permainan seks tadi itu. Sejak itu aku semakin akrab dengan tanteku ini, ia bercerita bahwa ia pun sebenarnya masih melakukan hubungan seks dengan mantan suaminya bila bertemu untuk mengantar anaknya bertemu, tapi hanya sebatas seks, tak ada niatan untuk rujuk karena ketidakcocokan keduanya terlalu tajam. Menjelang malam kami pun tertidur di kereta, selamat tinggal Bandung yang memberi kenangan dalam kehidupan seksku!<br /><br />Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-51896841286593503332012-03-31T15:14:00.000-07:002012-03-31T15:14:24.681-07:00Aliah: Satpamku dan Temannya yang LainNamaku Aliah. Umurku baru 20 tahun. Aku dikarunia wajah yang cantik (bukannya aku GR,tapi emang semua teman-temanku,keluargaku dan kenalanku juga mengakuinya). Diusiaku yang masih sangat muda, aku tumbuh menjadi gadis yang energik dan sexy seperti kebanyakan cewe bandung lainnya. Baju-baju ketat, semi-transparan dan tanktop adalah `seragam`ku. Sehinga kemolekan tubuhku makin ter-ekspose. Malah kalo dirumah aku tidak segan-segan untuk tampil sangat sexy. Toh ngapain punya tubuh sexy kalo ga dikasih tunjuk ke orang lain. Tapi aku masih punya batas-batas kewajaran.<br /><br />Aku kuliah disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Aku sebenarnya asli Jakarta, tapi aku lebih memilih untuk kuliah di Bandung. Di bandung papaku membelikanku sebuah rumah di kawasan setiabudi. Aku tinggal sendiri disana bersama pembantuku dan anaknya yang masih kecil. Terkadang aku harus sendirian dirumahku yang besar, jika pembantuku balik kerumahnya sekali seminggu. ITu sih tidak ada masalah, karena aku bisa mengajak teman-temanku nginap dirumah. Malah terkadang aku mengajak cowoku untuk nginap dirumahku. Tapi itu dulu, sekarang aku lagi jomblo. Aku mulai malas pacaran yang orientasinya hanya sex melulu. Mending aku bebas tanpa terikat dan bisa `berpetualang`.<br /><br />–SEBELUM HARI-H–<br /><br />Kisahku yang satu ini adalah lanjutan dari kisahku yang berjudul `Petualanganku bersama satpam dan temannya’. Sejak aku menyerahkan tubuhku pada Paimin, satpam rumahku di Jakarta, dia sering memintaku melakukannya lagi setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku dipaksanya melayani nafsunya yang besar itu. Bukan hanya itu aja , dia sering mengajak temannya, Yapto, untuk berbagi kebahagian dengan kami (Pesta Sex). Pernah malah ketika kedua orang tuaku keluar kota dan rumah sepi, mereka berdua menginap dikamarku. Dan sudah bisa ditebak, mereka mengarap tubuhku sampai habis-habisan. Walau awalnya menolak, tapi mereka sangat pintar memancing nafsuku, sehingga aku jatuh dipelukan mereka. Malah aku mulai menyukai adegan pesta sex tersebut. Ada perasaan yang hilang jika hanya pak paimin aja yang menggarapku, tapi lain hal jika mereka berdua yang sama-sama menggarap tubuhku, aku bisa mendapatka kenikmatan yang tak terlukiskan.<br /><br />kali ini aku akan menceritakan kisahku yang lain bersama mereka. Waktu itu, bulan mei tahun 2004, laptopku rusak dan aku belum sempat memperbaikinya karena harus memperbaikinya di jakarta. Padahal saat itu lagi banyak-banyak tugas. Maka aku minta tolong ke papaku untuk meminjam laptopnya. Papaku setuju aja, mereka berencana akan mengirim satpam rumahku,Pak Paimin, ke Bandung akhir pekan ini untuk membawa laptop. Mendengar bahwa pak paimin yang akan mengatar laptop, ntah kenapa aku jadi senang. Terbayang petualangan-petualagan yang pernah kami alam, teringat dia menggenjotku sampai aku hampir mati karena lemas. Kenikmatan tersebut ingin terulang lagi, apalagi sudah 3 bulan ini aku ga balik ke jakarta (dan selama itu pula aku dan aimin tidak ML). oleh karena itu aku berancana akan mengulang kenikmatan yang pernah kami reguk di Bandung. Aku jadi horny membayangkan penis hitam pak paimin yang tegang dan berurat. Sehabis menelpon, aku libidoku naik, dan aku masturbasi membayangkan pak paimin.<br /><br />Malamnya Pak Paimin menelponku dari wartel. Katanya dia sangat senang akan bertemu denganku di bandung. Dia ingin ML denganku. Malahan dia bilang ke orangtuaku bahwa dia akan mengeinap semalam di bandung, untuk menjenguk saudaranya (padahal akan menginap dirumahku). Aku juga senang. Malahan aku memintanya untuk mengajak pak Yapto.<br /><br />– HARI-H –<br /><br />Aku tak sabar menunggu kedatangan pak paimin dan temannya dirumahku di bandung. Aku sudah memepersiapkan semuanya. Malah pembantuku kukasih ijin pulang. Tepat jam 7 malam pak paimin tiba. Aku sangat senang melihatnya, tapi aku sangat kaget ketika yang datang bersamanya bukan pak yapto,melainkan seorang lelaki paruh baya.<br /><br />“Hai, neng…… pa kabar?” ujarnya ketika baru keluar dari mobil.<br />“Baik,Pak. Silahkan masuk”senyumku sambil menerima laptop darinya.<br />” oh, iya kenalin nih teman bapak”katanya sambil menunjuk lelaki disebelahnya.<br />“aliah”ucapku sambil tersenyum.<br /><br />“Baron”katanya sambil mengenggam tangnn halusku. Orangnya kira-kira seumuran pak paimin,40 tahun. badannya tinggi besar serta berisi, kulitnya kehitam-hitaman, dan rambutnya agak beruban.<br /><br />“Pak Paimin sudah banyak cerita tentang neng,Aliah. Ternyata benar, neng aliah sangat cantik.he..he..”katanya sambil terkekeh.<br /><br />Aku hanya tersenyum saja menanggapi ucapannya.<br />“Emang Pak Paimin cerita apa aja?”Tanyaku, yang langsung dijawab sendiri oleh Pak Paimin.<br /><br />“Aku bilang kamu ini suka isap anu bapak. Dan suka menjerit-jerit kalo lagi dientot ama saya. He..he…”Kata pak paimin terkekeh-kekeh. Aduh.. aku malu sekali. Kesanku jadi gimana gitu dihadapan Pak baron yang baru kukenal. Maka kucubit pinggang pak paimin.<br /><br />“Ga usah malu,neng,Bapak juga mau kok muasin neng.he..he..”Pak baron menimpalin.<br /><br />“Ah,ngaco bapak-bapak ini. Masuk dulu deh, mau makan ga?’ucapku menghentikan pembicaraan yang mesum ini.<br /><br />“jangan marah ya neng. Bapak sengaja membawa teman bapak Baron untuk nemanin bapak. Bapak yakin neng pasti puas akan pelayan dia. Masa Yapto terus yang menikmati tubuh neng. Sesekali ganti orang,dong. He..he..”Bisik pak paimin kepadaku sambil menyerahkan laptopku.<br /><br />Aku tidak marah, malah justru penasaran dengan ucapan pak baron. Apa benar dia bisa memberikan kenikmatan yang lebih bagiku. Walau baru kenal aku udah ga sabar ingin melihat penisnya seperti apa. Ntah kenapa libidoku memang lagi gampang naik. Sejak aku putus lagi dari cowoku, beberap minggu yang lalu, aku belum pernah mereguk kenikmatan dunia lagi. Ditambah lagi dari pengalamannku bercinta dengan lelaki paruh baya lebih mengasikkan. Mereka lebih bisa membuatku melayang.<br /><br />Malamnya sehabis makan, kami ngobrol-ngobrol diruang tamu. Sudah tidak ada lagi kecanggungan diantara kami bertiga. Malah terkadang mereka becanda kelewatan sambil meremas dadaku atau mengusap pahaku. Aku sih cuek aja. Toh cepat atau lambat kami pasti akan merasakan tubuhku.<br /><br />Kemudian aku permisi untuk kekamar atas sebentar. Baru aku masuk kekamar, aku dikagetkan dengan kehadiran merka berdua dibelakangku. Aku tahu maksud mereka, mereka pasti sudah tidak sabar lagi ingin menikmati tubuhku. aku tak menolak kala pak paimin mendekat kearahku, lalu mendudukkanku diranjang kamar. Mereka berdua mengapitku disisi kanan dan kiri. Aku agak gugup juga karena baru kenal dengan pak baron.<br /><br />“Neng aliah cantik sekali…”kata paimin sambil mendekatkan mulutnya kebibirku. Mataku terpejam menikmati cumbuannya, lidahnya terus mendorong-dorong memaksa ingin masuk ke mulutku, lidahku secara refleks beradu karena dia selalu menyentil-nyentil lidahku seakan mengajaknya ikut menari. Suara desahan tertahan, deru nafas dan kecipak ludah terdengar jelas olehku.<br /><br />Pak baron yang disebelahku tidak tinggal diam, dia lalu meremas dadaku dari luar. Remasanya cukup keras sehingga aku mendesah panjang. Dia dengan intens meremas-remas dadaku. Aku hanya terpejam mendengar pujiannya akan keindahan dadaku (padahal belum dilihatnya dalamnya). Mataku yang terpejam terbuka ketika kurasakan tangan kasar Pak Baron mengelusi paha mulusku, dan terus mengelus menuju pangkal paha. Jarinya menekan-nekan liang vaginaku dan mengusap-ngusap belahan bibirnya dari luar. Birahiku naik dengan cepatnya, terpancar dari lumatanku pada bibir pak Paimin yang makin liar dan vaginaku yang mulai becek.<br /><br />Kemudian pak paimin melepas mulutku, lalu bibirnya bergerak dileher jenjangku. Diciuminya leherku sehingga membuatku makin menggelinjang. Sementara lidahnya menjilati leher jenjangku,dia juga perlahan-lahan tangannya mengerayanggi dadaku. Mulutnya dari bawah leherku naik ke atas terus menggelikitik kupingku dan menyapu wajahku yang mulus.<br /><br />Aku makin mendesah panjang kala pak baron menaikkan tempo permainan. Tangannya sudah menyusup ke balik celana dalamku, jari-jarinya mengusap-usap permukaannya dan menemukan klitorisku, benda seperti kacang itu dipencet-pencet dan digesekkan dengan jarinya membuatku menggelinjang dan merem-melek menahan geli bercampur nikmat, terlebih lagi jari-jari lainnya menyusup dan menyetuh dinding-dinding dalam liang itu.<br /><br />“Oh..pak ..puaskan aku…”. desahku.<br /><br />Pak paimin berdiri disampingku sambil membuka bajunya. Pria kurus itu juga membuka resleting celananya hingga penisnya yang sudah tegak menyembul keluar, lalu tanganku digenggamkan padanya dan disuruh mengocoknya. Penis itu kugengam sambil kuelus-elus, banda yang sudah lama tidak kusentuh.<br /><br />Kemudian pak baron membuka kancing-kancing kemeja tipis yang kupakai beserta braku hingga payudaraku terpampang didepan mereka. Aku melepaskan penis pak paimin dari gengamanku dan membantunya melepaskan atasanku. Matanya melotot mengamat-ngamati dan mengelus payudaraku yang berukuran 34B, dengan puting kemerahan serta kulitnya yang putih mulus. Dia terbengong-bengong menyaksikan keindahan tubuhku. Tanpa menunggu lama diremasnya dadaku yang sebelah kanan.<br /><br />“Indah sekali dadamu aliah…”Katanya sambil memilin-milin puting susuku.<br /><br />Pak Paimin yang penisnya istirahat kukocok, kemudian mencaplok dada kiriku dengan mulutnya. Dia yang memang sangat menyukai payudaraku menjilatinya dengan liar dan ganas. Aku makin mendesah-desah hingga mulutku terbuka lebar.<br /><br />“Nnngghhh… Pak” desahku dengan mendongak ke belakang merasakan mulutnya memagut payudaraku yang menggemaskan itu. Hal itu tidak disia-siakan pak baron.Bibir mungilku dipagutnya , kami berciuman dengan hot, lidahku dan lidahnya saling jilat dan belit.<br /><br />Puas menyusu dariku, mulut Pak Paimin perlahan-lahan turun mencium dan menjilati perutku yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah sambil tangannya menurunkan rok beserta celana dalamku. Kini aku telanjang bulat. Polos tanpa sehelai benang pun ditubuhku. Pak paimin berhenti sejenak menatap bulu vaginaku yang beberapa hari lalu kucukur. Nampak dia terbengong-bengong.<br /><br />“cukur jembut yah,neng?” tanyanya terhadap bulu kemaluanku yang kurapihkan pinggir-pinggirnya. Aku melepaskan ciumanku sambil tersenyum. Pak Baron menghentikan ciumannya untuk sejenak menikmati pemandangan tubuh mulusku dibawah cahaya lampu kamar. Matanya melotot menyaksikan keindahan vagina seorang gadis muda berusia 20 tahun.<br /><br />Kemudian tubuh polosku dibaringkan kasur dan mereka pun kembali menjarahnya. Kali ini Pak baron mendekat kearah vaginaku. Dijulurkannya lidahnya untuk merasakan kehalusan kulit pahaku. Dia menjilat-jilat pahaku lama kelamaan semakin naik.. naik.. dan akhirnya sampai di kewanitaanku. Kurenggangkan kedua pahaku agar lidahnya bisa menjelajah lebih luas.Aku bergetar hebat saat lidahnya menerobos liang sengamaku. Seperti kena sengatan tawon kala lidahnya bergerak-gerak liar di klitorisku. Dia melakukan lebih dari sekedar menjilat, disantapnya kewanitaanku dengan menyedot-nyedot gundukan daging yang semakin basah oleh ludahnya dan cairanku.<br /><br />Bersamaan dengan itu Pak Paimin pun sudah melumat payudaraku, Mulutnya menjilat, mengisap, dan menggigit pelan putingnya. Sesekali aku bergidik keenakan kalau kumis pendeknya menggesek putingku yang sensitif. Tangan lainnya turut bekerja pada payudaraku yang sebelah dengan melakukan pijatan atau memainkan putingnya sehingga kurasakan kedua benda sensitif itu semakin mengeras. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan meremasi rambutnya yang sedang menyusu.<br /><br />Diperlakukan seperti itu membuatku kehilangan kesadaran, tubuhku bagai terbang diawang- awang, terlena dibawah kenikmatan hisapan-hisapan mereka. Bahkan aku mulai berani kujambak rambut Pak Baron dan merengek-rengek meminta mereka untuk terus melakukannya.<br /><br />“Aaahh…….teruss.. sshh.. enakk sekalii”<br /><br />Tidak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan itu semakin memuncak, tubuhku menegang, kupeluk Pak Paimin-yang sedang menikmati puting susu-dengan kuatnya.<br /><br />“Aaagghh…. akuu.. oohh” jeritku keras, dan merasakan hentak-hentakan kenikmatan didalam kewanitaanku. Tubuhku melemas.. lungai, terkapar tak berdaya di ranjang. Aku orgasme.<br /><br />Kupejamkan mataku mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenagaku yang terkuras. Mereka lalu melepaskan tubuhku. dibiarkan tubuhku beristirahat dalam kepolosan.<br /><br />Belum pulih benar tenagaku, tiba-tiba kurasakan hembusan nafas dipayudaraku dan rasa tidak asing lagi…. bibir dan lidah Pak Baron mulai lagi. Kubuka mataku dan aku terkejut melihat Pak Baron yang sudah sama-sama polos sepertiku. Aku lebih terkejut lagi melihat penisnya yang besar itu. Panjangnya hampir sama dengan penis pak paimin, tapi ini lebih gemuk. Diameternya lebih lebar, warnanya hitam pula. Suatu pesona tersendiri bagiku menyaksikan batang berotot itu.<br /><br />Puas menjilati payudaraku, dia lalu berdiri. Diangkatnya tubuh polosku agar duduk ditepi ranjang. Dia berdiri didepanku dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku. aku sudah tahu apa yang dia mau, bahkan semua lelaki ingin dilakukan seperti itu,oral sex. Maka aku bersimpuh dilantai, lalu perlahan-lahan kuraih kejantanannya yang aduh mak.., Sungguh besar itu. Penisnya bergetar dalam genggamanku. Tanganku tidak cukup untuk menggengam penisnya yang besar itu. Perlahan-lahan kukocok-kocok batangnya itu keatas dan kebawah. Dia menatapku, seorang gadis muda yang cantik, sedang mengelus-elus penis tuanya. Aku ingin lebih memuaskannya maka kuarahkan mulutku ke penisnya. aku membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu kukulum sekalian alat vitalnya ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan. Benda seperti pentungan satpam itu kukulum dan kujilati. Kukeluarkan semua keahlian yang pernah kudapat.<br /><br />“Oh..neng Aliahh…sudah pengalaman ya….?” tanya sambil mendesah-desah kenikmatan.<br /><br />“Ehm..ehmm…”hanya itu yang keluar dari mulutku. Selain menyepong tanganku turut aktif mengocok ataupun memijati buah pelirnya.<br /><br />Pak Paimin yang dari tadi hanya melihat putri majikanya memeberikan kenikmatan, lalu mendekati kami. Dia meraih tanganku untuk menggengam kemaluannya. Kuraih penis hitam itu lalu secara perlahan-lahan kukocok. Secara bergantian mulut dan tanganku melayani kedua penis yang sudah menegang itu. Tapi aku lebih sering mengoral punya pak baron (karena barang baru), sedangkan penis pak paimin lebih sering kukocok pakai tanganku. Tidak puas hanya menikmati tanganku, sesaat kemudian Pak Paimin meminta untuk ambil posisi di tengah ranjang. Tubuhku dibuatnya bertumpu pada lutut dan kedua tanganku. Aku diposisikan doggy style sambil mengulum penis pak baron.<br /><br />Aku mulai merasakan ada jari yang merenggangka vaginaku, kemudian disusul dengan sebuah benda keras yang menyeruak masuk. Seperti biasa, mulutku menganga mengeluarkan desahan meresapi penisnya memasuki vaginaku. walau sudah basah, aku masih merasakan sedikit nyeri di vaginaku. Karena memang ukuran penis pak paimin memang lumayan besar. Tapi rasa perih yang sedikit ditutupi oleh kenikmatan yang besar. Pak paimin juga merasakan nikmatnya jepitan vaginaku diujung kepala penisnya. Didorongnya penisnya itu lebih kedalam hingga amblas semuanya ditelan ronggaku. Kontan tubuhku bergetar hebat.<br /><br />“Ooohh.. Pak.. ngghh”erangku sambil melepas penis pak baron dari mulutku. Pak paimin perlahan-lahan menggenjot vaginakau, tapi makin lama makin cepat sehingga desahanku menjadi erangan pankang. Pak baron tidak menyia-nyiakan mulutku yang terbuka lebar, diatancapkannya penisnya kemulutku, sehingga aku tidak bisa berteriak lagi.<br /><br />Aku disetubuhinya dari belakang, sambil menyodok, kepala pak Paimin merayap ke balik ketiak hingga mulutnya hinggap pada payudaraku. Aku menggelinjang tak karuan waktu puting kananku digigitnya dengan gemas, kocokan dan kulumannku pada penis Pak Baron makin bersemangat.<br /><br />Rupanya aku telah membuat Pak baron ketagihan, dia jadi begitu bernafsu memperkosa mulutku dengan memaju-mundurkan pinggulnya seolah sedang bersetubuh. Kepalaku pun dipeganginya dengan erat. Bahakan sesekali dia menjambak rambutku ketika aku menggigit pelan batangnya. Penisnya yang besar itu memenuhi mulutku yang mungil, malah masih ada sisaanya diluar. Hal itu membuat aku susah bernafas. Akhirnya aku hanya bisa pasrah saja disenggamai dari dua arah oleh mereka, sodokan dari salah satunya menyebabkan penis yang lain makin menghujam ke tubuhku. Aku serasa terbang melayang-layang dibuatnya hingga akhirnya tubuhku mengejang dan mataku membelakak, mau menjerit tapi teredam oleh penis Pak baron. Bersamaan dengan itu pula genjotan Pak Paimin terasa makin bertenaga.<br /><br />“Neng…neng say keluar nih !” erangnya panjang sambil meringis. Kami pun mencapai orgasme bersamaan, aku dapat merasakan spermanya yang menyembur deras di dalamku, dari selangkanganku meleleh cairan hasil persenggamaan. Aku melepaskan penis pak baron dan jatuh telungkup diranjang . Aku sangat lemas. Setelah mencapai orgasme yang cukup panjang, tubuhku berkeringat sangat banyak.<br /><br />“Neng, bisa ga bapak tusuk sekarang? udah ga tahan daritadi belum rasain itunya Neng” kata Pak baron sambil membalikkan tubuhku. Aku tahu itu hanya basa-basi, sebab jika aku menolak sekalipun dia pasti akan tetap memkasaku. Maka, walau masih lemas banget, tapi kuanggukan kepala merestuinya<br /><br />“Tapi pelan-pelan ya….”kataku sambil menatap ngeri ke penis supernya.<br /><br />Dia nampaknya senang, karena sebentar lagi akan merasakan kenikmatan gadis cantik yang masih muda lagi. Lalu dia mengambil posisi berlutut di depanku. dibukanya pahaku lalu diarahkan penisnya yang panjang dan keras itu ke vaginaku, tapi dia tidak langsung menusuknya tapi menggesekannya pada bibir kemaluanku sehingga aku berkelejotan kegelian .<br /><br />“Suka ga neng bapak ginikan?”Tanyanya sambil terus menggesek-gesek.Dia nampaknya tidak mau buru-buru. Dia senang melihatku tersiksa seperti ini.<br /><br />“Aahh.. iya…senang…” desahku tak tertahankan.<br /><br />Penisnya yang kekar itu menancap perlahan-lahan di dalam vaginaku. Aku memejamkan mata, meringis, dan merintih menahan rasa perih akibat gesekan benda itu pada milikku yang masih sempit, sampai mataku berair. Penisnya susah sekali menerobos vaginaku walaupun sudah dilumasi oleh lendirku. dia memasukkan penisnya sedikit demi sedikit kalau terhambat ditariknya lalu dimasukkan lagi.<br /><br />“Wah.. sempit banget memeknya Neng” ceracaunya. Kini dia sudah berhasil memasukkan setengah bagiannya dan mulai memompanya walaupun belum masuk semua. Rintihanku mulai berubah jadi desahan nikmat. Penisnya menggesek dinding-dinding vaginaku, semakin cepat dan semakin dalam, saking keenakannya dia tak sadar penisnya ditekan hingga masuk semua. Kini vaginaku telah terisi oleh benda hitam panjang itu dan benda itu mulai bergerak keluar masuk memberi sensasi nikmat ke seluruh tubuh. Ini membuatku merasa sakit bukan main dan aku menyuruhnya berhenti sebentar, namun Dia yang sudah kalap ini tidak mendengarkanku, malahan dia menggerakkan pinggulnya lebih cepat. Aku dibuatnya serasa terbang ke awang-awang, rasa perih dan nikmat bercampur baur dalam desahan dan gelinjang tubuh kami.<br /><br />“Oh..oh…”hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. Malah kini aku juga ikut menggoyang-goyangkn pantatku secara aktif. Melihat aku ang sudah `in` dia makin bersemangat. Dia lalu ingin berganti posisi. dia melepas penisnya lalu duduk berselonjor dan menaikkan tubuhku ke penisnya. Dia rupanya ingin memberiku kepuasan lebih dengan cara aku yang memegang kendli. Aku sangat senang dengan posisi ini. Maka Dengan refleks akupun menggenggam penis itu sambil menurunkan tubuhku hingga benda perlahan-lahan itu amblas ke dalamku. Aku merintih kesakitan sebentar kala penisnya makin dalam menyentuh liangku. Tanpa menunggu lama aku lalu menaik turunkan tubuhku perlahan-lahan. Dia memegangi kedua bongkahan pantatku yang padat berisi itu, secara bersamaan kami mulai menggoyangkan tubuh kami. Desahan kami bercampur baur, tubuhku tersentak-sentak tak terkendali, kepalaku kugelengkan kesana-kemari.<br /><br />Mukanya yang memerah menambah sensasi sendiri bagiku untuk lebih liar lagi. Dengan bernafsu kugoyangkan pinggulku terus-menerus diatas tubuhnya, bahkan aku ikut membantu kedua belah telapak tangannya meremasi payudaraku yang bergoyang-goyang.<br /><br />Pak Paimin menonton adeganku sambil mengelus-elus penisnya, dia ingin memncing adik kecilnya untuk `bangun`.<br /><br />“Ayo…goyang neng…oohh!” Pak Baron sepertinya ketagihan dengan goyanganku. Tangannya tetap meremas-remas dadaku, bahkan sesekali dicondongkannya wajahna untuk melumat payudaraku. Kontan aku menjerit-jerit makin kuat.<br /><br />Jeritanku membuat pak baron makin bernafsu begitu juga Pak Paimin, dia tidak tahan hanya menonton saja. Dia mendekat dan berdiri di sebelahku, penisnya mengacung di depan mukaku. Dia mengelus-elus pipiku yang putih mulus.<br /><br />“Emut neng…ayo buka mulutnya!” sambil mengarahkan batangnya kemulutku yang mendesah-desah. Dengan setengah memaksa dia menjejalinya ke mulutku. Aku yang tak punya pilihan lain langsung memasukkan penis itu kemulutku. Kusambut batangnya dengan kuluman dan jilatanku, aku merasakan aroma sperma pada benda itu, lidahku terus menjelajah ke kepala penisnya dimana masih tersisa sedikit cairan itu, ntah kenapa aku tidak merasa jijik. Malah kupakai ujung lidahku untuk menyeruput cairan yang tertinggal di lubang kencingnya. Hal itu membuat Pak paimin blingsatan sambil meremas-remas rambutku. Aku melakukannya sambil terus bergoyang di pangkuan Pak baron.<br /><br />“ah uh ah..yes..”suara-suara itu membahana dikamarku. Untung pembantuku tidak ada sehingga aku puas untuk menjerit.<br /><br />Dengan tetap bergoyang, aku juga mengisap-ngisap penis Pak paimin makin keras. Tangannya merayap ke bawah menggerayangi payudaraku. Dia sangat pandai meremas-remas titik sensitifku, sehingga aku dibuatnya melayang-layang. Gelombang orgasme sudah diambang batas, aku merasa sudah mau sampai, namun Pak baron menyuruhku bertahan sebentar agar bisa keluar bersama. Sampai akhirnya dia meremas pantatku erat-erat dan memberitahuku akan segera keluar, perasaan yang kutahan-tahan itu pun kucurahkan juga. “Aaaahhhhh….!!” Dengan panjang keluar dari mulutku, kepalaku mendongak ke atas menatap langit-langit kamar. Kami orgasme bersamaan dan dia menumpahkannya di dalamku. Vaginaku serasa banjir oleh cairannya yang hangat dan kental itu, sperma yang tidak tertampung meleleh keluar di daerah selangakanganku.<br /><br />penis pak paimin yang sudah tegang benar kulepaskan lalu aku ambruk ke depan, ke dalam pelukan Pak baron. Dia peluk tubuhku sambil penisnya tetap dalam vaginaku, kami berdua basah kuyup keringat yang mengucur.<br /><br />pak baron lalu melpas tubuhku yang sangat lemas. Dia mengambil air untuk minum. Penisnya sudah tidak setegang yang tadi. Aku telentang menghadap pak paimin yang sedang mendekat kearahku. Aku meminta waktu istirahat ke paimin yang sudah bersiap-siap ingin mengagahiku. Tapi sepertinya dia sudah on fire. Dia menyalakan AC kamar untuk mengurangi hawa panas. Kemudian dia mengambil handuk kecil dan membersihkan vaginaku yang belepotan sperma. Usapan ujung handuk di vaginaku cukup membuatku bergetar.<br /><br />kemudian tubuhku dibalikkan dalam posisi menungging, walau susah tapi aku paksakan. dia menepuk-nepuk pantatku yang montok. Puas menepuk sekarang giliran lidahnya yang merasakan kelembutan kulit pantatku. Mulutnya dengan rakus menciumi pantatku. Lidahnya menelusuri vagina dari atas kebawah. Dan satu hal yang membuatku merinding adalah ketika lidah memjilati anusku. Pak paimin tanpa perasaan jijik masih terus menjulurkan lidahnya dia anusku sehingga memberiku sensasi geli.<br /><br />Puas merasakan nikmatnya vagina dan anusku, dia kemudian meludahi bagian duburku beberapa kali. lalu digosok-gosokkan dengan jarinya ke daerah itu. Aku memejamkan mata dan berdoa dalam hati semoga dia tidak menyerang anusku, karena aku sudah membayangkan ngerinya kalau batangnya itu membobol pantatku yang masih perawan. aku belum pernah anal sex, dan tidak punya keinginanan untuk melakukannnya. Karena sakit. Sunguh aku lemas jika membayangkan rasa sakit jika penisnya menusuk-nusuk anusku seperti menusuk-nusuk vaginaku.<br /><br />belum habis aku berfikir aku dikejutkan oleh sebuah benda lonjong dibibir lubang anusku. Aku kontan menarik pantatku. Tapi Pak paimin menarikku.<br /><br />Aku terkejut dan mencoba berontak “Jangan pak…jangan di situ…. sakit” ibaku.<br />“Tahan dikit neng, masih baru emang sakit, tapi ntar pasti enak kok” katanya dengan tenang. Dia perlahan-lahan mendorong penisnya masuk ke anusku. Anusku kontan mengerut. Dia masih terus berusaha melicinkan jalan penisnya.<br /><br />Aku merintih sambil menggigit guling menahan rasa perih akibat tusukan benda tumpul pada duburku yang lebih sempit dari vaginaku. Air mataku saja sampai meleleh keluar.<br /><br />“Aduuhh… Sudah dong Pak… Aliah nggak tahan” rintihku kesakitan. Sungguh rasanya seperti ditusuk silet. Tapi dia tidak dihiraukannya. Maka dengan paksa terus dimasukkannya penisnya ke anusku.<br /><br />“Uuhh… Sempit banget nih” dia mengomentariku dengan wajah meringis menahan nikmat.<br /><br />Setelah beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya mentok juga penisnya. Bantal guling makin keras kugigit karena saking perihnya. Dia diamkan sebentar penisnya disana untuk beradaptasi sekalian menikmati jepitannya. Kesempatan ini juga kupakai untuk membiasakan diri dan mengambil nafas.<br /><br />“Auhhh….sakit…”<br /><br />Aku menjerit keras saat dia mulai menghujamkan penisnya. Secara bertahap sodokannya bertambah kencang dan kasar sehingga tubuhku pun ikut terhentak-hentak. Aku tidak bisa melukiskan rasa sakit yang aku rasakan. Tanpa menghiraukannku dia tetap mengengot duburku. Untuk merangsangku, tangannya meraih kedua payudaraku yang bergoyang dan diremas-remasnya dengan lembut. Tapi remasannya kalah dibandingkan rasa sakit yang kuterima.<br /><br />“pak..u..da..ah….aliah..sa..kit” jeritku panjang. Keringat dan air mataku bercucuran. Jeritanku itu bukannya membuatnya kasihan malahan membuatnya makin bernafsu. Dengan keras dia sodok-sodokan penisnya dan payudaraku yang menggantung diremas-remas dengan brutal. Suara rintihanku saling beradu dengan lenguhan Lambat laun mulai kuraskan nikmat sedikit. Tapi walaupun begitu air mataku tetap bercucuran akibat sensasi nikmat di tengah-tengah rasa perih dan ngilu. Rasa sakit itu kurasakan terutama pada dubur, aku mengaduh setiap kali dia mengirim hentakan dan remasan keras, namun aku juga tidak rela dia menyudahinya. Terkadang aku harus menggigit bibir atau bantal untuk meredam jeritanku.<br /><br />Lama-lama rasa sakit oleh sodokkannya mulai sirna berganti dengan rasa nikmat, apalagi waktu dia tarik wajahku dan memagut bibirku, diciumnya aku dengan lembut, rasanya seperti dicium seorang lelki muda. Sungguh suatu perpaduan keras-lembut yang fantastis, dia perlakukan anus dan dadaku dengan kasar, tapi di saat yang sama dia perlakukan mulutku dengan lembut.<br />Akhirnya ada sesuatu perasaan nikmat mengaliri tubuhku yang kuekspresikan dengan erangan panjang, ya aku mengalami orgasme panjang dengan cara kasar seperti ini, tubuhku menegang beberapa saat lamanya hingga akhirnya lemas seperti tak bertulang. Pak paimin sendiri menyusulku tak lama kemudian, dia menggeram dan makin mempercepat genjotannya. Kemudian dengan nafas masih memburu dia mencabut penisnya dariku dan membalikkan tubuhku. Spermanya muncrat dengan derasnya dan berceceran di sekujur dada dan perutku, hangat dan kental dengan baunya yang khas<br /><br />Aku lemas sekali. Kurasakan anusku terbuka lebar dan perih.<br /><br />Malam itu mereka kembali menjarahku.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-77109356723860417812012-03-31T15:13:00.000-07:002012-03-31T15:13:42.009-07:00Eliza 2 (remake): Solusi Nikmat di RumahI. Kejutan Di Minggu Pagi<br /><br /> Hari ini, di luar kebiasaanku, aku bangun agak telat, sekitar jam setengah delapan pagi. Itu pun karena sinar matahari yang terang menerpaku dari kaca jendela, yang salah satu gordennya lupa kututup tadi malam.<br /><br /><br /><br />Mungkin karena aku kecapaian setelah kemarin aku dipaksa ‘berolahraga’ di ruang UKS sampai malam oleh enam orang itu hingga aku orgasme berkali kali.<br /><br /><br /><br />Saat ini rumahku pasti sedang sepi, tinggal Siti dan Sulikah, dua pembantu wanita di rumahku yang berumur sekitar dua puluh tahun. Juga dua pembantu laki laki di rumahku, Suwito yang berumur dua puluh lima tahun dan Wawan yang berumur dua puluh empat tahun. Dan ada pak Arifin yang berumur empat puluh lima tahun, sopir yang setia mengantarku sejak aku masih di sekolah di sekolah dasar.<br /><br /><br /><br />Papa dan mamaku masih berada di luar negeri. Dan aku ingat, kakakku menginap di rumah temannya, mengerjakan tugas kelompok kuliahnya yang harus menggunakan komputer. Juga aku baru ingat, Siti sedang pulang kampung, untuk mengurus KTPnya yang sudah hampir habis masa berlakunya.<br /><br /><br /><br />Dengan malas aku bangkit menuju kamar mandi, menyalakan shower dan mandi sambil mengingat ingat kejadian gila yang menimpaku kemarin, membuatku tersenyum malu saat aku menyikat gigiku. Setelah selesai aku mengeringkan tubuhku dan mengenakan baju yang akan kupakai ke gereja nanti, tapi aku hanya mengenakan celana pendek yang santai karena aku masih harus makan pagi.<br /><br /><br /><br />Karena bangun kesiangan, aku yang biasanya ke gereja jam delapan pagi, hari ini terpaksa harus datang ke sesi jam setengah sepuluh nanti, karena sekarang sudah jam 8 lebih. Masih ada waktu sekitar satu jam buatku sebelum pergi. Setelah itu, jadwal kegiatanku adalah les balet di sekolah balet ******* jam 5 nanti, dan aku harus berangkat setengah jam sebelumnya.<br /><br /><br /><br />Demikian rutinitas kegiatanku tiap minggu. Kadang memang di siang hari setelah pulang gereja, aku jalan jalan ke mall, tapi hari ini rasanya aku amat lelah dan malas keluar. Aku memutuskan untuk istirahat saja sepulang gereja sampai saat ke sekolah balet nanti.<br /><br /><br /><br />Selain itu selangkanganku masih agak ngilu setelah kemarin aku diperkosa ramai ramai oleh enam orang di ruang UKS sekitar dua jam lamanya.<br />Setelah merapikan penampilanku dengan menyisir rambutku supaya tak awut awutan, aku keluar ke ruang makan. Setelah mengambil nasi dan lauk yang ada, aku berniat membuat susu kesukaanku, tapi aku lihat toples gula di pinggir bufet kosong. Jadi aku ke dapur sebentar untuk mengambil gula.<br /><br /><br /><br />Tetapi ketika aku baru masuk selangkah ke dalam dapur di rumahku ini, aku disuguhi sebuah pemandangan yang membuat jantungku berdegup kencang.<br /><br /><br /><br />Sulikah yang menurutku memang berwajah cantik ini sedang mencuci peralatan masak, dan gilanya ia sedang pasrah disetubuhi dari belakang oleh Wawan yang menurutku tampangnya amburadul dengan ganas.<br /><br /><br /><br />Pakaian yang dikenakan Sulikah sudah tersibak tak karuan. Tubuhnya yang mungil seukuran denganku terlihat mengejang sexy setiap penis Wawan menyodok vaginanya dalam dalam.<br /><br /><br /><br />Mereka mendesah bersahut sahutan, tanpa menyadari keberadaanku kini yang terpaku melihat adegan itu. Tepat saat Wawan berorgasme, tiba tiba Suwito masuk dari pintu belakang, gilanya, dengan telanjang bulat, membuatku memekik kaget.<br /><br /><br /><br />Hal ini menyebabkan Sulikah dan Wawan menoleh ke arahku dengan wajah seperti orang yang baru melihat setan, dan mereka segera saling melepaskan diri dari persetubuhan yang amat hot itu. Mereka terlihat gugup dan bingung.<br /><br /><br /><br />“Lho…. Non Eliza… kok belum… berangkat ke gereja?”, tanya Suwito yang kelihatan panik itu dengan tergagap gagap.<br /><br /><br /><br />“Iya, saya tadi bangunnya kesiangan. Maaf mengganggu, saya cuma mau ambil gula di dapur”, aku menjawab pertanyaan Suwito.<br /><br /><br /><br />Mereka masih diam tertunduk saat aku mengambil gula di rak dapur, dan aku bergegas kembali ke meja makan dengan berusaha tak memikirkan hal yang baru saja terjadi. Waktu jadi terasa berjalan lambat ketika aku sarapan pagi, dan setelah selesai aku berniat kembali ke kamarku.<br />Aku berdiri dari kursi, tapi baru aku akan melangkah, tiba tiba Sulikah, Wawan dan Suwito muncul dan menghadapku dengan takut takut.<br /><br /><br /><br />“Non Eliza, kami minta maaf. Tolong jangan bilang ke orang tua non atau kakak non ya.. kami tak tahu harus gimana kalau sampai kami dipecat”, kata Wawan mewakili mereka.<br /><br /><br /><br />Aku terdiam beberapa saat. Melihat mereka semua begitu tegang, aku merasa iba.<br /><br /><br /><br />“Kalian tenang saja. Saya memang nggak ada niat sama sekali untuk melaporkan hal tadi. Cuma saya pesan, lain kali kalian hati hati ya, jangan kelihatan kakak saya, apalagi orang tua saya. Nanti urusannya bisa panjang”, kataku sambil tersenyum.<br /><br /><br /><br />Aku memang tak ada niatan sedikitpun untuk melaporkan hal ini pada siapapun. Mereka terlihat begitu lega dan mengucap terima kasih berulang ulang. Lalu setelah semuanya tenang kutinggalkan mereka kembali ke kamarku. http://kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/<br /><br /><br /><br />Sampai di dalam kamar, teringat apa yang mereka perbuat tadi membuat aku kembali membayangkan saat saat aku dibantai kemarin, membuat nafasku sedikit memburu karena tiba tiba saja gairahku naik.<br /><br /><br /><br />Aku mulai melamun tentang keadaanku. Aku masih belum punya pacar. Memang ada banyak cowok di sekolahku yang mendekatiku, tapi semuanya kutolak dengan halus, karena berulang kali ortuku mewanti wanti aku supaya tidak pacaran waktu masih sekolah.<br /><br /><br /><br />Walau begitu, aku sebenarnya tertarik pada seorang siswa seangkatanku yang bernama Andy. Tapi, kini aku sudah tidak perawan lagi, satu satunya yang sedikit aku sesali setelah diperkosa enam lelaki kemarin itu, dan membuatku murung membayangkan bagaimana pandangan Andy terhadap diriku kelak kalau dia tahu aku ini sudah tidak perawan lagi.<br />Jam dinding di kamarku berbunyi, menunjukkan pukul sembilan tepat. Saatnya aku berangkat nih. Aku segera bangkit dan mengganti celana pendek ini dengan rok yang pantas, lalu aku turun menuju garasi.<br /><br /><br /><br />“Non mau saya antar ke mana?”, tanya pak Arifin seperti biasa.<br /><br /><br /><br />Ia lupa kalau aku sudah bisa membawa mobil sendiri, tapi kali ini aku pikir ada baiknya juga kalo aku tidak menyetir sendiri. Rasa pegal pegal pada tubuhku masih belum hilang seluruhnya, padahal nanti sore masih ada balet.<br /><br /><br /><br />“Ke gereja ******** pak”, kataku.<br /><br /><br /><br />Ia membukakan pintu belakang mobil yang biasa dipakainya untuk mengantarku. Sepanjang perjalanan, aku hanya melamun, membayangkan apa yang kira kira terjadi sekarang. Apakah Sulikah kembali ngeseks dengan Wawan dan Suwito? Tapi aku berusaha melupakan semua itu. Kan ngaco kalau aku nanti malah sibuk memikirkan tentang mereka selagi aku mengikuti kebaktian di gereja?<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />II. Peristiwa Aneh<br /><br />Tak terasa, aku sudah sampai di gereja. Setelah melakukan kebaktian rutin yang lamanya sekitar satu setengah jam dengan pikiran yang melayang kemana mana, aku segera pulang.<br /><br /><br /><br />Di dalam mobil, aku yang sejak di dalam gereja tadi sudah mulai mengantuk, kini kantukku semakin menjadi, sehingga aku tertidur di kursi belakang mobil. Entah apa yang terjadi, saat aku bangun aku sudah di ranjang kamar tidurku, membuatku tersentak kaget. Aku memeriksa keadaanku, yah, bajuku masih lengkap, bra dan celana dalamku masih melekat dengan baik.<br /><br /><br /><br />Tapi celana dalamku rasanya amat basah, kelihatannya oleh cairan cintaku sendiri. Bajuku juga kusut sekali. Sialan, siapa ya yang mempermainkan tubuhku selagi aku tidur? Dan ketika aku berdiri, kedua betisku terasa pegal seperti kemarin. Duh, padahal sore ini aku harus latihan balet.<br /><br /><br /><br />Jam menunjukkan pukul dua siang. Berarti aku tidur sekitar tiga jam. Mengingat aku tadi diantar pulang pak Arifin, kecurigaanku mengarah kepadanya. Hmm sialan tuh orang, tega teganya cari kesempatan dalam kesempitan padaku.<br /><br /><br /><br />Dengan sedikit kesal aku turun mencarinya. Tapi aku menghentikan langkahku dan berpikir. Bagaimana kalo pak Arifin menanyakan apa bukti kalo tadi itu perbuatan dia?<br /><br /><br /><br />Aku sadar kalau tak ada bukti yang bisa kupakai untuk menuduh pak Arifin. Akhirnya aku memutuskan untuk mendiamkan hal ini, dan aku pun ke ruang makan karena aku sudah merasa lapar.<br /><br /><br /><br />Di meja makan terlihat sudah ada masakan untukku, pasti Sulikah yang masak. Masakannya memang selalu lumayan enak sesuai dengan seleraku, membuatku makan sedikit lebih banyak dari biasanya. Dan seperti biasa aku selalu minum susu, tapi kali ini tanpa gula karena aku takut menjadi gemuk.<br /><br /><br /><br />Selagi makan, aku mendapat ide. Nanti aku minta pak Arifin mengantarku ke tempat sekolah baletku. Dan pulangnya nanti aku akan pura pura tertidur. Dengan demikian orang yang tadi berbuat iseng padaku itu pasti akan tergoda untuk melakukan hal yang sama.<br /><br /><br /><br />Aku tersenyum senang karena merasa dengan begitu aku bisa menemukan pelakunya. Selesai makan aku kembali ke kamarku dan menyetel musik kesukaanku. Lalu aku memutuskan untuk mandi busa supaya tubuhku lebih santai dan segar. http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-series/<br /><br /><br /><br />Selesai aku puas mandi memanjakan tubuhku, jam menunjukkan pukul 4 sore. Wah, setengah jam lagi harus berangkat nih. Aku pun mengeringkan tubuhku dan rambutku yang panjang ini kusisir rapi dan kubiarkan tergerai begitu saja.<br /><br /><br /><br />Aku mengenakan kostum baletku setelah memakai bra dan celana dalam ketat yang berwarna putih serta stocking ketat model jaring berwarna hitam. Walaupun terdengar narsis, tapi aku yakin kalau aku terlihat amat sexy dan menggairahkan jika memakainya.<br /><br /><br /><br />Lalu aku mengenakan blus terusan berwarna biru, jadi nanti di sana aku tak perlu ganti lagi di ruang ganti, tinggal melepas blus biru yang cukup ketat ini dan hanya mengganti sepatuku yang kupakai sekarang dengan sepatu balet. Setelah selesai aku segera menuju garasi, dan seperti yang aku harapkan, pak Arifin seperti biasa menunggu di samping mobil yang tadi itu.<br /><br /><br /><br />“Pak, tolong ke sekolah balet *******”, aku meminta tolong pada pak Arifin untuk mengantarku.<br /><br /><br /><br />Dan setelah membuka pintu mobil untukku, ia segera melajukan mobil ini ke tempat tujuan. Aku memperhatikan pandangan matanya, kalau kalau ia mencuri pandang ke arah tubuhku. Namun tak kutemukan tanda tanda itu sampai akhirnya kami sampai ke tujuan.<br /><br /><br /><br />Aku mengangkat bahu, dan kemudian masuk ke dalam sekolah baletku seperti biasa, untuk berlatih tari balet. Kami akan show di akhir tahun nanti, dan aku adalah penari utamanya, mungkin selain wajahku yang cantik dan tubuhku yang indah, aku juga dinilai oleh guru balet kami sebagai yang paling lentur dan indah gerakannya.<br /><br /><br /><br />Namun hari itu, aku hampir tak bisa menunjukkan performa terbaikku, selain karena pikiranku yang melayang, tubuhku juga tak mau diajak kompromi, terutama selangkanganku yang masih terasa sedikit ngilu dan betisku yang terasa pegal pegal.<br /><br /><br /><br />Akibatnya hari itu aku lumayan bad mood, dan berlatih ala kadarnya. Untung saja, guru balet kami merasa itu sudah cukup, dan setelah jam latihan selesai, aku segera pulang.<br /><br /><br /><br />Dan seperti yang sudah kurencanakan tadi, aku di mobil pura pura mengeluh.<br /><br /><br /><br />“Aduh.. hari ini kenapa ya.. dari tadi ngantuk terus…”, kataku seperti sedang mengguman pada diri sendiri, namun aku yakin cukup keras untuk terdengar oleh pak Arifin.<br /><br /><br /><br />Lalu untuk lebih meyakinkan, aku menguap berulang kali seperti tadi siang, dan pura pura bersandar tertidur. Aku benar benar penasaran, siapa pelaku misterius yang tadi siang merangsang tubuhku ketika aku tidur.<br />Akhirnya kami sampai di rumah. Aku membuka mata sedikit untuk memastikan, kemudian aku kembali memejamkan mata dan berusaha bersikap sewajarnya seperti orang tidur. Setelah mobil ini masuk garasi, pak Arifin memanggil Sulikah, yang segera datang, membantu mengangkatku ke atas, karena kamarku memang di lantai dua.<br /><br /><br /><br />“Lho pak, ketiduran lagi seperti tadi siang?”, aku mendengar suara Wawan dan Suwito yang bertanya pada pak Arifin.<br /><br /><br /><br />“Iya, rupanya kecapaian nih non Eliza setelah berlatih balet”, kata pak Arifin.<br /><br /><br /><br />Setelah aku rasakan tubuhku terbaring di ranjang, jantungku makin berdebar, menunggu apa yang akan terjadi.<br /><br /><br /><br />“Ya sudah, ayo kita turun”, kata Sulikah setelah menyelimutiku.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />III. Maksud Hati Menangkap Basah<br /><br />Mereka semua keluar dari kamarku, meninggalkanku yang semakin bingung dan penasaran. Namun naluriku berkata, aku harus tetap pura pura tertidur untuk menangkap basah pelakunya.<br /><br /><br /><br />Dan ternyata dugaanku tepat sekali, karena beberapa menit kemudian pintu kamarku kembali terbuka dengan suara yang sangat pelan.<br /><br /><br /><br />Namun aku bisa mendengarnya, karena aku memang tidak tidur.<br /><br /><br /><br />Dengan jantung berdebar aku menunggu untuk mengetahui siapa yang akan akan berbuat iseng padaku ini. Aku sedikit membuka mataku dengan amat hati hati, dan segera memejamkan mataku lagi dengan jantung berdebar keras.<br /><br /><br /><br />Ya ampun, aku melihat Wawan dan Suwito berjalan mengendap endap ke arahku yang sedang pura pura tergolek di ranjang ini.<br /><br /><br /><br />Berarti mereka berdua inilah pelakunya!<br /><br /><br /><br />Kurang ajar betul mereka ini, sudah untung aku tadi pagi cuek dengan kelakuan mereka terhadap Sulikah, tapi kini mereka malah ngelunjak, hendak mengisengi nona majikan mereka ini. Sementara kudengar di bawah, Sulikah dan pak Arifin sedang bercanda, terdengar dari tawa Sulikah yang renyah, membuatku menduga duga, apakah Sulikah juga ada main dengan pak Arifin.<br />Tapi, tak ada waktu untuk memikirkan orang lain, karena tubuhku sekarang ini sedang dijahili kedua pembantuku ini. Kurasakan mereka menyingkap selimutku, kemudian mulai meremasi payudaraku, membuatku hampir tak tahan untuk mendesah.<br /><br /><br /><br />Aku bertahan berpura pura tidur, selain takut mereka akan berbuat yang lebih jauh padaku jika aku `terbangun’, aku berharap mereka akan menghentikan aktivitas mereka setelah membuat cairan cintaku membanjir keluar, seperti tadi siang.<br /><br /><br /><br />Mereka terus meremasi payudaraku dan nafas mereka semakin memburu, tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik, dengan cara membayangkan wajah orang yang sangat jelek.<br /><br /><br /><br />Celakanya, mereka melanjutkan remasan di payudaraku dengan rabaan pada perutku, kemudian dengan nakal mereka bergantian menekan nekan vaginaku yang masih tertutup 4 lapis pakaian, celana dalam, stocking, gaun baletku serta blus biru terusan yang sampai ke lutut.<br /><br /><br /><br />Lalu mereka mulai berusaha menarik blusku sampai ke pinggangku. Agak kesulitan juga mereka, karena blusku yang memang agak ketat, juga posisiku yang tiduran. Kemudian gaun baletku juga mereka singkapkan, sehingga pertahanan vaginaku tinggal stocking dan celana dalamku.<br /><br /><br /><br />Dalam hati aku berkata, awas saja kalau mereka berani menyobek stockingku, gaji mereka akan kupotong! Stockingku ini mahal harganya, dan aku cuma punya sedikit.<br /><br /><br /><br />Tiba tiba aku mengejang, menahan geli saat vaginaku kembali ditekan tekan. Kini tekanan itu lebih terasa, karena tinggal stocking dan celana dalam ketat saja yang melindungi vaginaku dari tangan jahil mereka.<br /><br /><br /><br />“Wan, gimana nih, kali ini ribet nih pakaian si non ini. Apa jangan jangan ia tahu akan dikerjain lagi?”, aku mendengar Suwito bertanya pada Wawan,<br /><br /><br /><br />“Aku rasa nggak mungkin To. Kalo nona kita ini tahu tadi ada yang ngerjain dia, pasti dia marah. Tenang saja To, gula yang non Eliza ambil tadi itu kan gula buat aku, yang sudah aku campurin obat tidur dosis tinggi. Tahu kan aku susah tidur, dan suka minum yang manis?”, kata Wawan pelan, dan membuatku seperti teringat sesuatu, tapi pikiranku sedang kacau karena saat ini tubuhku dalam keadaan terangsang.<br /><br /><br /><br />“Tapi nona kita yang ayu ini lagi sial kali. Sesuai kebiasaannya, non Eliza ini kan suka minum susu. Dan gula yang dicampur di susunya tadi sore itu pasti membuat dia sekarang masih dalam pengaruh obat tidur seperti tadi siang. Dan, sekarang waktunya non Eliza untuk menyusui kita berdua nih”, kata Wawan lagi sambil tertawa kecil.<br /><br /><br /><br />Ia mengatakan semua itu dengan gaya sok yakin sambil meremas payudaraku dengan keras, membuat aku sedikit mengerutkan mukaku menahan sakit.<br /><br /><br /><br />Hmm, untung aku tadi minum susu tanpa gula sebelum balet. Ternyata kantukku tadi siang yang sudah kuduga tidak sewajarnya ini, gara gara gula yang bercampur obat tidur itu.<br /><br /><br /><br />Sekarang keputusan ada di tanganku. Aku bangun untuk menghentikan kekurang ajaran mereka berdua ini, atau meneruskan aksi pura pura tidurku sampai mereka puas.<br /><br /><br /><br />Setelah berpikir sambil menahan gairahku yang semakin naik, aku putuskan aku harus bangun, tanpa memberitahukan kalau tadi aku minum susu tanpa gula. Aku pikir jika gairahku sudah tak tertahankan dan aku mulai melenguh, gawat juga.<br />Maka perlahan aku menggeliat pura pura akan terbangun, berharap mereka terkejut dan memutuskan untuk kabur supaya tak ketahuan olehku.<br /><br /><br /><br />Tapi mereka masih dengan penuh percaya diri menganggap aksi mereka aman aman saja karena aku masih dalam pengaruh obat tidur, meneruskan aktifitas mereka meraba raba dan menekan nekan daerah bibir vaginaku serta meremasi payudaraku.<br /><br /><br /><br />Kelihatannya tak ada pilihan lain, aku harus bangun dan `memergoki’ mereka menjahiliku.<br /><br /><br /><br />“Oh… siapa kalian… apa yang kalian lakukan di kamarku? Kalian… emmph… emmmph…”, kata kataku terputus, karena baru saja aku pura pura bangun, Wawan yang panik membekap mulutku dengan telapak tangannya yang lebar.<br /><br /><br /><br />Sementara itu Suwito yang juga terlihat panik memandangiku dan Wawan bergantian.<br /><br /><br /><br />“To! Goblok! Bantu aku cepat!!”, Wawan membentak dengan suara pelan pada Suwito.<br /><br /><br /><br />“Bantu apanya Wan?”, tanya Suwito yang juga terlihat bingung.<br /><br /><br /><br />“Cepat ambil tali jemuran di luar! Kita harus mengikat non Eliza! Lu mau kita celaka?” bentak Wawan lagi walaupun suaranya dipelankan, pasti karena ia takut kedengaran Sulikah dan pak Arifin.<br /><br /><br /><br />Suwito cepat cepat keluar mengambil tali jemuran, kemudian segera kembali. Aku yang mulai meronta ronta menyadari bahaya ini, tak mampu berbuat banyak karena tubuhku ditindih oleh Wawan yang memang badannya besar sekali hingga aku tak berkutik.<br /><br /><br /><br />Aku ingin menjerit untuk meminta tolong pak Arifin, tapi bekapan tangan Wawan pada mulutku ini terlalu kuat. Dan tiba tiba aku sadar, iya kalau pak Arifin nantinya menolongku? Salah salah pak Arifin malah bergabung dan ikut memperkosaku bersama mereka.<br /><br /><br /><br />Bau keringat Wawan membuatku mual, mengendurkan rontaan kakiku dan memudahkan Suwito merentangkan kakiku lalu mengikat kedua pergelangan kakiku pada ujung ujung ranjangku.<br /><br /><br /><br />Kemudian tangan kananku ditariknya kuat dan diikat ke ujung kanan ranjang. Aku sudah hampir tak berdaya, tangan kiriku menggapai gapai namun segera ditangkap oleh Suwito. Dan seperti tangan kananku, tangan kiriku juga ditarik dan diikat erat di ujung kepala ranjangku satunya.<br /><br /><br /><br />Kini keadaanku sudah mirip seperti saat pertama aku ditangkap di UKS kemarin. Tubuhku terikat di atas ranjang membentuk huruf X, dan aku tinggal menunggu ditelanjangi lalu diperkosa berkali kali.<br /><br /><br /><br />Bedanya, kini mereka cuma berdua, dan aku masih menebak nebak, ancaman apa yang akan mereka turunkan padaku.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />IV. Awal Perbudakan Diriku<br /><br />Dengan cekatan Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku, tapi ia langsung menyumpal mulutku dengan segumpal kain, entah kain apa.<br /><br /><br /><br />Aduh, rasanya benar benar tak karuan, membuatku ingin muntah, tapi kutahan sekuatnya. Kini aku hanya bisa menatap Wawan penuh kemarahan namun juga ada rasa takut yang menghinggapiku ketika ia mengancamku.<br /><br /><br /><br />“Non Eliza, jangan memaksa kami untuk melakukan hal yang tidak tidak. Kalo non Eliza berteriak hingga mengundang Sulikah dan pak Arifin ke sini, kami bisa membuat mereka berdua pingsan, lalu menculik non dan menjadikan non budak seks kami untuk selamanya. Non Eliza mengerti?” bentak Wawan, lagi lagi dengan suara pelan.<br /><br /><br /><br />Dengan pasrah aku mengangguk. Kemudian Wawan dengan kasar melepaskan sumpalan pada mulutku, membuatku terbatuk batuk dan tadi itu hampir saja bibirku yang bawah terluka karena terhantam gigiku sendiri.<br /><br /><br /><br />“Duh Wan, jangan kasar dong”, aku sedikit membentak karena jengkel sekali.<br /><br /><br /><br />Bahkan seingatku sebelum ini aku tak pernah membentak para pembantuku ini.<br /><br /><br /><br />“Kalian ini kurang ajar betul ya. Aku ini sudah berbaik hati tidak akan memperpanjang masalah kalian berbuat mesum di dalam rumah ini, tapi sekarang kalian malah berbuat mesum terhadapku. Apa sih mau kalian?”, aku setengah berteriak karena dadaku rasanya sesak sangking kesalnya.<br /><br /><br /><br />Wawan dan Suwito saling pandang, kemudian mereka menunduk.<br /><br /><br /><br />Aku tahu dengan keadaan terikat seperti ini, kecil sekali harapanku untuk lolos dari perkosaan oleh dua orang ini. Begitu juga untuk hari hari berikutnya, mereka pasti akan mencari kesempatan untuk memaksaku melayani nafsu bejat mereka.<br /><br /><br /><br />Maka aku berpikir mungkin lebih baik kalau aku mencari solusi di rumah dengan membiarkan mereka memperkosaku tapi dengan beberapa syarat.<br /><br /><br /><br />“Ya sudah, mulai hari ini kalian bisa menikmati tubuhku kalau di rumah tidak ada papa mama dan kakakku, saat aku tidak sedang datang bulan”, aku berkata dengan ketus.<br /><br /><br /><br />Mereka saling pandang, kemudian seolah tak percaya dengan pendengaran mereka.<br /><br /><br /><br />“Mulai hari ini?”, mereka bertanya dengan ragu.<br /><br /><br /><br />“Iya. Mulai hari ini! Kalian ini munafik ya. Aku tau kalian pasti akan berusaha memperkosaku lagi di lain waktu. Daripada nanti kalian mengikatku, membekapku, lalu menyakitiku, lebih baik kalian melakukannya baik baik. Tapi jangan lupa ya, kalian cuma boleh menikmati aku aku sedang senggang, yaitu waktu aku tak ada PR, tugas, maupun ujian. Dan aku ingatkan, kalian jangan kasar kasar sama aku, apalagi sampai melukai aku! Sekarang lepaskan ikatanku. Sangat nggak nyaman tau!”, kataku setengah membentak.<br /><br /><br /><br />Mereka terlihat ragu ragu. http://kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/<br /><br /><br /><br />“Wah gimana ya, kalo non kami lepaskan, apa jaminan…”, kata Wawan dengan tidak yakin.<br /><br /><br /><br />“Aku janji kalian boleh perlakukan aku sesuka kalian. Toh aku sudah tidak perawan lagi, jadi buatku tidak ada ruginya. Asal kalian juga berjanji, tak akan ada yang main di kompleks pelacuran. Aku nggak mau terkena penyakit kelamin menular. Kalian mengerti? Sekarang cepat, buka ikatan ini. Aku mau mandi dulu!”, aku menurunkan tensi suaraku, capek juga rasanya kalau harus berbicara dengan keras.<br /><br /><br /><br />Mereka melepaskan ikatanku, dan memandangiku dengan ragu ragu. Dengan kesal aku melucuti setiap helai pakaianku yang menutup tubuhku ini di depan mereka.<br /><br /><br /><br />“Nih. Kalo gak percaya, perkosa saja aku sekarang!”, tantangku dengan jengkel.<br /><br /><br /><br />Mereka meneguk ludah melihat tubuh indahku yang terpampang polos di hadapan mereka.<br /><br /><br /><br />“Baik non, kami percaya. Sekarang bagaimana?”, tanya Wawan setelah saling pandang dengan Suwito dan sama sama mengangguk.<br /><br /><br /><br />“Aku mau mandi dulu, gerah nih abis latihan balet. Kalian juga, mandi dulu di bawah sana. Baunya nggak enak tau! Oh iya, ajak pak Arifin sekalian, daripada nanti dia mendengar kita sedang ngeseks di sini terus ngomong yang macam macam. Terus minta Sulikah supaya berjaga, kalau kalau kakakku pulang”, kataku pada mereka.<br /><br /><br /><br />Aku masuk ke kamar mandi, dan menyemprot tubuhku dengan air hangat, mempersiapkan diriku yang akan segera jadi obyek pesta seks ini.<br /><br /><br /><br />Sebenarnya aku sempat ragu dengan solusi ini. Masa aku tiap hari harus melayani tiga pejantan di rumahku sendiri? Aku bukannya takut hamil karena aku bisa minum obat anti hamil. Tapi entah apa aku kuat kalau aku harus terus menjadi budak seks mereka sepanjang hidupku?<br /><br /><br /><br />Tapi aku pikir lebih baik aku berkompromi dengan mereka. Seperti yang sudah kukatakan tadi, toh aku sudah tak perawan lagi, dan aku tak ingin tiba tiba disergap, diikat tak karuan, bajuku dirobek robek, lalu aku disakiti dan diperkosa dengan brutal tanpa belas kasihan.<br /><br /><br /><br />Tiba tiba pintu kamar mandiku terbuka, dan masuklah Suwito, Wawan dan pak Arifin yang sudah telanjang bulat. http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-series/<br /><br /><br /><br />“Non Eliza, kita mandi sama sama saja ya”, kata Wawan.<br /><br /><br /><br />“Aduh, masa sudah segitu tak sabar sih? Ya sudah cepat. Nanti keburu kokoku pulang”, kataku.<br /><br /><br /><br />Mereka bersorak gembira, lalu mereka segera mengerubutiku dan berebut memandikanku. Kedua tanganku diangkat oleh Wawan yang memang jauh lebih tinggi dariku. Yang lain menyabuni tubuhku dengan penuh semangat, terutama di bagian payudara dan vaginaku.<br /><br /><br /><br />Aku mendesah pelan setiap daerah daerah sensitif pada tubuhku tersentuh oleh mereka. Dan melihatku seperti itu, pak Arifin dan Suwito malah semakin sering menyentuh kedua puting payudaraku. Sedangkan Wawan jadi sibuk meraba raba bibir vaginaku.<br /><br /><br /><br />“Kalian… jangan begini… di kamar mandi… ooh… nanti aja…”, aku memprotes di antara desahan dan rintihanku.<br /><br /><br /><br />Untungnya mereka menghentikan ulah mereka itu, dan setelah selesai menyabuniku, mereka membilas tubuhku sampai bersih. Lalu dengan penuh semangat mereka segera menggiringku ke ranjang untuk segera menikmati tubuhku.<br /><br /><br /><br />“Tunggu, aku keringkan badanku dulu. Dan kalian, mandi dulu sana! Supaya nggak bau nanti waktu ngeseks sama aku!”, kataku pada mereka.<br /><br /><br /><br />Mereka menuruti permintaanku, mandi sebersih bersihnya dengan sabunku. Untung saja, sebab aku teringat waktu di UKS kemarin sebenarnya aku tak tahan dengan bau mereka berenam itu, tapi nafsu birahi yang menguasaiku membuatku mampu bertahan.<br /><br /><br /><br />Dan kini mereka tak lagi berbau tak enak seperti tadi, dan aku yang sudah selesai mencuci mukaku di wastafel kamarku, dan mengeringkan tubuhku, tidur telentang di ranjangku dalam keadaan telanjang bulat.<br /><br /><br /><br />Aku sempat melihat jam, sekarang ini pukul tujuh malam. Mereka langsung mengeringkan tubuh ala kadarnya, dan menyerbuku yang sudah tersaji polos di atas ranjangku.<br /><br /><br /><br />Wawan mendapat jatah vaginaku, sementara Suwito dan pak Arifin masing masing mendapat jatah kedua payudaraku. Wawan menjilati bibir vaginaku yang katanya berbau wangi, sementara Suwito dan Pak Arifin menyusu pada kedua payudaraku sambil meremas remas cukup keras.<br /><br /><br /><br />Dan aku? Tentu saja birahi yang hebat segera melandaku. Aku mengerang, mendesah dan menggeliat keenakan.<br />Dengan penuh nafsu Wawan terus menjilat bahkan mencucup vaginaku. Perlahan tapi pasti, cairan cinta mulai mengalir membasahi dinding liang vaginaku. Dan aku kembali menggelinjang kegelian ketika semua cairan cintaku yang keluar ini segera diseruput oleh Wawan dengan rakusnya.<br /><br /><br /><br />Aku terus menggelinjang akibat ulah Wawan ini, dan kedua telapak tanganku kugenggamkan pada sprei ranjangku selagi aku berjuang menahan nikmat yang kurasakan sekarang ini.<br /><br /><br /><br />Desahan nafasku semakin hebat ketika Wawan menusukkan lidahnya ke dalam vaginaku. Sedangkan pak Arifin dan Suwito semakin bernafsu menyusu ke payudaraku, akhirnya setelah lima menit aku menggeliat dan mengejang, orgasme melandaku.<br /><br /><br /><br />Walaupun tak sedahsyat kemarin, tapi sudah cukup untuk membuat nafasku tersengal sengal, seluruh tubuhku berkeringat dan terasa semakin lelah, terutama betisku yang terasa semakin pegal, mungkin karena terlalu sering mengejang dua hari ini, reaksi saat orgasme melandaku.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />IV. Pesta Seks Yang Nikmat<br /><br />Kini Wawan sudah mengambil posisi di selangkanganku, membuat aku memperhatikan, penis seperti apa yang akan segera memompa vaginaku ini.<br /><br /><br /><br />Ternyata penis Wawan tak sebesar dugaanku, paling tak sampai lima belas senti. Mungkin ‘hanya’ sekitar tiga belas atau empat belas senti saja. Dan diameternya pun mungkin hanya sedikit lebih besar dari penis pak Edy, wali kelasku yang aku duga hampir impoten itu.<br /><br /><br /><br />Aku jadi sedikit tenang dan tidak kuatir mengalami sakit yang berlebihan seperti ketika aku dipompa Girno kemarin. Namun aku sedikit bertanya tanya, apa kenikmatan yang aku dapat hari ini akan setara dengan yang aku dapat kemarin?<br /><br /><br /><br />“Hei, kalian diam dulu, jangan membuat non Eliza mulet mulet, aku mau memasukkan punyaku dulu”, seru Wawan yang kesulitan menusukkan penisnya karena dari tadi aku menggeliat keenakan saat putingku disedot sedot oleh mereka berdua ini.<br />Mereka berdua pun diam dan ikut memperhatikan proses penetrasi penis Wawan ke liang vagina nona majikan mereka ini.<br /><br /><br /><br />‘Clep’, demikian bunyi yang terdengar saat liang vaginaku terbelah dan kepala penis Wawan mulai masuk.<br /><br /><br /><br />Batang penis ini terasa begitu keras, dan terus menusuk dalam, tapi rasanya tak sampai menyentuh dinding rahimku.<br /><br /><br /><br />“Ooouuuugh… heeeeghh…”, Wawan melolong keenakan sementara aku menggigit bibir merasakan sedikit sakit yang bercampur sedikit nikmat.<br /><br /><br /><br />Kemudian Wawan mulai bergerak memompa liang vaginaku, membuat rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku. Aku menggeliat pasrah, sementara kedua rekannya yang ikut terbakar nafsu, meminta pelayanan yang lebih dariku. Suwito menaiki perutku, dan meletakkan penisnya di tengah payudaraku.<br /><br /><br /><br />Aku dipaksa merapatkan kedua payudaraku yang mungil ini dengan kedua tanganku hingga menjepit penis itu, lalu ia mulai menggesek gesekkan penisnya yang tak terlalu panjang dan tak terlalu lebar juga diameternya itu di antara lipatan buah dadaku.<br /><br /><br /><br />Lalu pak Arifin menyodorkan penisnya ke wajahku, yang membuatku tertegun. Nyaris sebesar punya Girno, hanya yang ini lebih berurat. Dengan ragu aku mengulum penis pak Arifin, yang tentu saja tak muat dalam mulutku yang mungil ini.<br /><br /><br /><br />Tiba tiba telepon di kamarku berdering.<br /><br /><br /><br />Pak Arifin melepaskan penisnya dari mulutku, mengambil telepon itu dan mendekatkan padaku. Sementara Wawan dan Suwito dengan cueknya meneruskan aktivitasnya. Wawan terus memompa vaginaku dan Suwito terus menikmati jepitan payudaraku pada penisnya.<br />Pak Arifin mengangkat telepon itu, dan memegangkan gagang telepon untukku, karena kedua tanganku sibuk menahan payudaraku menjepit penis si Suwito.<br /><br /><br /><br />“Me, ini koko. Aku pulangnya masih ntar malaman lagi, soalnya tugasnya belum selesai nih”, terdengar suara yang ternyata kakakku.<br /><br /><br /><br />Dalam keadaan sedang disetubuhi, aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya ia tak curiga yang macam macam.<br /><br /><br /><br />“Iya ko… jadi… koko.. pulang jam berapa.. nanti”, tanyaku sedikit terputus putus karena Wawan terus menggenjotku tanpa ampun.<br /><br /><br /><br />“Yaa, bentar lagi sih keliatannya sudah selesai, tapi setelah selesai aku dan yang lain mau pergi dulu, minum es bareng bareng. Yaa, anggap saja merayakan kecil kecilan. Sulit lho ini tugasnya! Kamu mau aku bawakan es juga me? Aku bungkuskan buat kamu ya?” tanya kakakku.<br /><br /><br /><br />“Iya.. boleh ko… Jangan… terlalu malam… ya… hati hati.. ko”, kataku, semakin terputus putus karena si Wawan dengan kurang ajar meningkatkan kecepatannya dalam memompa vaginaku.<br /><br /><br /><br />Bahkan saat batang penis Wawan menancap dalam, Wawan sengaja membiarkan penisnya tertanam sedikit lebih lama, membuat gairah tubuhku semakin bergolak.<br /><br /><br /><br />Celaka, jangan sampai aku orgasme selagi telepon dengan kokoku nih. Aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai kokoku tahu di rumah ini memenya sedang ngeseks dengan sopir dan pembantu pembantunya.<br /><br /><br /><br />“Ya, mungkin aku sampai rumah jam setengah dua belas malam. Me, kamu kenapa? Sakit ya? Kok seperti ngos ngosan gitu?” tanya kakakku.<br /><br /><br /><br />“Nggak… ko… Cuma… ingin… ke WC… sudah dulu.. ya ko”, kataku sambil menyuruh pak Arifin meletakkan gagang telepon dengan bahasa isyarat, sementara nafasku makin memburu.<br /><br /><br /><br />Begitu telepon tertutup, aku segera melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan tahan, dan aku langsung orgasme, kali ini lebih hebat dari yang pertama tadi.<br /><br /><br /><br />Tubuhku sedikit terlonjak lonjak, kedua kakiku melejang lejang dan cairan cintaku keluar banyak sekali hingga membanjir membasahi penis Wawan.<br /><br /><br /><br />Aku memandang Wawan dengan jengkel sekaligus penuh gairah, apalagi Wawan terus memompa liang vaginaku dengan kecepatan yang makin tinggi. Gairahku yang belum benar benar turun setelah tadi sempat mengalami orgasme hebat, kini kembali naik dengan cepat.<br /><br /><br /><br />“Non, kakaknya non pulang jam berapa?”, tanya pak Arifin.<br /><br /><br /><br />“Setengah..dua..belas.. pak”, jawabku dengan suara terputus putus di antara desahan nafasku.<br /><br /><br /><br />Pak Arifin lalu keluar entah kemana, aku juga sudah tak perduli. Gila, stamina Wawan benar benar luar biasa, aku dibuatnya kewalahan. Sodokan demi sodokan seolah memompa gairahku meuju orgasme, dan luar biasa, aku sudah orgasme yang ketiga saat ini, dua kali akibat liang vaginaku dipompa Wawan dengan ganas.<br /><br /><br /><br />Jam sudah menunjuk pukul setengah delapan lebih. Sudah setengah jam lebih aku digagahi Wawan, dan ia belum menunjukkan tanda tanda akan orgasme. Bahkan milik Suwito sudah berkedut, ia buru buru memasukkan penisnya ke dalam mulutku,dan aku langsung mengulum rapat dan menyedot nyedot penis itu.<br /><br /><br /><br />“Eerrghh… huoooh…”, Suwito mengerang dan melolong, spermanya menyemprot deras ke dalam kerongkonganku.<br /><br /><br /><br />Rasanya sedikt lebih gurih dari milik enam orang kemarin yang memperkosaku di ruang UKS itu, atau aku yang sudah mulai bisa menikmati rasa sperma yang kuminum, aku juga tak tahu pasti. Penis Suwito terus kusedot sampai mengecil dan tak ada sisa sperma yang menempel di sana sedikitpun. Setelah servis oralku selesai, Suwito melangkah gontai dan duduk sembarangan di lantai kamarku.<br /><br /><br /><br />Kini sementara aku tinggal menghadapi Wawan satu lawan satu. Tiba tiba Wawan dengan perkasa menarikku bangun, dan ia turun dari ranjang berdiri, dengan tetap memeluk pinggangku dan penis yang masih terus menancap erat dalam vaginaku, membuat aku takut terjatuh hingga melingkarkan betisku ke pinggangnya dan merangkul lehernya erat.<br /><br /><br /><br />Wawan menggunakan kesempatan itu untuk melumat bibirku, sementara sodokan penisnya yang begitu kokoh bagaikan sebatang besi, terasa makin dalam menancap pada liang vaginaku, membuatku semakin melayang layang, mengantarku mengalami multi orgasme di pelukan Wawan.<br /><br /><br /><br />“Oooooh…. Waaaaan…. aaaa…duuuuh… e….naaaaak”, erangku, tanpa terkendali aku mengejang ngejang susul menyusul di pelukan Wawan.<br /><br /><br /><br />Kepalaku menengadah, pantatku terasa kejang tersentak sentak ke depan, cairan cintaku membanjir membasahi lantai kamarku, nafasku seperti orang yang habis lari berkilo kilo.<br /><br /><br /><br />Nikmat yang melandaku ini entahlah, mungkin setara dengan nikmat kemarin saat aku digangbang Girno, Urip dan Soleh. Namun Wawan melakukannya sendirian, dan sudah mampu memaksaku orgasme tak karuan seperti tadi.<br /><br /><br /><br />Maka kini penilaianku pada Wawan menjadi lain.<br /><br /><br /><br />Wajahnya memang tak karuan, penisnya juga tak terlalu besar dan tak terlalu panjang, tapi, penisnya memang luar biasa keras. Aku berpikir bisa bisa kelak aku yang mencarinya untuk ngeseks kalau aku ingin merasakan orgasme seenak ini.<br /><br /><br /><br />Aku benar benar sudah larut dalam pesta seks ini, rasanya aku sudah berubah dari cewek yang alim dan terpelajar, menjadi cewek bispak!<br />Lamunanku buyar saat Wawan tiba tiba memelukku makin erat, sodokannya makin bertenaga, sementara tubuhnya terasa bergetar getar.<br /><br /><br /><br />Oh.. apakah akhirnya ia akan orgasme?<br /><br /><br /><br />“Heeegh.. non… Elizaaaaaaa…..”, lolong Wawan.<br /><br /><br /><br />Wawan menjepit tubuhku dengan pelukan yang menyesakkan dadaku, namun membuatku kembali orgasme kecil, menngiringi semprotan spermanya yang amat banyak di dalam vaginaku.<br /><br /><br /><br />Dan aku sangat kesal ketika Wawan melepaskanku begitu saja hingga aku agak terbanting, untungnya aku terbanting di ranjangku empuk.<br /><br /><br /><br />“Wan… jangan kasar!”, kataku setengah membentak.<br /><br /><br /><br />“Eh… maaf non… maaf”, kata Wawan.<br /><br /><br /><br />Wawan sepertinya meminta maaf sambil lalu saja. Tapi aku tak bisa melanjutkan omelanku ketika Wawan kembali menanamkan penisnya yang masih cukup keras di dalam liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />Berikutnya Wawan menindih tubuhku hingga kakiku makin terkangkang lebar. Ia memagut bibirku dengan buas, membuat aku megap megap. Untungnya penisnya semakin mengecil, dan dengan posisi tubuhku yang terlipat ini penisnya dengan cepat terlepas dari vaginaku.<br /><br /><br /><br />Cairan cintaku kurasakan menghambur keluar cukup banyak. Pasti cairan cintaku itu bercampur spermanya dan kini campuran cairan cairan itu meleleh membasahi kedua pahaku ketika aku ditariknya berdiri. Wawan memelukku dengan erat dan kembali memagut bibirku seolah aku ini kekasih yang sudah lama dirindukannya. http://kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/<br /><br /><br /><br />Saat itu aku melihat jam sudah menunjuk pukul delapan lebih sepuluh menit. Edan. Ini berarti Wawan menggenjotku selama satu jam. Benar benar lelaki yang perkasa. Tiba tiba entah sejak kapan, aku melihat Sulikah dan pak Arifin sudah ada di kamarku, kelihatannya sejak lama, cukup lama untuk melihat aku menyerah dalam pelukan Wawan.<br /><br /><br /><br />Pak Arifin mendekat mengambil giliran. Aku masih tersengal sengal, ketika pak Arifin yang biasanya kalem ini dengan buas merenggut tubuhku dari pelukan Wawan, lalu penisnya yang berukuran raksasa itu langsung diterjangkan ke liang vaginaku yang untungnya masih basah kuyup oleh campuran sperma Wawan dan cairan cintaku tadi, sehingga masih sangat licin.<br />“Aaagh…aduh…oooh… heeegh…auuuh…nngggh…”, erangku berulang ulang tanpa daya ketika pak Arifin dengan bersemangat sekali memompa liang vaginaku yang langsung terasa amat sakit seperti saat Girno pertama kali memompa liang vaginaku ini.<br /><br /><br /><br />Urat urat itu terasa begitu menggerinjal mengaduk aduk liang vaginaku. Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini membuatku teringat sisa obat perangsang di tas sekolahku. Mungkin aku bisa meredakan rasa sakit yang mendera liang vaginaku ini dengan meminum sisa air minumku itu.<br /><br /><br /><br />“Paak… ngghh… berhenti… sebentar…”, aku memohon pada pak Arifin.<br /><br /><br /><br />“Kenapa non…”, desis pak Arifin dengan nafas memburu, tapi ia menghentikan genjotannya pada tubuhku.<br /><br /><br /><br />“Aku… aku haus pak… Mbak Ika… tolong ambilkan aqua yang ada di dalam tas sekolahku…”, aku meminta tolong pada Sulikah untuk mengambilkan botol aqua yang isinya tinggal separuh itu di dalam tasku, yang langsung kuteguk habis begitu Sulikah memberikan padaku.<br /><br /><br /><br />Aku sempat melihat sekelilingku, Wawan duduk di sofa kamarku, sementara Suwito tiduran di lantai. Dan Sulikah kembali duduk di kursi meja riasku. Lalu aku mempersilakan pak Arifin untuk mulai memompa vaginaku begitu aku mulai merasa panas yang tak wajar menjalari tubuhku.<br /><br /><br /><br />Ya, obat perangsang itu mulai bekerja. Tanpa mampu mengendalikan diri, aku melayani pak Arifin dengan penuh nafsu, sakit yang tadinya melanda vaginaku sudah lenyap sama sekali berganti kenikmatan yang luar biasa dahsyat. Lenguhan, desahan dan erangan kami berdua memenuhi kamarku, membuat siapa saja yang mendengar pasti bangkit gairahnya, termasuk Wawan dan Sulikah.<br /><br /><br /><br />Aku melihat mereka sudah saling memagut bibir dengan serunya, membuatku tak mau kalah dan menarik leher pak Arifin untuk kemudian kupagut bibirnya dengan ganas.<br /><br /><br /><br />Sudah lima belas menit pak Arifin memompaku. Entah aku sudah berapa kali melayang dalam orgasme, akhirnya pak Arifin melenguh panjang, menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Semprotan itu terasa begitu banyak dan kencang, rasanya mengenai bagian terdalam di liang vaginaku, mungkin menembus rahimku.<br /><br /><br /><br />Aku tergolek lemas dalam keadaan penuh nafsu, memandang Suwito yang harusnya sudah pulih karena ia yang pertama keluar tadi.<br /><br /><br /><br />Suwito langsung tanggap dan mendekatiku. Ia segera menusukkan penisnya ke dalam vaginaku, dan mulai memompa liang vaginaku yang sudah haus akan penis lelaki ini. Obat perangsang itu benar benar dahsyat, aku terus menggoyangkan pinggulku sambil mencumbu Suwito dengan penuh nafsu.<br /><br /><br /><br />Wawan yang sudah bergairah tak tahan lagi dan mendekatiku. Suwito mengerti dan mendekapku erat lalu berbaring telentang hingga aku kini menindihnya.<br /><br /><br /><br />Dan tiba tiba Wawan meludahi anusku, mendatangkan sensasi aneh dan luar biasa bagiku. Lalu jari tangannya terus mengorek ngorek anusku yang semakin lebar. Dalam kepasrahan aku tak bisa melarang kemauan Wawan, aku tahu ia akan segera membobol anusku.<br /><br /><br /><br />Tapi aku yang sudah terangsang hebat ini tak perduli. Dengan beberapa kali dorongan, akhirnya penis Wawan yang sudah amat licin itu menembus anusku, membuatku melolong panjang karena kesakitan.<br /><br /><br /><br />Bagaimanapun, aku belum terbiasa anusku dibobol. Kini dalam keadaan disandwich, aku disodok sodok bergantian dari atas dan bawah, hingga akhirnya tak sampai sepuluh menit menit kemudian aku sudah orgasme, bersamaan dengan menyemprotnya sperma Suwito dalam liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />Kemudian hampir setengah jam Wawan menyodomiku, rasanya sampai aku harus berjuang menahan reflek tubuhku yang ingin mengejan. Dalam keadaan liang anusku masih tertancap penis Wawan, tiba tiba pak Arifin yang sudah pulih itu ingin menggantikan posisi Suwito. Penisnya yang raksasa itu sudah menegang tegak, siap untuk kembali menyodok liang vaginaku dengan buas.<br /><br /><br /><br />Suwito menyodorkan penisnya ke wajahku dan aku tak perlu disuruh, segera kubersihkan sperma yang tertinggal di penis itu dengan mengulum ngulum dan menyedot nyedot penis itu hingga bersih, sementara pemiliknya melenguh lenguh keenakan, lalu roboh di depanku.<br />Birahiku yang semakin tinggi membuatku antara sadar dan tidak, dengan penuh nafsu melayani sodokan dua penis sekaligus di selangkanganku. Kugerakkan tubuhku mengikuti irama sodokan itu, berulang ulang aku mencapai klimaks, sampai akhirnya pak Arifin orgasme duluan.<br /><br /><br /><br />Kini tinggal Wawan yang menyodomi liang anusku dengan gencar, memang Wawan yang paling luar biasa di antara mereka semua. http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-series/<br /><br /><br /><br />Pak Arifin menyodorkan penisnya untuk kubersihkan, dan aku dengan semangat mulai mengulum dan menyedot nyedot penis itu sampai mengecil. Setelah puas dengan servis oralku, pak Arifin duduk di sanpingku, lalu ia melumat bibirku dengan bernafsu.<br /><br /><br /><br />Tiba tiba Suwito sudah berada di bawahku, namun bukan untuk menikmati liang vaginaku, melainkan menyedot susuku yang tergantung karena kini aku masih dalam posisi menungging.<br /><br /><br /><br />Sementara itu, Sulikah kulihat mulai bermasturbasi dengan mencelup celupkan jarinya ke dalam liang vaginanya sendiri. Kelihatannya Sulikah sudah terangsang hebat melihat nona majikannya ini begitu pasrah dikeroyok oleh tiga pejantan ini.<br /><br /><br /><br />Setengah jam kemudian Suwito sudah pulih, dan ia kembali menusukkan penisnya ke vaginaku, membuat selangkanganku terasa sesak dan ngilu. Perlahan genjotan Suwito kembali membangkitkan gairahku, dan tak lama kemudian aku langsung orgasme hebat.<br /><br /><br /><br />Seolah bekerja sama dengan Wawan, mereka menusukkan senjatanya dalam dalam bersamaan dan berlama lama menahan penis mereka di sana, membuat aku melenguh lenguh tak kuasa menahan nikmat. Aku sudah setengah sadar saat jam menunjuk pukul sepuluh lebih seperempat malam.<br /><br /><br /><br />Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus mili liter cairan cinta yang sudah diproduksi tubuhku selama tiga jam ini. Mereka bertiga terus bergantian memuaskanku, sampai akhirnya tubuh mereka ambruk satu per satu di sekelilingku.<br /><br /><br /><br />Kondisiku sendiri tak lebih baik, tenagaku terasa terkuras habis. Untungnya aku besok masih sekolah siang, semester depan barulah aku akan sekolah pagi. Yang jelas besok aku masih ada kesempatan bangun agak siang.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />X. Akhir Pesta Seks Di Rumah<br /><br />Deru nafas yang memburu bersahut sahutan di kamarku. Aku mulai sadar dari pengaruh obat perangsang tadi, dan bangkit menuju kamar mandiku dengan sempoyongan.<br /><br /><br /><br />Kukeluarkan sperma yang bisa aku keluarkan dari vaginaku dengan bantuan jari tanganku dan siraman air shower. Aku mandi keramas menghapus sisa keringatku dan keringat mereka yang menempel di sekujur tubuhku, lalu mengeringkan tubuhku serta rambutku.<br /><br /><br /><br />Kemudian, masih dalam keadaan telanjang bulat, aku kembali ke ranjangku yang spreinya awut awutan akibat baru jadi ajang pesta seks ini.<br /><br /><br /><br />Wawan masih tergeletak di ranjangku. Aku memintanya turun, karena aku harus mengganti sprei ranjangku. Aku tak mau tidur dengan bau keringat, sperma dan cairan cinta di sekitarku.<br /><br /><br /><br />Dibantu oleh Sulikah, aku memasang sprei yang baru, sementara sprei tadi dibawanya turun ke tempat cucian setelah ia pamit padaku untuk tidur. Sementara tiga begundal ini, aku masih ada urusan yang harus kubicarakan dengan mereka semua.<br /><br /><br /><br />“Pak Arifin, Wawan dan Suwito. Sekali lagi, aku ingatkan, hal barusan ini hanya bisa terjadi jika kedua ortuku dan kakakku tidak ada di rumah, juga jika aku tidak ada PR atau tugas ataupun ujian, juga pada saat aku tidak sedang datang bulan”, aku mengulangi solusi nikmat di rumah ini berupa tawaran dan syarat yang tadi sudah kujelaskan pada mereka.<br /><br /><br /><br />“Di luar itu, kalian jangan coba coba memaksaku. Kalo ketahuan, selain kalian dipecat, aku sendiri juga bakal bermasalah sama papa dan mama. Dan kalian juga rugi. Kalian tak mau kan itu terjadi?”, tanyaku pada mereka yang sebenarnya jawabannya sudah jelas, mereka semua mengangguk cepat.<br /><br /><br /><br />“Dan tolong kalian jangan berlaku ngawur. Kalian juga bisa menikmatiku, tapi kalian harus janji tak akan jajan di luar. Aku tak ingin kena penyakit kelamin yang menular. Apa kalian mengerti?” kali ini pertanyaanku lebih mirip perintah.<br /><br /><br /><br />“Akuuuur…”, mereka menjawab serempak.<br /><br /><br /><br />Lalu dengan langkah gontai karena sama sama kehabisan tenaga, mereka bertiga keluar dari kamarku menuju ke kamar masing masing.<br /><br /><br /><br />Sedangkan aku langsung mengenakan baju tidur satin yang nyaman seperti kemarin, lalu mengistirahatkan tubuhku yang sudah amat kepayahan ini di atas ranjangku yang empuk.<br /><br /><br /><br />Kini tinggal aku sendiri yang menunggu kakakku pulang sambil merenungi kegilaanku tadi. Masih ada sejam lagi sebelum kakakku pulang, aku berpikir aku lebih baik tidur saja, toh kakakku bawa kunci pintu depan. Tentang es yang dijanjikan kokoku tadi, biarlah es itu ditaruhnya di kulkas.<br /><br /><br /><br />Lagi lagi aku sadar kalau aku belum mengenakan bra, tapi pinggangku sudah seperti akan patah dan aku malas untuk bangun lagi.<br /><br /><br /><br />Aku membayangkan, Jumat depan aku harus melayani enam begundal kemarin. Apa lokasinya tetap di ruang UKS itu? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika mereka gelap mata menyeretku ke mess yang dihuni puluhan orang itu? Aku bisa apa? Apa mereka tetap mau melepaskan diriku seperti kemarin?<br /><br /><br /><br />Lalu, sampai kapan aku harus menjadi budak seks kedua pembantu dan sopirku ini? Apakah aku harus menyerahkan tubuhku pada mereka setiap hari? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghiasi pikiranku, mengantarku tidur yang kali ini tak begitu nyenyak.<br /><br /><br /><br />Beberapa jam sekali aku mengalami mimpi buruk, dimana aku berada di tengah kerumunan puluhan orang yang mengepung diriku hingga aku panik dan terbangun. Oh… apakah ini tanda bahwa nanti aku benar benar harus melayani penghuni mess dimana Girno dan yang lain tinggal itu?<br />
<br />
Eliza 3 (remake): Sarapan Sex Sebelum ke Sekolah<br />
<br />
Tidurku yang tak nyaman karena dilanda mimpi buruk, terasa makin tak nyaman karena nafasku tiba tiba terasa sesak, dan dadaku seperti terhimpit sesuatu. Tapi aneh sekali, aku yakin kalau aku tidak mengidap penyakit asma.<br /><br /><br /><br />Namun selangkanganku terasa enak dan nikmat, seperti ada penis yang mengaduk vaginaku. Belum lagi rasanya payudaraku diremas lembut, membuatku perlahan tersadar dari tidurku, untuk kemudian mendapati ternyata Wawan yang membuatku terbangun dengan menyetubuhiku.<br /><br /><br /><br />Aku yang masih belum sadar betul, terkejut melihatnya ada di kamarku, apalagi sedang menyetubuhiku, membuatku menjerit ketakutan dan mendorongnya, namun ia terlalu berat buat cewek mungil sepertiku.<br /><br /><br /><br />“Lho Non Eliza, katanya mulai kemarin saya boleh menikmati Non?” tanya Wawan memprotesku.<br /><br /><br /><br />Aku langsung sadar, teringat kemarin memang aku menjanjikan hal ini.<br /><br /><br /><br />“Tapi bukan gini caranya Wan! Masa aku lagi tidur kamu ajak beginian. Nggak sopan tahu! Lagian aku tadi masih belum sadar benar, bangun bangun ada orang lain di kamarku, kukira aku sedang diperkosa rampok tau!”, kataku ketus.<br /><br /><br /><br />Sebenarnya aku merasa cara Wawan membangunkanku seperti ini begitu sexy, tapi jual mahal sedikit boleh dong?<br /><br /><br /><br />Mendengar omelanku, Wawan terdiam. Tapi penisnya yang menancap di vaginaku tidak mengendur sedikitpun.<br /><br /><br /><br />Aku menghela nafas panjang, aku sudah tahu hal seperti ini akan terjadi.<br /><br /><br /><br />“Ya sudah, cepat lanjutkan. Mana kamu ini lama lagi kalau main… Eh… tunggu!!”, tiba tiba aku teringat kokoku, dan aku menurunkan volume suaraku.<br /><br /><br /><br />“Gila kamu ya Wan, kokoku mana??”, tanyaku panik.<br /><br /><br /><br />“Tenang Non, liat ini jam berapa? Kokonya non sudah pergi setengah jam yang lalu kok. Dan saya sudah tidak tahan untuk bermain lagi dengan non nih”, kata Wawan sambil cengengesan.<br /><br /><br /><br />Oh.. aku sedikit lega, dan melihat jam, yang ternyata sudah jam delapan seperempat, masih pagi.<br /><br /><br /><br />“Lalu, sejak jam berapa kamu nggghh… ” belum selesai aku bertanya, Wawan sudah mulai menggenjotku dengan tak sabar, hingga aku melenguh, keenakan.<br /><br /><br /><br />“Oh..Wan… kamu… ssshh…”, aku mendesah takluk.<br /><br /><br /><br />Wawan tersenyum penuh kemenangan, membuatku sedikit jengkel juga, tapi hanya sebentar, karena rasa nikmat langsung melandaku ketika Wawan mengulangi gayanya kemarin.<br /><br /><br /><br />Ia memeluk pinggangku, dan menarikku berdiri dengan penisnya yang menusuk liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />“Eengghh… ngghhkk…”, aku melenguh lenguh keenakan ketika penis Wawan yang amat kokoh itu terbenam makin dalam pada liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />Bukan hanya karena takut, tapi aku juga tak ingin penis itu lepas dari liang vaginaku, membuatku tanpa sadar kembali melingkarkan kakiku ke pinggangnya.<br /><br /><br /><br />Akibatnya tusukan penis Wawan itu terasa semakin dalam, membuat gairahku naik dengan cepat. Aku langsung melingkarkan tanganku ke leher Wawan supaya tubuhku tidak terjatuh ke belakang, dan memagut bibirnya dengan penuh nafsu tak perduli dengan wajahnya yang amburadul.<br /><br /><br /><br />Terakhir aku minum obat anti hamil adalah ketika aku jadi obyek pesta seks di ruang UKS dua hari yang lalu, tapi aku tak kuatir hamil akibat ngeseks dengan Wawan dan yang lainnya ini, sebab kini aku sedang bukan dalam masa subur. Dan aku sudah tak lagi punya niat untuk jual mahal, karena rasa nikmat yang sudah menjalar ke seluruh tubuhku benar benar mengalahkan akal sehatku.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />II. Menuju Ke Tempat Eksekusi<br /><br />Wawan terus memompa vaginaku sambil berjalan, rasanya nikmat sekali. Aku heran dan menduga duga ke mana ia mau membawaku, sambil mulai memperhatikan keadaanku. Baju tidurku ini masih melekat, dan ketika aku sadar aku tak memakai bra, aku teringat kalau kemarin aku tak memakainya.<br /><br /><br /><br />Kadang kala aku memang tidur tanpa memakai bra. Tapi celana dalamku tidak ada, dan sempat aku melihat dari pintu kamarku ketika Wawan membawa tubuhku keluar, kutemukan benda mungil itu tergeletak di lantai kamarku.<br /><br /><br /><br />Kini Wawan menuruni tangga, rupanya ia hendak mengajak rekan rekannya yang kemarin untuk bersama sama menikmati tubuhku. http://kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/<br /><br /><br /><br />Gawat juga nih. Kalau tiap pagi aku harus sarapan sex seperti ini, bagaimana aku bisa konsentrasi di sekolah?<br /><br /><br /><br />Tapi aku tak kuasa menolak kenikmatan ini dan pasrah saja mengikuti kemauan Wawan. Setiap langkahnya di tangga membuat penisnya memompa dan mengaduk liang vaginaku, dan aku orgasme ringan hingga cairan cintaku mengalir semakin banyak.<br /><br /><br /><br />Seharusnya cairan cintaku ini membasahi paha Wawan, tapi ia terlihat senang senang saja, dan ia terus melangkah sampai akhirnya kami tiba di kamar tidur pembantu laki laki di rumahku, dimana pak Arifin dan Suwito sudah menunggu untuk mengeksekusi diriku yang masih memakai baju tidur ini.<br /><br /><br /><br />Sadar kalau aku akan segera jadi obyek pesta seks lagi pagi ini, aku mencoba mengingatkan mereka supaya tak keterusan menyetubuhiku sampai seharian karena aku masih harus pergi ke sekolah.<br /><br /><br /><br />“Kalian… harus inghh… ingat… yaaah…. ngggh…. aku nantiiii…. harus… sekolah….”, kataku terputus putus di antara desahan dan lenguhanku karena.<br /><br /><br /><br />“Tenang non Eliza, cuma satu ronde kok. Kami kan juga harus kerja membersihkan bagian luar rumah Non…”, kata Suwito dan disambung tawa yang lain.<br /><br /><br /><br />“Aduh non, kalau begini non cantik banget lho non, mana ada bintang film porno yang secantik nona kita ini ya?”, kata Suwito lagi sambil membelai bongkahan pantatku.<br /><br /><br /><br />“Kita ini benar benar beruntung bisa kerja di sini. Di mana lagi kita dapat menikmati nona amoy secantik non Eliza ini… seterusnya lagi. Non Eliza sendiri kan yang minta? Kalau begini mah, bayaran gak naik juga kita betah lho non kerja sampai tua di sini”, timpal Pak Arifin sambil menyibakkan rambutku yang terurai ini ke belakang telingaku.<br /><br /><br /><br />Mereka tertawa senang sementara aku yang antara malu bercampur terangsang, tak bisa menanggapi gurauan mereka, karena Wawan sudah melanjutkan pompaan penisnya yang sekeras batangan besi itu, membuatku menggeliat dan melenguh dalam pelukannya.<br /><br /><br /><br />“Nggggh… Waaan… aduuuh… emmpph”, aku melenguh dan merintih, tapi semua itu terhenti ketika Wawan memagutku dengan buas.<br /><br /><br /><br />Yang lain sabar menanti gilirannya dengan caranya masing masing, Suwito membelai dan meremas pantat dan payudaraku, sementara pak Arifin membelai belai rambutku yang panjang sampai sepunggung ini, sambil menghirup bau harum rambutku.<br /><br /><br /><br />Dengan tubuh yang dirangsang 3 orang sekaligus seperti ini, membuat orgasme demi orgasme meluluh lantakkan tubuhku, sampai akhirnya datanglah saat saat yang paling nikmat itu, aku kembali mendapatkan multi orgasme.<br /><br /><br /><br />“Mmmmmph… hnngggh.. oooohhhh… aaa….duuuuuh….” erangku saat tubuhku terlonjak lonjak tak karuan, cairan cintaku membanjir dan membanjir.<br /><br /><br /><br />Betisku melejang lejang, pinggangku tertekuk ke belakang ketika aku menikmati orgasmeku dengan sepuas puasnya. Tubuhku pasti sudah jatuh kalau tak ditahan Suwito dan pak Arifin, yang memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusu pada payudaraku sambil meremas remas dengan gemas, membuat orgasmeku yang susul menyusul ini makin terasa nikmat.<br /><br /><br /><br />Dentang grandfather clock dari dalam ruang tamu di rumahku menunjukkan sekarang ini adalah jam sembilan pagi! http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-series/<br /><br /><br /><br />Entahlah, mungkin sudah satu jam kali aku digenjot Wawan, kalau ditambah dengan waktu aku masih tertidur. Ia memang perkasa untuk urusan sex, membuatku semakin kagum padanya. Beberapa menit setelah aku orgasme, Wawan tak tahan lagi.<br /><br /><br /><br />“Oooh… memeknya non Eliza ini…. rasanya kontolku kayak diurut urut… aaah… “, erangnya sambil menyemprotkan spermanya yang hangat itu di dalam liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />Aku memejamkan mata ingin menikmati sepuas puasnya rasa hangat yang memenuhi relung relung vaginaku. Kurasakan tubuhku dibaringkan di salah satu ranjang mereka, dan penis Wawan sudah terlepas dari vaginaku.<br /><br /><br /><br />Aku membuka mataku, untuk melihat giliran siapa berikutnya. Sedikit beda dari kemarin, sekarang gilirannya Suwito, yang sudah mengambil posisi di selangkanganku, dan segera membenamkan penisnya ke dalam vaginaku yang masih sangat basah oleh cairan cintaku dan sperma Wawan.<br /><br /><br /><br />Aku hanya bisa menggeliat pasrah dibawah tindihan Suwito, yang dengan penuh semangat menggenjotku sepuas puasnya. Pak Arifin masih memainkan dan membelai rambutku, yang menurutnya sangat indah.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />III. Nikmatnya Sarapan Sperma<br /><br />Tiba tiba aku teringat penis Wawan yang pasti masih belepotan spermanya sendiri yang bercampur dengan cairan cintaku.<br /><br /><br /><br />“Wan, sini aku oralin bentar”, aku memanggil Wawan untuk mendekat dan menikmati servis oral dariku.<br /><br /><br /><br />Entah apa yang mendorongku, tapi aku hampir tak bisa mempercayai bahwa itu adalah suaraku sendiri ketika aku memanggil Wawan.<br /><br /><br /><br />Wawan yang sedang duduk di lantai beristirahat, tentu saja tak perlu kuminta dua kali, ia segera bangkit mendekatiku dan menyodorkan penisnya untuk kuoral, dan tanpa malu malu aku memegang penis yang sudah mengendur itu, kukulum kulum dan kuseruput hingga pipiku seperti kempot, sampai tak ada sperma yang tersisa, sementara Wawan melenguh lenguh keenakan.<br /><br /><br /><br />Benar benar edan! Bagaimana mungkin aku bisa seliar ini? Bahkan aku merasa sperma itu begitu enak dan gurih, apakah ini karena aku mulai ketagihan minum sperma?<br /><br /><br /><br />Entahlah, tapi sekarang ini aku sudah tak sabar lagi menunggu Suwito orgasme, karena aku ingin segera merasakan nikmatnya sarapan sperma lagi.<br /><br /><br /><br />Maka setelah penis Wawan selesai kuoral sampai bersih, aku segera menggerakkan pinggulku menyambut tusukan demi tusukan Suwito. Tak sampai sepuluh menit Suwito sudah menggeram dan badannya bergetar getar.<br /><br /><br /><br />Ingin aku meminta Suwito untuk menyiramkan spermanya di dalam mulutku, namun aku takut dianggap tidak adil karena tadi Wawan sudah merasakan nikmatnya mengeluarkan spermanya dalam liang vaginaku.<br /><br /><br /><br />Aku diam saja, membiarkan Suwito memuaskan hasratnya untuk menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Setelah kurasakan tak ada semprotan lagi, aku segera mendorong tubuhnya sampai penisnya terlepas dari jepitan liang vaginaku<br /><br /><br /><br />”Suwito, cepat sini…”, aku memanggil Suwito sambil memintanya duduk di samping kananku.<br /><br /><br /><br />Suwito pun segera menghampiriku, dan aku segera menelan penisnya dalam mulutku, menyedot nyedot sisa sperma dari penisnya itu sambil memejamkan mataku, merasakan tetes demi tetes sperma yang teroleskan di lidahku. Rasanya nikmat sekali, asin dan begitu gurih.<br /><br /><br /><br />Pak Arifin yang sempat tak kulihat batang hidungnya, kulihat kembali, sambil membawa sebuah sendok teh dan piring kecil. Aku tak terlalu memperdulikan hal itu, dan terus mengulum penis Suwito. Tiba tiba, aku melepaskan kulumanku, sambil melenguh pelan karena merasakan nikmat pada selangkanganku.<br /><br /><br /><br />Tak apa apa, toh penis Suwito sudah bersih. Tapi bukan itu yang harus kupikirkan, maka aku melihat ada apa dengan selangkanganku. http://kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/<br /><br /><br /><br />Ternyata pak Arifin sedang menyendoki lelehan sperma yang bercampur cairan cinta yang mengalir keluar dari vaginaku, dan ditadahi dengan piring kecil tadi. Aku hanya diam menahan nikmat, ketika sendok kecil itu mengorek ngorek vaginaku dengan lembut, menyendoki sisa cairan cintaku dan sperma sperma dari Wawan dan Suwito.<br /><br /><br /><br />Setelah beberapa saat, mungkin setelah vaginaku sudah tak terlalu becek lagi, pak Arifin menghentikan ulahnya itu dan duduk di samping kiriku.<br /><br /><br /><br />“Non Eliza, non suka peju ya? Saya suapin peju mau ya?”, tanya pak Arifin yang memegangi sepiring kecil yang berisi campuran cairan sperma dan cairan cintaku itu.<br /><br /><br /><br />Aku dengan sedikit malu, mengangguk pelan, dan pak Arifin mulai menyuapiku dengan lembut seperti menyuapi anaknya yang sedang sakit.<br /><br /><br /><br />Kembali aku merasakan sperma yang bercampur cairan cintaku sendiri. Walaupun aku belum makan pagi, suapan demi suapan cairan yang gurih dan nikmat ini seperti menggantikan sarapanku, membuat aku tak merasa begitu lapar lagi.<br /><br /><br /><br />Setelah jatahku habis, pak Arifin mulai bersiap menggenjotku.<br /><br /><br /><br />“Non Eliza, non mau nggak kalau nanti saya mengeluarkan peju dalam mulut non?”, tanya pak Arifin.<br /><br /><br /><br />Aku mengangguk senang, kemudian melebarkan kedua pahaku selebar lebarnya, karena aku ingat penis pak Arifin ini berukuran raksasa. Kurasakan penis itu sudah mulai melesak sedikit, dan gairahku langsung naik cepat. Apalagi Wawan dan Suwito ikut menyusu pada payudaraku dengan remasan remasan kecil.<br /><br /><br /><br />“Aduh… oooh…”, erangku antara sakit dan nikmat.<br /><br /><br /><br />Tetap saja ada rasa sakit yang melanda vaginaku, karena ukuran penis pak Arifin sangat besar. Tapi kini aku bisa lebih cepat beradaptasi, dan mulai mengimbangi genjotan sopirku ini. setelah rasa sakit itu lenyap, aku mulai mendesah dan melenguh keenakan.<br /><br /><br /><br />Penis itu seolah menancap begitu erat, sehingga ketika pak Arifin menarik penisnya, seolah vaginaku yang menjepit penisnya ikut tertarik, dan tubuhku terangkat sedikit. Namun ketika penis itu menghunjam, rasanya vaginaku serasa sedang dimasuki daging keras yang besar hingga sesak sekali.<br /><br /><br /><br />Tak sekeras punya Wawan memang, tapi masih keras untuk ukuran orang seumur pak Arifin. Dan cukup keras untuk membuat aku serasa melayang ke awang awang.<br /><br /><br /><br />Rasa nikmat ini akhirnya membuat aku orgasme, kembali kakiku melejang lejang membuat jepitan vaginaku pada penis pak Arifin makin erat, dan ini membuat pak Arifin kelabakan, penisnya berkedut kedut. Ia segera menarik penisnya lepas dari vaginaku dengan tergesa gesa, dan segera membenamkan penisnya dalam mulutku.<br /><br /><br /><br />Segera semprotan spermanya yang juga terasa asin dan gurih, membasahi kerongkonganku. Aku terus melahap sperma itu, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih. Aku sudah tak merasa begitu lapar lagi setelah sarapan sperma dan cairan cintaku sendiri.<br /><br /><br /><br />-x-<br /><br /><br /><br />III. Pulangnya Kokoku Tersayang<br /><br />Mereka bertiga akhirnya duduk mengatur nafas mereka yang masih memburu, sedangkan aku sendiri tergeletak lemas dalam kepuasan seksual di ranjang mereka. Wawan kelihatannya sudah pulih karena penisnya itu sudah mengacung kembali, tapi sesuai janji mereka, Wawan tak berbuat apapun padaku.<br /><br /><br /><br />Tiba tiba Sulikah masuk ke dalam kamar ini dengan nafas tersengal sengal hingga kami semua menoleh padanya.<br /><br /><br /><br />“Non, kokonya non sudah pulang. Cepetan non”, seru Sulikah panik.<br /><br /><br /><br />Aku juga ikut panik dan segera keluar dari kamar ini berlari kembali ke kamarku. Entah dengan yang lain, yang penting aku tak boleh sampai ditemukan oleh kokoku di kamar tadi.<br /><br /><br /><br />Untung Sulikah memberitahu tepat pada waktunya, aku sudah di dalam ruang makan ketika kudengar deru mesin mobil kokokku di garasi. Mungkin dosen yang mengajar mata kuliahnya pagi ini tidak datang hingga kokoku pulang cepat.<br /><br /><br /><br />Aku naik tangga dengan jantung berdegup kencang, akhirnya sampai juga aku ke dalam kamarku yang kulihat sudah rapi, pasti Sulikah yang merapikan.<br /><br /><br /><br />Sempat kulihat jam, ternyata sudah jam setengah sepuluh. Dan aku segera masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari keringatku dan keringat tiga orang tadi, juga tak lupa liang vaginaku ini kucuci bersih dengan cairan pembersih vaginaku, hingga terasa kesat dan pasti berbau harum ^^<br /><br /><br /><br />Mungkin karena cuma satu ronde, tubuhku tak terlalu lelah. Selesai mandi, aku mengeringkan tubuhku sambil memastikan tak ada tanda tanda aku baru saja ngeseks dengan seseorang. Lalu aku memakai baju santai, dan turun ke ruang makan.<br /><br /><br /><br />Di sana sudah menunggu kokoku, yang membawakan aku sebungkus nasi campur yang dijual di dekat sekolahnya, kesukaanku. Yah, kebetulan deh. Aku kan belum makan pagi, cuma sarapan sperma dari mereka bertiga tadi. Dan sekarang tiba tiba aku jadi merasa lapar lagi.<br /><br /><br /><br />“Thanks ya kokoku yang baik”, kataku sambil memeluk kokoku dengan senang.<br /><br /><br /><br />“Iya me. Tapi baik kalau bawain makanan aja ya? Kalau nggak jadi nggak baik?”, kokoku tertawa dan menggodaku.<br /><br /><br /><br />Aku memukul lengannya manja, lalu kami makan bersama. Kami ngobrol kesana kemari, dan tak terasa akhirnya selesai juga kami makan.<br /><br /><br /><br />Kokoku kembali ke kamarnya, mungkin mengutak atik komputernya. Aku juga kembali ke kamarku, mempersiapkan diri ke sekolah. Sekarang masih jam sepuluh, aku biasanya berangkat ke sekolah jam setengah dua belas siang. <br /><br /><br /><br />Berarti masih ada satu setengah jam lagi sebelum aku harus berangkat, dan dengan santai aku menyiapkan seragamku, putih abu abu. Juga tas sekolahku, yang membuat perasaanku berkecamuk karena aku teringat tentang obat perangsang itu.<br /><br /><br /><br />Lalu aku menyisir rambutku rapi, dan duduk manis di ranjangku. Sambil menunggu, aku menelepon temanku yang bernama Jenny, dan kami ngobrol sampai tak terasa sudah waktunya aku harus berangkat.<br /><br /><br /><br />Setelah berpamitan pada Jenny, aku mengenakan seragam sekolahku. Lalu aku berpamitan pada kokoku dan turun ke garasi. Seperti biasanya, pak Arifin menawarkan diri untuk mengantarku, tapi kutolak halus karena aku ingin menyetir mobil sendiri.<br /><br /><br /><br />Dalam perjalanan, aku mengingat ingat kejadian pagi ini, dan membayangkan besok itu besar kemungkinan aku harus melayani mereka bertiga lagi karena kokoku kuliah pagi sampai siang. Hmm, sarapan sex tiap pagi sebelum ke sekolah?<br /><br /><br /><br />Aku menggelengkan kepala tak habis pikir, bisa bisanya ada pembantu dan sopir yang berani memakai tubuh anak majikannya untuk memuaskan nafsu seks mereka. Aku tahu mereka akan terus melakukan hal yang sama seperti tadi setiap situasi di rumahku memungkinkan bagi mereka.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-18737610386048882442012-03-31T14:46:00.000-07:002012-03-31T14:46:57.047-07:00Parto dan Fey Chen: The Story ContinuePada suatu hari, saat menjelang sore…<br /><br /><br /><br />Fey Chen sedang duduk sambil membaca majalah khusus cewek. Ia baru selesai olahraga jogging. Namun wajahnya saat itu begitu segar dan cantik. Karena ia baru selesai mandi sehabis jogging tadi. Bahkan beberapa ujung rambutnya saat itu masih menempel dan terlihat basah. Saat itu ia memakai baju putih dan celana pendek merah dengan dadanya kelihatan menonjol di balik baju putihnya. Sementara celana merahnya itu cukup pendek sehingga menampakkan sebagian besar pahanya yang putih mulus. Selain pendek juga termasuk ketat sampai-sampai pantatnya terlihat begitu menonjol. Saat ia sedang asyik membaca, tiba-tiba muncul ayahnya yang keluar dari dalam kamar. Segera ia menghampiri dan berbicara ringan dengan putrinya sejenak. Setelah itu ia berkata dengan serius,<br />“Chen, sebaiknya untuk sementara ini kamu jangan memakai baju yang terlalu terbuka atau terlalu pendek. Kamu harus ingat, di dalam rumah kita saat ini ada adik Mboh Minah, yang namanya…siapa itu…Parjo atau Warto. Kamu harus sadar kalau sekarang kamu sudah besar. Papi nggak mau nanti kamu diliatin sama dia yang akhirnya bikin kamu sendiri nggak nyaman. Kemarin khan Papi juga sudah bilang.”<br />“Ah, tapi khan dia selalu di luar, Pi. Sedangkan aku di dalam. Lagian ini khan rumah kita juga, kok sekarang malah aku yang mesti menyesuaikan diri gara-gara kita ada kedatangan seorang kacung. Masa aku mesti ngalah sama kacung.”<br />“Ya biar bagaimana pun khan namanya tinggal dalam satu rumah khan pasti suatu saat bisa ketemu. Sementara dia itu khan cowok dan kamu cewek. Kamu harus mengerti tentang masalah ini,” kata Papinya,” Lagian, Papi nggak mau nanti terjadi apa-apa kalau tiba-tiba dia jadi kurang ajar sama kamu, misalnya.”<br />“Ah, Papi terlalu mengada-ada. Lha aku jarang ketemu dia koq. Apalagi disini khan banyak pembantu cewek, ada Mbok Minah, Wati, Suminten, dll ditambah Papi disini. Masa dia berani macam-macam. Apalagi Mbok Minah adalah kakaknya.”<br />“Ya tetap saja kemungkinan itu ada, Chen. Kamu ini kalau dinasehati selalu aja membantah. Sudah sebaiknya kamu ikuti nasehat Papi. Kamu jangan pakai celana yang pendek seperti itu kalau keluar kamar. Sebaiknya sekarang kamu ganti dengan yang lebih panjang. Dan ingat, jangan lupa selalu kunci pintu kamarmu!”<br /><br />Saat itu rupanya Parto berada di taman di luar ruang tempat mereka berada. Namun posisinya tak jauh dari situ. Sehingga ia bisa mendengar semua percakapan itu. Dalam hati ia mentertawakan nasehat tuannya itu kepada Fey Chen, anak gadisnya.<br /><br />“Ah, pake nasehat macam-macam. Itu semua nggak guna. Hehehehe. Lha wong anakmu itu sudah kadung aku bikin nggak perawan kok. Hahahahaa.” Dan penisnya seketika mengeras saat membayangkan itu. “Sekarang aja di depan lu dia sok alim. Nanti malam di belakang lu, heheheheee, bakal abis-abisan dah. Hahahahaa.” <br />Sementara di dalam, Fey Chen yang mendengar nasehat ayahnya, akhirnya bangkit berdiri. Parto, yang mengetahui cewek itu kini berdiri dan posisi ayahnya kini berjalan menjauh dari putrinya, berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan. Paling nggak sore itu ia mencoba mencuri dulu paha ayam muda dari penjagaan ayahnya. Untuk itu ia berdiri di depan pintu dan mengambil posisi yang pas supaya bisa melihat Fey Chen yang sedang berdiri dan membetulkan celananya itu, namun tak terlihat oleh bokapnya yang berdiri tak jauh dari sana.<br /><br />“Suitt, suit, aduuhh sexy-nya,” katanya tentu dalam hati.<br /><br />Dengan mata jelalatan dilahapnya pemandangan indah itu. Dilihatnya pantat menonjol “ayam muda” Fey Chen yang sexy itu. Juga pahanya yang putih mulus terlihat sampai ke pangkalnya. Karena memang betul perkataan ayah gadis itu, celana pendek merah yang dikenakannya itu sungguh pendek, sampai-sampai pahanya yang putih mulus terlihat sampai ke pangkalnya. Dan juga begitu ketat, sampai-sampai pantat Fey Chen terlihat bulat menonjol. Tentu hal seperti ini sebetulnya memang tak pantas dilihat oleh kacung rendahan seperti dirinya terhadap anak cewek majikannya yang telah berusia dewasa. Namun tentu bagi Parto hal seperti ini termasuk “rejeki” baginya. Wow! Mangstaff! Parto berdecak kagum dalam hati menyaksikan pemandangan indah itu. Apalagi bentuk figur tubuh Fey Chen memang indah dengan tubuh langsing, tinggi-berat yang proporsional dan payudara yang cukup menonjol di balik kaus putih yang dikenakan gadis itu. Dan wajah gadis itu juga begitu segar dan cantik. Ujung-ujung rambutnya yang masih basah dan menempel, membuat “ayam muda” itu jadi semakin sexy dan maknyuss sekali. Wajahnya yang cakep dan kinyis-kinyis seperti boneka + tubuh proporsional + rambut indah + paha putih mulus + pantat bulat menonjol + dada membusung = mupengs abisz!<br />Fei Chen<br /><br />Fei Chen<br /><br />Kini ia membayangkan….celana pendek merah itu digesernya supaya penisnya yang telah menegang itu bisa diselipkan ke dalam untuk masuk menembus liang vagina gadis itu dalam-dalam. Lalu penisnya maju mundur mengocok-ngocok vagina gadis berwajah oriental berkulit putih itu…hmmmm maknyoeszz-nya!! Selagi Parto berdiri menatap Fey Chen lekat-lekat dan berkonsentrasi penuh ke fantasinya itu, tiba-tiba…<br />“HEY! Ngapain kamu berdiri disana!!” sergah ayah Fey Chen tiba-tiba yang membuat Parto menjadi terkejut sampai-sampai ia hampir melompat. Wajah pria setengah baya itu merah padam. Nampak jelas kalau ia begitu marah karena melihat Parto kacung rendahan itu ternyata diam-diam sedang memelototi putrinya dengan tampang mupeng abis.<br />“Ayo balik ke belakang!!” bentaknya dengan keras sambil berdiri di tengah pintu. Rupanya ia beniat menghalangi pandangan Parto supaya tak bisa melihat putrinya. Jadi kini pandangan Parto jadi sepet karena terhalang tubuh pria setengah baya ini. Apalagi orang ini sedang marah terhadap dirinya.<br />“Ma-maaf Tuan. Iya. Eh, anu, tadi, saya kebetulan lewat,” kata Parto kepada tuannya.<br />“Sudah cepat, pergi sana!!”teriaknya. “Fey Chen, ayo cepat kamu masuk ke dalam!” katanya sambil memalingkan kepalanya ke dalam.<br />Dalam hati Parto mendongkol juga karena pemandangan indahnya tiba-tiba sirna, malah kini ia mendapat hardikan dan makian dari tuannya. Sementara Fey Chen segera langsung menghilang masuk ke dalam kamarnya. Ah, sialan, ngerusak kesenangan orang aja! Batinnya dalam hati. Namun ia tak berani mengucapkannya. Selama ini ia melakukan hubungan terlarang dengan Fey Chen secara diam-diam, karena ia tak ingin diusir dari rumah itu. Ia tak ingin kehilangan sumber uang tetap yang didapatnya dari gadis itu, juga lebih-lebih lagi ia tak mau kehilangan “hak istimewa”nya yaitu bisa menikmati kemulusan tubuh gadis majikannya itu terus berulang-ulang-ulang dan berulang-ulang terus. Sementara itu, insiden tadi tak hanya berhenti disitu saja. Karena beberapa saat setelah ia ke belakang dan masuk ke kamarnya, tiba-tiba terdengar suara kakaknya berteriak memanggilnya. Mula-mula ia tak ingin menjawabnya. Namun semakin lama teriakan itu semakin keras. Bahkan kini kakaknya itu menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak memanggilnya.<br />Parto<br /><br />Parto<br /><br />“Parto! Ayo keluar kamu!” perintah Mbok Minah. “Partooo!!!” bentak kakaknya itu.<br />“Iya, iya. Sebentar aku keluar, “ kata Parto akhirnya.<br />“Ada apa sih Mbak, teriak-teriak gitu?”<br />“Kamu ini! Dasar muke gile loe ya! Udah Mbak bilang berkali-kali. Disini kamu harus sopan terhadap Tuan dan Non. Ayo keluar!” kata Mbok Minah sambil menarik Parto ke depan.<br />“Mau ngapain Mbak?”<br />“Kamu harus minta maaf sama Tuan! Ayo cepat ikut aku!”<br />“Nah, ini orangnya Tuan,” kata Mbok Minah yang terus menarik Parto akhirnya berhenti saat bertemu dengan ayah Fey Chen, Pak Sutanto.<br />“Parto, ayo kamu minta maaf sama Tuan. Cepat!”<br />“Eh..”<br />“Ayo, cepat!!”<br />“Maaf, Tuan. Tadi saya nggak sengaja lewat,” kata Parto perlahan sambil menundukkan kepala. Dalam hati ia amat dongkol. Sialan, pikirnya!<br />“Ingat ya! Aku tidak ingin hal seperti ini terulang lagi!” kata Pak Sutanto sambil menatap tajam ke arah Parto.<br />“Iya, Tuan,” kata Parto sambil menundukkan kepalanya. Namun dalam hatinya…awas, rasain, tunggu pembalasanku nanti!<br />“Minah!”<br />“Ya Tuan,” kata kakaknya sambil membungkuk, yang membuat Parto jadi semakin sebal dengan sikap carmuk kakaknya itu.<br />“Hanya karena mengingat dia adalah adikmu, maka dia nggak langsung aku usir. Tapi ingat, sekali lagi terjadi, dia harus pergi! Mengerti kamu?”<br />“Iya, baik Tuan. Terima kasih Tuan.”<br />“Dan satu lagi, kamu harus bisa mendidik adikmu ini supaya mengerti sopan santun. Mengerti?”<br />“Mengerti Tuan. Sekali lagi maaf Tuan. Dan, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Non juga.”<br />“Baiklah, sekarang kamu boleh pergi,” kata Pak Sutanto kepada Parto.<br />“Parto! Ayo kamu bilang terima kasih dulu ke Tuan,” kata Mbok Minah.<br />“Eh, terima kasih Tuan,” kata Parto dengan terpaksa. Huh! Gerutunya dalam hati. <br />“Ayo, sekarang kamu kembali ke belakang,” perintah Mbok Minah.<br /><br />“Dasar ular berkepala dua”, batin Parto saat berjalan ke belakang. “Di depannya membungkuk-bungkuk tapi di belakang ceritanya lain. Sekarang aku disuruh ke belakang, pasti kamu pengin ngentotan sama tuan sialan itu!” Gerutunya dalam hati karena hatinya kesal. Bahkan kakakku sendiri bukannya ngebelain adik sendiri malah carmuk dengan orang luar. Abis ini pasti “lama deh baliknya”.<br />Sementara itu, begitu Parto meninggalkan mereka…<br />“Perbuatan adikmu itu sungguh tak bisa diterima,” kata Pak Sutanto yang rupanya masih kesal dengan kejadian tadi. .<br />“Ya, maafkan dia, Tuan. Dia itu memang orang goblok, nggak berpendidikan. Jadi maklum kalau tindakannya konyol. Tapi dia nggak akan berani berbuat macam-macam kok, apalagi setelah kumarahi tadi.”<br />“Baik, kau harus bisa mendidik adikmu itu.”<br />“Baik Tuan. Eh, omong-omong….Tuan cape? Pengin aku pijit nggak?” tanya Minah dengan melirik genit.<br />“Gila kamu. Masa sekarang…masih sore gini.”<br />“Ah, nggak apa-apa Tuan. Apalagi Non Fey Chen khan sudah masuk ke kamarnya. Dan disini sekarang lagi nggak ada orang,” kata Minah memegang tangan tuannya sambil mengedipkan matanya. “ Sekalian untuk menurunkan emosi Tuan yang barusan naik.”<br />“Ah, ya, ya, memang pintar sekali kamu dalam urusan ginian. Hehehe,” kata tuannya tanpa basa-basi lagi. Bahkan kini tuannya itu tanpa sungkan lagi meraba-raba dagu dan pipinya. Bahkan setelah itu tangannya turun ke bawah memegang-megang dada Minah.<br />“Memang sekarang kamu harus melayaniku dengan baik. Tadi adikmu itu bikin darahku naik. Nah, sebagai obatnya, sekarang Mbak-nya wajib memberikan “ongkos gantinya” Hehehee…”, katanya sambil kini kedua tangannya meremas-remas buah dada Minah.<br />“Iiih, Tuan jangan begitu ah!” kata Minah pura-pura menolak.<br />“Yuk, masuk ke dalam kamar aja….” kata tuan yang telah mata gelap karena nafsu itu sambil memeluk Minah dan membawanya masuk ke dalam kamar…..<br /><br />–@@@@–<br />Sementara di dalam kamar Parto…<br /><br /><br /><br />“Huh! Sialan”, gerutu Parto.<br /><br />Ia masih kesal karena harus minta maaf kepada tuannya yang pada dasarnya tak terlalu disukainya. Dan ia makin dongkol karena Mbak-nya juga turut memarahinya di depan tuannya. Dan kini, Mbak-nya tak kunjung datang. Tentu mereka sedang asyik di dalam kamar. Ah, sungguh bangsat bener tuan ini. Anaknya baru diliatin gitu aja sudah sewot setengah mati. Padahal dia sendiri dengan seenaknya mainin cewek. Tiba-tiba dirinya jadi bergairah. Ah, ngapain kesal. Sekarang adalah saat yang bagus. Selagi kau asyik menggarap Mbakku, akan kugarap pula anakmu yang bening itu. Heheheh… Apalagi sejak tadi memang anakmu itu telah bikin aku ngaceng. Kini Parto semakin bergairah lagi karena rasa mupengnya kini bertambah dengan keinginan membalas dendam terhadap tuan yang memarahi dirinya itu. Sekalian ini adalah sebagai ganti rugi karena si bangsat itu juga kini sedang menggarap Mbakku, pikirnya. Namun ganti rugi ini adalah ganti rugi plus plus plus yang sangat menguntungkannya, karena Fey Chen jauh lebih muda, lebih cakep, lebih sexy, daya tarik seksualnya jauh lebih tinggi…pokoknya kelasnya jauh diatas Mbaknya yang sudah stw. Nah, rasain kau! Batinnya.<br /><br />Kupelototin anakmu, kau marah.<br />Kau berani pelototin anakku, kugarap kakakmu!<br />Kau garap kakakku, kugarap pula anakmu!<br />Dan, akulah yang akhirnya menang. Hehehehee….<br /><br />–@@@@–<br />Fey Chen sedang duduk di ranjang di dalam kamarnya. Ia masih memakai baju yang sama seperti tadi, yaitu atasan kaus putih dan celana merah yang begitu pendek. Pahanya yang putih mulus sebagian besar terbuka dan terlihat jelas. Namun kali ini di atas pahanya yang putih itu terdapat tangan hitam yang meraba-raba paha mulusnya. Tangan itu adalah tangan Parto, kacungnya! Tanpa sungkan-sungkan lagi terhadap gadis ini, tangan Parto merayap kesana-kemari, menggerayangi seluruh bagian paha Fey Chen yang terekspos dan membuatnya mupeng sejak tadi. Seandainya ada orang luar yang melihat kejadian itu, tentu mereka semua tak habis pikir. Sungguh kejadian yang langka bin ajaib, seorang kacung rendahan yang kere dan sama sekali nggak ada cakep-cakepnya bisa berduaan di dalam kamar dengan anak gadis majikan dari keluarga Chinese elit. Padahal ceweknya sungguh bening dan cakep luar biasa. Malahan dengan sukarela gadis majikan ini menurut saja dirinya digrepe-grepe oleh kacungnya itu. Tentu kacung itu tak menyia-nyiakan “daging empuk” di depan matanya itu. Sementara tangannya yang satu terus meraba-raba paha mulus Fey Chen, tangannya yang lain memeluk bahu sambil bibirnya asyik menciumi bibir gadis itu. Mmmphhhhhh! Dengan ganas dilumatnya bibir Fey Chen. Parto merasa aman untuk melakukan apa pun yang diinginkan sesuka hatinya terhadap anak majikannya itu saat itu. Karena “anjing bulldog” yang menjaganya telah dijinakkan oleh Mbak-nya. Sehingga kini ia bisa dengan leluasa memakan “anak ayam” yang kinyis-kinyis ini. Memang saat itu di kamar yang lain, Pak Sutanto sedang asyik menggrepe-grepe Minah yang meski sudah 40-an tahun tapi tubuhnya masih cukup kenceng. Tentu ia tak sadar kalau pada saat yang sama Parto juga sedang asyik menggrepe-grepe anak gadisnya yang tadi bahkan baru dipelototi aja sudah protes berat. Sekarang malah lebih hancur-hancuran..Saat itu Fey Chen yang pahanya sedang digerayangi sambil bibirnya diciumi Parto sama sekali tak melawan, malah ia memejamkan matanya sepertinya menikmati juga perlakuan kacungnya itu terhadap dirinya. Padahal awalnya tadi ia tak ingin membuka pintu saat Parto mengetuk kamarnya dan dilihatnya melalui kaca kecil di pintu ternyata yang terlihat adalah mulut tonggos Parto. Ia tentu tak ingin perbuatan skandalnya itu ketahuan Papinya. Namun Parto terus mengetuk malah ketukannya makin keras. Tindakan Parto yang baginya sungguh nekat itu kini membuatnya semakin takut. Sehingga mau tak mau akhirnya ia membuka pintu kamarnya sedikit. Maksudnya menyuruh Parto untuk segera pergi dan tidak mengetuk kamarnya lagi. Namun begitu pintu terbuka sedikit, Parto langsung menerobos masuk ke dalam. Belum sempat ia bicara, tiba-tiba kacungnya itu langsung mendekap dan mencium bibirnya!<br /><br />“Mmmpphhhhh.” Fey Chen berusaha berontak, namun Parto tidak mau melepaskan bibir nikmat gadis majikannya itu. Ia terus menciumi bibir gadis muda ini dengan penuh nafsu. Setelah tadi kena marah dan dipermalukan oleh ayah gadis ini, kini saatnya ia membalas dendam dengan menguasai dan menggagahi putrinya! Apalagi ia sungguh suka dengan cewek ini karena putih bening, cakep, dan sexy banget. Ditambah lagi wajahnya yang oriental sungguh menggairahkan dirinya! Apalagi selama ini ia jarang bahkan nggak pernah bergaul dengan cewek-cewek keturunan. Kapan lagi ia bisa menikmati cewek Chinese seperti sekarang. Cowok mana yang nggak pengin menikmati barang bagus seperti ini! Ditambah faktor kejadian tak menyenangkan tadi serta bayangan bokap cewek ini yang sedang menggarap kakaknya, membuat nafsunya semakin menggelora bagaikan ombak Laut Selatan yang ditiup angin topan. Sehingga kini mulutnya yang tonggos itu menyapu seluruh bagian bibir gadis Chinese yang berwajah polos ini<br />tanpa ada satu bagian pun yang terlewat. Fey Chen membiarkan saja perbuatan Parto yang sebetulnya tergolong amat kurang ajar terhadap dirinya itu. Karena ia telah betul-betul masuk ke dalam jerat perangkap pelet yang disusun oleh Mbok Minah sebelumnya (baca: Parto, Orang Desa Yang Cari Rejeki Di Kota, di folder bulan Aug 2009). Jadi kini ia betul-betul jatuh ke tangan (atau tepatnya, penis) Parto secara mutlak. Malah kini ia juga mendambakan belaian kasih Parto terhadap dirinya. Demi Parto, ia rela menyerahkan segalanya termasuk kehormatan dirinya. Terbukti sebelumnya telah ia serahkan keperawanannya untuk direnggut Parto. Ia sama sekali tak peduli dengan kenyataan bahwa Parto adalah kacungnya! Juga ia tak peduli dengan perbedaan diri mereka yang begitu besar dalam hal segalanya, termasuk ras, status sosial, kekayaan, pangkat, warna kulit, latar belakang keluarga, pendidikan, prospek masa depan, dan lain sebagainya. Juga ia tak peduli dengan wajah Parto yang jelek dan penampilannya yang amburadul. Dalam pandangannya, Parto adalah pangeran idamannya. Begitulah hebatnya khasiat ilmu pelet itu!<br /><br />Kini Fey Chen mulai membalas ciuman Parto. Bibirnya yang lembut bergerak menjelajahi bibir Parto yang hitam tonggos. Keduanya kini saling berciuman dengan hangat. Bahkan di dalamnya, lidah keduanya juga saling bertemu dan beradu. Sambil menciumi Fey Chen, kedua tangan Parto menggerayangi bagian belakang tubuh gadis itu sampai akhirnya keduanya mendarat di celana merah gadis Chinese itu. Dipegang-pegang dan diremas-remasnya pantat Fey Chen yang menonjol di balik celana ketatnya. Sesuatu yang tadinya tak boleh dilihat, sekarang malah bebas untuk digrepe-grepe. Sementara badan Fey Chen menempel di tubuh Parto. Sambil terus menciumi bibir dan menggrepe-grepe pantat Fey Chen, ia merasakan dada empuk gadis itu yang menempel di dadanya. Aaaahhhhh. Begitu nikmatnya hidup ini, gumam Parto dalam hati. Meski gua nggak suka dengan pemilik rumah ini, tapi kalo disuguhi yang kayak gini ya kagak nolak deh. Setelah puas berciuman, Parto menuntun Fey Chen ke ranjang. Setelah gadis itu duduk di ranjang, makin jelas saja pahanya yang putih mulus. Sehingga, tangannya langsung meraba-raba paha gadis itu. Dan kali ini Fey Chen mengambil inisiatif dengan mulai menciumi Parto lagi. Sambil memejamkan mata, bibir indahnya menempel di bibir tonggos Parto, lalu dikecupnya, dan dikecupnya lagi. Kembali bibirnya menempel dan menggamut bibir Parto. Membuat Parto jadi merem melek merasakan nikmatnya dicium gadis Chinese majikannya yang cakep ini. Satu tangannya memeluk bahu Fey Chen, membuat gadis itu merasa disayangi. Namun tangan satunya begitu liarnya menggerayangi paha Fey Chen. Malah tangan itu mulai menyentuh-nyentuh bagian pribadi gadis itu. Membuat Fey Chen semakin “on” saja dan makin nafsu menciumi Parto. Tangan Parto kemudian lanjut menggerayangi baju putih gadis itu. Sasaran utamanya tentu tak lain adalah dadanya. Tangannya bergerak liar kesana kemari tak<br />jauh dari sekitar payudara gadis itu. Sambil terus menciumi, Fey Chen mengeluarkan lirihan-lirihan kecil. Apalagi Parto juga ikutan ganas dalam menciuminya. Beberapa saat mereka berciuman dengan asyik. Seolah waktu berhenti berputar….Parto kini sudah tak sabar lagi ingin melihat kemulusan tubuhnya. Apalagi ia masih mengingat tadi saat dibentak bokapnya hanya cuma sekedar melihat gadis ini dari kejauhan. Kini selain bisa melihat dari jarak close-up, juga bisa melihat gadis ini dalam keadaan polos, mulus, tanpa busana sama sekali! Segera ia menghentikan ciumannya. Kedua tangannya memegang ujung baju putih Fey Chen. Segera ditariknya baju itu ke atas. Semakin ditarik ke atas, semakin terekspos kulit tubuh gadis itu yang begitu putih dan halus. Sampai akhirnya Parto berhasil meloloskan baju putih itu dari kepala dan rambut Fey Chen dan kemudian melewati kedua tangan putih Fey Chen.<br /><br />Dilihatnya gadis itu memakai bra warna putih juga. Nampak belahan dadanya yang sexy di atas branya. Sementara baju Fey Chen yang ada di tangannya langsung dilemparkan ke belakang dan mendarat di lantai. Kini ia tak cukup puas hanya sekedar melihat cleavage Fey Chen. Kedua tangannya langsung mengarah ke punggung Fey Chen. Diraihnya tali bra gadis itu dan dengan sekali gerakan terbukalah kaitan bra itu. Segera tangannya dengan cepat melucuti bra putih itu dari tubuh putih Fey Chen. Dalam waktu singkat bra Fey Chen telah berada di tangannya. Kini terbukalah dada Fey Chen tanpa penutup apa pun di depan mata Parto. Lagi-lagi Parto melemparkan bra itu ke belakang dan tali bra itu menggantung di ujung meja rias Fey Chen. Melihat Fey Chen yang telanjang dada, dalam diri Parto langsung terasa syuurrr! Penisnya semakin menegak kencang. Matanya melotot memandanginya. Mulutnya yang tonggos terbuka karena terpana. Meski telah melihatnya berulang-ulang kali, namun buah dada Fey Chen ini tak pernah gagal membuatnya terangsang abis sampai ke tulang sumsum. Sejenak ia melupakan celana pendek merah yang masih melekat di tubuh gadis itu. Karena kedua tangannya sudah tak sabar ingin merengkuh sepasang gunung kembar indah yang terbuka di depannya ini. Apalagi wajah gadis ini begitu innocent dan kinyis-kinyis. Membuatnya sungguh kontradiktif melihat gadis bertampang baik-baik seperti dia namun dadanya telanjang. Kedua tangan Parto kini memegang masing-masing buah dada Fey Chen. Sungguh pas sekali. Payudara Fey Chen dengan C cup yang cukup menonjol dan padat berisi itu begitu pas berada dalam genggamannya. Dan ia meraba-raba payudara gadis ini yang berukuran 34C itu. Sungguh kontras sekali perbedaan warna kedua tangannya yang hitam dengan tubuh gadis itu. Membuat Parto semakin menggebu nafsunya meraba-rabai dan menggoyang-goyang payudara Fey Chen yang putih mulus itu. Sementara itu Fey Chen sama sekali tak memberontak saat payudaranya digenggam dan diraba-raba oleh kacungnya ini. Malah ia memejamkan matanya seakan begitu menghayati akan nikmatnya dirinya saat diraba-raba dan diremas-remas oleh Parto. Sehingga Parto pun juga makin bernafsu. Kini payudara gadis itu diremas-remasnya sambil kedua putingnya disentuh-sentuhnya dengan kedua telunjuknya. Sambil ia menatap wajah polos Fey Chen. Nampak ekspresi kepuasan tersirat dari wajah cakep gadis itu, membuatnya nampak semakin cantik saja. Membuat nafsu Parto semakin menggelora. Setelah cukup merangsang payudara Fey Chen, kini tangannya mulai menggeser-geser celana merah gadis itu. Fey Chen pun bersikap kooperatif sehingga tak lama kemudian celana merah itu pun juga terlepas dari dirinya. Parto melemparkannya ke belakang dan kali ini mendarat di kursi kecil di depan meja rias.<br /><br />Saat itu Fey Chen memakai celana dalam warna pink yang berukuran agak mini. Oleh karena ikut tertarik ke bawah saat Parto menurunkan celana pendek Fey Chen tadi, maka bagian atas bulu-bulunya kini terlihat di atas celana dalam itu. Tangan hitam Parto langsung menyusup masuk ke dalam celana dalam gadis itu. Ia meraba-raba bulu-bulu vagina gadis itu. Selanjutnya tangannya itu turun ke bawah lagi di tengah-tengah selangkangan gadis itu, mengobok-obok bagian dalamnya. Entah kenapa, bagi Parto ada kepuasan dan sensasi tersendiri memasukkan tangannya ke balik celana dalam cewek. Dan tangannya langsung mengobok-obok bagian pribadi gadis ini. Rupanya ia telah<br />cukup berpengalaman dalam hal ini sehingga bahkan gadis berwajah se-innocent Fey Chen pun dibuatnya merem melek dan mendesah-desah, membuat Parto semakin puas hatinya. Sampai akhirnya saat ia mengeluarkan tangannya kembali, tangannya telah menjadi basah. Setelah itu celana dalam pink itu dipelorotkannya ke bawah. Kini seluruh bulu vagina Fey Chen yang begitu rapi dan indah itu nampak jelas terlihat. Sementara liang vaginanya juga sedikit kelihatan karena posisi pahanya yang agak terbuka. Sementara celana dalam pink yang halus itu kini juga dilemparkannya ke belakang. Kali ini celana dalam Fey Chen mendarat di atas meja rias, jatuh menutupi bingkai foto kecil dengan foto Fey Chen lagi berduaan dengan Roger, cowoknya. Setelah berhasil melucuti seluruh pakaian Fey Chen dan kini pakaian gadis itu berserakan di mana-mana, giliran Parto melepas pakaiannya sendiri satu persatu. Sampai akhirnya ia juga sama-sama telanjang bulat. Tubuhnya nampak begitu hitam dan sungguh kontras kalau dibandingkan dengan tubuh Fey Chen. Parto berdiri di depan Fey Chen yang duduk di tepi ranjang. Ia meraih tangan Fey Chen dan menaruhnya di batang penisnya yang berdiri tegak ke atas. Wajah polos Fey Chen menatap Parto sejenak. Setelah itu ia mulai memijit-mijit penis kacungnya itu. Sambil tangan satunya lagi kini memegang buah zakar Parto dan mengelus-elusnya. Ia terus mengocok-ngocok batang penis Parto yang besar hitam dan berurat itu. Sementara wajah kinyis-kinyis Fey Chen tertuju ke penis yang di-massage-nya itu. Ia nampak begitu konsentrasi dengan pekerjaannya itu. Membuat Parto jadi semakin terangsang. Apalagi kini ibu jari dan telunjuk Fey Chen juga meraba-raba dan memencet-mencet kepala penisnya yang membesar dan disunat itu. <br /><br />Orang-orang yang mengenal Fey Chen semuanya mempunyai kesan kalau ia adalah cewek baik-baik dan alim karena wajahnya yang cakep dan polos seperti boneka. Namun sungguh tak dinyana, dibalik kepolosan wajahnya itu, ternyata ia telah sering bermain-main dengan penis kacungnya. Sementara ia sendiri “dijadikan boneka” oleh kacungnya itu di atas ranjang. Demikian pula dengan saat itu. Ia nampak begitu mahir dan cekatan dalam urusan memainkan penis cowok. Terbukti kini Parto jadi mengerang-ngerang dan merem melek karena perbuatan gadis berwajah alim ini. Untunglah Parto termasuk cowok yang kuat dan perkasa dalam hal esek-esek sehingga ia bisa terus menikmati rangsangan Fey Chen tanpa mengalami ejakulasi dini. Malah kini dengan tenang ia memberi perintah ke cewek itu untuk menyepong kontolnya.<br />“Yuk, sekarang diemut, Chen,” perintahnya tanpa ada rasa hormat dan sopan santun sama sekali ke gadis majikannya ini.<br />Hebatnya, Fey Chen langsung menanggapi permintaan kacungnya itu. Segera tangannya menghentikan kocokannya. Wajah polosnya menatap Parto sebentar saat kacung itu berkata,” Ngemutnya pake lidah ya,” sambil ia memegang rambut gadis itu. Sembari menatap Parto, Fey Chen menganggukkan kepalanya. Saat itu wajahnya sungguh polos seperti boneka. Namun perbuatannya sungguh kontradiktif. Karena sesaat kemudian ia menjalankan perintah Parto itu dengan penuh rasa kepatuhan. <br />Shleebpp…shleebbp…shleebppp….<br />Penis Parto yang hitam besar dan perkasa itu kini telah masuk ke dalam mulut Fey Chen. Kepala Fey Chen bergerak naik turun mengangguk-angguk saat menyepong penis Parto. Terdengar suara-suara kecipakan saat mulutnya bergerak naik turun itu. Sementara Parto mengerang-erang menikmati rangsangan mulut Fey Chen terhadap penisnya. Apalagi di dalamnya, lidah gadis itu bergerak-gerak kesana kemari menjelajahi setiap jengkal kepala penisnya yang disunat itu.<br /><br />Bagi Parto, lidah Fey Chen yang menari-nari di kepala penisnya itu terasa hangat. Dan Fey Chen sepertinya cukup jago juga dalam melakukan ini. Seluruh bagian kepala penis Parto tak ada yang terlewat oleh lidahnya yang hangat. Bahkan leher penisnya juga tak luput dari sapuan lidah cewek itu. Di dalam mulut Fey Chen yang hangat, lidah gadis itu bergerak melingkari leher penisnya sampai 360 derajat. Dan gadis itu melakukannya secara variatif, kadang searah jarum jam, kadang berlawanan, kadang berpindah-pindah<br />tempat. Membuat Parto jadi berkelojotan karena nikmatnya yang luar biasa. Bagi orang yang tak berpengalaman tentu akan langsung ejakulasi diperlakukan seperti itu. Namun hal itu tak berlaku bagi Parto. Ia bisa terus menikmati sepongan dahsyat Fey Chen untuk waktu yang cukup lama. Bahkan satu tangannya ikut memegang rambut Fey Chen dan menggerak-gerakkan kepalanya. Maksudnya supaya gadis itu tak berhenti melakukan aksinya. Sementara tangannya yang lain berkacak di pinggangnya. Sementara ia terus menatap wajah polos Fey Chen saat melakukan oral service yang hebat itu. Lagak Parto saat itu mirip seperti boss gede saja. Padahal sebenarnya ia hanyalah seorang kacung rendahan biasa sementara justru cewek yang sedang mengoral dirinya ini adalah anak seorang boss gede. Setelah itu tangan Parto mulai menggerayangi tubuh mulus Fey Chen. Sambil terus menikmati sepongan cewek itu di penisnya, kedua tangannya meraba-raba dan memencet-mencet payudaranya terutama kedua putingnya yang dimain-mainin dengan jarinya. Sehingga birahi Fey Chen pun juga jadi semakin tinggi, akibatnya ia makin aktif dalam melakukan sepongannya. Namun tak lama kemudian tiba-tiba Fey Chen justru menghentikan aksinya.<br /><br />“Eeh, kenapa kok berhenti,” protes Parto,” Ayo terusin lagi.”<br />“Ganti posisi donk,” kata Fey Chen dengan muka agak memerah. “Aku juga pengin..”<br />“OK, OK,” kata Parto tersenyum-senyum sambil membatin, kalo punya anak majikan kayak gini siapa yang nggak kerasan kerja disini. Apalagi ceweknya cakep lagi. Kapan lagi bisa nyicipin cewek bening kayak gini.<br />“Yuk, kita di ranjang aja,” kata Parto. “Kamu telentang ya.”<br />Fey Chen tak menjawab karena sebenarnya ia agak malu minta ke Parto. Tapi ya gimana lagi, soalnya dirinya sudah terangsang…<br />Tanpa berkata apa-apa ia tiduran telentang di atas ranjang.<br />“OK, kamu terusin disana, aku main disini,” kata Parto sambil menindih tubuh Fey Chen.<br /><br />Namun dalam posisi terbalik alias 69. Ia menggeser tubuhnya sedikit supaya penisnya tepat di atas mulut Fey Chen sementara mulutnya bisa menyedot-nyedot vagina gadis itu. Sementara payudara Fey Chen terlihat menempel di perut Parto. Nampak kontras sekali perbedaan keduanya terutama warna kulitnya. Putih bening di bawah, hitam butek di atas. Tubuh Fey Chen begitu mulus halus, sementara tubuh Parto kasar. Yang cewek berwajah tipikal chinese oriental, sedangkan cowoknya amat jelas bertampang Jawa. Rambut Parto hitam pendek dan agak keriting, sementara rambut Fey Chen panjang lurus dan disemir kecoklatan. Dan terakhir, kalau Fey Chen begitu cakep dan menarik, wajah Parto sama sekali nggak ada cakep-cakepnya. Meskipun begitu besar perbedaan fisik mereka, namun kini mereka berdua sama-sama merasakan kenikmatan luar biasa. Keduanya sama-sama berkejab-kejab, sama-sama mengerang dan mendesah-desah, sama-sama menggelinjang. Terutama Fey Chen yang sejak tadi haus akan sentuhan-sentuhan, kini nafsu itu begitu menggelora bagaikan luapan air sungai yang siap meledakkan tanggul. Tubuhnya terutama bagian pinggulnya bergoyang-goyang. Karena Parto begitu cekatan merangsang dan menjilati klitorisnya. Sambil terus melakukan sepongannya, gerakan pinggulnya itu semakin liar. Sementara vaginanya kini telah banjir. Membuat ia tak mau kalah dan semakin mengeluarkan kemampuannya dalam mengemut dan menyedot-nyedot penis Parto. Sehingga Parto pun juga merasakan kenikmatan luar biasa. Setelah beberapa saat, mereka ganti posisi. Kali ini Parto yang di bawah sementara Fey Chen berada di atasnya. Posisi ini buat Parto lebih nikmat dan menggairahkan dirinya karena ia bisa melihat dan meraba-raba punggung Fey Chen yang putih halus. Juga payudara Fey Chen jadi lebih terasa menempel di tubuhnya karena pengaruh gravitasi. Apalagi sejak bertukar posisi, sepongan Fey Chen jadi semakin menggila saja. Kini ia merasa ejakulasinya hanya tinggal menunggu waktu saja. Sehingga ia juga semakin bersemangat mengenyot-ngenyot dan menjilati klitoris dan G-spot Fey Chen. Rupanya ia tak ingin kehilangan muka karena kalah “keluar duluan” dibanding cewek itu. Sebaliknya Fey Chen pun demikian. Ia penasaran ingin membuat cowok itu keluar duluan karena selama ini ia selalu kalah darinya.<br /><br />Rupanya diam-diam diantara keduanya terdapat persaingan terselubung. Masing-masing pihak berusaha membuat pihak lain mencapai klimaks duluan. Sehingga kini keduanya saling merangsang dan saling dirangsang. Tinggal menunggu saja, siapa yang nggak tahan dulu….<br />“Uuuhhh…Ooohhh….”<br />“Ooohhhh….aaahhhhh…”<br />“Shleebb…shleebb…”<br />“Cleebb..clepp….”<br />Dan akhirnya….<br />“Aaaahhhhhh…..aaaaahhhhhhh…..aaaaahhhhhhhhhh……..”<br />“Aaaahhhhhhhh…….aaaaaahhhhhhh…………”<br />Terdengar suara desahan-desahan panjang dan keras dengan nada tinggi. Suara Fey Chen! Karena tak tahan lagi digituin terus-terusan oleh Parto, akhirnya… bobollah tanggulnya sehingga kini ia mengalami orgasme yang sungguh nikmat sekali. Saat itu ia sama sekali tak ingat lagi dengan keadaan sekitar sehingga ia langsung meracau tak karuan sambil mendesah-desah dengan keras, dengan tubuhnya menggelinjang-gelinjang dengan hebat. Sementara vaginanya mengeluarkan cairan yang cukup banyak. Membuat wajah Parto jadi ikutan basah. Parto dalam hati merasa bangga karena lagi-lagi ia akhirnya berhasil “menaklukkan” gadis majikannya ini secara mutlak dan telak. Dijilatinya vagina Fey Chen sambil terus merangsang titik-titik sensitif di daerah vaginanya yang telah diketahui rahasianya. Membuat Fey Chen semakin kuyup dan semakin liar gelinjangan tubuhnya. Sehingga skor saat ini Parto vs Fey Chen adalah 1-0 untuk Parto. Sementara itu Parto sendiri saat itu juga sudah hampir nggak tahan lagi. Apalagi mulut Fey Chen terus melakukan jurus “sepongan maut”-nya secara kontinu. Kini, setiap tarikannya jadi begitu berarti untuk secara drastis memperpendek “usia hidup” penis Parto. Sampai akhirnya kurang dari lima tarikan….<br />“Crottttt—-crotttttttt-crott–crotttt—–crottt——crott—-crottt———–”<br />Meledaklah gunung berapi yang memuntahkan seluruh lavanya. Penis Parto berejakulasi mengeluarkan sperma dalam volume yang banyak. Dan kejadian itu berlangsung saat penisnya masih di dalam mulut Fey Chen! Sehingga hampir seluruh “protein kocok” yang dimuntahkan penis Parto itu terminum oleh Fey Chen. Hanya sedikit sisa-sisanya terutama yang keluar belakangan yang kini masih tersisa di penis Parto. Sisanya terminum semuanya oleh gadis itu.<br /><br />Sementara Parto nampak senyum-senyum cengengesan setelah berejakulasi. Sungguh puas sekali bisa bercinta dengan gadis secakep dan se-aduhai Fey Chen. Apalagi mengingat status sosial gadis itu yang jauh di atasnya. Ditambah lagi kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang oriental. Sungguh amat membanggakan ia bisa bercinta dengan gadis seperti ini. Dan kini, ia berhasil membuat gadis ini menenggak pejunya! Setelah itu Parto tiduran di ranjang dengan kepalanya ditaruh di tumpukan bantal. Lalu ia menyuruh Fey Chen membersihkan sisa-sisa sperma di penisnya itu dengan mulutnya sampai betul-betul bersih. Sampai akhirnya penisnya menjadi mengkilap dan licin kembali. Parto kini tiduran berbaring sebentar karena kecapean, sambil nonton LCD TV layar lebar yang terpasang di dalam kamar Fey Chen. Sementara sambil nonton, tangannya meraba-raba tubuh Fey Chen yang berbaring di sebelahnya. Setelah itu, tiba waktunya untuk massage. Kacung tengil ini kini menyuruh anak majikannya itu untuk me-massage punggung dan dadanya. Namun bukan sekedar massage biasa. Karena pijitan itu sama sekali tidak menggunakan tangan, tapi menggunakan payudara gadis itu. Jadi kini Parto sedang enak-enakan tiduran sambil merasakan sensasi nikmat punggungnya dipijit-pijitin oleh payudara gadis majikannya itu. Tak lama kemudian mereka berdua ke kamar mandi untuk shower. Sementara Fey Chen menyabuni tubuh Parto yang berkulit sawo matang, Parto menyabuni seluruh tubuh putih gadis mulus itu. Saat itu penis Parto telah berdiri dengan tegaknya seperti saat sebelumnya tadi. Akhirnya mereka berdua keluar dari kamar mandi. Fey Chen hanya memakai handuk saja. Sedangkan Parto sama sekali telanjang bulat. Penisnya terlihat masih menegang dengan kuat. Tanpa permisi lagi Parto melepaskan kaitan handuk di depan dada Fey Chen, membuat handuk itu otomatis terlepas dan jatuh dari tubuh gadis itu. Mata Parto menatap ke payudaranya. Lalu ia mencium bibir Fey Chen. Sementara tangannya kini merayap dan mengusap-usap payudara gadis itu. Kemudian kembali mereka melakukan petting sebagai pemanasan untuk menu utamanya. Setelah puas saling merangsang dan, lagi-lagi, membuat basah vagina Fey Chen, Parto berdiri di belakang gadis itu. Ia menyuruh cewek itu menungging sementara tangannya berpegangan di tepi ranjang. Sehingga vagina Fey Chen jadi terbuka. Kemudian dijilat-jilatinya sebentar vagina gadis itu. Sebelum akhirnya didekatkannya penisnya ke vagina Fey Chen, sambil ia memegang kedua pantat gadis itu, dan…didorongnya tubuhnya ke depan sampai tubuh gadis itu juga ikut terdorong ke depan. Fey Chen menjerit saat Parto ikut mendorong tubuhnya ke depan. Karena pada saat itu masuklah penisnya ke dalam vagina Fey Chen sampai seluruhnya sampai-sampai tak kelihatan lagi.<br /><br />Dan, setelah itu,<br />“Aaahhh…aahhhhhh…….aaahhhhhhh……..”<br />Fey Chen dibikin mendesah-desah saat penis Parto maju mundur di dalam vaginanya. Sementara mulut tonggos Parto ikut bergerak-gerak saat ia konsentrasi penuh “memompa” gadis itu. Sambil memegang pantat Fey Chen, penisnya terus bergerak maju mundur. Dengan gagah perkasa ia menunggang “kuda betina putih” yang mulus ini. Penisnya menghunjam-hunjam mengoyak-ngoyak vagina Fey Chen. <br />“Aaaaahhh…aahhhhhh…….aaaahhhhhhhh……..” <br />Fey Chen semakin keras mendesah-desah. Tubuhnya ikutan bergerak maju mundur seiring dengan irama Parto mengocok penisnya itu. Sementara payudaranya jadi bergoyang-goyang terguncang-guncang dibuatnya. Membuat Parto bernafsu untuk segera menyangganya dengan kedua tangannya, menepuk-nepuk dan meremas-remasnya. Kini sambil terus menggenjot Fey Chen itu, Parto juga sibuk meremas-remas susunya dari belakang. Di-massage-nya payudara gadis itu sambil terus penisnya maju mundur di dalam tubuh gadis itu. Parto melepaskan tangannya. Ia menghentikan kocokannya bahkan mencabut penisnya keluar dari tubuh gadis itu. Ia memegang kedua kaki Fey Chen dan tiba-tiba diangkatnya keduanya. Sehingga kini Fey Chen hanya berpegangan pada tepi ranjang saja. Parto mendekatkan dirinya ke depan. Lalu, sambil menahan kedua paha Fey Chen dengan tangannya, ia memasukkan penisnya ke dalam vagina Fey Chen kembali. Dan kembali disetubuhinya gadis itu dalam posisi seperti kuli bangunan yang sedang mendorong kereta dorong beroda satu. Mungkin Parto teringat saat ia bekerja sebagai kuli bangunan membawa kereta dorong berisi batu bata di tengah pasar. Namun bedanya kali ini yang ia “dorong-dorong” bukanlah kereta dorong tapi adalah Fey Chen. Sementara penisnya terus menusuk-nusuk masuk ke vagina Fey Chen. Membuat seluruh tubuh gadis itu lagi-lagi terdorong-dorong ke depan. Rambut Fey Chen yang tadinya tersisir rapi kini jadi berantakan. Dan payudaranya berguncang-guncang tak<br />beraturan. Membuat Parto jadi bernafsu melihat itu sehingga ia makin kuat menyodok-nyodok vagina Fey Chen. Sehingga kini bahkan ranjang king size besar yang tepinya dipegang Fey Chen itu juga ikut bergoyang-goyang.<br /><br />Saat itu di dalam kamar itu benar-benar sedang terjadi gempa setempat yang begitu hebat! Untuk beberapa saat lamanya Parto bagaikan seorang cowboy menunggangi “kuda putih” berambut panjang ini. Ia terus-menerus dengan perkasa menggoyang-goyang tubuh gadis keturunan Chinese ini sambil penisnya terus menyodok-nyodok di dalam vaginanya. Kini Parto menidurkan Fey Chen di ranjang dan dimiringkannya tubuh gadis itu. Lalu diangkatnya satu kakinya ke atas. Dalam posisi agak serong, disetubuhinya gadis itu kembali. Posisi menyerong begini sungguh memberikan sensasi yang berbeda. Dirasakannya penisnya dijepit dengan kuat oleh otot vagina Fey Chen yang memang usianya masih muda dan vaginanya masih seret itu. Dikocoknya gadis itu terus menerus. Satu tangan Parto kini meraba-raba payudara Fey Chen. Sementara Fey Chen rupanya juga suka dengan posisi ini. Terbukti wajah cakepnya itu terus mengeluarkan suara desahan-desahan yang erotis. Bahkan setelah itu Fey Chen memejamkan matanya membiarkan tubuhnya bergerak-gerak disetubuhi Parto. Seolah ia sungguh menikmati dan begitu menghayati saat dirinya disetubuhi seperti itu oleh Parto.<br />“Emmhh…mmmhhh…mmmhhhh……,” demikianlah desahan-desahan tertahan Fey Chen yang sungguh erotis saat dirinya disetubuhi Parto sambil ia mengemut jari telunjuknya sendiri. Menyaksikan reaksi gadis yang sedang disetubuhinya itu, Parto terus-menerus mengocok-ngocok penisnya, untuk membombardir vagina gadis itu. Setelah itu posisi mereka berganti lagi. Parto duduk di tepi ranjang, dengan penisnya begitu perkasanya berdiri mengacung tegak ke atas. Dipangkunya Fey Chen yang putih mulus itu. Diraba-rabai kedua pundak gadis itu. Dirasakannya kulit tubuhnya begitu halus dan bersih. Sambil ia menciumi rambut dan leher gadis itu. Diciumnya bau harum menebar dari tubuh gadis itu. Diciuminya rambut lurus gadis itu. Lalu ia mengecup-ngecup leher yang putih halus itu. Membuat Fey Chen kegelian sehingga tubuhnya menggeliat-geliat sambil ia mendesah perlahan dengan mata terpejam. Diciuminya punggung gadis itu yang begitu mulus dan begitu putih. Sambil tangannya meraba-raba paha gadis itu yang sama putih, sama mulusnya, dan sama-sama membangkitkan gairah birahi itu. Lalu Parto kembali menciumi rambut dan leher gadis itu. Dadanya yang hitam menempel di punggung gadis itu, yang makin memperjelas perbedaan warna kulit keduanya dengan begitu kontras. Namun bagi Parto hal itu semakin membangkitkan gairah birahinya karena ia bisa mencium harum aroma tubuh Fey Chen.<br /><br />Sambil terus menciumi rambut dan leher gadis itu, Parto kini meraba-raba payudara Fey Chen sambil meremas-remasnya. Kedua putingnya dimainkan dengan jari-jarinya. Apalagi puting Fey Chen cukup menonjol sehingga bisa digerak-gerakkan dengan jari tangannya. Tak lama kemudian Parto mengangkat tubuh Fey Chen sedikit, dimundurkannya sedikit dan, bleesshhh!, kini masuklah penisnya ke dalam vagina Fey Chen berbarengan dengan turunnya tubuh gadis itu ke pangkuannya. Kini giliran Fey Chen yang “menunggang” penis Parto. Digerak-gerakkannya tubuhnya naik turun, mula-mula perlahan tapi makin lama makin cepat iramanya. Sambil ia mendesah-desah. Seluruh tubuhnya bergoyang-goyang, terutama payudaranya yang ikutan bergerak naik turun bahkan sambil berputar-putar saat ia semakin cepat menggoyang tubuhnya mengocok penis Parto.<br />“Aaaaahhh…aahhhhhh…….aaaahhhhhhhh……..,” tanpa bisa menahan dirinya lagi Fey Chen mendesah-desah dengan suara cukup keras.<br /><br />Sementara Parto di belakang juga merem melek menikmati goyangan tubuh gadis majikannya ini karena penisnya jadi dikocok-kocok oleh vaginanya yang terasa begitu sempit menjepit penisnya. Sambil menikmati “tunggangan” Fey Chen ini, ia menatap wajah polos Fey Chen yang kini sedang terangsang hebat itu melalui pantulan kaca rias. Memang Parto sengaja duduk dengan posisi menghadap meja rias, sehingga selain bisa menikmati mulusnya punggung Fey Chen, juga ia tak kehilangan pemandangan indah tubuh bagian depan Fey Chen dan juga reaksi wajah cakepnya saat sedang disetubuhinya. Sungguh menggairahkan sekali melihat tampang cakep Fey Chen yang kinyis-kinyis itu sedang dalam keadaan “high”. Apalagi “high”nya itu disebabkan karena menunggangi penisnya. Dan gadis itu terus menggoyang tubuhnya naik turun. Membuat rambut<br />gadis itu mengenai wajah dan kepalanya dengan tak beraturan. Sehingga kini Parto membenamkan wajahnya di rambut gadis itu sambil menciumi bau harumnya sambil tangannya terus memainkan payudaranya, menyentuh-nyentuh dan menggerak-gerakkan putingnya, juga melingkar-lingkarkan jarinya di sekeliling putingnya. Sementara Fey Chen semakin cepat dan tak terkendali menggerak-gerakkan tubuhnya naik turun sambil terus mendesah-desah dan berteriak-teriak. Dunia seolah berhenti berputar bagi dua sejoli berlainan jenis yang sedang asyik main “roller-coster roller-costeran” itu. Setelah itu Fey Chen menghentikan gerakannya. Namun tak lama. Karena ia hanya membalikkan badannya.<br /><br />Kini ia menghadap Parto sementara tubuh putih mulusnya hampir menempel ke tubuh hitam Parto. Dan lagi-lagi…bleeesshh, penis Parto amblas masuk ke dalam vaginanya. Lalu, kembali ia memulai permainan “roaler-coster” itu lagi. Kini tubuhnya bergerak naik turun mengocok penis Parto sambil mereka saling berciuman bibir dengan hangat. Setelah itu bibir Parto turun ke bawah leher putih gadis itu. Lalu turun lagi untuk menciumi payudara gadis itu bergantian kiri dan kanan. Kedua puting Fey Chen yang menonjol dan berwarna merah segar itu langsung dikenyot-kenyot dan disedot-sedot. Membuat Fey Chen makin liar. Ia terus menaik-turunkan tubuhnya, mengocok vaginanya dengan penis Parto di dalamnya. Sementara Parto terus mengemut-ngemut puting Fey Chen yang segar kemerahan itu. Sambil mengemut, lidahnya juga dijulur-julurkan menyentuh-nyentuh ujung puting yang amat sensitif itu. Sementara Fey Chen terus menggoyang tubuhnya, membiarkan penis Parto terus menyodok-nyodok liang vaginanya sampai akhirnya, Fey Chen mencapai klimaksnya dan mendapatkan orgasmenya yang kedua. Setelah itu ia menghentikan gerakannya dan melepaskan dirinya dari penis Parto. Namun rupanya penis Parto masih berdiri tegak! Sehingga kini skor Parto vs Fey Chen menjadi 2-0. Fey Chen terpana melihat penis Parto masih tegak dengan perkasanya, karena kini ia sadar apa yang mesti dilakukan selanjutnya sebagai “balas budi” untuk penis Parto. Apalagi Parto saat itu telah memberi instruksi jelas kepadanya, “Ayo emut donk!” katanya ke gadis majikannya itu sambil menunjuk penisnya. Kini mau tak mau Fey Chen harus melakukannya. Sambil duduk bersimpuh di depan kaki Parto, kini Fey Chen mengemut-ngemut penis kacungnya.<br />“Shleebb…shleeebb….shhleebbb….” demikian bunyi mulut Fey Chen saat menyepong penis Parto. Kepalanya terus mengangguk-angguk dengan penis hitam milik kacungnya itu bergerak keluar masuk mulutnya. Sementara Parto memejamkan matanya. Mulutnya yang tonggos itu bergerak-gerak seiring dengan irama sepongan Fey Chen yang bersimpuh di kakinya itu. Sungguh ia menikmati sepongan Fey Chen yang begitu nikmat.<br /><br />Dan akhirnya, Parto menyuruh Fey Chen berhenti dan dikeluarkannya penisnya dari dalam mulut gadis itu. Nampak penisnya telah basah mengkilap karena cairan pre-cum nya bercampur dengan ludah gadis itu. Kini dikocoknya penisnya itu persis di depan wajah Fey Chen. Sampai tak lama kemudian akhirnya,<br />Crotttttttt—crottss—crotttzz–crottt–crott—–crott———-Muntahlah sperma Parto ke wajah cakep Fey Chen. Sehingga wajah putih cakep dan kinyis-kinyis seperti boneka itu kini jadi belepotan oleh semprotan sperma si kacung tengil ini. Alis Fey Chen, hidungnya, pipinya, dagunya, dan bibirnya, semuanya mendapat bagian kena semprotan sperma Parto. Bahkan ada juga sperma “nyasar” yang mendarat di rambut Fey Chen. Melihat itu sungguh Parto merasa puas sekali. Hatinya begitu bergelora menyaksikan itu semua. Karena cowok mana yang nggak suka menyemprotkan spermanya ke wajah cakep seorang gadis muda. Apalagi kalau gadis itu adalah anak majikannya! Beberapa saat kemudian…<br />“Yuk ah, aku cabut dulu,” kata Parto yang berdiri dari duduknya. Saat itu Fey Chen juga telah berdiri dan berjalan untuk mengambil tissue di atas meja rias. Namun Parto langsung menyelanya,<br />“Mau ngapain kamu?”<br />“Mau bersihin muka, sebelum nanti meleleh.”<br />“Jangan dibersihin,” perintah Parto. “Nanti saja setelah aku keluar. Sekarang ayo, kamu tiduran di ranjang donk dan berpose dulu yang sexy. Hehehehee…,” katanya sambil mengenakan celana dalamnya Parto tertawa terkekeh sambil menatap tubuh mulus Fey Chen yang telanjang itu. “Ayo buka pahamu lebar-lebar. Cepat!”<br />“Hahahaaa. Bagus, bagus,” katanya saat melihat Fey Chen menuruti perintahnya dengan patuh dan berpose menantang sambil membentangkan kedua kakinya dengan lebar. “Suitt…suitt….,” mulut usil Parto bersuit-suit sambil ia mengenakan seluruh pakaiannya. Sementara matanya tak lepas menatap liang vagina dan bulu-bulu kemaluan Fey Chen yang terbuka jelas di depan matanya itu.<br />“Terus dadamu asyik juga loh. Segar merangsang, padat berisi dan kenyal. Putingmu yang merah itu…cocok bener untuk diisep-isep. Hehehee…” katanya sambil menatap ke buah dada Fey Chen yang putih dan padat berisi dengan puting kemerahan yang menonjol itu.<br />Lalu Parto berjalan ke meja rias Fey Chen. Dibukanya tas Lous Vuitton warna hitam yang ada disana. Dikeluarkannya dompet didalamnya yang juga LV merknya dan dibukanya. “Ini aku ambil semua ya,” katanya sambil menguras habis seluruh duit yang ada disana dan dimasukkan ke kantong celananya.<br />“Hehehee. Liat tuh, wajahmu yang cakep sekarang jadi belepotan gitu,” katanya sesaat sebelum pergi. Saat itu memang wajah Fey Chen menjadi basah di beberapa tempat karena spermanya itu telah mencair dan mengalir turun. Bahkan sebagian leher dan dadanya kini juga ikutan basah karena sperma cair yang turun dari dagu dan pipinya. Sementara rambut panjangnya yang terurai nampak awut-awutan. Tapi Parto justru puas menyaksikan Fey Chen dalam keadaan hancur-hancuran saat itu. Juga hatinya puas karena telah merusak gadis majikannya ini untuk kesekian kalinya. “Wah kapan-kapan Papimu harus ngeliat keadaanmu seperti ini. Biar shock dianya. Hahahaaaaa……..”. Lalu keluarlah Parto dari kamar itu meninggalkan Fey Chen yang masih dalam pose yang sama seperti tadi sambil termenung-menung sendirian di dalam…<br /><br />–@@@@–<br />(Continue reading at your own risk!)<br /><br />Di ruang kantor yang acak-acakan dan penuh dengan asap rokok itu duduk saling berhadapan dua orang lelaki yang usianya terpaut cukup jauh. Lelaki berambut gondrong dan dikuncir yang duduk di belakang meja itu berusia sekitar 40 tahunan. Tampangnya galak seperti kepala preman. Badannya penuh tato dan kulitnya amat hitam karena sering terbakar matahari. Sementara lelaki yang duduk di hadapannya usianya baru sekitar 21-22 tahun. Tampangnya jelek dan penampilannya amburadul. Gaya bicaranya begitu tengil namun sikapnya penuh rasa kebanggaan diri. <br />“Demikianlah ceritanya, Pak,” kata lelaki yang lebih muda itu sambil menyeringai dan tersenyum penuh kebanggaan.<br />“Bagaimana menurut Bapak, hebat bukan?” katanya lagi sambil kepalanya ditegakkan untuk menatap lawan bicaranya yang umurnya lebih tua itu.<br />“Ya, kamu betul-betul HEBAT,” puji lawan bicaranya itu dengan intonasi yang kuat saat ia mengatakan kata HEBAT. “Sungguh LUAR BIASA sekali!” tambahnya lagi dengan suara penuh kekaguman, sehingga membuat lelaki muda, yang tak lain dan tak bukan adalah Parto, itu jadi semakin bangga dan berseri-seri.<br />“Tapi itu masih belum selesai, Pak Badrun. Masih ada lagi terusannya,” kata Parto makin bersemangat karena ekspresi kekaguman lawan dengarnya kini begitu jelas terlihat.<br />“Oh ya? Apalagi tuh?”<br />“Sejak itu cewek anak majikan saya itu tak henti-hentinya saya entotin terus-menerus. Tidak peduli musim kemarau atau hujan badai, pagi, siang, sore, malam… pokoknya cewek itu udah kenyang deh aku mainin. Hahahahaaaa…” kata Parto, yang mulut tonggosnya itu tertawa terkekeh-kekeh untuk beberapa saat. “Sementara aku menikmati orangnya, duitnya terus aku porotin, Pak. Sampai akhirnya aku bisa beli motor dan lain-lain.”<br />“Tapi setelah hampir setahun, lama-lama akhirnya aku mulai bosan sama dia. Apalagi anunya itu mulai nggak peret lagi, mungkin karena udah keseringan dipake ya. Hahahaaa. Juga bodinya nggak sebagus dulu lagi. Dadanya mulai kendor dan turun, mungkin karena gara-gara keseringan aku remes-remes dan aku goyang-goyang waktu mengetubuhinya. Hehehe. Lalu duitnya juga nggak sekenceng dulu karena mulai dibatasi oleh bokapnya gara-gara pengeluaran yang terlalu banyak. Pokoknya disana udah nggak oke lagi. Jadi akhirnya aku tinggal pergi cewek itu. Dan lucunya, kalau dulu awalnya dia yang sama sekali nggak menganggap diriku, sementara aku begitu mendambakan dia. Tapi sekarang jadi terbalik. Waktu aku tinggalin, malah dia yang memohon-mohon sambil berlutut dan nangis-nangis supaya aku tetap tinggal. Tapi akunya yang sudah nggak mau sama dia lagi. Heheheee.”<br /><br />“Saat itu ceritanya aku baru keluar dari kamarnya sehabis ngentotin dia. Rupanya bokapnya ada di dekat situ. Melihat aku berjalan dari arah kamar anaknya, rupanya ia curiga dan langsung bertanya<br />dengan gaya bicara yang nggak enak,<br />“Ngapain kamu ada disini? Tempat kamu seharusnya di belakang, bukan disini!” kata bangsat itu dengan marah.<br />“Langsung aku jawab dengan cuek “karena aku baru keluar dari kamar Peicen, habis selesai ngentot sama dia!” kataku sambil nantangin ngeliat dia balik.”<br />“Bangsat! Kamu berani ngomong kurang ajar ya! Dasar kacung rendahan nggak ngerti aturan! Sekali lagi ngomong seperti itu aku tampar kamu! Ayo kamu pergi dari rumah ini! Sekarang juga!!” bentaknya dengan marah.<br />“Oh, hahaha. Lu nggak percaya ya?” kataku sambil berjalan mendekati kamar Peicen. Kalo lu nggak percaya boleh tanya langsung ke anakmu tuh!” kataku sambil langsung kubuka pintu kamar Peicen lebar-lebar.<br />“Dasar lagi beruntung, waktu kamarnya kubuka, rupanya Peicen pas menghadap pintu. Dan saat itu ia masih dalam keadaan kacau balau. Rambutnya awut-awutan seperti baru bangun tidur. Tapi yang hebatnya adalah: dirinya masih telanjang bulat dan…mukanya masih belepotan peju! HAHAHAHAHA!!”<br />“Ia berteriak kaget saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Lebih-lebih lagi saat berhadapan dengan bokapnya! Namun bokapnya malah lebih kaget lagi ngeliat keadaan putrinya. Tak disangka kalau putrinya dalam keadaan bugil. Dan anehnya, kok aku bisa tahu? Hehehe. Ditambah lagi ngeliat wajah cakepnya dan payudaranya yang belepotan peju sampai basah mengkilap! HUAHAHAHAHAAA. Ia langsung shock melihat itu. Kini setelah melihat sendiri tentu ia tahu kalau semua itu gara-gara ulahku. Ia jadi terbengong-bengong.”<br />“Sungguh puas hatiku ngeliat itu semua. Aku bicara dengan nada amat sinis, “Nah, tuh liat sendiri dan tanya sendiri sama anakmu. Kirain anakmu masih perawan, iya? Padahal memeknya sudah aku jebol beratus-ratus atau ribuan kali. Malah sekarang ia jago nenggak peju. Hahahahaa. Sekarang anakmu itu perlu ganti nama, bukan Peicen lagi, tapi Peicun! Huahahahaaaa…” Aku gituin bokapnya, sampai dia nggak bisa ngomong apa-apa dan terbengong-bengong.”<br /><br />“Setelah puas memaki-maki bokapnya, lalu aku mengejek cewek itu abis-abisan, sebelum akhirnya kutinggal pergi. Saat aku melangkah pergi, cewek yang tak tahu malu itu malah menahanku sambil memohon-mohon dan menangis-nangis untuk tak meninggalkannya. Bahkan ia sampai bersimpuh di depanku dan memegangi kakiku. Membuatku jadi jijik apalagi bau peju yang begitu menyengat dari tubuhnya.”<br />“Sementara itu bokapnya jadi semakin shock dan teler melihat itu semua. Apalagi cewek itu masih dalam keadaan telanjang bulat saat ia berlari mengejar dan memegangi kakiku. Tapi aku tetap tak tergerak. Dengan tegas ia kubentak,”Enyahlah! Soalnya sekarang kamu sudah nggak ada harganya lagi!” Setelah itu aku meninggalkan rumah itu untuk tak pernah kembali lagi selamanya.”<br />“Belakangan aku dengar hidup mereka jadi hancur berantakan dan mereka jatuh kere. Bokapnya jadi stress dan usahanya bangkrut abis. Rumah itu habis disita. Mereka tinggal di rumah kontrakan kecil di kampung kumuh. Untuk menyambung hidup, anaknya jadi WTS kelas rendah yang mejeng di pinggir jalan. Dan yang menjadi langganannya adalah para preman, kuli bangunan, dan supir angkot,” kata Parto mengakhiri cerita panjangnya selama berjam-jam itu dengan hati puas.<br />“Ah, masa? Benarkah sampai sedrastis itu? Sungguh buruk sekali nasib mereka,” kata Pak Badrun yang raut wajahnya terlihat berubah karena terkejut dan heran. “Dari mulanya kelas pengusaha kaya yang elit dan mentereng lalu jatuh hancur sampai anak gadisnya kini jadi pelacur jalanan. Bukan main! Sungguh ironis!” katanya sambil menggelengkan kepalanya.<br />“Ya, betul Pak. Tapi itulah pembalasan yang setimpal bagi orang yang tidak lurus dan berhati busuk! Pria itu sungguh pantas menerimanya karena selama ini ia terlalu sering mempermainkan cewek, termasuk kakak saya,” jawab Parto dengan tegas.<br />“Ya, ya,” kata Pak Badrun sambil manggut-manggut. “Mungkin yang kaukatakan itu ada betulnya. Tetapi gadis itu, sungguh malang sekali nasibnya karena sebenarnya ia tak bersalah apa-apa.”<br />“Ah, nggak juga Pak. Ia pantas menerima itu karena sikapnya yang begitu sombong. Saat pertama kali ketemu, bahkan cewek itu sama sekali tak melirikku,” kata Parto dengan nada meninggi. “Aku masih ingat saat pertama kali ketemu aku ajak dia salaman, malah dia tinggal pergi!”<br />“Tapi kini, ia jadi pecun betulan. Hahahaaaa,” Parto tertawa terbahak-bahak.<br /><br />“Hmm, ok, ok,” kata Pak Badrun manggut-manggut dan tak berkomentar lagi. Namun terlihat di wajahnya kalau ia masih agak terbawa emosinya dengan cerita Parto itu. Keadaan saat itu sungguh kontradiktif. Karena bahkan seorang kepala preman kelas kakap yang telengas seperti dia pun jadi miris hatinya mendengar perubahan drastis kehidupan keluarga Fey Chen dan Fey Chen sendiri. Sebaliknya sikap Parto malah cuek, sama sekali tak ada rasa kasihan atau simpati sedikit pun. Menurutnya nasib amat buruk itu amat pantas diterima mereka.<br />“Lalu apa yang kamu lakukan setelah meninggalkan rumah itu?” tanya Pak Badrun akhirnya memecah kebisuan yang berlangsung beberapa saat. <br />“Sejak itu….”<br />Dokk! Dokk! Dokk!<br />Tiba-tiba ada suara ketukan pintu.<br />“Sebentar,” kata Pak Badrun memberi isyarat kepada Parto.<br />“Ada apa?” teriak Pak Badrun.<br />“Pak Soleh tukang soto langganan Abang lagi lewat sini. Bang Badrun mau pesan makan?”<br />“Boleh, boleh…pesankan dua mangkok, Cok! Kuah campur ya.”<br />“Baik Bang.”<br />“Aah, dari tadi kamu sudah bercerita selama berjam-jam. Ayo, kita makan dulu, setelah itu dilanjutkan lagi”, kata Pak Badrun kepada Parto. Dan untuk beberapa saat mereka break makan siang…<br /><br />–@@@@–<br />(Last warning! Continue reading at higher risk!! You have been warned!!)<br /><br />“OK, sekarang boleh kamu lanjutkan, eeeGG…., lagi, maaf,” Pak Badrun menggelegak karena kekenyangan.<br />“Setelah itu, aku pindah kerja ke keluarga-keluarga kaya lain. Sengaja aku nyari keluarga yang punya anak gadis yang masih muda. Sekarang ini, hehehe sudah tak terhitung berapa banyak cewek-cewek cakep dan manis-manis yang telah saya tiduri. Tak peduli anak pejabat, anak konglomerat, anak jenderal, bahkan artis muda pun pernah saya sikat. Mau Cina, Jawa, Sunda, Indo, India, bahkan Arab dan bule pun semuanya pernah saya sikat!”<br /><br />“Dan semua itu adalah berkat pelet mujarab itu Pak. Dan kini, pelet itu bisa Pak Badrun miliki dengan menyerahkan uang 25 juta saja!” kata Parto sambil menatap ke Pak Badrun lawan bicaranya itu.<br />“Apa?!!” Pak Badrun berseru kaget mendengar kalimat Parto terakhir itu.<br />“Jadi, tujuanmu kemari menemui saya dan bercerita panjang lebar selama berjam-jam sampai ada part 1 part 2 segala….semua itu karena kamu ingin menjual ilmu pelet itu ke saya. Begitu?”<br />“Betul Pak,” jawab Parto dengan cepat. “Tadi Pak Badrun memuji saya orang hebat, kini Pak Badrun pun juga bisa jadi orang hebat seperti saya….dengan ilmu pelet itu.”<br />“Ooh. Hohohoho……Hahahaaaaa……….,” Pak Badrun tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa kendali lagi, sampai seluruh tubuhnya bergoyang-goyang, bahkan meja kayu di depannya juga ikut bergoyang. Sementara Parto tak tahu harus berbuat apa karena ia sungguh tak menyangka reaksi Pak Badrun akan seperti itu.<br />“Parto, Parto…sungguh hebat sekali kamu. Kamu betul-betul orang yang luar biasa!” puji Pak Badrun disela-sela ketawanya.<br />“Pak Badrun pun juga bisa jadi orang yang luar biasa seperti saya,” kata Parto tersenyum-senyum cengengesan. “Semua itu bisa Bapak dapatkan dengan cuma 25 juta saja. Tidak mahal,” kata Parto dengan mantap.<br />“Ah, ya ya betul. Memang harga segitu tak mahal,” kata Pak Badrun menggumam.<br />“Jadi, kita sepakat Pak? “kata Parto sambil mengulurkan tangannya. “Bahkan saya bisa mengatur supaya bapak bisa menikmati gadis yang saya ceritakan tadi sepuas hati, sebagai bonus tambahan. Tapi satu hal, saya minta dibayar cash Pak. Setelah itu, Bapak akan menjadi orang hebat seperti saya.”<br />“Ya, ya, ya,” Pak Badrun mengangguk sambil menyalami Parto. “Memang kamu HEBAT sekali,” kata Pak Badrun.<br />“Namun….bukan prestasimu yang hebat tapi BUALANMU itu yang hebat!” kata Pak Badrun dengan keras sambil tiba-tiba memelintir tangan Parto.<br /><br />“Aduuhhh!! Sakit Pak!” teriak Parto meringis kesakitan dengan hati amat terkejut. Meskipun usianya jauh lebih muda, namun tenaganya kalah jauh dengan Pak Badrun yang telah berpuluh-puluh tahun berkecimpung di dunia hitam. Selain kalah tenaga juga ia kalah wibawa jauh dibanding pria setengah baya yang merupakan tokoh pentolan dunia hitam itu.<br />“Kamu ingin menipu saya mentah-mentah ya?! Bangsat! Kau kira aku segoblok itu, hah!”<br />“Aduuh, ampun Pak. Mana berani saya menipu Bapak. Sungguh, sumpah mati Pak!”<br />“Anjing bangsat! Masih berani menyangkal! Kamu kira bisa menipu aku, Badrun jagoan ibukota dengan menggunakan cerita bualan yang sungguh tak masuk akal seperti itu, hah!” sergah Pak Badrun yang semakin marah dengan jawaban Parto itu. Sambil terus memelintir, ia menarik tangan Parto dengan keras sehingga tubuh anak muda itu tertarik ke depan. Dan,<br />Plakk! Plakk! Ia menampar kedua pipi Parto dengan sekuat tenaga.<br />“Aduuhh!” Teriak Parto.<br />Tiba-tiba Pak Badrun mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.<br />“Kau datang kemari mau menipuku 25 juta dengan menggunakan cerita seperti itu…hmmm, rupanya kamu sudah bosan hidup ya! Kalau ingin menipu, tolonglah menipu dengan cara yang lebih canggih. Hahahaha…. Sesungguhnya, ketahuilah, kau adalah orang paling goblok yang pernah kutemui di sekolong jagat ini. Ketahuilah, aku, yang namanya Badrun, jagoan ibukota, kagak pernah percaya ilmu pelet dan hal-hal gaib kayak gituan.”<br />“Dan ceritamu itu… hah!” seru Pak Badrun sambil mengejek. “Sungguh tak masuk di akal. Kalau memang betul peletmu itu manjur, ngapain kamu datang kemari dan menjualnya dengan harga “cuma” 25 juta? Seharusnya kamu bisa dapet uang lebih dari segitu dari cewek-cewek anak orang kaya menurut ceritamu itu. Dan satu lagi, ingat baik-baik ya dan sebaiknya kamu ngaca dulu, penampilanmu kayak gini sama sekali nggak sesuai dengan ceritamu,” kata Pak Badrun dengan pandangan melecehkan. “Kalo betul kamu memang dapet duit banyak, mana mungkin penampilanmu sekarang cuman cocok jadi kernet angkot!”<br />“Nyaho kamu?” Plak-plakk-plakk. Pak Badrun kembali menampar mulut tonggos Parto.<br />“Dan ada satu lagi, hahahaaa, dengan tampang begomu seperti celeng ngongos gini, biar pake pelet 10 kali juga kaga bakal bisa menggaet pembantu. Boro-boro anak orang kaya yang tinggal di rumah gedongan.”<br />“Sekarang… ayo ngaku, bukankah kamu berniat menipu saya?” bentak Pak Badrun sambil memelintir tangan Parto lebih keras lagi.<br /><br />“Am-ampun, ampun, Pak,” kata Parto dengan gemetar,” Lepaskan, Pak.” Ia meringis kesakitan sambil memegangi tangannya yang akhirnya dilepas juga oleh Pak Badrun.<br />“Ayo bicara!” perintah kepala preman itu sambil memain-mainkan pisau lipatnya.<br />“Be-benar Pak. Saya mengaku. Memang saya berniat mendapatkan 25 juta dari Bapak dengan cara , eh…, menipu. Harapan saya, bapak percaya dengan cerita saya lalu langsung memberi saya uang 25 juta. Setelah itu saya akan langsung kabur dari sini untuk kembali ke desa. Tak disangka Pak Badrun mengetahui kebohongan saya, padahal tadi saya sudah senang, kirain Pak Badrun terkena tipuan saya,” kata Parto dengan polos.<br />“Hahahahaaa. Hebat, hebat! Baru kali ini aku menemui orang SEGOBLOK kamu! Huahahahaaa!”<br />“Tapi sungguh betul saya pernah kerja di rumah itu, Pak. Mereka sungguh keluarga kaya dan sumpah mati, anak ceweknya itu betul-betul cantik. Dan putih mulus gitu lho. Jadi begini Pak rencana saya, saya cukup tahu isi dalam rumah itu jadi saya bisa menunjukkan jalan kesana. Sementara Bapak bisa mengerahkan anak buah Bapak untuk menyatroni rumah itu, untuk merampok hartanya, lalu menculik dan memperkosa anak gadisnya. Bapak boleh mengambil seluruh hartanya, sementara cewek itu untuk saya,” kata Parto menawarkan idenya. Rupanya ia masih begitu penasaran dengan cewek dalam ceritanya itu. “Bagaimana Pak, bagus khan usulan saya ini?”<br />“Bangsatt!!” maki Pak Badrun sambil menggebrak meja. “Memang kamu siapa berani-beraninya main perintah ke Badrun, hah?! Buat apa kita semua mengadu nyawa melakukan tindakan yang berbahaya dan bodoh hanya demi…..<br />“Ah, aku mengerti,” kata Parto sambil tersenyum tiba-tiba memotong kata-kata Pak Badrun. “Maafkan kesalahanku tadi, maksudku tadi, kalau memang mau Bapak boleh memperkosa gadis itu terlebih dahulu, setelah Bapak puas baru serahin ke saya. Bagaimana, Pak?”<br />“Anjing hina!! Kaukira kami orang-orang berpikiran bejat sepertimu, hah! Dengar baik-baik! Biarpun aku bermain di dunia hitam, tapi aku dan orang-orang disini adalah professional. Kita bukan kumpulan orang-orang berjiwa rendah yang hanya sekedar melampiaskan nafsu semata, seperti kamu. Lagipula, hah..dasar bego. Mulutmu asal jeplak aja nggak pake otak. Kau kira segampang itu masuk ke rumah orang, apalagi rumah orang kaya seperti ceritamu itu. Nanti urusannya bisa panjang, tolol! Lalu, kamu menyuruhku mengorbankan nasib teman-teman hanya sekedar untuk melampiaskan nafsu binatangmu itu?!! Huh! Dasar, kau betul-betul manusia berakhlak rendah! Bahkan dari ceritamu tadi, sudah menunjukkan kalau kau adalah manusia yang tak tahu diri, tak tahu diuntung, dan sungguh-sungguh tak bermoral!” kata Pak Badrun dengan sinis mengejek Parto yang hanya bisa menundukkan kepalanya.<br /><br />“Sebenarnya, Pak, apa yang saya ceritakan tadi tidaklah benar,” kata Parto membela diri karena ia tak terima juga dikatakan manusia tak bermoral dan berakhlak rendah segala. “Semua itu adalah karangan saya saja, supaya Bapak makin percaya dengan khasiat ilmu pelet itu dan mau membelinya. Sebenarnya saya juga bukan orang serendah itu,” kata Parto yang mukanya kini jadi merah padam.<br />“Kau sungguh memalukan!” ejek Pak Badrun ke Parto. “Kalau mendengar ceritamu tadi, lagakmu seperti jagoan tapi rupanya kemampuanmu cuma sampe segitu saja! Bisanya cuma menggoda perempuan tak berdaya saja. Huh! Memalukan!”<br />Parto hanya diam saja tak berani bersuara.<br />“Tadi kaukatakan dongenganmu barusan tidak benar. Lalu apa yang sebetulnya terjadi disana?” tanya Pak Badrun dengan nada mengejek. Sebetulnya ia tak perlu membuang-buang waktunya menanyakan hal itu. Tapi rupanya ia masih kesal berusaha ditipu dengan cara yang amat goblok oleh Parto tadi karena hal itu seolah meremehkan kepandaian otaknya. Oleh karena itu kini ia ingin mempermainkan anak muda yang nekat tapi tak berotak ini untuk beberapa saat sebelum mengusirnya. “Kau kerja disana sebentar lalu diusir dengan tidak hormat dari rumah itu karena berusaha berbuat kurang ajar terhadap anak cewek pemilik rumah itu, begitu khan yang terjadi?” tanyanya dengan senyum mengejek. <br />“Betul Pak,” kata Parto sambil menghela napas mengakuinya,” Tapi itu semua karena…”<br />“Aku tahu,” potong Pak Badrun. “Kejadiannya pasti waktu kamu ngeliat cewek itu seperti yang kamu cerita barusan, saat cewek itu pake baju putih dan celana pendek itu. Itu adalah hari keduamu disana. Lalu kamu nggak bisa nahan napsu bangormu itu terus berusaha mendekati cewek itu. Tapi rupanya kamu nggak sadar kalau bokapnya ada disana. Terus kamu langsung diusir dari rumah itu. Sementara itu Mbakmu masih bisa tinggal disana karena tiap malam menjual diri ke pemilik rumah itu. Betul khan seperti itu? Hahaha! Dasar keluarga rendah semuanya! Yang cowok jadi penipu, yang cewek bisanya cuman jadi pelacur. Huh!” jengek Pak Badrun dengan sengaja melecehkan Parto.<br />Tapi lain kali boleh kauajak kakakmu itu datang kemari untuk menghibur Ucok dan kawan-kawan. Hahahahaaaa….”<br /><br />Parto hanya diam saja tak berani bicara. Meski mukanya kini begitu merah padam. Namun ia tak berani melawan.<br />“Baik, sekarang apa maumu?” tanya Pak Badrun akhirnya.<br />“Eh, anu, kalau boleh saya pergi dari sini Pak,” kata Parto setengah memohon.<br />“Hahahaaa… Lalu 25 jutanya, nggak jadi?” ejeknya. <br />“Ehmm, eh, kalau dikasih ya…eh…..”<br />“Hahahahaaaa. Kau betul-betul bocah menakjubkan.”<br />“Tetapi, hmmm,“ wajah Pak Badrun kini berubah menjadi ramah,” bagaimana pun juga aku harus salut dengan keberanianmu. Berani masuk ke kandang macan tanpa modal cukup. Hahaha. Kau adalah orang yang suka maen hantam saja tanpa terlalu banyak mikir. Untuk itu, maukah kau bekerja untukku?”<br />“Apa?” tanya Parto kaget.<br />“Ya, maukah kau bekerja untukku? Tentu organisasiku ini butuh orang-orang dengan watak seperti kamu,” kata Pak Badrun sambil tersenyum ramah.<br />“Oh, ya, ya. Tentu saja. Saya bersedia bekerja untuk Pak Badrun,” kata Parto dengan gembira karena saat ini memang ia masih luntang lantung tanpa kerjaan jelas.<br />Pak Badrun tersenyum mendengarnya. “Bagus, bagus,” katanya. Dalam hati ia memang butuh orang seperti Parto begini, yang apa-apa main seruduk tanpa banyak mikir karena memang otaknya nggak nyampe. Orang seperti ini pasti ada manfaatnya bagi organisasi mafianya. Ibaratnya kalau dalam peperangan, orang seperti ini cocok untuk ditempatkan di barisan paling depan. Kalau mati, mati duluan, tapi paling nggak sudah menyebabkan kerusakan yang cukup berarti kepada lawannya.<br />“Terima kasih Pak Badrun, karena bersedia menerima saya. Saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh,” kata Parto dengan semangat menggebu-gebu karena ia tak pernah menyangka sebelumnya akan mendapat tawaran itu. Bahkan ia sempat kuatir tak bisa meninggalkan tempat itu dengan selamat.<br />“Tapi omong-omong, apa kerjaan saya disini, Pak?” tanya Parto. <br />Pak Badrun termenung sejenak untuk memikirkan akan ditempatkan di mana sebaiknya si Parto ini. Namun tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya dan menatap tajam ke arah Parto. Wajahnya berubah serius dan sikapnya menjadi tegang. Tiba-tiba ia menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya! Ia merasakan adanya sesuatu yang amat janggal mengenai ini semua, yang mana ia hampir kelupaan dan terkecoh! Padahal kejanggalan itu kini sungguh nampak jelas terlihat di depan mata. Untunglah kini ia menyadarinya. Di dalam dunia hitam yang keras dan penuh tipu daya, satu kejadian janggal kadang bisa menjadi masalah hidup dan mati. Untuk itu kini ia bersikap super waspada. <br /><br />“Siapa yang mengirimmu kemari!” tanya Pak Badrun tiba-tiba dengan tenang namun dingin. Apabila ia bersuara seperti itu, itu tandanya ia dalam keadaan siap membunuh karena merasa terancam! Hal itu juga tanpa sadar mempengaruhi psikis Parto karena tiba-tiba ia menjadi gentar menghadapi orang ini. Ia tahu kalau orang ini sedang mencurigainya, meski ia tak tahu karena apa. <br />“Hah?! A-apa maksud bapak?” tanya Parto agak gemetaran.<br />“Kau!” kata Pak Badrun sambil mengacungkan pisau lipatnya ke wajah Parto,” Siapa yang menyuruhmu kemari? Ada kejanggalan besar antara dirimu dan ceritamu tadi. Pasti ada orang yang mengirimmu kemari untuk menyusup ke organisasiku! Ayo sekarang katakan, SIAPA!” desis Pak Badrun sambil tiba-tiba dengan gerakan luar biasa cepat ia menerjang Parto dan menempelkan ujung pisaunya ke leher cowok apes itu!<br />“Sa-saya tidak a-a-ada yang mengirim…saya datang atas ke-kemauan saya sss-sendiri,” kata Parto tergagap-gagap dan gemetaran karena ketakutan,” kk-kkarena ss-saya ingin me-menipu u-uang 25 juta. “Sumpah mm-mati!” kata Parto saking gemetarnya hampir saja ia kencing di celananya.<br />Pak Badrun masih menempelkan pisaunya itu di leher Parto namun sebenarnya saat itu hatinya ragu karena ia tak tahu mana yang benar mana yang salah. Ia telah malang melintang puluhan tahun di dunia hitam, sehingga ia tahu banyak mengenai karakter dan psikis berbagai tipe orang. Sejak pertama kali ketemu Parto, ia bisa membaca bahwa Parto adalah jenis orang yang rendahan yang kasar. Ia adalah tipe orang yang dalam bertindak tak memikirkan resiko dan cenderung main hantam tanpa banyak berpikir karena memang daya pikirnya amat terbatas. Hal ini terbukti dengan kedatangannya kesini untuk membual tentang ilmu pelet itu dan pengalamannya dengan cewek cakep itu yang jelas-jelas tak masuk di akal. Ia berani melakukan itu karena dengan naif mengira orang lain tentu percaya dengan bualannya. Dan mengenai hal itu, penilaiannya tak perlu diragukan lagi karena Parto sendiri telah mengakui kalau ia memang berniat menipu dirinya untuk mendapatkan 25 juta. Namun kini ia menemukan satu kejanggalan aneh antara cerita yang secara detail diceritakan Parto itu dengan karakter orang yang menceritakannya. Cerita Parto tentang peristiwa di dalam rumah itu, termasuk cara kerja pelet itu dan cara menjerat cewek itu (yang semuanya adalah bohong belaka itu) terlalu rumit dan detail untuk dikarang oleh orang dengan kepandaian terbatas seperti Parto. Bagaimana mungkin Parto bisa mengarang cerita serumit itu? Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan, yaitu ada otak di belakang layar yang mengatur kedatangan Parto menemuinya saat ini. Dan otak inilah yang mengarang seluruh cerita ini dan menyuruh Parto menceritakannya ke dirinya. Tujuannya supaya dirinya merekrut Parto sehingga Parto bisa menjadi mata-mata bagi orang itu. Akan tetapi kini ia jadi ragu dengan dugaannya ini melihat sikap ketakutan Parto yang tak dibuat-buat. Ditambah lagi, Parto bukan tipe orang yang bisa menjadi mata-mata, karena tadi, tingkat<br />intelegensianya yang amat terbatas.<br /><br />Selain itu juga dugaannya tadi ada kelemahan yang ketiga. Sangat jelas sekali adanya kejanggalan antara kerumitan cerita Parto itu dengan tingkat kepandaian Parto. Sehingga dalam waktu tak terlalu lama, pasti ia akan menyadari hal ini, seperti yang terjadi sekarang. Pada saat itu tentu ia akan langsung mencurigai adanya orang di balik layar yang mengatur ini semua. Pada saat itu terjadi, keberadaan Parto tak akan membawa manfaat apa-apa bagi orang itu karena ia telah mencurigainya. Jadi, untuk apa orang itu susah-susah mengarang cerita seperti itu, mengirim Parto menemuinya, dan sebagainya sementara pada akhirnya semua itu tak terlalu memberikan manfaat apa-apa baginya. Melihat reaksi dan sikap Parto selama ini, ia menilai kalau Parto datang atas niatnya sendiri karena memang ia adalah orang yang bodoh, seorang yang plain stupid. Tapi kini tingkat kecurigaan Pak Badrun yang begitu kuat akan segala hal di sekitarnya itu kini mulai bekerja. Ia jadi curiga dengan penampilan Parto. Jangan-jangan orang dihadapanku ini adalah orang yang luar biasa cerdik dan amat pandai berpura-pura. Penampilan bloonnya itu memang sengaja dilakukan untuk menipuku, pikirnya. Demikianlah pembawaan Pak Badrun. Karena terlalu lama berkecimpung di dunia hitam yang keras, ia selalu penuh waspada, berhati-hati, dan mudah curiga. Kini diam-diam timbul rasa cemas dalam dirinya. Jangan-jangan ia adalah seorang pembunuh bayaran ulung yang dikirim untuk membunuhku. Untuk itu ia buru-buru melepaskan pisaunya dari leher Parto supaya ia bisa menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari anak muda itu, sambil ia mengawasi kedua tangan Parto. Saat itu memang ia tak<br />melihat ada sesuatu yang berbahaya dalam diri Parto. Namun tetap ia melakukan tindakan berjaga-jaga. Segera ia duduk kembali di belakang mejanya. Diam-diam digengggamnya pistol di dalam laci mejanya. Pistol yang berisi peluru panas! Dan ia bersiap memanggil anak buahnya masuk. Namun ia mengurungkan niatnya memanggil anak buahnya masuk. Ia percaya kalau ia bisa mengatasi Parto sendiri. Karena nalurinya mengatakan kalau Parto memang seorang yang bodoh, plain stupid, bahkan ia bisa melihat rasa ketakutan luar biasa yang terpancar dari kedua bola matanya. Namun tetap ia ingin menguak rahasia kejanggalan yang dirasakannya itu. Untuk itu ia bertanya lagi ke Parto,<br />“Tadi kau berusaha menipuku dengan ceritamu tentang ilmu pelet dan pengalamanmu dengan cewek itu dan hal itu telah kau akui sendiri. Tapi sekarang pun rupanya kau juga masih berusaha menipuku. Ceritamu yang panjang lebar tadi, terlalu rumit untuk dikarang oleh orang bodoh seperti kamu. Bagaimana kamu bisa mendapatkan cerita serumit itu? Pasti ada orang yang membuatkan cerita itu dan menyuruhmu kemari? ” tanya Pak Badrun memancing jawaban Parto sambil menatap tajam ke arahnya. Sementara tangannya di bawah meja telah siap beraksi apabila ada satu langkah mencurigakan dari anak muda di depannya itu. <br /><br />Mendengar pertanyaan Pak Badrun ini, entah mengapa kini timbul rasa ketenangan dalam diri Parto. Kini ia tak gemetar lagi. Bahkan ia bisa berbicara dengan tenang. Ia menjawab pertanyaan Pak Badrun itu dengan tenang namun pasti. Dan, jawaban Parto itu amat mengejutkan Pak Badrun karena ia sama sekali tak menyangkanya.<br />“Pak Badrun, sesungguhnya tidak ada yang mengarangkan cerita itu dan tidak ada orang yang menyuruh saya kemari. Saya bisa bercerita panjang lebar tadi karena hampir seluruh kejadian yang saya ceritakan itu BETUL-BETUL TERJADI! Saya akui, ada beberapa hal disana-sini yang saya ubah dan saya lebih-lebihkan supaya lebih dahsyat. Namun saya berani mengatakan bahwa ilmu pelet itu bukan omong kosong belaka tapi memang BETUL-BETUL ADA. Dan ilmu itu sungguh BERKHASIAT dan bekerja dalam diri cewek itu! Untuk hal ini saya berani sumpah mati sampai tujuh turunan sekalipun!”<br />“Kau bicara jangan sembarangan! Sekarang kau berusaha mangkir dan balik ke bualanmu yang tadi lagi, hah!” hardik Pak Badrun dengan marah karena merasa dipermainkan oleh Parto. <br />“Dalam keadaan sekarang, Pak, untuk apa saya bicara bohong?” tanya Parto dengan tenang. “Salah-salah, nyawa saya bisa melayang,” tambahnya. <br />“Jadi kalau aku kasih kamu 25 juta, aku bisa memakai ilmu pelet itu, begitu?” tanya Pak Badrun sambil tersenyum sinis.<br />Tanpa mempedulikan ejekan Pak Badrun, Parto menjawab dengan tenang, “Ilmu pelet itu memang ada, Pak. Tapi untuk SAAT ITU. Namun kini lain ceritanya. Seandainya Pak Badrun membelinya dari saya sekarang, itu sama saja dengan saya menipu Bapak karena ilmu pelet itu kini sudah tak berkhasiat lagi,” kata Parto dengan jujur dan sungguh-sungguh.<br />“Ah, benarkah? Benarkah memang ada ilmu pelet dan ilmu gaib seperti itu di dunia ini?” tanya Pak Badrun agak susah menerima penjelasan Parto itu karena memang pada dasarnya ia sama sekali tak percaya akan hal-hal begituan. Namun kini melihat sikap Parto yang sungguh-sungguh, dirinya jadi terbawa sehingga ia tak lagi bersikap sinis. <br />“Lalu, bagaimana dengan cewek cakep dalam ceritamu tadi? Apakah kamu sungguh-sungguh telah menidurinya?” tanya Pak Badrun lagi.<br />“Dan, apa maksudmu, dengan dulu berkhasiat sekarang tidak lagi? Mengapa khasiatnya bisa hilang kalau memang dulunya betul-betul berkhasiat?” tanyanya bertubi-tubi. <br />Sikap Pak Badrun kini berubah, dari awalnya curiga kini jadi penasaran. Apalagi melihat sikap Parto yang tiba-tiba jadi serius, membuat dirinya tertarik untuk mengetahui hal yang sebenarnya.<br /><br />“Mengenai hal-hal itu, Pak, sebenarnya tadi saya sudah ingin mengatakannya namun Pak Badrun membuat saya takut sehingga akhirnya saya tak berani mengatakan apa-apa.”<br />“Akan tetapi, kini, apabila Pak Badrun ingin mengetahui keseluruhan hal yang terjadi,” kata Parto dengan tenang, “Maka, saya bisa menceritakan lagi semuanya secara apa adanya.” Wajah Parto saat itu begitu serius dan sungguh-sungguh. Seolah-seolah ia akan menceritakan satu bagian penting dari pengalaman hidupnya. <br />“Tunggu,” kata Pak Badrun sambil mencari sesuatu dari lacinya. Tangannya yang tadinya tersembunyi di dalam laci kini dikeluarkannya sambil memegang sebungkus rokok kretek kesukaannya. Ia menyodorkannya ke Parto, namun Parto menolaknya dengan sopan. Saat itu ia terlalu serius dan sungguh-sungguh. Sementara Pak Badrun menyulut rokoknya dan menaikkan kakinya ke atas meja. “Baik, sekarang silakan kau mulai,” kata Pak Badrun sambil menghembuskan rokok yang dihisapnya itu.<br />Dan mulailah Parto bercerita mengenai seluruh kejadian itu. Kali ini ia menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi….Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-58734022317319505982012-03-31T14:40:00.002-07:002012-03-31T14:40:46.464-07:00Dewi, Satpam Perumahannya, dan TemannyaSemenjak kejadian malam itu, Dewi yang tadinya seorang istri yang menerima keadaan dan tidak pernah mengetahui bahwa bersetubuh itu sangat nikmat berubah menjadi Dewi yang ingin dipuaskan setiap kali bersetubuh, tetapi suaminya tidak pernah dapat memuaskan Dewi seperti biasanya, suaminya selalu keluar duluan pada saat Dewi baru mulai terangsang, setelah itu suaminya langsung tertidur tanpa memperdulikan lagi keadaan istrinya. Hal ini membuat Dewi ingin selalu mencari lagi laki-laki seperti Andi yang dapat memuaskan hasrat birahinya. Seperti malam itu setelah melakukan hubungan suami istri, suaminya langsung terlelap, sementara Dewi merasa tersiksa karena birahinya tidak terlampiaskan, vaginanya terasa gatal ingin merasakan sodokan-sodokan penis. Dengan penuh kesal Dewi beranjak dari tempat tidurnya lalu ia menuju ke dapur untuk mengambil segelas air, sambil memegang gelas air minum Dewi beralih menuju ke teras depan, kemudian Dewi duduk di sofa yang ada di teras. Saat Dewi sedang duduk merenung di dalam kegelapan malam, Dewi melihat sesosok tubuh dari kejauhan sedang berjalan mendekati rumahnya. Setelah dekat ia mengetahui sesosok tubuh itu adalah seorang satpam di perumahan dimana ia tinggal, nampaknya Satpam ini sedang menjalankan tugasnya berkeliling komplek yang bersistem cluster ini. Melihat sosok tubuh Satpam itu yang kekar Dewi tertarik dan birahinya yang belum terlampiaskan berkobar kembali. Tanpa banyak pikir Dewi melambaikan tangannya ke arah satpam itu, si satpam yang mengetahui dirinya dipanggil segera menghampiri Dewi.<br />“Selamat malam, bu” dengan sopan satpam itu menyapa.<br />Dewi memperhatikan nama Satpam itu di seragamnya lalu membalas sapaannya,” malem pak Sugito, “<br />Sementara itu mata Sugito tak berkedip menatap tubuh Dewi yang terbalut daster tipis dan disinari oleh lampu teras sehingga membuat tubuh Dewi yang sexy terbayang dengan jelas, membuat birahi Sugito bergolak, perlahan-lahan pentungan di selangkangannya menegang, membuat celana satpamnya menggelembung. Semua ini tidak terlepas dari mata Dewi yang memang dari tadi sudah mulai mencuri-curi pandang ke arah selangkangan Sugito.<br /><br />“Adaaa…aapaaa..bu,” tanya Sugito dengan sedikit terbata-bata karena menahan nafsu birahinya yang menggelegak.<br />Di matanya terlihat kedua bukit kembar Dewi yang menonjol dan kedua putingnya yang berwarna merah muda tercetak dengan jelas dibalik dasternya, sementara pandangan matanya melihat di selangkangan Dewi bayangan hitam dari balik dasternya. Dalam hatinya membatin nyonya ini tidak pakai apa-apa lagi dibalik dasternya. Sugitopun menelan air liurnya, ingin rasanya ia menerkam tubuh Dewi ini dan menggenjotnya, tapi pikiran jernihnya masih berjalan karena statusnya yang sebagai satpam di komplek perumahan ini, bisa-bisa kehilangan pekerjaannya kalau ia melakukan pikirannya itu.<br />“Bapak, bisa tolongin saya?” tanya Dewi.<br />“Apaa..yang bisa saya bantu …bu?” Sugito berbalik tanya, suaranya bergetar menandakan sedang dipenuhi oleh nafsu birahinya.<br />“Sini, pak. Ikutin saya, yach,” kata Dewi tersenyum.<br />Dewipun melangkah menuju kedalam rumahnya diikuti oleh Sugito yang masih bingung dan semakin bernafsu. Sugito melihat bongkahan pantat Dewi yang tercetak karena tanpa Dewi sadari dasternya terjepit oleh belahan pantatnya saat ia duduk tadi. Sugito merasakan penisnya tambah mengeras. Setelah menutup pintu depan dan menguncinya, Dewi melangkah menuju ke kamar tidur tamu yang tidak terlalu berjauhan dengan ruang tamu, Sugito masih mengikutinya dengan penuh tanda tanya, hatinya membatin apa yang dibutuhkan oleh nyonya muda ini dari dirinya. Desampainya didalam kamar tidur, Dewi langsung menutup pintu kamar dan menguncinya.<br />“Saya, butuh bantuan bapak untuk muasin saya,” Dewi berkata sambil tangannya mulai meraih kemeja seragam satpam Sugito, dan mulai membukai kancingnya satu persatu dengan sangat cekatan.<br />Setelah kemeja Sugito terlepas, tangan Dewi beralih kecelana Sugito, celana Sugito dengan cepat telah terbuka, lalu Dewi menurunkan celana seragam itu ke bawah, tapi Dewi agak kesulitan menanggalkan celana itu karena terhalang oleh sepatu Satpam Sugito.<br />“Pak, lepaskan sepatunya dong,” kata Dewi.<br />Sugito yang masih belum lepas kagetnya karena mendengan perkataan Dewi tadi dan perbuatan Dewi yang melucuti pakaiaannya, mengikuti perintah Dewi dengan melepaskan sepatunya. Sekarang Sugito hanya mengenakan celana dalamnya saja, tonjolan di balik celana dalamnya membuat Dewi semakin bernafsu, dengan bernafsu ditariknya ke bawah celana dalam Sugito sehingga penisnya terangguk-angguk dengan gagahnya. Dewi terbelalak melihat penis Sugito yang lebih panjang dan besar dari punya Andi, apalagi kalau dibandingkan dengan punya suaminya, sambil menurunkan celana dalam Sugito Dewipun berjongkok di depan Sugito dan penis Sugito yang berdiri dengan tegak itu mulai dijilatinya, dari mulai ujung kepalanya sampai kepelernya, sambil kadang-kadang ditingkahi dengan kuluman-kuluman dan hisapan hisapan lembut, membuat Sugito yang masih seperti bermimpi ini mendesah-desah keenakan. Batin Sugito masih belum mempercayai apa yang terjadi ini, tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya bahwa penisnya akan dijilati dan dikulum-kulum oleh wanita secantik dan sesexy Dewi apalagi wanita ini termasuk dari golongan yang terhormat, yang secara tidak langsung adalah yang membayar gajinya.<br />Sugito<br /><br />Sugito<br /><br />“Oughh…aaaahhhh….sshhhhh…aaaghhhh…buuu….uueennaaak kk…tennaaan…oougghh…” Sugito mengerang keenakan, menikmati penisnya yang sedang dikaraoke oleh Dewi.<br />“hhhmmm…ssshhsss…sssllrrppp…ssssllrppp…hhhhmmm..ko ntolmu besar sekali,” Dewi bergumam sambil tetap asyik mengulum dan menjilati pentungan Sugito, tangan kirinya asyik memegangi pentungan Sugito, sementara tangan kanannya asyik mengelus-elus vagina dan kelentitnya.<br />Sugitopun akhirnya tidak mau diam saja, kedua tangannya mulai meremas-remas kedua bukit kembar Dewi yang masih tertutup daster, remasan-remasan kasarnya mulai membuat Dewi menggelinjang kegelian. Dewipun merasakan lubang vaginanya semakin basah, ia menghentikan aksinya kemudian berdiri lalu mulai melepaskan dasternya sehingga sekarang Dewi telanjang bulat di depan Sugito, mata Sugito terbelalak melihat keindahan tubuh Dewi, betul-betul ia seperti bermimpi, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia akan melihat tubuh Dewi telanjang apalagi akan menikmatinya seperti saat sekarang ini. Setelah melepaskan dasternya Dewi merebahkan tubuhnya di ranjang, kemudian ia mulai mengangkangkan kedua belah kakiknya, sehingga lubang kenikmatannya yang berwarna merah terpampang di hadapan Sugito.<br />“Ayo pak, beri aku kepuasan,” Dewi berkata sambil tangannya mengelus-elus kelentit dan lubang vaginanya.<br />Mendengar permintaan Dewi itu, Sugito tersenyum lalu menghampiri Dewi yang sudah terlentang menantikan sodokan pentungan satpamnya. Diusap-usapkannya kepala penisnya dibelahan vagina dan dikelentit Dewi, membuat Dewi menggelinjang kegelian, hasrat birahinya semakin bertambah bergelora, nafasnya semakin memburu.<br />“Oughhh….paaakk….jaaanggaannn….dielussss-elusss..sssshh..aagchhhh…mmaasuukkiin…. kevaginaku…paakkk…ooughhh…aakuuu…tidak taahan lagi…ceepaat…paakk…akuu..ingin merasakan penismuuu…yang besaaarr itu” Dewi mengerang menyuruh Sugito untuk cepat memasukkan penisnya ke dalam vaginanya.<br />Dengan perlahan-lahan Sugito mulai menyelipkan kepala penisnya di belahan vagina Dewi, setelah itu dengan perlahan-lahan Sugito mulai menekan penisnya. Penis Sugito mulai melesak ke dalam lubang senggama Dewi perlahan-lahan. Dewi mengejang merasakan penis Sugito yang besar melesak ke dalam lubang vaginanya, ia merasakan agak sedikit sakit karena besarnya penis Sugito dan karena untuk pertama kalinya juga vaginanya diterobos oleh penis besar.<br /><br />Penis Sugito perlahan-lahan mulai terbenam di dalam lubang senggama Dewi, setelah lebih dari setengah dari panjang batang penisnya terbenam didalam vagina Dewi, Sugito mulai mengangkat kedua belah kaki Dewi, kemudian kedua kaki Dewi ditekan kearah tubuh Dewi sendiri, sehingga lutut Dewi hampir menyentuh dada Dewi sendiri, dengan posisi seperti itu Sugito lalu menghentakkan penisnya sekaligus, sehingga seluruh batang penisnya terbenam dalam vagina Dewi, sentakan Sugito membuat Dewi terhenyak dan menahan nafas, Dewi merasa vaginanya seperti robek, tak lama berselang Sugito mulai memaju-mundurkan penisnya dengan perlahan karena tadi saat ia menghentakkan penisnya ia melihat Dewi meringis menahan sakit. Lama-lama rasa sakit di lubang vaginanya mulai hilang terganti dengan rasa nikmat yang sangat melebihi kenikmatan yang ia rasakan bersama Andi, nampaknya Sugito sangat berpengalaman dalam urusan ngentot dan memuaskan wanita. Desahan, erangan dan lenguhan kenikmatan semakin sering keluar dari mulut Dewi dan Sugito, keduanya betul-betul merasakan kenikmatan duniawi yang belum pernah dialami oleh mereka selama ini, Dewi memang belum pernah merasakan sensasi bersetubuh seperti sekarang ini. Dewi merasakan lubang senggamanya penuh sesak oleh jejalan penis Sugito, seluruh area sensitif di dalam lubang senggamanya tersentuh oleh gesekan-gesekan penis Sugito. Sementara Sugito sendiri belum pernah merasakan tubuh mulus dan putih dan lubang vagina yang sempit seperti yang dimiliki oleh Dewi, apalagi keharuman tubuh Dewi yang menambah hasrat birahinya.<br />“Ouughh..paakk..penismuuu…besaaarr…sekaaliii..pen uh vaginakuuu..dibuatnyaa…” Dewi mengerang-erang kenikmatan menikmati sodokon-sodokan penis Sugito.<br />“Buuu…aaaghhh…memeekk…ibuuu…juuugaa…seemppit…sekaa lliii…”erang Sugito keenakan menikmati jepitan vagina Dewi di batang penisnya.<br />“teruusss…paakk….puaasskkaan..aakhhuu…sshhh..aaach h….eenaakkk…ooughhh…”Dewi mendesah-desah, sementara tubuhnya mengejang-ejang menikmati sodokan-sodokan Sugito.<br />Kadang-kadang Dewi mengangkat pinggulnya menyambut kedatangan penis Sugito, mengakibatkan penis Sugito terbenam lebih dalam, dan menyentuh dinding rahimnya.<br /><br />Gelinjangan tubuh Dewi menikmati persetubuhan ini semakin menjadi-jadi saat Sugito mulai menciumi leher Dewi yang jenjang dan jilatan-jilatan di kedua belah telinga Dewi, membuat sensasi persetubuhan ini semakin menjadi-jadi. Kedua bibir mereka pun kadang-kadang berpagutan dengan penuh nafsu, kedua lidah mereka saling bertautan. Tiba-tiba tubuh Dewi mengejang sementara tangannya meremas-remas rambut Sugito, kedua kakinya mengait pinggul Sugito, pinggulnya terangkat menyambut sodokan Sugito, merasakan ini Sugito pun semakin mempercepat sodokan-sodokannya,.<br />“Ouuggg..paakkk….eenaakk…sekaaalii….ooughhh…aakhhu u…mmauuu..keluuaaar..aaachhh..” Dewi mengerang, tubuhnya mengejang menyambut puncak birahinya yang akan tercapai.<br />“Agghhh…buuu…akhuuu…jughaaa,….mmaauu…kellluar….oou ghhh….”Sugitopun mengerang bersamaan dengan erangan Dewi.<br />Creeetttt….sssrrrrr……creeeet……ssssrrrr…cccreeett t…..ssrrr<br />Dewi dan Sugito berbarengan menggapai puncak kenikmatan dari persetubuhan mereka ini, kedua kemaluan merekapun berbalasan memuntahkan lahar kenikmatannya, mereka berdua merasakan kedutan-kedutan kemaluan pasangan masing-masing dan semburan-semburan hangat dari lahar kenikmatan mereka. Setelah tetes terakhir dari lahar kenikmatan mereka keluar, Sugito perlahan-lahan mulai menarik penisnnya yang sudah mulai mengecil, dari lubang senggama Dewi nampak mengalir cairan putih bercampur dengan lendir bening, menetes ke kain sprei.<br />“Terimakasih pak, bapak telah memberikan saya kepuasan,” Dewi berkata kepada Sugito masih dengan nafas yang memburu.<br />“Sama-sama, Bu..kalau nanti ibu butuh bantuan saya lagi, ibu bisa panggil saya lagi,” jawab Sugito sambil menawarkan bantuannya lagi.<br />Dibalas dengan senyuman oleh Dewi, kemudian kedua insane ini kembali mengenakan pakaian mereka kembali, setelah selesai Dewi mengantar Sugito kepintu dan memberikan kecupan dipipi Sugito sambil mengucapkan terimakasih lagi, setelah itu Dewi mengunci pintu dan menuju ke kamar tidurnya.<br /><br />##############################<br /><br />Malam itu Dewi sendirian menonton TV di ruangan keluarga, suaminya belum kembali dari tugas luar kotanya, sementara Doni sedang pergi ke rumah temannya. Saat itu Dewi mengenakan daster 1 tali berwarna pink dengan belahan berbentuk V di bagian dadanya sehingga belahan payudaranya putih mulus terlihat dengan jelas, kedua putingnya terbayang dengan jelas dari balik dasternya, sementara bayangan hitam di selangkangannya terlihat dengan jelas dari balik dasternya yang berbahan satin dan agak tipis itu. Sayup-sayup Dewi mendengar suara ketukan di pintu rumahnya, dengan sedikit malas ia beranjak dari tempat duduknya menuju ke pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Sesampainya di depan pintu Dewi membuka kunci pintu dan membukanya, ternyata Sugito<br />“Ada apa, pak Sugi?” Dewi bertanya maksud kedatangan Sugito.<br />“Ini, Bu, maaf kalau kedatangan kami mengganggu waktu istirahat ibu,” Sugito memohon maaf atas kedatangannya malam-malam.<br />“Ini, teman saya Parmin sedang ada sedikit masalah dengan keuangan, siapa tahu ibu bisa membantunya,” lanjut Sugito menjelaskan kedatangannya.<br />“Oh, untuk apa dan berapa banyak, “ Dewi bertanya kembali<br />“Gak banyak kok, Bu, si Parmin ini butuh 500ribu untuk ngongkosin istrinya pulang kampong karena orang tua istrinya sakit, “ Sugito kembali menjelaskan<br />“Oh, kalau segitu sich ada, ayo masuk dulu pak, saya ambilkan uangnya” Dewi berkata kepada mereka.<br />Sementara Dewi masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang, Sugito dan Parmin pun masuk ke dalam rumah Dewi. Mereka duduk di ruang tamu menunggu Dewi kembali.<br />Tak lama berselang Dewi kembali dari dalam, lembaran uang terlihat di genggaman tangannya.<br />“Ini pak uangnya, mudah-mudahan cukup untuk ongkos istri bapak,” Dewi berkata kepada Parmin sambil menyerahkan uangnya.<br />“Terima kasih banyak, bu, atas bantuannya,” kata Parmin.<br />“Sama-sama, Pak,” kata Dewi.<br />“Oh iya Bu Dewi, ada satu lagi, saya hampir lupa menyampaikannya,” Sugito berkata kepada Dewi.<br />“Apa tuch, pak Sugi,” Dewi bertanya kepada Sugito.<br />Bukan menjawab pertanyaan Dewi tapi malahan Sugito tersenyum dengan penuh arti, tingkahnya ini membuat Dewi menjadi bingung.<br />“Ini pak Sugi, ditanya malah tersenyum,” Dewi mengomel melihat tingkah Sugito.<br />Parmin<br /><br />Parmin<br /><br />Dengan senyuman yang tetap tersungging di wajahnya, Sugito menghampiri Dewi yang sedang berdiri di dekat Parmin, kemudian dengan gerakan yang cepat tubuh Dewi dipeluknya dan mulutnya memagut bibir Dewi yang saat itu terbuka karena terperangah atas tindakan Sugito. Sementara itu Parmin tanpa perlu diperintah langsung menutup pintu depan rumah Dewi dan menguncinya, setelah itu iapun ikut memeluk tubuh Dewi dari arah belakang. Dewi betul-betul terkejut mendapat serangan seperti ini dari mereka berdua, apalagi tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa kedua orang ini akan menyerang dia.<br />“Hmmmhhhh….hmmhhhh….” Dewi menggumam sambil berusaha berontak dari sekapan Sugito dan Parmin, tapi apa daya tenaga Dewi tidak dapat menandingi kedua orang ini, Dewipun tidak dapat berteriak karena mulutnya sedang dilumat oleh mulut Sugito.<br />“Sssstttt….tenang Bu, jangan berteriak, kita akan buat ibu merasakan surga dunia,” Parmin berbisik di telinga Dewi.<br />“Hmmhhhh…hmmmhhh…,” Dewi tetap meronta-ronta sambil bergumam.<br />“Sssttt….gak usah takut Bu, bukannya kemaren ini malah ibu yang minta dipuasin ama si Gito,” kembali Parmin berbisik ditelinga Dewi.<br />“Sekarang ini bukan hanya si Gito yang bakalan muasin ibu, tapi saya juga akan muasin ibu, dijamin pasti ibu ketagihan nantinya,“ lanjut Parmin sambil kedua tangannya mulai beraksi, tangan kirinya mulai meremas kedua belah payudara Dewi, sementara tangan kanannya mulai meluncur ke bawah ke selangkangan Dewi dan mulai mengelus-ngelus lembah kenikmatannya.<br />Sementara Parmin asyik bergerilya di tubuh Dewi, Sugito asyik mencumbu Dewi. Serangan kedua orang ini akhirnya membuat pertahanan Dewi runtuh, rontaan-rontaannya berhenti, pagutan Sugito sekarang dibalasnya dengan penuh nafsu, gumamannya berubah menjadi desahan-desahan.<br />“Nah, gitu Bu, kita jamin kok, ibu bakalan ketagihan sama kita berdua,” Parmin berbisik lagi, sambil menjilati telinga Dewi, sementara kedua tangannya semakin menjadi-jadi beraksi di tubuh Dewi.<br />Kedua tangan Sugito mulai beraksi di tali daster Dewi, diturunkannya kedua tali daster Dewi dari bahu Dewi perlahan-lahan menuruni kedua tangan Dewi, Kedua bukit kembar Dewi perlahan-lahan mulai terlihat oleh mata Sugito. Aksi Sugito ditingkahi oleh Parmin dengan memegangi pundak Dewi yang sudah telanjang dan menciuminya, membuat Dewi menggelinjang kegelian karena merasakan kumis Parmin bergesekan dengan kulit pundaknya. Sugito terus menurunkan tali daster itu sampai terlepas dari tangan Dewi sehingga membuat tubuh bagian atas Dewi terpampang dengan jelas, tidak berhenti sampai disitu saja, daster yang sudah setengah jalan itu dia turunkan terus sehingga kekaki Dewi, sehingga lembah kenikmatan Dewi yang tertutupi oleh semak-semak hitam terlihat dengan jelas oleh Sugito.<br /><br />Sugito dengan penuh nafsu mulai menciumi, menjilati dan menghisap-hisap lubang kenikmatan Dewi, slrrpppp…sslrpppp…..terdengar bunyi hisapan-hisapan Sugito di kemaluan Dewi, ditimpali oleh desahan-desahan Dewi, tubuh Dewi semakin menggelinjang mendapat serangan atas-bawah dari kedua orang ini.<br />“Ooohhhh…..sssshhhhh…aaagghhhh……” lenguhan dan desahan keluar dari mulut Dewi….<br />“Hmmmmhhh…ssllrrppp…enaaakkk..vagina bu Dewi nich, harum…,” gumam Sugito sambil asyik menjilati dan menghisap-hisap vagina Dewi.<br />“Tubuhnya juga harum, dan ini toketnya…hhhmmmm…ranum betul….,” Parmin ikut mengomentari, sambil kedua tangannya asyik meremas-remas toket Dewi, sementara mulutnya bergerilya menciumi telinga, tengkuk, dan leher Dewi…<br />Sementara itu Sugito semakin menggila dengan perbuatannya, bukan saja mulutnya yang beraksi tapi sekarang jari-jari tangannya mulai beraksi dilubang kemaluan Dewi. Pertama hanya jari tengahnya saja yang Sugito masukkan ke dalam lubang kemaluan Dewi dan dikocok-kocokannya, lama-lama jari telunjuknyapun ikut keluar masuk di vagina Dewi, membuat vagina itu semakin basah oleh cairan kenikmatannya. Desahan dan lenguhan Dewi semakin menjadi-jadi, gelinjangan tubuh Dewipun menggila, kelihatannya Dewi akan segera mencapai puncak kenikmatannya, terlihat kedua tangan Dewi meremas-remas kepala Sugito, sementara kepala Dewi bergerak liar ke kanan dan ke kiri, pantatnya kadang-kadang ditekan ke bawah menyambut sodokan-sodokan jari tangan Sugito. Merasakan gerakan tubuh Dewi yang semakin tak beraturan Parmin mengalihkan ciuman-ciumannya ke payudara Dewi, kedua payudara dan puting susunya bergantian dihisap dan dijilati oleh Parmin, tangan kirinya memeluk punggung Dewi sementara tangan kanannya bergantian meremas-remas payudaranya.<br />“Ooogghhhh…..aaaagghhhhh…aaakhhuuu…gaakkk..tahan laagiiii….,,oohhh…aku keluaarr… sssshhhh aaaacchhh,” Dewi melenguh dan mendesah saat mencapai puncak kenikmatannya.<br />Ssseerrrr……ssseeeerr…..lahar kenikmatan Dewi menyembur dari lubang senggamanya. Sugito merasakan hangatnya cairan kenikmatan Dewi. Tanpa segan-segan Sugito menghisapnya dalam-dalam semua cairan kenikmatan Dewi tertelan oleh Sugito…tubuh Dewi mengejang menikmati pencapaian puncak kenikmatannya ini.<br /><br />Setelah ombak kenikmatannya mereda, Dewi mengajak Sugito dan Parmin untuk meneruskan aksi mereka di ruang tidurnya. Sesampainya di tempat tidur Dewi duduk di pinggir tempat tidur dan menyuruh kedua orang itu untuk membuka pakaian yang mereka kenakan. Dewi terperangah saat melihat tubuh telanjang Parmin, penis Parmin ternyata lebih besar dari punya Sugito sementara panjangnya hanya lebih panjang sedikit dari punya Sugito. Melihat penis Parmin yang sudah ngaceng tanpa sabar lagi Dewi segera meraih penis Parmin itu dan mulai menciumi, menjilati dan mengulum-ngulumnya. Lenguhan dan desahan Parmin bersahutan dengan decakan mulut Dewi yang sedang asyik bermain di penisnya. Melihat Dewi mulai beraksi dengan penis Parmin, Sugito tidak mau membuang waktu lagi, didorongnya tubuh Dewi sehingga terlentang di atas tempat tidur. Sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang Dewi tidak mau melepaskan pegangan dan kulumannya di penis Parmin, sehingga membuat Parmin sedikit kelabakan mengikuti tarikan tangan Dewi di penisnya. Dengan bertumpu di atas kedua lututnya Parmin bersujud di samping kepala Dewi, sementara tangannya mengangkat kepala Dewi dan menahan posisi kepala Dewi sehingga Dewi dengan leluasa bermain di penisnya. Sugitopun segera beraksi dengan mengangkangkan kaki Dewi, diselipkannya kepala penisnya di belahan bibir kemaluan Dewi, slleeeppp….dengan perlahan-lahan Sugito mulai menekan penisnya, penis Sugito mulai merangsek masuk ke dalam lubang kemaluan Dewi. Bleeessss…..ssrrrttttt….blleeesss….sssrtttt…..akhirnya penis Sugito terbenam seluruhnya didalam lubang kenikmatan Dewi. Saat lesakan penis Sugito di dalam lubang kemaluannya Dewi merasakan kenikmatan yang sangat, lenguhannya terdengar di tengah-tengah suara kulumannya di penis Parmin, sementara matanya merem-melek merasakan kenikmatan gesekan penis Sugito di vaginanya.<br />“ssllruppp…hhhmmmhhh…aaaagghhhh…..sssshhsss…sssllr rpppp….ooohhh….hhhmmmm,” Dewi melenguh saat merasakan penis Sugito mulai menerobos lubang kenikmatannya sambil mengulum-ngulum penis Parmin.<br /><br />Sugito mulai memaju-mundurkan penisnya, ssssrrrttt….bleeesss…..sssrttttt….bleeesssss… penis Sugito mulai keluar masuk di vagina Dewi, Sugito bergerak dengan perlahan-lahan ia ingin betul-betul merasakan geseran dinding vagina Dewi di batang penisnya, lama-lama ritme gerakannya mulai meningkat, seiring dengan memuncaknya nafsu birahi Sugito. Biarpun kali ini untuk kedua kalinya Sugito merasakan jepitan vagina Dewi dipenisnya, tapi Sugito merasakan vagina Dewi betul-betul sempit. Sempitnya lubang kenikmatan Dewi membuat Sugito merem-melek, lenguhan dan dengusan terdengar dari mulutnya, bersahutan dengan lenguhan dan desahan Dewi dan Parmin yang juga sedang sama-sama menikmati persetubuhan ini. Sementara Dewi betul-betul merasakan kenikmatan senggama yang baru. Baru sekali ini Dewi merasakan mulut dan vaginanya penuh dengan penis secara berbarengan, tak lama berselang saat Dewi sedang asyik-asyiknya merasakan kedua penis itu keluar masuk di mulut dan di vaginanya, Sugito menghentikan gerakannya dan mencabut keluar penisnya, kemudian Dewi melihat Sugito merangkak ke atas tempat tidur lalu duduk bersandar di sandaran tempat tidur lalu Sugitopun mengangkangkan kakinya.<br />“Aku udah mau keluar…tapi aku ingin ibu memuaskan penisku dengan mulut ibu, Min, giliranmu sekarang menggenjot vagina ibu tuch,” kata Sugito sesaat setelah ia duduk bersandar.<br />Mendengar itu Parmin menarik penisnya yang sedang berada di genggaman tangan dan di kuluman mulut Dewi, Parmin menarik bangun Dewi dan menyuruh Dewi untuk merangkak, dan Parmin mengarahkan kepala Dewi tepat berhadapan dengan penis Sugito, ditekannya kepala Dewi sehingga kepala penis Sugito bersentuhan dengan mulut Dewi, Dewi mengerti keinginan mereka, kemudian Dewi mulai membuka mulutnya dan mulai mengulum-ngulum penis Sugito, Sugito mulai mengerang-ngerang merasakan hisapan dan kuluman mulut Dewi di penisnya, sementara itu Parmin mulai beralih ke belakang Dewi dan mulai mengarahkan penisnya kelubang vagina Dewi, diselipkannya kepala penisnya di bibir vagina Dewi, dan perlahan-lahan Parmin mulai mendorong masuk penisnya. Sleeepppp….bleessss…. penis Parmin yang lebih besar ukurannya dari punyanya Sugito mulai menerobos masuk kedalam lubang vagina Dewi.<br />“Uuggghhhh…..peelaaannn….hhmmmhhh…ssshhhh…ssssllrr rpppp..,” Dewi melenguh saat penis Parmin mulai melesak masuk, ia merasakan vaginanya seperti robek saat penis Parmin mulai melesak masuk itu.<br />Mendengar itu Parmin mendiamkan gerakannya, ia memberikan kesempatan kepada lubang vagina Dewi untuk beradaptasi dengan ukuran penisnya, beberapa saat kemudian dengan sekali sentakan Parmin menekan penisnya dalam-dalam dilubang vagina Dewi, perbuatannya membuat Dewi menjerit, tapi yang terdengar dari mulut Dewi hanya gumaman saja karena gerakan Parmin tadi membuat tubuhnya terdorong kedepan dan akibatnya penis Sugito masuk hampir seluruhnya kedalam mulut Dewi.<br /><br />“Hhhhmmppphhhh……sssssllrrrpppppp..”Dewi menjerit tertahan.<br />Dewi merasa vaginanya seperti sobek, tapi ia juga merasakan kenikmatan yang sangat, Dewi merasakan denyutan di batang penis Parmin yang terjepit erat oleh dinding vaginanya, dan ia sendiri merasakan otot dinding vaginanya berdenyut juga. Dewi mulai merasakan Parmin dengan perlahan-lahan menarik penisnya…gesekan batang penis Parmin didinding vaginanya membuat Dewi merem-melek karena kenikmatan yang sangat. Sementara karena gerakan menarik Parmin membuat tubuh Dewipun tertarik ke belakang dengan sendirinya mulutnya mulai bergerak juga. Penis Sugito yang hampir terbenam semuanya di dalam mulutnya perlahan-lahan mulai keluar sedikit-demi sedikit dari kuluman mulut Dewi, kemudian Parmin mulai mendorong kembali penisnya masuk ke dalam lubang senggama Dewi sehingga membuat penis Sugito mulai melesak masuk lagi kedalam mulut Dewi, Sugito merasakan kenikmatan yang luar biasa saat penisnya tergesek-gesek oleh mulut Dewi. Lenguhan-dengusan dan desahan dari mereka bertiga kembali terdengar, keringatpun mulai mengalir keluar dari tubuh mereka. Gerakan maju-mundur Parmin mulai tidak beraturan, sementara pantat Sugitopun semakin terangkat, kedua tangannya memegangi kepala Dewi, tubuhnya mengejang. Dewipun mulai merasakan hal yang sama dengan Sugito dan Parmin, puncak kenikmatan dari persetubuhan mereka hampir mereka raih, lenguhan dan desahan Dewi semakin sering terdengar, kepala Dewi semakin cepat naik turun dan tidak seirama lagi dengan gerakan maju mundur Parmin, sementara Dewipun mulai menggerakkan pantatnya untuk menyambut sodokan Parmin. Akhirnya puncak kenikmatan itu mereka raih hampir berbarengan, dimulai dengan Sugito yang melenguh panjang lalu Dewi dan terakhir Parmin yang melepaskan lahar kenikmatannya.<br />“Ooohhhhh…..aaaakkuuuu….keeellluaaaarrr….,’ Sugito melenguh panjang.<br />Creeeetttt…..ccccreeeetttt…cccreeet….. penis Sugito menyemprotkan cairan kenikmatannya di mulut Dewi, disambut dengan lenguhan Dewi yang juga merasakan puncak kenikmatannya.<br />“Akkhuuuu…juuuggaaa….ooohhhhh…sssssllrppppp….sslll rpppp….,” Dewipun melenguh sambil menelan sperma Sugito yang keluar dalam mulutnya.<br />Sssseeerrr….ssseeerrr….ssseerrrr….. vagina Dewi menyemburkan lahar kenikmatannya, Parmin merasakan semburan hangat dibatang penisnya.<br />“Akkuuuu….kheeellluaaaarr….juuggaaaa….aaaaggghhhh…eeenaaakkk ssekalii…,” lenguhan Parmin terdengar merasakan puncak kenikmatannya.<br />Creeeettt….creettt…creettt…..penis Parmin menyemburkan lahar kenikmatannya di dalam lubang vagina Dewi. Dewi merasakan kehangatan sperma Parmin di dinding vaginanya.<br /><br />Nampak tubuh mereka bertiga mengejang menikmati puncak kenikmatan dari persetubuhan ini. Setelah badai nafsu mereka mereda serta tetesan terakhir dari lahar kenikmatan mereka telah menetes, akhirnya tubuh merekapun terkapar kelelahan, nafas mereka terlihat masih memburu, mata mereka terpejam merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja mereka raih. Jam di dinding kamar Dewi menunjukkan pukul 02.00 pagi, saat itu Dewi terbangun dari tidurnya dan ia baru menyadari bahwa sehabis pergumulan semalam dengan Sugito dan Parmin yang cukup menguras tenaganya, ia jatuh tertidur begitu pula dengan Sugito dan Parmin yang ikutan jatuh tertidur dengan posisi keduanya memeluk tubuhnya, hawa dingin AC di kamarnya membuat Dewi kembali bergairah ingin disetubuhi kembali oleh kedua orang ini, nafsu birahinya kembali bangkit membayangkan kejadian semalam, perlahan-lahan kedua tangannya menggapai kebawah mencari kedua batang kemaluan Sugito dan Parmin. Kemudian setelah kedua batang kemaluan itu berada dalam genggamannya, dengan lembut kedua penis itu diremas-remasnya, perlahan-lahan kedua batang kemaluan itu bangun, seiring dengan semakin menegangnya kedua batang kemaluan itu, siempunya barangpun mulai melenguh menikmati remasan-remasan tangan halus Dewi, mata mereka masih terpejam tapi naluri lelaki mereka sudah bangun terlebih dahulu, Dewi yang mendengar lenguhan mereka semakin bernafsu meremas-remas kedua batang kemaluan mereka. Kedua batang kemaluan mereka sudah betul-betul tegang dan siap untuk berperang dengan kemaluan Dewi yang sudah mulai basah. Setelah merasakan bahwa kedua batang kemaluan mereka betul-betul tegang Dewi mulai bangkit dari posisi tidurnya kemudian Dewi mulai berjongkok di atas tubuh Parmin. Perlahan-lahan batang kemaluan Parmin diarahkan ke lubang kemaluannya, dioles-oleskannya kepala penis Parmin dengan bibir vagina dan kelentitnya, Dewi melenguh kegelian merasakan gesekan kepala penis Parmin di kelentit dan di bibir vaginanya. Selang beberapa saat kepala penis Parmin ia selipkan di lubang kemaluannya…sleepp…, kemudian perlahan-lahan Dewi mulai menurunkan pantatnya…bleessss… srrttt…bleesss…., penis Parmin mulai masuk perlahan-perlahan di lubang kemaluan Dewi.<br /><br />“Aaggghhh…sssshhhh…oouughhh…” terdengar Dewi melenguh menikmati terobosan penis Parmin dilubang kenikmatannya.<br />“Ouuuuggghhh………..” Parminpun melenguh menikmati jepitan vagina Dewi di batang kemaluannya, kedua matanya mulai perlahan-lahan terbuka.<br />Penis Parmin akhirnya terbenam seluruhnya di lubang kenikmatan Dewi, Dewi merasakan kembali lubang kenikmatannya penuh sesak oleh jejalan batang kemaluan Parmin yang besar, sesaat Dewi tidak melakukan gerakan, ia ingin merasakan denyutan-denyutan batang kemaluan Parmin didinding lubang kenikmatannya, Dewi merasakan sensasi yang luar biasa saat batang kemaluan Parmin berdenyut-denyut sehingga membuat dinding lubang kenikmatannyapun berdenyut juga menimpali denyutan yang dibuat batang kemaluan Parmin, Parmin sendiri merasakan batang kemaluannya seperti diremas-remas dengan lembut.<br />“Aagghhhh….ssshhhh…aaaaahhh..kooontolllmmuu enak sekaliiii…” Dewi mengerang keenakan.<br />“Memeeeekk..ibuu…ssshhhh…aaaahhhh…juga enaakkk….bissaaa…ngempoot…” Parmin juga merintih keenakan.<br />Erangan mereka berdua membuat Sugito terbangun, dan ia melihat Dewi sudah menduduki Parmin dan tangan Dewi sedang memegangi penisnya yang sudah tegang, tidak menunggu diperintah Sugito mulai bangun dan mulai menyerbu tubuh Dewi, mulutnya mulai menyerang kedua payudara Dewi bergantian dengan tangannya, saat mulutnya menjilati dan menghisap payudara yang kiri, tangannya meremas-remas dan memilin-milin payudara yang kanan, aksi Sugito membuat rintihan dan erangan Dewi semakin menjadi.<br />“Ouugghhh…ssshhhh…aaaahhh…ggeeeliii….ouughhh..teru sss…yaaa….hisaaappp..putingku….ooohhh…niikkmmaatt… ” Dewi merintih keenakan dan kegelian.<br />Melihat itu Parmin tidak mau diam, kedua tangannya memegang pantat Dewi menyangga posisi Dewi yang sedang berjongkok diatas tubuhnya, lalu Parminpun memulai gerakannnya, perlahan-lahan pantatnya mulai naik turun ssrrtttt…bleesss…ssssrrrttt…bleesss, penisnya keluar masuk di lubang kenikmatan Dewi,<br /><br />aksi Sugito dan gerakan Parmin membuat rintihan Dewi semakin menjadi-jadi, Dewi dibuat merem-melek oleh aksi mereka berdua. Ia merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa berbeda dari yang ia rasakan semalam. Dewi tidak dapat bertahan lama menghadapi serangan kedua orang ini, puncak kenikmatannya sudah hampir diraihnya, lenguhannya semakin sering terdengar, tubuhnya mulai bergetar menikmati serangan kedua orang ini, tiba-tiba tubuh Dewi mengejang, tangannya memeluk erat Parmin sementara pantatnya ia tekan dalam-dalam menyambut sodokan Parmin, kemudian gerakan tubuhnya terdiam,<br />“Ouuugghhhh….aaagghhhh…..nniikkmaat…aakuuu…keeellu uaaarr…sssssshhhh…aagghhhhh” Dewi mengerang menikmati puncak kenikmatannya yang berhasil ia raih.<br />Creet…sssssrrrr…ccreett…sssrrr…Dinding vaginanya berdenyut-denyut kencang saat lubang kenikmatannya memuntahkan lahar kenikmatannnya. Parmin merasakan hangatnya cairan kenikmatan Dewi yang menyembur membasahi batang penisnya, dan ia merasakan denyutan-denyutan yang sangat kuat meremas-remas batang penisnya. Sesaat Dewi tengkurap di atas tubuh Parmin, nafasnya memburu, matanya terpejam merasakan kenikmatan yang baru saja ia rengkuh, Parmin dan Sugito membiarkan Dewi menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja direngkuhnya.<br />“Oohh…nikmat sekali..hhmmmh…”Dewi bergumam sambil matanya masih terpejam, sementara bongkahan pantatnya terlihat mengejut-ngejut, nampaknya lubang kenikmatan Dewi masih menyemburkan sisa-sisa cairan kenikmatannya.<br />Parmin dengan lembut mulai menciumi Dewi, bibir Dewi dipagutnya dengan lembut yang dibalas oleh Dewi, kedua lidah mereka bertautan, melihat kedua orang itu berpagutan Sugito perlahan-lahan memulai kembali aksinya dengan menciumi punggung Dewi sementara tangannya mulai meremas-remas kedua bongkahan pantat Dewi dengan lembut, ciuman-ciuman Sugito dan remasan-remasan tangan Sugito di kedua bongkahan pantatnya membuat Dewi menggelinjang kegelian, sementara Parmin tidak melepaskan lumatan-lumatan di bibir Dewi.<br />“Hhhhhmmmmhhh…slllllrrppp….hhhhmmm…sssllrrppp…” Dewi dan Parmin bergumam dan melenguh bersamaan.<br />Saat itu ciuman Sugito perlahan-lahan semakin menurun kebawah kearah pantat Dewi, Dewi semakin menggelinjang kegelian, entah apa yang merasuki Sugito atau karena Sugito pernah melihat film BF yang ada “Double Penetration”, ciuman Sugito mulai beralih ke pantat Dewi, lubang pantat Dewi yang terpampang dimata Sugito tanpa merasa jijik mulai Sugito ciumi, aksi Sugito semakin membuat Dewi menggelinjang, entah kenapa Dewi merasakan nafsunya perlahan-lahan mulai bangkit kembali,<br /><br />Tak lama berselang Sugito menghentikan ciuman di lubang pantat Dewi, Sugitopun mulai memposisikan tubuhnya dengan dibelakang tubuh Dewi yang masih tengkurap diatas tubuh Parmin, kemudian Sugito mulai mengoles-oleskan kepala penisnya dilubang pantat Dewi, aksinya ini membuat Dewi menggelinjang karena geli dan kaget, tapi Dewi tidak dapat berbuat banyak karena tubuhnya sedang dipeluk dengan eratnya oleh Parmin, Dewi hanya bisa pasrah merasakan gesekan-gesekan kepala penis Sugito dilubang pantatnya.<br />“Eeehhh….Git!..aaapppaa..yang kamu lakukan…ooohhh…..geelii….jjanggaan..dimasukkan penismu kesitu…sssshhh…” Dewi merintih kegelian dan ketakutan, Dewi takut kalau Sugito memasukkan penisnya ke lubang pantatnya.<br />“Tenang bu, nanti juga enak..ibu pasti ketagihan…” Sugito menjawab dengan tenang.<br />Sleeppp….Sugito menyelipkan kepala penisnya dilubang pantat Dewi, Dewi mengerang saat lubang pantatnya mulai disesaki kepala penis Sugito, Dewi tidak dapat berbuat banyak, karena pelukan Parmin yang erat ditubuhnya dan tangan Sugito yang memegangi pinggangnya, yang hanya Dewi bisa lakukan hanya menggerakkan kepalanya, Dewi merasakan perih saat kepala penis Sugito mulai menerobos lubang pantatnya. Srrttttt…bleeesss…ssssrrrttt….bleessss…ssssrttt…bl leessss….perlahan-lahan Sugito mulai mendorong masuk penisnya dilubang pantat Dewi, Sugito merasakan jepitan lubang pantat Dewi sangat ketat sekali melingkari batang kemaluannya, dan Sugito merasakan ketatnya gesekan dinding lubang pantat Dewi dibatang kemaluannya, sementara Sugito merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa dengan jepitan lubang pantat Dewi, Dewi sendiri merasakan kesakitan dan perih yang luar biasa dilubang pantatnya.<br />“Ouugghhh….sssshhhhh…sssaaakkkitttt..peeriihhh…uuu gghhh….amppuunn..Git..cabut penismu …peeriihh..ssshhh…saakiittt…” Dewi menjerit kesakitan.<br />“Shhh…aaggghh…sssebeeentar bu,…nanti perihnya juga hiilllaang…nnantiii..ibu juga akan merasakan eenaaakkk…” Sugito menjawab.<br />Bleessss…..Dengan sekali hentakan akhirnya seluruh batang kemaluan Sugito terbenam seluruhnya di lubang pantat Dewi. Hentakan Sugito membuat Dewi melenguh kesakitan, sementara Sugito sendiri dan Parmin merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa. Mereka merasakan jepitan di penis mereka sangat erat sekali, baik Sugito maupun Parmin merasakan kedutan-kedutan yang tiada taranya, selain kedutan-kedutan dari dinding kedua lubang Dewi mereka masing merasakan kedutan-kedutan batang kemaluan mereka. Sugito merasakan kedutan batang kemaluan Parmin, Parmin sendiri merasakan kedutan batang kemaluan Sugito. Tak lama berselang Sugito dan Parmin mulai memaju-mundurkan penis mereka, mereka tidak memperdulikan jeritan kesakitan Dewi, yang mereka pikirkan saat ini adalah kenikmatan yang sangat luar biasa, nampak penis mereka keluar masuk dengan perlahan di kedua lubang Dewi.<br /><br />Ssrrrttt…bleess….ssrrtttt…bleesss….ssrttt…bleeess…<br />“Ouughh….aaagghhh..enak..sekallii….” Sugito melenguh keenakan.<br />“Iyaaahh…vaginanya …jaddiii.,..ttaammbah seempitt…mememang.,…eenaakk..” Parminpun mengerang keenakan.<br />“Ouughh….ssaakiiit…sudaaaahh…akkuu….tidddakk..kkuatt…pperiihhh…ooouughhh..ampunn..” Dewi merintih kesakitan.<br />Sugito dan Parmin mendengar rintihan Dewi bukannya menghentikan gerakan mereka, tapi malah menambah ritme gerakan mereka… gerakan penis mereka semakin cepat keluar masuk dilubang kemaluan dan pantat Dewi. Gerakan keluar masuk penis mereka semakin lancar dikarenakan lubang kemaluan Dewi yang semakin banyak mengeluarkan cairan pelican ini, dan kedua penis mereka yang juga semakin banyak mengeluarkan cairan pelicinnya. Perlahan-lahan rintihan kesakitan Dewi berganti menjadi erangan dan lenguhan kenikmatan, rasa perih yang tadi dirasakan oleh Dewi berganti menjadi rasa nikmat yang belum pernah Dewi alami selama ini, Dewi mulai bisa merasakan gesekan-gesekan kedua batang penis Sugito dan Parmin pada dinding lubang kemaluan dan pantatnya. Terlebih Dewi merasakan sensasi yang sangat luarbiasa pada dinding yang membatasi antara lubang vagina dan lubang pantatnya, karena di dinding itu ia merasakan pergesekan yang sangat luar biasa. Dewi merasakan penis Parmin dan Sugito menggesek-gesek dinding tersebut dengan eratnya, mata Dewipun dibuat merem-melek, lenguhan-lenguhan kenikmatannya semakin kuat.<br />“Ouughhh….sssshhh…aaaaghhh…enaakk…sssshhh..terusss ….aaaagghhh….oouughhh….kontoooolll…kalian mmeemmbuuaatkkkuu….mellaaayang….oougghh….terusss…. .jjangaan..berhenti..” Dewi meracau keenakan.<br />“Akkuu…ssudah…bbillanng…tadi…pasti ….. ibuuuu…akaaaann..keeenakaann…hhhhmmmm… lubang pantat ibu gaaakkk…kalahh..dengan…hhmmm….aaaggg…mmeemek ibu…enaakknya..’ Sugito menjawab sambil mengerang keenakan..merasakan sempitnya lubang pantat Dewi.<br />“Iyaaahhh…akuu juggaaa…keeenakaan..vaginanya tambah seeempiitt…niiihhh…aaaagghhh…ooughhh…aakuu juga pengen nyobaain…anusnya…nanti” erang Parmin yang juga sedang merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa.<br /><br />Keringat mereka semakin banyak keluar, bunyi beradu tubuh mereka yang penuh dengan keringat menambah nafsu mereka semakin memuncak, lenguhan dan erangan mereka semakin sering terdengar. Gerakan penis Parmin dan Sugito semakin cepat keluar masuk di kedua lubang Dewi, tak lama berselang gerakan tubuh Sugito dan Parmin semakin tidak beraturan, nafas mereka semakin memburu.<br />“Ouugghhh…akuuu…tidakk..tahhaan…lagi…akku…mmaaaau. .keluuaaarr…aarrrgghhh…sshhss …..eenaaakkk…memmekkmm…ibbuuu….” Parmin mengerang keenakan saat merasakan puncak kenikmatan yang berhasil ia rengkuh kembali.<br />“Iyyyaaaa….aargghhhh…akuuu…jugga..tidak….taahhhaan n…llagii…aakuuu…juga..mau..keluar…oouggghh…eenaaak kk..betul…ngentooottt….sssaaama..ibuuu…..” Sugito pun mengerang menimpali erangan Parmin, iapun merasakan puncak kenikmatannya yang berhasil direngkuhnya kembali.<br />“Akkkuuu……jugggaaa….oouggghhh….aaaaaaarrghhh…..kon tooooll…kaliiiaaannn…mmemang.. betulll….eenaaakkk…..aaaaahhhh..sssshhh….akkuuu…be tuuulll…pppuuaaasss…oohhhh..” Dewi melenguh keenakan menyambut penggapaian dari puncak pendakian kenikmatanya yang untuk kedua kalinya ia capai di dinihari ini.<br />Creeettt…ssrrrrr….creetttt…ssssrr….ccrreettt..sssr r….ccreettt….lahar kenikmatan mereka menyembur berbarengan, kemaluan mereka mengejut-ngejut bersamaan menembakkan cairan kenikmatan mereka, tubuh mereka mengejang bersamaan, erangan dan lenguhan mereka terdengar bersahutan. Akhirnya setelah tetes terakhir dari lahar kenikmatan mereka keluar dari kemaluan mereka, dan badai nafsu mereka mereda, ketiganya terkapar, tubuh mereka terlentang berdampingan sementara nafas mereka masih memburu, dan mata mereka terpejam menikmati sisa-sisa dari pergulatan birahi mereka yang baru saja mereka raih sampai kepuncaknya. Pergulatan mereka bertiga masih dilanjutkan terus sampai matahari terbit, dengan berbagai perubahan posisi, kadang Parmin yang menggarap lubang pantat Dewi sementara Sugito menggenjot vagina Dewi dari bawah, atau Sugito menggenjot anus Dewi dengan gaya doggie style sementara Parmin di depan memaju-mundurkan penisnya dimulut Dewi, berbagai posisi mereka coba dan nafsu Dewi betul-betul terlampiaskan oleh aksi Parmin dan Sugito.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-62809211712248697702012-03-31T14:39:00.000-07:002012-03-31T14:39:18.635-07:00Pono, Gilirannya Mendapatkan KeberuntunganHari ini Hendro kembali menjejakkan kakinya di Jakarta, dari airport ia langsung menuju ke kantornya, dalam perjalanan menuju ke kantornya ia menelepon istrinya memberitahukan bahwa ia sudah berada diJakarta dan sedang dalam perjalanan menuju ke kantornya, ia menjelaskan kepada istrinya bahwa kepulangannya memang mendadak karena ada pertemuan dengan kliennya di Jakarta. Dewipun hanya mengiyakan saja tanpa memberikan komentar apapun, batinnya berkata ada di Jakarta ataupun tidak ada di Jakarta tidak ada pengaruhnya untuk dia, karena selama ini Hendro tidak pernah memberikan nafkah bathin untuknya, ia selalu mendapatkan nafkah bathin dari orang lain, jadi kalau Hendro di Jakarta malah membuat sulit Dewi untuk melakukan aktivitas seksnya. Rencana Dewi hari ini untuk menikmati batang kemaluan Yono lagi menjadi batal karena telepon suaminya tadi, sementara ia merasakan lubang vaginanya sudah gatal ingin digaruk oleh penis Yono, tapi apa daya suaminya ada di Jakarta, Dewi takut saat dia melakukan persetubuhan dengan Yono dan saat itu juga suaminya menelpon atau suaminya pulang lebih awal, bisa kacau nanti semuanya, akhirnya Dewi membatalkan rencananya untuk pergi keluar pada hari ini, hatinya berkata biarlah akan kutunggu sampai suaminya pergi keluar kota lagi, baru kupuaskan dahaga bathinku ini. Siangnya Dewi betul-betul gelisah, dia betul-betul ingin sekali merasakan sodokan-sodokan batang kemaluan lelaki, karena menahan desakan hasrat birahinya, kedua pipi Dewi memerah, Dewi saat itu sedang duduk santai di ruang keluarga menonton TV tanpa sadar tangannya mulai mengusap-usap bibir vaginanya dari balik CDnya, saat itu Dewi mengenakan baju model baby doll, roknya sedikit terangkat sehingga CD putihnya terlihat dan pahanya yang putih mulus pun terlihat dengan jelas, Dewi yang sedang asyik masyuk tidak menyadari hal itu, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah batang kemaluan lelaki yang tegang dan besar. Usapan tangannya di kelentitnya membuat vaginanya mulai basah, Dewi mulai mendesah perlahan, menikmati belaian lembut tangannya di kelentit dan dibibir vaginanya, tangan kirinya mulai meremas-remas payudaranya, kedua payudaranya yang tidak mengenakan BH silih berganti diremas-remas oleh tangan kirinya, ia membayangkan Yono sedang meremas-remas kedua payudaranya silih berganti dan ia juga membayangkan saat itu Yono juga sedang menjilati kelentit dan vaginanya, vaginanya semakin basah, hasrat birahinya semakin memuncak.<br /><br />Ruangan keluarga itu letaknya cukup berjauhan dengan dapur dan ruang makan, jika sedang berada didapur atau diruang makan kegiatan apapun yang terjadi diruang keluarga tidak akan terlihat dari dapur atau ruang makan, begitu pula sebaliknya, dan para pembantunya bila sudah selesai bebenah diruangan keluarga atau diruangan lainnya, mereka akan berkumpul diruangan mereka, karena Hendro telah menyediakan ruangan untuk menonton TV bila pekerjaan mereka sudah selesai, ruangan mereka terletak dekat dengan kamar mereka yaitu dekat dengan garasi mobil, jadi kegiatan Dewi saat ini tidak ada satu orang pun yang melihatnya. Gejolak birahi Dewi semakin meningkat, desahannya semakin sering terdengar, kedua payudaranya yang tidak mengenakan BH sudah tidak tertutup apa-apa lagi, kedua putingnya sudah mengeras dan mencuat keluar, CDnya sudah melorot sampai paha, dan terlihat jari tengah tangan kanannya sudah berada dalam jepitan vaginanya, dan terlihat jari tengahnya sedang keluar masuk di lubang vaginanya, terlihat pantatnya naik-turun dari kursinya seiring dengan keluar masuk jari tengahnya. Dewi yang sedang berusaha keras untuk mencapai puncak birahinya tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang menyaksikan aksinya, kedua bola mata yang menyaksikan tingkah Dewi itu terbelalak, jantungnya berdegup kencang nafasnya memburu, pemandangan yang disaksikan oleh pemilik kedua bola mata itu, yang dalam mimpinyapun tidak pernah terbayangkan olehnya, kedua payudara Dewi yang setengah terbuka dan kelihatan kedua putingnya dan sedang diremas-remas bergantian oleh tangan kirinya, kemudian dibawah ia melihat belahan bibir vagina Dewi yang kadang terlihat dan kadang tidak terlihat karena jari tengah tangan kanan Dewi sedang keluar masuk di lubang vaginanya itu, semua itu membuat si empunya mata tersebut berkali-kali menelan ludah, seumur hidupnya belum pernah ia menyaksikan pemandangan indah seperti ini. Si empunya mata merasakan penisnya mulai mengeras melihat semua itu, hampir tanpa berkedip kedua matanya tertuju ketubuh Dewi, nafasnya semakin memburu melihat ulah Dewi, tubuh Dewi terlihat olehnya meregang-regang, penisnya semakin mengeras, terlihat celana pendeknya menggelembung oleh desakan penisnya yang seolah ingin keluar dari sekapan celana pendeknya, pada saat kepala Dewi mendongak ke belakang, kedua matanya yang setengah terpejam menangkap sesosok tubuh si empunya mata tadi. Dewi sungguh kaget sekali karena ada orang yang sedang menyaksikan ulah liarnya tersebut, aksi liar kedua tangannya berhenti seketika.<br />“Ehhh, Pono…addaaaaa…apaaa…sedaang apa kamuuu…,” Dewi berkata dengan terengah-engah, kaget dan jengkel karena puncak birahinya tidak terlampiaskan.<br />“Eeehhh…aaanuuuu…..aaanuuu…bu…,” Pono kaget mendengar teguran Dewi, karena saat itu dirinya sedang asyik melihat aksi nyonyanya tersebut.<br /><br />Biarpun kaget tapi kedua mata Pono tidak melepaskan pandangannya dari tubuh Dewi yang masih agak terbuka, hal ini tidak Dewi sadari karena ia kaget dengan kehadiran Pono di ruangan tersebut, yang hanya Dewi ingat lakukan saat ia berdiri dari kursinya tadi adalah CDnya yang ia benahi, sehingga saat ia berdiri berhadapan dengan Pono kedua payudaranya yang putih mulus itu masih terpampang dengan jelas di hadapan Pono.<br />“Anu..anu apa,”Dewi berkata kepada Pono dengan jengkel, karena malu dan karena gejolak birahinya tidak terlampiaskan.<br />“Eeehhh…ini..ini..,Bu. Sayaa…mau minta uang untuk beli bahan pembersih kolam, yang kita punya sudah habis,” Pono menjawab agak tergagap-gagap, dengan kedua matanya tetap tertuju ke arah payudara Dewi yang seolah-olah menantang ingin diremas.<br />“Pon, apa yang kamu lihat tadi, jangan sampai ada orang lain yang tahu, kalau sampai ada yang tahu, kamu saya pecat,” ancam Dewi, dan saat itu kedua mata Dewi melirik ke arah selangkangan Pono, dan ia melihat tonjolan di celana pendek Pono.<br />Pono<br /><br />Pono<br /><br />Dewi tahu bahwa penis Pono sudah pasti sedang berdiri dengan gagahnya di balik celana pendeknya itu. Hati Dewi mulai ragu antara ingin menikmati sodokan batang kemaluan lelaki dengan takut akan suaminya pulang lebih awal, ia melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut, pukul 1.30 siang, hatinya membatin suaminya tidak mungkin pulang cepat, ia bisa melakukan “quickie sex” dengan Pono untuk meraih puncak kenikmatannya yang terganggu. Akhirnya nafsu birahinya mengalahkan akal sehatnya, Dewipun mengambil keputusan untuk merasakan batang kemaluan Pono mengaduk-aduk lubang vaginanya.<br />“Iyyaaa…Bu..saya sumpah tidak akan cerita ke orang lain,” jawab Pono ketakutan.<br /><br />Pono betul-betul merasa ketakutan dan merasa bersalah dengan kelakuannya yang melihat tubuh Dewi yang setengah telanjang, tapi kedua matanya tidak pernah beranjak dari payudara Dewi yang menggantung dengan indahnya, payudara Dewi yang putih mulus dihiasi oleh kedua putingnya yang merah muda dan sudah menyembul keluar dan mengeras itu. Setelah menimbang-nimbang dengan segala kemungkinannya, Dewipun mengambil keputusan untuk melakukan “quickie sex” dengan Pono, lalu iapun memerintahkan Pono untuk duduk di sofa.<br />“Duduk, kamu,” perintah Dewi.<br />Pono menuruti perintah Dewi untuk duduk, iapun duduk di sofa yang ditunjuk oleh Dewi, dengan hati penuh kebingungan dan dengan tatapan mata yang tidak pernah terlepas dari payudara Dewi.<br /><br />“Ingat kamu jangan cerita kepada siapapun, cukup hanya kita berdua yang tahu masalah ini, hhhmmm ..,” ancam Dewi kembali sambil berjalan menghampiri yang sudah duduk di sofa, tanpa membuang waktu Dewipun mulai menurunkan celana pendek Pono sampai ke lutut.<br />Batang kemaluan Pono yang sudah tegang terangguk-angguk saat celana pendeknya terlepas, ternyata Pono pada saat itu tidak mengenakan CD, Dewi kaget karena ia tidak menyangka bahwa Pono tidak mengenakan CD, penisnya yang sudah sangat tegang sekali teracung-acung di hadapannya.<br />“Ingat, Pon, apapun yang terjadi kamu jangan cerita kepada siapapun,” kembali Dewi berkata.<br />“Iyaah..bu…saaayyyaaa….jaanji…,” jawab Pono gagap, karena ia kaget akan aksi nyonyanya ini yang membuka celana pendeknya<br /><br />Ia sendiri bingung, dalam hatinya berkata apa yang dikehendaki oleh nyonyanya ini, karena belum pernah selama ini ada perempuan yang melihat penisnya apalagi dalam keadaan tegang, Ponopun merasa malu karena nyonyanya sudah melihat penisnya yang tegang itu. Tangan kanan Dewi segera meraih batang kemaluan Pono, iapun segera mengangkang diatas pangkuan Pono, sementara tangan kirinya meraih CDnya dan menarik salah satu pinggiran CDnya ke samping, sehingga belahan bibir vaginannya terlihat dengan jelas oleh Pono, Pono yang belum pernah melakukan hubungan badanpun dibuat bingung oleh aksi Dewi, dan saat Dewi mulai mengoles-oleskan kepala penisnya ke bibir vaginanya, Pono merasakan geli yang aneh saat kepala penisnya bersentuhan dengan bibir vagina Dewi, penisnya berdenyut-denyut, tanpa membuang waktu Dewi segera menyelipkan batang kemaluan tersebut di bibir vaginanya dan ia mulai menekan pantatnya ke bawah dengan perlahan dan batang kemaluan Pono perlahan-lahan menyeruak masuk di lubang vagina Dewi. Ssleeeepppp…..bleeessss….bleeesss…..bleesss… dengan perlahan-lahan penis Pono mulai melesak masuk di lubang memek Dewi dan akhirnya terbenam seluruhnya, Pono merasakan kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah ia alami selama ini, rasa geli yang aneh menyelimuti dirinya, saat penisnya terjepit dalam lubang vagina Dewi, Pono merasakan penisnya seperti ada yang meremas-remas.<br /><br />“Ooouuuggghhhh…..,” Dewi melenguh saat lubang memeknya diterobos oleh penisnya Pono.<br />“Eeeeggghhhh……..,” Ponopun mengerang merasakan jepitan lubang vagina Dewi di penisnya.<br />Dengan kedua tangan bertumpu pada sandaran kepala sofa, Dewi perlahan-lahan mulai bergerak, menaik turunkan pantatnya, kedua payudaranyapun terguncang naik turun seiring dengan naik turun pantatnya. Pono yang masih bingung dengan apa yang terjadi hanya bisa melotot melihat kedua payudara Dewi yang terombang-ambing di hadapan matanya.<br />“Aaagghhh…eenaaakkk…Pon, kaamuuu…jangan melongo..saaaajjaa…ooogghhh… hisap kedduaaa…tetekku… remaaassss….remaaasss…,” Dewi mendesah keenakan.<br />Pono yang mendengar perintah Dewi mulai melakukannya, kedua tangannya mulai meraih payudara Dewi yang sedang terombang-ambing itu, lalu ia meremas kedua payudara tersebut, karena belum pernah ia melakukan hal tersebut, Dewi merasakan remasan tangan Pono di kedua payudaranya agak kasar, tapi sensasi yang ditimbulkan oleh remasan kasar tangan Pono membuatnya merasakan hal baru, gairah birahinya yang sempat tertunda tadi mulai meningkat lagi, mulut Ponopun mulai bergantian menghisap-hisap kedua payudara Dewi, hisapan-hisapan mulut Ponopun tidak beraturan, Pono betul-betul menghisap tetek Dewi seperti ia menyedot minuman, akibatnya Dewi kembali merasakan sensasi yang berbeda daripada biasanya, hisapan-hisapan kuat Pono pada kedua teteknya membuat ia menggelinjang, Dewipun merasakan geli yang aneh di kedua payudaranya tersebut. Pono yang belum pernah melakukan seks ini, merasakan kenikmatan yang luar biasa, kenikmatan yang belum pernah ia alami selama ini, mulutnya mendesah-desah ditengah kesibukkannya menghisap-hisap payudara Dewi, matanya merem melek menikmati jepitan lubang vagina Dewi pada penisnya, Pono merasakan penisnya bergesekan dengan lubang vagina Dewi, ia merasakan geli yang luar biasa, penisnya semakin berdenyut dengan kuat dan semakin menegang, Dewi merasakan penis Pono yang semakin mengeras,<br /><br />Dewi merasakan penis itu begitu tegang dan keras, dinding lubang vaginanya merasakan kekerasan penisnya Pono tersebut, cairan birahinya semakin banyak bercampur dengan cairan birahi Pono, akibatnya suara berdecak dari pertemuan dua kemaluan merekapun terdengar, menambah semangat Dewi untuk menaik-turunkan pantatnya. Dewi sudah lupa akan kemungkinan suaminya pulang cepat, yang ada sekarang ini Dewi betul menikmati sodokan-sodokan batang kemaluan Pono di vaginanya. Tak lama berselang Pono melenguh keras, penisnya berdenyut dengan keras, penisnya mulai menembakkan air maninya. Crreeeettt….creeettt….creeett……. air mani Pono berhamburan keluar membasahi lubang vagina Dewi.<br />“Ouuuuggghhh….hhhmmmmmhhh….sssllrrppppp…ssslrrrppp p….hhhmmm…..,” Pono melenguh merasakan letupan-letupan lahar kenikmatannya yang sedang mengalir dari penisnya membasahi vagina Dewi sambil mulutnya tetap menghisap-hisap payudaranya.<br />Dewi merasakan letupan-letupan air mani Pono di dinding vaginanya, ia tahu Pono sudah meraih puncak kenikmatannya, Dewipun semakin gencar menaik turunkan pantatnya, ia merasa takut akan tidak berhasil meraih puncak kenikmatannya, karena penisnya Pono sudah menyemburkan lahar kenikmatan, ia merasa takut bahwa sebentar lagi batang kemaluan Pono akan melemas setelah menyemburkan cairan kenikmatan itu.<br />“Oouuugghh…aaagghhh….ssshhhh..aaagghhh…sssshhhh…aa aaghhhh….. ,” Dewi mendesah keenakan merasakan lesakan batang kemaluan Pono di vaginanya dan merasakan hangat di dinding vaginanya akibat semburan air mani Pono. Pono merasa lemas saat penisnya menyemburkan tetes terakhir cairan kenikmatannya di lubang vagina Dewi, tapi mulutnya masih tetap menghisap-hisap payudara Dewi, penisnya masih berdenyut-denyut. Dewi yang merasakan batang kemaluan Pono tidak menyemburkan cairan kenikmatannya lagi, merasa kaget karena penisnya Pono tidak mengalami perubahan, Dewi merasakan penisnya Pono masih keras dan tegang, biasanya batang kemaluan lelaki perlahan-lahan akan menciut setelah melepaskan cairan kenikmatannya, tapi tidak untuk penisnya Pono, penisnya Pono sudah berhenti mengeluarkan cairan kenikmatan tapi Dewi masih merasakan keras dan tegang.<br /><br />Pono yang berhasil meraih puncak kenikmatannya, dalam sekejap sudah kembali pulih, perlahan-lahan gairah birahinya kembali bangkit, dengan semangat 45 hisapan<br />dan remasan di payudara Dewi semakin gencar, ia hanya merasakan sedikit ngilu di kepala penisnya, tapi lama-lama rasa ngilu itu hilang berganti dengan rasa nikmat. Pono memang belum berpengalaman dalam hal bersetubuh, tapi stamina tubuhnya terutama penisnya, betul-betul membuat takjub Dewi. Dewipun semakin gencar menaik-turunkan pantatnya, dari lubang vaginanya perlahan-lahan keluar cairan putih yang bercampur dengan cairan bening, cairan itu keluar seiring dengan keluar masuknya batang kemaluan Pono di lubang vaginanya, lenguhan-lenguhan nikmat semakin sering terdengar dari mulut Dewi, sementara dari mulut Pono hanya terdengar dengusan-dengusan keenakan karena mulutnya masih sibuk dengan kedua payudara Dewi. Kedua manusia berlainan jenis ini sudah lupa dengan keadaan sekitarnya, yang mereka tahu hanyalah nikmatnya persetubuhan mereka ini, Dewipun sudah tidak perduli akan kemungkinan suaminya pulang lebih cepat, yang ia perdulikan hanyalah meraih puncak kenikmatannya, yang ia perdulikan hanyalah penisnya Pono yang sedang keluar masuk dalam lubang vaginanya. Kedua sosok tubuh mereka sudah basah dengan keringat, nafas keduanya pun terdengar memburu, kedua mata mereka merem-melek menikmati persetubuhan mereka ini, mereka berdua sudah lupa akan status mereka.<br />“Oouughhh, Poonnn….kontolmu betul-betul enaaak….kkoontollmu…keras sekali… oougghh… shhhh….aaahh…sssshh.. aaaahhh…..,” Dewi mengerang keenakan merasakan sodokan-sodokan batang kemaluan Pono di lubang vaginanya, Dewi merasakan batang kemaluan Pono tegang dan keras seperti kayu saja layaknya.<br />“Hhmmm…ssllrrppp….hhhmmmm…ssllrpppp….,”Pono bergumam keenakan sambil mulutnya tetap sibuk menghisap tetek Dewi.<br />Remasan tangan Pono di payudara Dewipun tidak pernah berhenti, tangannya meremas-remas kedua payudara Dewi dengan agak kasar. Dewipun menggelinjang akibat hisapan-hisapan kuat mulut Pono dan remasan-remasan kasar di payudaranya, sensasi yang agak sedikit kasar ini belum pernah dialami oleh Dewi, kedua puting payudaranya semakin mencuat keluar dan keras, Dewi semakin mengerang keenakan dibuatnya.<br /><br />“Oouugghhh…aaaaaagghhh… hiisaaapp…Pooon, hissaaappp…kuaaatt..kuatt… yachhh…aaaghh…ssshhsss…oougghh.,” Dewi mengerang-ngerang merasakan kerasnya hisapan mulut Pono.<br />“Kaaammuuu…pernah melaakukaan ini..Pooonn….” tanya Dewi tanpa menghentikan genjotan pantatnya.<br />“Beeelumm…sssrrrlppp…Bu,…ssslrrpp…,”jawab Pono sambil asyik menghisap tetek Dewi.<br />Tubuh Dewipun berganti posisi dari setengah berjongkok sekarang posisinya duduk diatas pangkuan Pono, sementara gerakkannya yang naik turun sekarang berganti dengan gerakkan maju mudur, kedua tangannyapun tidak berada di sandaran kepala sofa tetapi sekarang kedua tangannya sedang meremas-remas kepala Pono yang sedang asyik bermain di kedua payudaranya, tali baju Dewi pun sudah terlepas dari kedua pundak Dewi, akibatnya kedua payudaranya sudah tidak terhalang oleh apapun, sehingga kedua tangan Ponopun bebas meremas-remas kedua payudara tersebut. Pono memang baru pertama kali ini melakukan hubungan seks, tapi karena usia Pono yang masih sangat muda sehingga penisnya yang tadi sudah mengeluarkan sperma masih berdiri dengan gagahnya dan siap untuk bertempur kembali, yang kurang dari Pono hanya pengalaman saja, tapi untuk Dewi itu sudah cukup yang penting penisnya Pono keras dan tegang dan bisa mengobrak-abrik lubang vaginanya yang haus akan batang kemaluan lelaki.<br />“Hhhhmmm…ssslrrppp…sssslrrppp…hhmmm….,” Pono masih asyik dengan aksi hisapannya di payudara Dewi, yang satu ia hisap yang satunya ia remas, kedua payudara<br />Dewi bergantian dihisap dan diremas.<br />“Ouuughh…aaaaghhhh…ssshh…eenaaakk…Poon…eennaaakk.. nikmaattt sekali… terus hisaaaapp…reeemaaass….yaachhh…jangan berhentiiii…ouughhh..aaaagghh ….kontooolllmuuu….eenaaakkk…keeraaassss…….,” Dewi merintih-rintih menikmati semua ini.<br />Gerakan maju mundur tubuh Dewi semakin cepat, Dewi merasakan kelentitnya geli-geli enak bergesekan dengan jembut Pono, remasan tangannya dikepala Pono semakin menjadi akibat hisapan dan remasan Pono di kedua payudaranya. Kepala Dewi bergoyang ke kanan dan ke kiri, mulutnya merintih-rintih keenakan, matanya merem melek menikmati sensasi persetubuhan ini.<br /><br />Tak lama berselang gerakan tubuh Dewi mulai tidak beraturan, tubuhnya mulai mengejut-ngejut, nampaknya puncak kenikmatannya akan segera ia rengkuh, tiba-tiba Dewi menekan pantatnya kebelakang seolah-olah ia ingin penisnya Pono masuk dengan biji pelernya di lubang vaginanya, dan sssrrrrr……srrrrrrrr…..ssssrrr …memeknya menyemburkan cairan kenikmatannya, cairan hangat itu menyiram batang kemaluan Pono, Pono merasakan penisnya menjadi hangat oleh siraman cairan kenikmatan Dewi, Pono juga merasakan dinding vagina Dewi seolah meremas-remas penisnya.<br />“OOuuuggggghhh….aakuuu….keluuuarrr…Pooonnn, aaaakuuu…aaagghh..enaakkk nikkmaaat….aaagghhh….,” erang Dewi menikmati puncak kenikmatannya yang berhasil ia rengkuh.<br />Tubuh Dewi mengejang, gerakannya terhenti, tangannya meremas kepala Pono dengan kuat, nafasnya tersengal-sengal, saat vaginanya meneteskan tetes terakhir dari cairan kenikmatannya, Dewipun melenguh panjang, dinding vaginanya masih berkedut-kedut, yang dirasakan oleh Pono seolah-olah meremas-remas penisnya. Dengan nafas yang masih memburu, Dewipun ambruk diatas pangkuan Pono, Pono hanya bisa diam, dia tidak tahu apa yang harus diperbuat, perlahan-lahan Dewi membuka matanya lalu berkata,<br />“Kamu suudah keluar, Pon,” Tanya Dewi.<br />“Belum, Bu,”jawab Pono polos.<br />“Hhhmmmm kamu termasuk ayam pejantan juga,” Dewi berkata dengan genit.<br />Dengan perlahan-lahan Dewi mulai menggerakkan tubuhnya lagi, pantatnya ia maju mundurkan, sehingga batang kemaluan Pono mulai kembali keluar masuk vagina Dewi. Sebetulnya Dewi sudah merasa puas dengan pencapaian puncak kenikmatannya ini, tapi karena dia tahu bahwa Pono belum berpengalaman, akhirnya ia mengambil keputusan untuk memuaskan penisnya Pono sampai mengeluarkan cairan kenikmatannya lagi. Pono merasakan kembali penisnya keluar masuk vagina Dewi, Dewi bergerak dengan cepat, ia ingin cepat-cepat menuntaskan permainan ini, karena hasrat birahinya sudah terpenuhi dia mulai sedikit khawatir akan kedatangan suaminya, tubuhnya maju mundur dengan cepat, penisnya Ponopun akibatnya keluar masuk dengan sangat cepat,<br /><br />Blleeesssss….sssrrrttt….bleeeessss…ssrtttttt…blees sss….sssrtttt…. Dewi memaju mundurkan pantatnya dengan cepat, batang kemaluan Ponopun keluar masuk di lubang vagina Dewi seiring dengan gerakan maju mundur, dengan gerakan Dewi yang cepat ini membuat Pono agak kesulitan menghisap payudara Dewi, sehingga yang bisa ia lakukan hanya meremas-remas payudara tersebut, dan suara erangan Ponopun mulai terdengar jelas.<br />“Aaaaghhh….ssshhhh…ooougghh….sssshhh… enaaakk…Bu…eenaaakkk…,” Ponopun mengerang kenikmatan, merasakan jepitan memek Dewi di penisnya.<br />“Ehhmmm…enaak…Pon…aaayoo…keluaaariinn…ceppaat…,”De wipun mendesah.<br />Tubuh Dewi menghentak-hentak dengan cepat, goyangan pantatnya semakin bertambah cepat, batang kemaluan Pono semakin mengeras jadinya, Dewi merasakan batang kemaluan Pono seperti batang kayu yang dimasukkan ke dalam vaginanya, seluruh dinding vaginanya merasakan kerasnya batang kemaluan Pono tersebut, gairah birahinyapun menanjak dengan cepat merasakan kerasnya batang kemaluan Pono.<br />“Ouughh…Poon..Koontooollmmmu…..keeraasssss…seekaal liii…sssshhh…aaaggh nikmaaat betuulll…aaarrggghhh….aaakkuuu…ingin teruuusss…merasakannyaaaa oooohhhhh…..” Dewi merintih-rintih keenakan.<br />“Aaahhh…iiyaaaahh….mmmmmm….eeennaakkk….ooohhh…puny aa….ibuuu..juga enaaaak….,” Pono mengerang nikmat.<br />Dewi sibuk dengan goyangan dan maju mundur pantatnya sementara Pono sibuk dengan kedua belah tangannya yang meremas-remas kuat payudara Dewi. Nafas mereka berduapun terdengar memburu, puncak pendakian kenikmatan mereka sudah mulai di ambang pintu. Gerakan Dewipun semakin menggila dan liar, rintihan-rintihannya semakin terdengar, erangan Ponopun semakin sering terdengar, suara rintihan dan erangan mereka terdengar bergantian, diselingi dengan suara decakan akibat beradunya kedua kemaluan mereka, lubang vagina Dewi semakin banjir, batang kemaluan Ponopun semakin leluasa keluar masuk di lubang vagina Dewi, tanpa hentinya Dewi melenguh-lenguh keenakan.<br /><br />Tubuh Dewipun mulai bergerak tidak beraturan, tubuh Pono mulai terlihat mengejang, otot-otot di tangannya terlihat, puncak pendakian kenikmatan mereka akhirnya berhasil mereka rengkuh, dengan sekali hentak Dewi menekan dalam-dalam pantatnya. Ccrreeeeetttt….sssssrrrrrrr…ccreeetttt…creeeettttt…ssssrrrrrr….. kemaluan mereka berdua secara bersamaan menyemprotkan lahar kenikmatan mereka.<br />“Ooouugghhh…akuuu..keluaarrr..lagiiii…aaaagghhh…en aaakkk…nikmaattt…. kamuuu betul…betullll…perkaaassaaa….Pooon,” erang Dewi menikmati puncak pendakian kenikmatannya yang kedua kalinya.<br />“Hhhhhmmm…aaaaahh..ssshh…aaakuuu…jugaa….keluaarrr… Buuu,” Ponopun melenguh keenakan.<br />Tubuh Dewipun ambruk kembali di pangkuan Pono, nafas keduanya terdengar memburu, perlahan-lahan batang kemaluan Pono mulai mengecil dan terlepas dari jepitan memek Dewi, seiring terlepasnya batang kemaluan Pono dari lubang vagina Dewi kemudian mengalir cairan putih bercampur dengan cairan bening dan jatuh ke paha Pono. Setelah nafas mereka kembali normal, Dewi mengingatkan kembali ke Pono untuk tidak menceritakan kejadian barusan kepada siapapun dan ia juga mengingatkan Pono untuk kapanpun jika ia sedang ingin melakukan hubungan badan, Pono harus siap, Dewi juga menambahkan agar Pono bertingkah seperti biasanya saja, Pono hanya mengiakan kehendak nyonyanya tersebut, Pono berpikir alangkah bodohnya ia bila menceritakan hal tersebut keorang lain yang bisa berakibat ia tidak dapat menikmati tubuh mulus nyonyanya lagi dan tidak bisa merasakan surga dunia. Ponopun beranjak setelah mengenakan celananya menuju kekamarnya, sementara Dewipun merapikan pakaian dan CDnya beranjak ke kamarnya, Dewipun membersihkan badannya di kamar mandi, setelah selesai mandi Dewi mengambil daster satu tali yang mini, dalamannya ia hanya mengenakan CD saja tanpa BH, dan Dewipun beranjak keluar kamarnya menuju ke ruangan keluarga dan menonton TV sambil menunggu kedatangan suaminya.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-16474073831389346962012-03-31T14:38:00.002-07:002012-03-31T14:38:31.308-07:00Yono, Supir yang BeruntungKerjasama Hendro dan Erwin semakin berkembang, cabang-cabang perusahaan di kota – kota besarpun mulai dibuka, sehingga Hendropun semakin sibuk dengan perjalanan bisnisnya kesetiap cabang-cabang perusahaannya, dan itu membuat Hendro semakin jarang di rumah. Dalam satu minggu Hendro hanya 1-2 hari berada di rumahnya yaitu hari Sabtu atau Minggu, hari Seninnya Hendro sudah mulai keluar kota kembali.<br />Seiring dengan berkembangnya usaha Hendro, keadaan ekonomi Hendropun berubah, mereka sekarang tinggal di kawasan elite di bilangan Jakarta Selatan, rumah mereka dilengkapi dengan kolam renang dalam ruangan, penghuni rumahpun mulai bertambah, mereka sekarang mempunyai 4 orang pembantu, 3 perempuan dan 1 laki-laki, yang perempuan bertugas membersihkan rumah, mencuci, memasak dan sebagainya, sementara yang laki-laki bertugas merawat dan membersihkan taman dan kolam renang.<br />Tuti, Narti dan Ani adalah nama pembantu wanita mereka, Tuti berusia 20 tahun, Narti dan Ani berusia 19 tahun, sementara itu Pono pembantu lelakinya berusia 18 tahun. Mereka semua berasal dari satu daerah, Hendro yang membawa mereka datang ke Jakarta. Tuti dan Narti keduanya berstatus janda, mereka berdua gagal dalam membina biduk rumah tangga, sementara Ani dan Pono masih berstatus lajang. Mereka berempat sudah sekitar 6 bulan tinggal bersama keluarga Hendro. Di rumah Hendro masih ada 2 orang supir, Bambang dan Yono keduanya sudah berkeluarga, Bambang berusia 26 tahun sementara Yono berusia 25 tahun, Bambang adalah supir Hendro sementara Yono selalu mengantar Dewi kemanapun nyonyanya pergi. Mereka sudah 8 bulan bekerja dengan Hendro. Keempat pembantu dan kedua supir ini merasa kerasan bekerja di keluarga Hendro, keluarga Hendro tidak memandang rendah mereka, tingkah keluarga Hendropun tidak sombong terhadap mereka semua, apalagi Yono yang selalu mengantar Dewi, dia sangat kerasan bekerja di keluarga Hendro, selain cantik dan sexy nyonyanya ini selalu memberikan uang makan untuknya jika sedang mengantar ke Mall, ditambah Yono dapat menikmati pemandangan indah terutama saat Dewi mengenakan rok mini atau sedang membungkukkan badan, belahan dada Dewi yang putih dan padat serta pahanya yang putih mulus selalu membuat Yono menelan air liurnya pada saat ia melihat pemandangan itu.<br />Dewi<br /><br />Dewi<br /><br />Hari ini Yono kembali disuguhi pemandangan yang membangkitkan gairah lelakinya, nyonyanya ini mengenakan rok pendek berwarna putih dan baju putih tanpa lengan dengan belahan rendah di dada, celana dalam dan behanya yang berwarna hitam terbayang dengan jelas, belahan dada nyonyanya ini yang putih dan mulus terlihat dengan jelas, Yono berkali-kali menelan air liurnya melihat pemandangan ini dari kaca spion mobilnya.<br />“kemana kita, Bu?” tanya Yono<br />“ke ***** Yon,” kata Dewi.<br />“baik, Bu” sahut Yono.<br />Selama perjalanan Yono mencuri-curi pandang tubuh nyonyanya ini dari balik kaca spionnya, selama itu juga berkali-kali Yono meneguk air liurnya, dalam hatinya berkata alangkah beruntungnya punya istri cantik, mulus dan sexy seperti nyonyanya ini, setiap malam pasti minta jatah terus. Kalau ia bandingkan dengan istrinya di rumah, jauh sekali perbedaannya bagaikan langit dengan bumi, tampang Yono sendiri tidak jelek tidak juga tampan, postur tubuhnya tidak tinggi juga tidak pendek, tidak besar juga tidak kecil, semuanya serba sedang. Sesampainya di Supermarket yang disebutkan oleh nyonyanya tadi, Yono mengarahkan mobilnya ke arah pintu masuk, kemudian Dewipun turun sambil berkata,<br />“Yon, kamu cari parkir, terus nanti kamu susul saya ke dalam, “<br />“Baik, Bu” jawab Yono<br />Setelah memarkir mobilnya, Yono menyusul kedalam dan menemui Dewi yang sudah menunggu kedatangannya, kemudian Dewi mengambil keranjang dorong dan menyuruh Yono untuk mengambilnya juga. Kira-kira 3-4 jam mereka baru selesai berbelanja.<br />“Ke mana lagi kita, Bu?” tanya Yono setelah selesai memasukkan kantung belanja yang terakhir.<br />“Hhmmm, pulang dulu, Yon.” Sahut Dewi.<br />Dalam perjalanan pulang, Yono kembali mencuri-curi pandang dari kaca spionnya, Dewi tidak menyadari tingkah supirnya itu, karena seperti biasanya Dewi sibuk dengan majalahnya. Tanpa Dewi sadari posisi duduknya saat ini agak sedikit terbuka dan rok mini yang ia kenakan agak sedikit naik ke atas, membuat Yono yang sedang mencuri pandang semakin panas dingin dibuatnya, Yono melihat CD hitam Dewi dan paha mulus Dewi dari balik kaca spionnya, kemaluannya mulai menegang seiring dengan lamunan joroknya membayangkan kemaluan Dewi, Yono gelisah sendiri melihat semua ini, berkali-kali ia meneguk air liurnya.<br /><br />“Yon, turunin semua belanjaannya, taruh di dapur dan beritahu Ani atau Narti,” kata Dewi sesampainya di rumah dan Dewi pun langsung turun menuju kedalam rumahnya.<br />“Baik, Bu” jawab Yono.<br />Setelah Dewi turun, Yonopun memarkir mobilnya di garasi dan mulai menurunkan semua belanjaan dan membawanya ke dapur.<br />“Ti, nich beresin belanjaan ibu,” Yono memberitahu Narti yang sedang ada di dapur sambil menaruh belanjaan.<br />“Iyah,” jawab Narti sambil langsung membereskan belanjaan itu.<br />Tak lama kemudian Yonopun selesai membawa seluruh belanjaan itu ke dapur sementara Narti sibuk dengan membereskan belanjaan itu.<br />“Ti, bagi kopi dong,” kata Yono setelah selesai menaruh kantung belanjaan yang terakhir.<br />“Bikin sendiri, aku masih sibuk beres-beres,” jawab Narti.<br />Saat Yono sedang membuat kopi, kembali dia disuguhi pemandangan yang membuat gairah lelakinya kembali bangkit, dia melihat Dewi yang sedang menuju ke kolam renang mengenakan bikini putih, tubuh Dewi yang putih mulus dan kedua bongkahan payudaranya yang indah. Selama ini Yono belum pernah melihat majikannya ini mengenakan bikini, batang kemaluannya mulai menegang, nafasnya mulai memburu, kedua bola mata Yono hampir tidak berkedip mengikuti langkah Dewi yang menuju kolam renang. Lokasi kolam renang memang tidak jauh dari dapur, dan kolam renang itu terletak di dalam ruangan dengan keseluruhan atapnya menggunakan kaca, sehingga cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa di area kolam renang tersebut. Sambil menikmati kopi yang dibuatnya, Yono tanpa bergeming dari tempatnya dan kedua bola matanya masih tetap memandangi tubuh Dewi yang mulus dan sexy, tanpa sadar Yonopun mulai mengelus-elus batang kemaluannya dari balik celananya, dalam pikirannya ia membayangkan meremas-remas kedua payudara Dewi, sambil menjilati kedua putingnya, batang kemaluannya semakin mengeras, sebetulnya Yono adalah lelaki yang setia, tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk selingkuh atau membayangkan tubuh wanita lain selain tubuh istrinya, tetapi semenjak ia bekerja di keluarga Hendro dan setiap hari ia melihat pemandangan yang menakjubkan, semenjak itu pula pikiran Yono mulai menyimpang, ia mulai sering mengkhayal tentang menyetubuhi Dewi begitu pula saat ia sedang berhubungan dengan istrinya, ia membayangkan sedang menyetubuhi majikannya itu<br /><br />Yono sendiri bingung kenapa akhir-akhir ini pikirannya selalu ke tubuh Dewi, seperti sekarang ini pemandangan di depan matanya benar-benar membuat ia lupa diri, pikirannya menerawang membayangkan tubuh Dewi, lekuk tubuh Dewi yang aduhai, kedua payudara Dewi yang montok, semakin ia membayangkan tubuh Dewi semakin cepat ia mengelus-elus batang kemaluannya, Yono lupa bahwa saat ini ia sedang berada di dapur.<br />“Hayo, sedang ngapain,” bisik Narti di telinga Yono.<br />“Eeehhh….ngaakkk…lagii ngapa-ngapain,” jawab Yono terkejut.<br />“Kok, ngelamun…ehh..minum kopi kok ngelamun,” lanjut Narti.<br />“Eeeh..ini kopinya masih panas…jadi..nunggu dingin,” jawab Yono lagi.<br />“Nunggu kopinya dingin atau lagi ……’” kembali Narti mendesak Yono, sambil matanya melirik ke arah kolam renang, “ngintip nyonyanya, yach,”<br />“Tiddaaakk…enaak..aja..aku lagi nunggu kopinya dingin nich,” jawab Yono terbata-bata, batinnya kaget saat Narti dapat menebak apa yang sedang ia lakukan.<br />“Hah..jawabnya tidak, tapi matanya ke arah kolam renang,”lanjut Narti penasaran.<br />“Gak mungkin, aku ini sedang mikirin istriku, makanya aku ngelamun,”Yono mengelak atas tuduhan Narti.<br />“Hhmmm…laki-laki dimana saja sama,”sahut Narti sambil kembali membereskan belanjaan yang tadi ia tinggalkan.<br />Yono menghela nafas saat Narti kembali mulai sibuk membereskan belanjaan, kemudian iapun dengan cepat-cepat keluar dari dapur, tapi pikirannya masih terbayang lekuk tubuh Dewi yang begitu indah sedangkan batang kemaluannya masih tegang, Yonopun segera menuju ke toilet, di dalam toilet ia segera membuka celana panjangnya dan CDnya, CDnya sudah mulai basah dengan cairan beningnya, batang kemaluannya berdiri dengan gagah perkasa, sambil mulai mengocok batang kemaluannya dengan mata terpejam dan pikirannya yang mulai membayangkan tubuh Dewi yang indah dan sexy yang hanya berbalutkan bikini. Yono membayangkan ia mulai menjilati kedua payudara Dewi, sambil tangannya mengocok batang kemaluannya yang semakin mengeras, lenguhan dan desahan mulai keluar dari mulut Yono, belum pernah Yono melakukan self service seperti yang ia lakukan sekarang ini, tak lama berselang Yono merasakan desakan kuat di batang kemaluannya, batang kemaluannya mulai mengejut-ngejut, air maninya mulai menyemprot keluar dari batang kemaluannya, membasahi tembok toilet<br /><br />Yonopun melenguh menikmati kocokan tangannya, matanya terpejam menikmati ejakulasi semunya, nafasnya yang memburu mulai mereda, seiring dengan tetes terakhir air maninya. Kemudian Yonopun mulai mencuci batang kemaluannya serta menyiram air maninya yang berlepotan di tembok toilet, setelah selesai menuntaskan hajat semunya Yonopun keluar dari toilet meneruskan minum kopinya, ada penyesalan dalam hatinya melakukan perbuatan tersebut, tapi apa daya hasrat birahinya sedang memuncak akibat melihat tubuh Dewi tadi dan tidak mungkin ia pulang kerumahnya untuk melakukan hubungan sex dengan istrinya. Yono merasa agak sedikit lemas setelah melakukan self service tersebut, sambil duduk di garasi Yonopun menikmati kopinya yang dari tadi belum sempat diminumnya, pikirannya masih memikirkan hal yang baru saja terjadi, ia tidak menyadari saat Narti mendekatinya.<br />“Ehhh…ni orang dari tadi kerjaannya ngelamun melulu,”kata Narti.<br />“Ehhhh…siaappaa..yang ngelamun,”jawab Yono kaget.<br />“Udah jelas ngelamun, masih gak ngaku juga,”kata Narti.<br />“Tuh, dipanggil nyonya, cepetan ‘tar nyonya marah, baru tahu rasa,”lanjut Narti.<br />Tergopoh-gopoh Yono masuk kedalam untuk menemui nyonya majikannya, tapi baru tiga langkah ia berhenti dan balik bertanya ke Narti.<br />“Nyonya ada dimana?” tanyanya ke Narti.<br />“Ehh..nih orang betul-betul ngelindur, nyonya masih di kolam renang, cepetan entar ngomel, baru tahu rasa,”jawab Narti<br />‘Ohh… cerewet, nanya kan gak apa-apa, daripada kaga tahu mau ke mana,” sahut Yono.<br />Dengan segera Yono menghampiri nyonyanya yang sedang berada di kolam renang, setibanya di kolam renang ia melihat tubuh nyonyanya terbaring di kursi malas yang ada di pinggiran kolam renang, kedua matanya tertutup sementara tubuhnya yang hanya berbalutkan bikini terpampang dengan jelas di mata Yono, kembali Yono menelan ludah melihat pemandangan tersebut dari jarak yang sangat dekat. Yono memperhatikan kedua bukit payudaranya betul-betul sempurna, kedua puting susunya yang berwarna merah muda terbayang dengan jelas, turun ke bawah ia melihat belahan vaginanya tercetak dengan jelas, ini akibat Dewi mengenakan bikini yang agak tipis apalagi bikini itu dalam keadaan basah sehingga bayangan kedua puting susu serta belahan vaginanya tercetak dari balik bikininya tersebut. Melihat semua itu batang kemaluan Yono kembali menegang dengan cepat, batang kemaluannya seolah mendesak ingin keluar dari balik celananya, celananya menggelembung menahan desakan penisnya yang semakin membesar dan mengeras.<br /><br />Sesaat setelah puas menikmati pemandangan itu dengan suara agak sedikit serak Yono berkata kepada nyonyanya itu.<br />“Buu..ibu..memanggil saya,” kata Yono dengan suara sedikit serak dan agak terbata-bata.<br />Mendengar suara Yono, Dewi membuka matanya, saat ia membuka matanya yang terlihat olehnya adalah tonjolan di selangkang Yono, ia melihat celana Yono seolah membusung ke depan dan Dewi dapat memastikan bahwa batang kemaluan Yono sedang bangun.<br />“Ohh..Yon, kamu jangan pulang dulu, nanti sore saya ada perlu keluar,” jawab Dewi sambil matanya tetap terpaku kearah selangkangan Yono, batinnya bergumam sudah lama aku tidak menikmati kemaluanku disodok oleh batang kemaluan lelaki, tetapi kalau sekarang terlalu beresiko kalau dilakukan di rumah.<br />“Baik, Bu, ada lagi,” jawab Yono, sambil matanya tetap tidak mau lepas dari tubuh Dewi.<br />“Cukup itu saja,” kata Narti sambil kembali memejamkan matanya.<br />Dengan sedikit agak berat hati, Yono terpaksa meninggalkan tubuh Dewi, meninggalkan pemandangan yang sangat indah, yang tidak pernah terbayangkan oleh dirinya bahwa ia akan mendapat pemandangan tersebut, rasanya barusan Yono ingin segera menerkam tubuh Dewi, melucuti bikini Dewi dan memasukkan penisnya kedalam lubang vagina Dewi dan menggenjotnya, meremas kedua payudaranya dan menjilati kedua putingnya yang berwarna merah muda. Tetapi akal sehatnya masih dapat mengalahkan nafsu birahinya sehingga Yono tidak melakukan hal tersebut, dengan langkah berat Yono kembali kegarasi, ia menuju kemobilnya dan merebahkan tubuhnya di kursi pengemudi, dengan memejamkan matanya Yono kemudian membayangkan pemandangan barusan, sampai akhirnya tanpa terasa iapun tertidur. Dengan gemas Yono mulai meremas-remas kedua payudara Dewi, mulutnya mulai bergantian menjilati kedua puting payudara Dewi yang berwarna merah mudah, dengan rakus Yono menjilati dan menghisap-hisap kedua puting tersebut bergantian. Sedang asyik-asyiknya Yono menjilati dan menghisap-hisap serta meremas-remas kedua payudara Dewi, Yono dikagetkan oleh suara yang memanggil-manggilnya.<br />“Yon, Yon, ehhh..nich orang tidurnya seperti orang mati ajah,” Narti berteriak-teriak membangunkan Yono.<br />“Bangun..Yon…bangun Yon….,”kembali Narti berteriak membangunkan Yono.<br />“Hhmmm…hhhmmm….aduuuhhh,” Yono kaget terbangun dari tidurnya, batinnya menjerit kurang ajar hanya mimpi rupanya padahal sedang seru-serunya menghisap dan meremas toket nyonyanya.<br />“Adaaa apa..sich, orang lagi tidur kok diganggu,”gumam Yono dengan nada kecewa karena mimpi indahnya diganggu.<br />“Ehhh..marah..tuch..kata nyonya suruh siapin mobil soalnya nyonya mau pergi,”sahut Narti ketus.<br /><br />“Apaa….sekarang jam berapa?” tanya Yono.<br />“Jam 5, tidur melulu sich kerjaannya,”Narti bersungut-sungut marah.<br />“Ehhh..maaf…yach,”sambung Yono sambil beranjak dari tidurannya lalu cepat-cepat ia ke toilet untuk membasuh mukanya.<br />Setelah membasuh mukanya, Yono kemudian melanjutkan membuang hajat kecilnya, agak sedikit susah karena penisnya sedang tegang. Ia melihat CDnya basah dan ujung kepala penisnya masih meneteskan cairan beningnya. Setelah hajat kecilnya tuntas ia salurkan, ia kembali ke mobil dan mulai menyalakan mobilnya. Tak lama berselang Dewi muncul dengan mengenakan rok hitam mini sedikit longgar, dengan belahan dada yang rendah dan bagian punggung yang terbuka, karena roknya model diikat di tengkuknya, sehingga bagian punggung dan pundaknya jadi terbuka, bagian dadanya terlihat membusung kalau lebih diperhatikan jelas-jelas Dewi tidak mengenakan BH itu terlihat dari kedua putingnya yang agak membayang diroknya, serta tidak ada tali BH di pundak ataupun di punggung yang kelihatan.<br />“Kemana kita, Bu,” tanya Yono sambil kembali menelan ludah saat melihat ke Dewi yang agak sedikit membungkuk saat naik mobil, sehingga Yono dapat melihat dengan jelas payudara Dewi yang bergelantungan dengan indahnya.<br />“Kita ke Mall ****,” jawab Dewi.<br />“Baik, Bu,” sambil mengiyakan Yono mulai meluncurkan mobil ke tempat tujuan.<br />Dalam perjalanan Yono kembali mencuri-curi pandang kearah Dewi lewat kaca spionnya, sementara Dewi sedang asyik membaca majalah, Yono sangat berharap ia dapat melihat kedua bukit kembar Dewi seperti yang ia lihat saat Dewi menaiki mobil, tetapi harapan hanyalah tinggal harapan, sampai di tempat tujuan Yono tidak beruntung dapat melihat kedua bukit kembar Dewi.<br />“Yon, kamu tunggu saya,”kata Dewi.<br />“Baik, Bu, nanti kalau sudah selesai ibu panggil saya saja,”jawab Yono.<br />“Hhmmmm,”Dewi mengiakan.<br />“Yon, Ini buat makan,”kata Dewi sambil memberikan uang 100ribu.<br />“Ohh..makasih Bu,”jawab Yono sambil menerima uang pemberian Dewi.<br />Kemudian Dewipun turun dari mobil dan masuk kedalam mall, sementara Yono mencari parkir, setelah memarkirkan mobilnya Yonopun keluar mencari makan. Selesai makan Yono kembali ke mobilnya menunggu panggilan nyonyanya sambil kembali membayangkan tubuh Dewi yang aduhai terutama bagian payudaranya yang sudah secara sekilas ia melihatnya. Yono memang lebih senang menyendiri daripada berkumpul dengan para sopir yang menggosipkan majikannya, ia lebih senang menyendiri sambil membayangkan lekuk tubuh Dewi serta kedua bongkahan payudaranya yang indah menggelantung di bagian dadanya.<br /><br />Sambil mengelus-elus batang kemaluannya yang kembali mulai menegang, maklum usianya masih usia yang tegangan tinggi, jadi hanya cukup dengan membayangkan saja batang kemaluannya langsung berdiri dengan tegak, pemandangan tadi kembali menari di pelupuk matanya, kedua bukit kembar Dewi begitu indahnya menggelayut seolah menanti untuk dijamah dan diremas. Ia membayangkan seandainya ia dapat kesempatan untuk menikmati kedua payudaranya itu, dalam hatinya ia hanya menghela nafas, kesempatan itu mungkin tidak akan pernah terkabulkan. Tapi Yono cukup puas dengan melihat dan membayangkan saja, karena ia masih segan dengan keluarga Hendro terutama dengan nyonyanya yang cantik dan sexy itu, nyonyanya itu menurut penilaian Yono selain cantik dan sexy juga sangat pengertian dan tidak pernah marah, tidak cerewet, menyuruhpun selalu dengan sopan, tidak pernah memandang rendah. Tanpa terasa 4 jam sudah ia lewati sambil membayangkan tubuh dan kedua bukit kembar nyonyanya itu. Tiba-tiba HPnya berdering, dengan cepat Yono segera mengangkat HPnya setelah melihat yang memanggil adalah nyonyanya.<br />“Iya, Bu,” sahut Yono.<br />“Yon, kamu ke pintu utama, saya menunggu disitu,” jawab Dewi.<br />“Baik, Bu,” jawab Yono sambil langsung menstart mobilnya dan mengarahkan ke pintu<br />utama.<br />Setibanya dipintu utama ia melihat Dewi sudah menunggu disana, dan ia melihat Dewi membawa banyak kantung belanjaan, Yono segera menepikan mobilnya dan segera turun untuk membantu Dewi memasukkan kantung belanjaan tersebut ke dalam mobil. Dengan cekatan kantung belanjaan yang banyak itu hanya dalam sekejap sudah masuk ke dalam mobilnya. Ditutupnya pintu belakang mobil tersebut dan ia segera duduk di belakang kemudi, kemudian Yono mengarahkan mobilnya keluar area mall tersebut.<br />“Yon, kita ke hotel x,”kata Dewi.<br />“Baik, Bu,”jawab Yono, dalam hatinya bertanya-tanya, ini adalah luar biasa, nyonyanya mau pergi ke hotel, yang setahu dia hotel ini adalah hotel short time, parkir mobilnya saja langsung di bawah kamar.<br /><br />Yono memang bingung dibuatnya, ada janji sama siapa nyonyanya ini.<br /><br />Dewi sebetulnya sudah merencanakan semua ini dari rumah, ia yang sudah cukup lama<br />tidak mendapat sentuhan lelaki dan merasakan sodokan-sodokan di lubang vaginanya, semenjak ia melihat tonjolan diselangkangan Yono, gairah birahinya kembali membara, lubang vaginanya mulai merasa gatal ingin segera merasakan sodokan batang kemaluan lelaki di lubang vaginanya. Dengan pertimbangan yang matang akhirnya Dewi memutuskan untuk menikmati batang kemaluan Yono, kalau seandainya Yono setelah melakukan hubungan dengan dia mulai bertingkah macam-macam, Dewi akan segera memecatnya dan menggantinya dengan supir yang baru, tapi kalau Yono tidak bertingkah macam-macam, ia akan terus memperkerjakan Yono sambil sekali-sekali dapat merasakan sodokan-sodokan penisnya. Reception hotel tersebut berada di luar sehingga memudahkan orang untuk check-in tanpa perlu turun atau keluar dari mobil. Setelah Dewi membayar sewa kamarnya, Dewi menyuruh Yono langsung ke kamar yang diberikan oleh receptionist hotel, mobilpun meluncur ke kamar hotel tersebut. Dengan mengikuti petunjuk dari petugas hotel yang hampir setiap belokan ada, akhirnya mereka sampai di kamar tersebut. Yonopun memarkir mobilnya di garasi kamar tersebut, setelah petugas hotel menutup pintu garasi, Dewi segera turun dari mobil.<br />“Ayo, Yon, kamu ikut saya,”kata Dewi<br />“Baaaikk, Bu,”jawab Yono bingung.<br />“Ada apa yach, kok nyonyanya menyuruh saya untuk ikut turun,”batin Yono bertanya-tanya, tapi karena yang menyuruhnya adalah majikannya, Yonopun mengikuti Dewi, sambil terus bertanya-tanya dan menebak-nebak kenapa majikannya mengajak ia untuk turun dan mengikuti ke kamar tersebut.<br />“Duduk, Yon, kamu mau minum apa?”Dewi berkata setibanya mereka di dalam kamar.<br />“Eh, apa saja Bu,” jawab Yono masih dalam keadaan bingung.<br />Kemudian Dewi memesan minuman lewat telepon, tak lama berselang minuman tersebut datang, Dewi segera membayar minuman tersebut, dan menyerahkan salah satu minuman tersebut ke Yono.<br />“Yon, saya minta kamu untuk menjaga rahasia ini, jangan sekali-sekali kamu cerita hal<br />ini kepada siapapun, seandainya saya mendengar kamu membocorkan rahasia ini, saya akan memecat kamu, tapi kalau kamu bisa menjaga rahasia ini, saya akan membuat kamu senang, kamu mengertikan,”Dewi berkata dengan sedikit mengancam.<br /><br />“Baaikk..Bu, saya janji tidak membocorkan rahasia ibu kepada siapapun,”jawab Yono<br />“Bagus, saya akan memegang janjimu itu,”kata Dewi<br />“Ayo minum,”kata Dewi.<br />Yono hampir tersedak saat meminum minumannya, ia sangat kaget dengan aksi Dewi didepan matanya, ia melihat kedua tangan Dewi dengan lemah gemulai menarik ikatan roknya yang berada di tengkuknya. Dengan terlepasnya ikatan di belakang tengkuk Dewi kedua tali rok tersebut segera meluncur turun dan membuat kedua payudara Dewi tidak tertutup apapun. Yono melihat kedua bukit kembar Dewi dengan mata terbelalak, dengan perlahan dan pasti penisnya mulai berdiri, tak terbayangkan oleh Yono akhirnya ia dapat melihat dengan jelas kedua bukit kembar Dewi yang putih mulus, perasaannya berkecamuk antara bingung dan tidak percaya, rasanya ia seperti sedang bermimpi, Yono tidak menyangka hal ini akan terjadi. Di depan mata Yono sekarang Dewi hanya mengenakan CD saja, bentuk tubuh Dewi yang sexy dan kulit yang putih mulus membuat Yono menelan air liurnya berkali-kali. Mulutnya terbuka lebar, matanya melotot melihat itu semua. Dalam hatinya ia merasa beruntung sekali dapat menikmati pemandangan ini, kalau hal seperti ini yang harus dijaga kerahasiaannya sudah pasti ia akan menjaga rahasia ini sampai mati. Dewi yang masih mengenakan CDnya mulai menghampiri Yono yang masih terkesima, diambilnya gelas di tangan Yono dan menaruhnya di meja, kemudian Dewi menarik tangan Yono untuk berdiri dan menuju ke arah tempat tidur, didorongnya tubuh Yono sehingga terlentang di atas tempat tidur. Tanpa basa-basi lagi Dewi mulai melucuti celana Yono beserta CDnya, barang pusaka Yono yang sudah tegang terpampang di depan matanya saat Dewi menarik CD Yono, Dewi mulai mengelus-elus batang kemaluan tersebut, bau khas dari batang kemaluan lelaki tercium oleh Dewi membuatnya semakin bergairah. Dengan tangan masih mengelus-elus batang kemaluan tersebut, lidah Dewi mulai bermain dengan lincah menjilati kepala penisnya, sambil sekali-sekali batang kemaluan tersebut dia kulum-kulum. Yono mendesah kenikmatan, batinnya berkata mimpi apa aku semalam, sehingga penisku diselomoti dan dijilati oleh nyonyanya yang cantik dan sexy.<br />“Ooohhh…ooohhh…ssshhhh…aahhhh,”Yono mendesah kenikmatan, matanya merem melek akibat selomotan dan jilatan Dewi di penisnya.<br />Yono betul-betul beruntung, bukan saja ia dapat menikmati pemandangan tubuh nyonyanya yang sexy dan mulus secara nyata, tapi ia dapat merasakan bibir nyonyanya yang lembut sedang mengulum-ngulum penisnya, selama ini ia hanya dapat membayangkan tubuh nyonyanya saja, saat menunggu, saat bermimpi ataupun saat bermain dengan istrinya, tidak pernah bermimpi ia akan merasakan kuluman bibir nyonyanya ini.<br /><br />Yono hanya dapat terbaring pasrah menikmati kuluman mulut Dewi dipenisnya, Yono hanya dapat mengangkat pantatnya saat penisnya itu berada dalam kuluman mulut Dewi, Yono belum berani melakukan hal yang lebih dari itu, tangannyapun belum berani menyentuh rambut dan kepala Dewi, yang dapat ia lakukan hanya meremas sprei tempat tidur saja, dan mulutnyapun hanya mengeluarkan desahan-desahan saja serta lenguhan-lenguhan nikmat. Yono memang sudah dari tadi sore menahan hasrat nafsunya saat membayangkan tubuh Dewi, dan penisnya sudah dari tadi ingin merasakan lubang vagina dan gairah birahinya sudah memuncak dari tadi, sehingga saat Dewi mulai mengulum-ngulum serta menjilati dan mengocok penisnya, Yonopun tidak bertahan lama dengan serangan Dewi tersebut, puncak kenikmatannya akan segera ia rengkuh, pendakian bukit kenikmatannya hampir sampai, dengan tubuh yang mengejang dan dengan pantat terangkat seolah menyambut mulut Dewi untuk lebih dalam lagi mengulum penisnya.<br />“Aaaaahhhhh….Buuu…aaaakkuu tidak taahann…laaagi…aakuuu…kheeeluuarrr…ooohhh ……ssshhh…aaaahhh…,”Yono melenguh menikmati puncak kenikmatannya.<br />Cccrrreeetttt…..ccreeeettt….cccrreeeettt…ccreeeett tt…. penisnya menyemprotkan air maninya ke wajah Dewi. Dewi merasakan hangatnya sperma Yono membasahi wajahnya, batang kemaluan Yono mulai Dewi usap-usapkan ke wajahnya yang sudah berlepotan air mani Yono sehingga seluruh wajahnya penuh dengan sperma Yono. Seiring dengan semprotan terakhir dari penisnya Yono, Dewi kembali memasukkan batang kemaluan tersebut kedalam mulutnya dan menghisapnya sehingga membuat Yono mengejang merasakan nikmat yang sangat luar biasa saat penisnya menyemprotkan tetes terakhir air maninya tersebut, belum pernah selama ini Yono merasakan nikmat yang sangat hanya dengan kuluman mulut saja, entah karena dia memang selalu membayangkan Dewi atau karena hebatnya permainan mulut Dewi. Batang kemaluan Yono sudah tidak tegang lagi, Dewipun beranjak dari selangkangan Yono, ia mulai membuka celana dalamnya, sehingga tubuhnya yang indah sekarang menjadi polos tanpa sehelai benang yang menutupi tubuh sexynya. Dewipun mulai berjongkok di wajah Yono, kedua tangannya berpegangan di ranjang bagian atas. Yono langsung mengerti apa yang dikehendaki oleh nyonyanya ini, iapun mulai menjilati bibir vagina Dewi, aroma kemaluan Dewi sungguh berbeda dengan aroma kemaluan istrinya. Dengan penuh nafsu Yono menjilati, menciumi dan menghisapnya, terdengar suara decakan keluar dari mulut Yono saat mulutnya menghisap dan menjilati bibir kemaluan dan klitoris Dewi. Dewipun dibuat melenguh keenakan, Yonopun sudah mulai berani untuk menjamah kedua bongkah pantat Dewi dan mulai meremas-remasnya. Dewipun mulai menikmati jilatan dan hisapan Yono di kemaluannya, Ia mengimbangi permainan lidah dan mulut Yono dengan memaju-mundurkan pantatnya sehingga kelentitnya lebih bergesekan dengan lidah dan mulut Yono, Yono merasakan pantat Dewi kadang-kadang mengejut-ngejut saat mulutnya menghisap klitoris Dewi.<br /><br />Lenguhan dan desahanpun mulai terdengar keluar dari mulut Dewi, sementara suara decakan Yono semakin bertambah sering terdengar, ssslrrrrpppp…sssllrrpppp…ssslrrrppp tidak puas dengan hanya menjilat dan menghisap saja Yono mulai dengan aksi jari tangannya yang mulai menerobos lubang kenikmatan Dewi, pertama-tama hanya jari tengahnya saja yang mengocok vagina Dewi, lama-lama jari manisnya ia masukkan juga kedalam lubang vagina Dewi, membuat Dewi bertambah kelojotan menikmati sensasi jari-jari tangan Yono dan mulut Yono. Jari tangan Yono semakin aktif keluar masuk dilubang vagina Dewi, biarpun Yono hanya seorang supir tapi soal oral seks Yono betul-betul ahli, ditambah dengan permainan jari tangannya yang seperti pemain film BF, betul-betul membuat Dewi bergelinjang menikmati permainan oral seks dan jemari Yono di vagina dan kelentitnya.<br />“Hhmmmhhh…aaaahhh….teruuusss…ooohhh…teruuusss…Yooo nnn…kamu heeebaat…. Aaahhh…kocok memekkkuuu….hisaapp itilkkuuu…ooohhh yaahhh….,” Dewi melenguh keenakan menikmati permainan jari Yono dan hisapan-hisapan Yono di kelentitnya.<br />Yono semakin bertambah semangat mendengar erangan-erangan nikmat Dewi, permainan mulut dan jari tangannya semakin bertambah menggila, membuat Dewi semakin menggelinjang keenakan, Dewi belum pernah merasakan nikmat seperti ini saat seseorang melakukan oral seks kepadanya. Dewipun merasa kagum kepada Yono yang dapat memberikan kenikmatan hanya dengan oral seks.<br />“Uugghhh…aaaaahhhh….ooohh..nikmmaattt…aaakuu tidak tahan lagi…aaahhh terus Yooon, akuu mauu keluar…,”Dewi menjerit kenikmatan saat dirinya mencapai puncak kenikmatannya.<br />Sssrrrrr…ssrrrr…ssrrrr…lubang kemaluan Dewi menyemprotkan cairan kenikmatannya, Jono yang merasakan vagina Dewi semakin basah semakin bertambah cepat mengocok jari tangannya di lubang vagina Dewi dan mulutnya semakin bertambah kuat menghisap itil Dewi sehingga membuat Dewi semakin blingsatan menikmati sensasi puncak kenikmatannya, tubuhnya mengejang pantatnya mengejan-ejan, pegangan tangannya semakin mencengkram kuat.<br /><br />“Aaaggghhh…eeeddaaann…nikmat sekali…Ooouughhhh…Yoonn, kamu betul betuull hebattttt….ssshhh….aaaaahhh…,” Dewi mengerang.<br />Dengan nafas yang masih terengah-engah Dewi merebahkan tubuhnya disamping Yono, ia melihat batang kemaluan Yono sudah berdiri dengan gagahnya. Dewi terkesima melihat hal itu, hatinya membatin cepat juga pulihnya padahal belum terlalu lama dia barusan menyemprotkan spermanya, Yono sendiri bingung merasakan penisnya sudah ngaceng lagi, biasanya sehabis berhubungan dengan istrinya penisnya sudah tidak mau bangkit lagi, sementara saat ini penisnya itu sudah berdiri dengan gagahnya siap untuk mengaduk-aduk lubang kenikmatan Dewi, tapi Yono tidak mau lancang terhadap nyonyanya ini, sebelum Dewi memintanya untuk menyodokkan penisnya ke vagina Dewi. Yono hanya diam pasrah saja, hanya matanya yang berani melirik ke tubuh Dewi, Yonopun tidak mau membuang kesempatan untuk menikmati pemandangan itu, karena dalam pikirannya kapan lagi aku dapat memandangi tubuh telanjang nyonyanya ini. Dewi termasuk wanita yang selalu haus akan seks, dirinya selalu haus akan sodokan-sodokan batang kemaluan lelaki, apalagi sekarang ini Dewi sudah lama tidak merasakan batang kemaluan lelaki menyodok vaginanya, tidak ada yang mengira bahwasanya Dewi adalah wanita yang haus akan seks, dari wajahnya tidak nampak bahwasanya Dewi adalah wanita yang binal. Yono sendiri heran akan tingkah nyonyanya yang mengajaknya bermain seks di hotel, ia juga tidak menyangka sama sekali nyonyanya sangat agresif, dari pernampilannya tidak nampak bahwa Dewi akan melakukan hal tersebut, tapi Yono tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut, buatnya yang penting ia dapat menikmati tubuh nyonyanya, walaupun baru hanya dapat menjilati memeknya saja. Selang beberapa saat, Dewi mulai beranjak menaiki tubuh Yono yang masih terlentang, diraihnya batang kemaluan Yono, diusap-usapkannya kepala kemaluan itu ke vaginanya. Dewi merasakan penisnya Yono sangat keras sekali, kelentitnya terasa geli oleh sentuhan kepala kemaluan Yono. Dewi mendengus kegelian, Yono sendiri merasakan kegelian saat kepala penisnya tersentuh dengan bibir vagina Dewi,<br /><br />Beberapa kali Dewi mengusap-usapkan kepala kemaluan tersebut ke bibir vaginanya, membuatnya menggelinjang sendiri, lubang vaginanya mulai terasa gatal kembali ingin segera digaruk oleh penisnya Yono, Yono juga tidak tahan dengan rasa geli yang ia rasakan pada ujung kepala penisnya, ingin rasanya ia memasukkan cepat-cepat penisnya ke vagina Dewi, tapi agar tidak dibilang lancang Yono hanya dapat diam pasrah, mengikuti irama permainan nyonyanya ini. Satu tangan memegangi batang kemaluan Yono, sambil terus mengoles-oleskan kebibir vagina dan kelentitnya, satu tangan lagi mulai menguakkan bibir vaginanya, Yono hanya dapat melihat tingkah polah nyonyanya ini, dan ia juga melihat bibir vagina Dewi mulai terkuak, lubang kenikmatannya mulai terpampang dihadapan matanya, Yono hanya dapat menelan ludah melihat itu semua, ia hanya bisa diam mengikuti irama permainan Dewi, tapi hatinya resah ia ingin sekali merasakan penisnya dijepit oleh lubang kenikmatan Dewi, ingin rasanya ia mengaduk-aduk lubang tersebut dengan penisnya yang sudah sangat tegang itu. Pucuk dicinta ulam tiba, penantian yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, dengan perlahan-lahan Dewi mulai mengarahkan kepala kemaluan Yono kelubang vaginanya, diselipkan kepala kemaluan itu dibibir vaginannya, dengan perlahan-lahan Dewi mulai menekan pantatnya kebawah, batang kemaluan Yono dengan perlahan tapi pasti mulai menerobos masuk kedalam lubang vagina Dewi. Sleeeeppp…..bleessss…blessss…..blesssss…… perlahan tapi pasti batang kemaluan Yono tertelan oleh lubang vagina Dewi sehingga tidak terlihat lagi, Yono melihat penisnya masuk perlahan-lahan di memek Dewi, Yono melihat sekarang jembutnya dan jembut Dewi bertemu saat penisnya tertelan seluruhnya oleh memek Dewi. Dewi merasakan batang kemaluan Yono memenuhi rongga vaginanya, dan ia juga merasakan kelentitnya bersentuhan dengan jembut Yono, dengan memejamkan mata Dewi mulai memutar pantatnya dengan perlahan, Dewi merasakan lubang memeknya seperti diaduk-aduk oleh kemaluan Yono, sementara Yono sendiri merasakan penisnya seperti dipilin-pilin oleh dinding vagina Dewi, lenguhan dan desahan mereka mulai terdengar bersahutan, Dewi juga merasakan sensasi yang sangat luarbiasa saat kelentitnya bergesekan dengan jembut Yono, tangannya segera meraih kedua tangan Yono, ditariknya tangan Yono ke arah dadanya. Kedua telapak tangan Yono didaratkannya di kedua bukit kembarnya, dan mulai digerakkannya, seolah ia menyuruh Yono untuk meremas kedua payudaranya, Yono yang memang dari awal ingin sekali meremas tetek Dewi tanpa membuang waktu segera meremas-remas kedua bukit kembar tersebut, remasan-remasan lembutnya penuh nafsu birahi, matanya menatap kedua bukit kembar itu yang berada dalam cengkramannya, tapi kedua bukit kembar tersebut cukup lumayan besar sehingga kedua telapak tangannya tidak dapat menutupi kedua bukit kembar tersebut.<br /><br />“Oooohhh…sshhh…aaah…Yon, penismu, enaaak…ssshhh…aaaahhh…,” desah Dewi sambil terus memutar pantatnya.<br />Desahan, erangan dan lenguhan Dewi semakin sering terdengar, pantatnya bergantian aksinya antara berputar dan maju mundur, kadang-kadang pantat Dewi berputar memilin-milin batang kemaluan Yono, kadang-kadang gerakannya maju mundur, saat pantatnya bergerak maju mundur Dewi merasakan kelentitnya bertambah gatal karena bergesekan dengan jembut Yono, belum lagi remasan-remasan tangan Yono yang penuh nafsu dikedua bukit kembarnya, semua itu menambah sensasi persetubuhan mereka. Yono hanya dapat mengerang-ngerang keenakan merasakan penisnya berada dalam jepitan memek Dewi, kadang-kadang ia merasa penisnya sedang dipilin-pilin oleh dinding vagina Dewi, kadang-kadang ia merasakan penisnya keluar masuk di vagina Dewi, remasan tangannya semakin menggila di payudara Dewi, sambil ditingkahi dengan pilinan-pilinan di kedua putingnya, kedua puting susu Dewi semakin mengeras dan mencuat ke depan.<br />“Hhhmmmm…aaaaaggghh…ssshhh…ooohhh…,”erang Yono menikmati persetubuhan ini.<br />Dewi semakin menggila memaju mundurkan pantatnya, dengan tiba-tiba ia menghentakkan pantatnya kebelakang, seolah-olah ia ingin penisnya Yono semakin dalam menerobos kedalam lubang vaginanya.<br />“Ooouuggghhh…Yon, aakuu…keeeluuaaarrr….sssshhhh…aaaaaggghhh…ooohhh,” Dewi mengerang merasakan letupan birahinya yang menerobos keluar dari lubang vaginanya.<br />Sssrrrr…sssr….ssrrrr…..cairan kenikmatan Dewi menyemprot membasahi batang kemaluan Yono.<br />“Akkkuu..jugaa….mau keluuaar..Bu…ooouugghhh…,”Yono pun mengerang, penisnya menyemprotkan lahar kenikmatannya kedalam lubang vagina Dewi.<br />Crrreeettt.,…creeetttt…creettt…..sperma Yono membasahi lubang vagina Dewi, Dewi merasakan hangat didinding lubang vaginanya saat sperma Yono menyemprot, dan ia juga merasakan batang kemaluan Yono berkedut-kedut, sementara itu Yono merasakan penisnya seperti diremas-remas oleh dinding vagina Dewi.<br /><br />Dewipun ambruk, tubuhnya tertelungkup diatas tubuh Yono, ia merasakan batang kemaluan Yono masih berdenyut-denyut, Yono yang terbaring pasrah dengan tubuh Dewi yang tertelungkup diatasnya masih merasakan detik-detik kenikmatannya, Yono merasakan penisnya masih berdenyut-denyut meneteskan tetes-tetes spermanya dan ia juga masih dapat merasakan denyutan dinding vagina Dewi. Perlahan-lahan batang kemaluan Yono mulai menciut dan terlepas dari jepitan vagina Dewi, sementara nafas mereka berdua masih tersengal-sengal, Dewi merasakan saat penisnya Yono mulai terlepas dari jepitan vaginanya itu dan ia juga merasakan sperma Yono mulai mengalir keluar dari lubang vaginanya. Tak lama kemudian Dewi beranjak bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh, setelah Dewi selesai membersihkan tubuhnya, Yonopun beranjak untuk membersihkan penisnya, Yono melihat penisnya berkilat akibat basah oleh cairan kenikmatan Dewi, saat keluar dari kamar mandi Yono melihat Dewi sudah mengenakan roknya kembali, dengan segera ia juga mengenakan pakaiannya.<br />“Ingat, Yon, kamu jangan membocorkan rahasia ini,” kata Dewi.<br />“Baik, Bu,” jawab Yono sambil mengenakan pakaiannya.<br />Setelah selesai mereka berdua kembali kemobil dan meluncur pulang, jam menunjukkan pukul 12 malam, saat mereka tiba dirumah, Dewipun masuk kedalam rumah sambil kembali mengingatkan Yono untuk bias menjaga rahasia, Yonopun mengiyakan, selesai memarkir mobil digarasi, Yonopun beranjak pulang dengan senyum bahagia tersungging dimulutnya, dalam perjalanan pulang ia membayangkan kejadian yang baru saja dia alami. Hatinya bergumam hari ini adalah hari keberuntunganku, hari ini aku dapat menikmati tubuh nyonyaku yang sexy dan indah tersebut secara nyata tanpa perlu membayangkan. Mudah-mudahan nyonyanya masih mau meminta ia untuk menyetubuhinya, sehingga ia dapat merasakan kembali keindahan tubuh nyonyanya terutama memek nyonyanya yang enak luarbiasa.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-41916070472459869302012-03-31T14:36:00.000-07:002012-03-31T14:36:30.882-07:00Petugas Pajak Itu Ternyata…Namaku Fifi (umur 20 tahun), masih kuliah di sebuah universitas swasta terkemuka di ibukota. Badanku mungil dengan paha dan pantatku padat berisi kulitku putih mulus, cuma buah dadaku tidak terlalu besar seperti buah dada anak ABG saja. Sampai saat ini aku masih belum punya pacar dan teman laki-laki. Aku sangat mendambakan belaian laki karena sebagai seorang wanita yang sudah cukup umur sudah waktunya aku merasakan kehangatan laki-laki, kadang kalau aku melihat film-film porno di internet nafsuku timbul dan terangsang sekali kepingin sekali merasakan yang namanya kenikmatan seksual. Memang sering aku lihat film gituan untuk hiburan dan aku terangsang sambil kumainkan vaginaku kelentitnya kuraba raba jariku masukkan. Nikmat sekali rasanya sampai keluar cairannya dan aku orgasme. Hampir tiap hari aku melihatnya dan pasti aku orgasme. Seandainya aku punya pacar dan bercumbu seperti itu pasti nikmat. Sungguh aku mendambakan kehangatan laki-laki. Merasakan tangan pacarku meraba raba dan menjilat jilat vaginaku, meremasi dadaku dan aku meremas remas kemaluannya dan melumatnya lalu bersetubuh seperti di film itu sungguh nikmat aku kepingin banget merasakannya.<br /><br />Aku di rumah senang pakai pakaian yang seksi, celana pendek yang amat pendek sekali sampai kelihatan pangkal pahaku dan bawah pantatku. Kadang aku tak pakai cd dan bh juga bajuku tanpa lengan sehingga ketiakku yang mulus kelihatan aku amat senang lihat tubuhku di cermin amat seksi, putih mulus pahaku padat dan putih ketiakku juga putih tak berambut. Laki-laki siapapun kalau melihat keadaanku begini pasti akan terangsang dan mau meraba raba tubuhku. Saat itu beberapa hari terakhir ada seorang petugas dari kantor pajak yang beberapa kali datang ke rumahku untuk mengurus pajak dengan papaku. Namanya, kita sebut saja dengan Om GT, umurnya 30an, orangnya tidak tergolong cakep, malah di bawah rata-rata atau kasarnya jelek. Rambut cepak, kumis tipis dan badannya agak tambun. Kadang-kadang dia curi-curi pandang kemulusan pahaku dan ketiakku. Aku merasakan kalau dia tertarik dengan tubuhku, akupun senang kalau dia terangsang dengan tubuhku berarti aku masih bisa menarik perhatian laki-laki. Naluri liarku menginginkan diriku dicumbunya, dipeluknya dan diraba raba. Sering kulihat tonjolan celananya kupikir itunya pasti lumayan besar rupanya dia terangsang melihat pahaku dan aku pun ikut terangsang kalau membayangkannya.<br /><br />Sungguh aku kepingin meremas benda menonjol di selangkangannya itu dan kuingin dia meremas remas punyaku, tapi bagaimana untuk mulai itu? Sebagai wanita aku malu untuk memintanya, maka kutunggu dia yang memulai dulu dan aku tinggal menyambutnya. Saat pas dia main kerumahku aku coba merangsangnya dengan dudukku yang agak seksi sambil kusilangkan kakiku sehingga celanaku makin tertarik ke atas dan pahaku yang putih mulus makin banyak kelihatan. Kadang kubuka sedikit kakiku sehingga cdku kelihatan, dia meliriknya dan menikmati kemulusan pahaku. Kulihat tonjolan celananya makin menonjol rupanya dia terangsang juga.akupun dalam hati senang juga dia tertarik melihat kemulusan tubuhku tapi dia tidak berani bereaksi selanjutnya atau dia mungkin sungkan dan tak berani takut aku tak mau. Kalau pas aku duduk di lantai buka laptop dan dia duduk di atas kursi dia makin dapat menikmati kemulusan pahaku apalagi kalau aku duduk bersila makin ketarik ke atas celanaku dan selangkangan dan cdku kelihatan sedikit. Laki-laki mana yang tidak kepingin merasakan kehangatan selangkanganku yang mulus ini, hal itu terlihat jelas karena dia semakin senang melihatnya. Suatu sore dia datang ke rumahku pas aku duduk di lantai dengan laptopku. Kebetulan papaku belum pulang. Dengan basa basi dia tanya papaku ke mana, terus dia duduk juga di lantai di samping kiri belakangku dan tanya aku lagi ngerjain apa? Ini kesempatan buat aku merangsangnya lagi, siapa tahu dia bereaksi karena dia tahu aku sendirian di rumah.Dudukku makin kubuat merangsang, kaki kiri kuangkat untuk menopang tanganku pahaku makin kelihatan semua sampai pangkalnya. Sekarang dia dapat memelototi pahaku dari dekat, terdengar napasnya memburu, aku pun semakin senang saja. Pura-pura aku menggaruk pahaku dan selangkanganku supaya dia makin terangsang, dan dia tanya apa pahaku gatal digigit nyamuk? dia mau ambilkan minyak gosok katanya dan mau mengoleskan ke pahaku. Tapi aku pura-pura tak mau supaya aku tidak dianggap cewek yang mudah diraba raba, padahal aku sangat kepingin dia meraba pahaku Rupanya dia sudah terangsang lalu dia berkata kalau dia mau lihat film porno di internet. Aku juga pura-pura tak mau lihat film gituan dan menyingkir berdiri supaya dia sendiri yang lihat. Pura pura lagi aku. Setelah dia buka film itu dan menontonnya lalu dia berkata.<br /><br />”Sini dong Fi sama-sama nonton seru lo filmnya!” ajaknya<br /><br />Aku pun pura-pura menolak dan biar dia yang nonton sendiri.<br /><br />”Sini lihat, ndak apa-apa Fi kamu kan sudah dewasa, ndak apa-apa kan lihat film ginian” katanya lagi mencoba merangsangku<br />Om GT (muka sengaja disensor karena malu katanya)<br /><br />Om GT (muka sengaja disensor karena malu katanya)<br /><br />Akupun mendekat dan pura-pura aku terkejut melihatnya<br /><br />“hii hii kok gitu ya? sudah ah om, stop, geli aku“ kataku pura-pura tak mau lihat dan aku mau menyingkir<br /><br />Tiba-tiba tanganku dipegangnya dan disuruh duduk di samping nya seraya tanganku masih dipegangnya telapak tanganku diremasnya. Aku pura-pura menolak dan menarik tanganku, tapi dalam hati aku senang dia mulai berani aku pun menikmati remasan tangannya yang sudah lama aku kepingin merasakan tangan laki-laki terus tanganku diremas sambil dia berkata katanya dia terangsang dengan film itu. Tangannya mulai meraba lenganku dan mengelus elusnya, enak juga lenganku dielusnya naik ke atas sampai belahan ketiakku dan mulai diciumnya pundakku. Aku masih tetap pura-pura meronta dan tak mau, masih jual mahal aku padahal begini ini yang aku nantikan. Elusannya makin nikmat kurasakan dan terangsang aku dibuatnya. Aku sudah tidak pura-pura meronta lagi, makin berani om GT mulai mencium belakang ketiakku dan dia coba mengangkat tanganku supaya dia dapat mencium ketiakku.<br /><br />”oh oh geli om,jangan jangan” desahku kegelian<br /><br />Sungguh senang aku dia mau mencium ketiakku dan dia tetap memaksa mengangkat tanganku lalu ketiakku diciumnya dibenamkannya hidungnya dalam-dalam sambil menghirup aroma ketiakku.<br /><br />”Fi, harum lo ketiakmu dan mulus lembut hangat, om senang lo sama ketiakmu” rayunya sedangkan aku kegelian dan terangsang enak juga ketiakku diciumnya.<br /><br />Dia tak puas-puasnya terus mencium ketiakku.<br /><br />”wangi lo ketiakmu, om seneng bisa cium ketiakmu sudah dari dulu om pengen merasakan ketiakmu, om terangsang lo kalau sedang lihat ketiakmu” katanya lagi<br /><br />Memang ketiakku amat merangsang laki-laki yang melihatnya dan ketiakku selalu wangi setiap saat. Dia mulai meraba raba dadaku yang tak pakai bh dan diciumnya leherku pipiku terus kebelahan dadaku,aku menggelinjang nikmat dan menahan geli.<br /><br />Terus dia mencium dadaku yang masih terbungkus baju,lalu tangannya lewat bawah bajuku mulai masuk ke arah payudaraku.<br /><br />Pura-pura lagi aku mencegahnya dia meremas langsung payudaraku padahal aku sangat ingin merasakan tangannya meremas payudaraku dan menjilat putingnya lalu menyedotnya. Aku kan pura-pura saja supaya dia makin penasaran dan aku jual mahal jaga gengsi padahal dari tadi vaginaku sudah basah. Ahirnya tangannya dengan leluasa meremas remas buah dadaku yang padat ini, diremasnya makin kuat dan aku merasa kesakitan. Kusuruh dia meremasnya pelan sedikit. Aku makin mengelinjang menahan napsu payudaraku dirangsang demikian dan bagaimana kalau nanti payudaraku sudah dikulumnya dan dihisapinya apa aku kuat menahannya.<br /><br />”Aahh…om om geli aku, sudah…sudah…geli om!” desahku mengerang nikmat.<br /><br />Laki-laki kalau dengar erangan cewek biasanya makin bernapsu. Mendengar eranganku dia makin bernapsu meremas payudaraku kiri dan kanan. Napasnya makin memburu dia berusaha mau mengecup bibirku pura-pura kuhindari dan dia mencium pipiku. Diciumnya terus pipiku dan aku makin terangsang pasrah saja bibirku mulai dikecupnya dan dilumatnya aku pun tak tahan membalasnya. Lidahku dilumatnya, aku baru sekarang merasakannya dan enak juga saling melumat bibir dan lidah bertukar air liur. Tanganku merangkul erat di belakang kepalanya tak mau melepas kenikmatan ini. Aku dan dia makin napsu sambil satu tangannya meraba raba paha bagian dalam hampir dekat selangkangan dan cdku nikmat mengairahkan rabaannya. Dia menikmati sekali kehangatan dan kemulusan selangkanganku katanya selangkanganku hangat lembut dia kepingin menciumnya dan menjilatnya. Makin tak kuat aku menerima rangsangan ini sungguh nikmat rasanya sulit dibayangkan. Aku orgasme lagi makin basah vaginaku dan kebelet pipis rasanya.<br /><br />”om aku pipis dulu, kebelet banget nih!”kataku terengah engah merasakan kenikmatan ini.<br /><br />Juga aku mau ganti cdku karena sudah amat basah sekali, malu aku kalau om GT nanti mau mencium selangkanganku dan tahu aku sudah orgasme. Di kamar mandi kulihat cdku sudah banyak cairan nikmatku vaginaku, kusabuni sampai bersih biar nanti kalau dicium om GT wangi baunya dan om GT makin senang mencium dan menjilatnya. Aku kepingin sekali vaginaku dijilat jilat kayak di film dan mau tahu rasanya apa nikmat, sambil lidahnya masuk menjilat jilat di dalam vaginaku…uuuhh…membayangkannya saja sudah horny berat.<br /><br />Aku pun tak pakai cd lagi. Cdku kugantung saja di gantungan supaya cepat kering. Ganti om GT sekarang mau pipis, aduh cdku ada di gantungan pasti dia tahu kalau cdku basah. Aku disuruh duduk di pangkuannya dan tanganku disuruh merangkul pundaknya karena dia mau mencium ketiakku. Terasa kemaluan om GT tegang dan hangat tertekan bokongku, enak juga dipangku om GT terasa penisnya berdenyut, kepingin rasanya vaginaku dapat menekannya dan kurubah dudukku supaya vaginaku pas dapat menekan penisnya Aduh enak rasanya vaginaku merasakan tonjolan penisnya hangat dan berdenyut denyut di bawah vaginaku. Ketiakku diciumnya dan dibenamkannya hidungnya dalam-dalam sambil menghirup aroma ketiakku yang harum. Dia sungguh menikmati kelembutan dan harumnya ketiakku katanya hangat lembut dan merangsang sekali. Aku juga menikmati rangsangan ini dan senang ketiakku dicium ciumnya sambil tangannya mulai meraba raba selangkanganku lagi menyentuh tepi vaginaku yang sudah tak ber cd dan dia tahu kalau aku sudah tak pakai cd. Perasaan geli bercampur nikmat selangkanganku dielus elusnya dengan lembut. Aku tak tahan kepingin tangannya meraba vaginaku tapi dia tetap asik dengan selangkanganku. Katanya selangkanganku lembut dan halus dia kepingin mencium dan menjilatnya. Mendengar itu aku makin terangsang vaginaku mulai basah, kubuka kakiku supaya dia mau meraba vaginaku kuarahkan tangannya ke vaginaku, lalu dirabanya dan dielus elus sungguh enak dan merangsang aku menggelinjang keenakan dan tak sadar aku mendesah sambil pantat kugoyang goyang makin menekan penisnya dengan vaginaku. Tangannya mulai meraba kelentitku dan ditekannya sambil dipilin pilin geli dan enak rasanya aku mau orgasme lagi. Jarinya mulai meraba bibir dalam vaginaku yang semakin basah, makin menggelinjang aku mendesah nikmat mau aku jarinya cepat masuk ke dalam dan menusuk nusuk di dalam. Aku kepingin sekali merasakan vaginaku dicolek colek alangkah enaknya nanti.<br /><br />“Aahhh…om, enak om cepet dimasukin om aaahh…aahh” aku mendesis keenakan sambil kaki kurapatkan dan kubuka menahan kegelian di vaginaku.<br /><br />”Fi enak ya,sudah keluar ya,mau om jilat vaginanya,boleh ya?” bisiknya di telingaku<br /><br />Mendengar bisikannya aku makin tak tahan lalu kulumat bibirnya dan lidahku diisep nya. Enak sekali makin melayang rasanya nikmat dan aku keluar lagi sampai seperti orang ngompol. Tangannya tak masuk-masuk ke vaginaku hanya meraba raba bibirnya dan kelentitku begini saja sudah enak sekali apalagi kalau penisnya om GT yang sedang tegang dan sekarang aku duduki dan kutekan dengan pantatku hingga masuk ke dalam vaginaku dan keluar masuk.<br /><br />Ooh alangkah enaknya, kepingin rasanya aku disetubuhinya sampai aku orgasme berkali kali. Aku sudah tidak perduli kalau vaginaku belum pernah dimasuki penis dan masih perawan. Lalu aku disuruh turun dari pangkuannya dan duduk di sofa dan dia duduk di bawah mau mencium dan menjilat vaginaku. Ini yang aku tunggu-tunggu bagaimana enaknya vaginaku dicium dan dijilat jilatnya,tapi aku malu vaginaku sudah basah dan banyak cairannya,<br /><br />”om aku cebok dulu ya, vaginaku basah lo?”.<br /><br />Tapi dia mencegahnya katanya lebih nikmat dalam keadaan basah dan aromanya asli vaginaku. Kakiku dibukanya satu dinaikkan ke sofa sekarang vaginaku terasa terbuka lebar tapi masih pakai celana. Diciumnya pahaku kiri kanan terus paha bagian dalam dekat selangkanganku. Aku makin merinding nikmat dan merintih keenakkan. Nikmat rasanya selangkanganku kena hembusan napasnya, selangkanganku diciumnya lama sekali katanya dia nikmat dan lembut selangkanganku. Katanya dari dulu dia kepingin sekali mencium selangkanganku sekarang keturutan katanya, lalu celanaku dikuakkan nya sehingga vaginaku sudah bebas menantang untuk dicium dan dijilatnya. Dipandangnya dengan napsu vaginaku yang selamanya belum pernah dilihat orang lain. Vaginaku mulus dan bersih mengairahkan untuk dijilat katanya, lalu mulai diciumnya hidungnya masuk kesela sela bibir vaginaku sambil digesek gesek naik turun. Aku menggelinjang geli dan nikmat, beruntung sekali om GT yang pertama bisa mencium vaginaku aku senang ada yang mencium vaginaku.<br /><br />“oh enak sekali…dijilat sekarang dong om” pintaku merajuk kepingin lidahnya bermain di dalam vaginaku.<br /><br />Tapi dia masih asik mencium vaginaku, tak puas-puasnya dia mereguk aroma vaginaku.<br /><br />”Fi vaginamu harum dan hangat, om senang lo dapet cium vaginamu ini” katanya membuatku makin terangsang saja.<br /><br />Lalu dia mulai menjulurkan lidahnya dan disapunya bibir vaginaku sambil digigitnya dengan bibirnya,wah enak sekali rasanya lalu kelentitku dikulumnya sambil lidahnya menjilat jilatnya. Sungguh nikmat rasanya mau pipis rasanya vaginaku berdenyut, lidahnya mulai masuk ke dalam sampai vaginaku dan di dalam terasa meliuk liuk nikmat sampai aku mengangkat pantatku supaya makin dalam lidahnya masuk.<br /><br />Aduh sungguh nikmat rasanya tak terkirakan, makin menggelinjang aku merinding seluruh tubuhku merasakan kenikmatan ini. Aku keluar lagi dan makin diisepnya cairan vaginaku dan direguknya dengan nikmat. Katanya dia senang sekarang dapat merasakan cairan vaginaku yang gurih. Tak puas-puasnya om GT menjilati vaginaku. Aku pun makin mengelinjang seperti kesetrum tak kepalang rasanya pahaku mengapit kepalanya saking tak tahannya dan aku orgasme lagi langsung disedotnya cairanku. Vaginaku terasa panas dan agak perih sedikit.mau rasanya penis om GT dimasukkan ke vaginaku aku sudah tak tahan untuk disetubuhinya. Setelah puas melumat vaginaku, aku disuruhnya meremas remas penisnya, ganti dia duduk di sofa aku duduk di sampingnya sambil meremas remas penisnya tapi masih diluar celananya. Terasa sudah tegang dan besar. om GT mendesah desah enak katanya diremas remas olehku. Kepingin aku melihat penisnya dan meremasnya langsung, kumasukkan tanganku ke celananya dan kubuka. Penisnya besar menggairahkan kepalanya seperti helm tentara dan berwarna ungu, kulitnya agak coklat tidak hitam kuremas dan kukocok pelan. Baru kali ini aku memegang kemaluan laki-laki, terasa hangat di tanganku lubangnya kuraba terasa basah dan om GT makin mendesah keenakan. Akupun ikut terangsang dan vaginaku terasa berkedut kepingin dimasuki penisnya. Aku meneguk liur mau rasanya menjilat dan melumatnya tapi aku malu memulainya. Kutunggu dia menyuruhnya sambil kuremas remas. Bibirku dan bibirnya saling melumat tangannya meraba raba selangkangan dan vaginaku jarinya masuk makin lengkap enaknya dan makin basah vaginaku. Tak sabar aku mau melumat dan menjilat penisnya, akhirnya penisnya kujilat terasa asin tapi enak menggairahkan terasa hangat di mulutku. 3/4 penisnya masuk mulutku lidahku menjilat jilat kepalanya, kulumat dengan bibirku dan kutarik keluar masuk sambil disedot dan kuputar putar enak rasanya mengemut penis itu. Om GT mengelinjang dan mendesah nikmat katanya dia senang aku mau mengemut penisnya, akupun senang juga sampai tak puas-puasnya mengemut penisnya yang semakin menegang mau orgasme.<br /><br />Disuruhnya aku berhenti karena mau orgasme tapi aku tetap mengemutnya supaya aku dapat merasakan orgasmenya di mulutku, ingin aku merasakan maninya yang kata orang amat enak dan obat awet muda kulit tambah halus. Penisnya makin tegang dan panas berdenyut sudah sampai puncaknya orgasme, makin menggelinjang dan mendesah dia dan terasa maninya menyemprot dalam mulutku tambah kusedot supaya tuntas keluarnya. Waau enak rasanya, puas aku.<br /><br />”Aduh Fi enak sekali emutanmu sayang ,nikmat sekali, sipp dah!!” katanya dan dia tanya kok aku pinter sekali mengemutnya, apa pernah pengalaman?<br /><br />Kujawab aku tak pernah sebelumnya cuma aku sering lihat di film caranya. Dia tanya apa aku menikmatinya? Aku pun mengangguk malu dan kubilang hal ini jadi rahasia kita saja tak boleh orang lain tahu karena aku malu sudah mengemut penisnya. Dia mencium pipiku dengan sayang dan kapan-kapan dia mau lagi kalau aku bersedia kubalas dia kurangkul sambil kubisiki aku sayang dan mau jadi pacarnya,tak sadar rupanya aku jatuh cinta sama om GT karena dia dapat memberiku kenikmatan tadi.<br /><br />Selanjutnya gairah seksku makin menggebu gebu sejak pengalaman pertama itu untuk memuaskan napsuku jariku yang meremas remas dan masuk ke vaginaku.mau rasanya bercumbu lagi dengan om GT dan aku kepingin disetubuhinya sampai aku puas. Hari-hari selanjutnya persetubuhan dengan om GT kembali. Sebagai balasan atas pelayananku, om GT menitipkan pesan untuk papaku bahwa urusan perpajakannya akan segera selesai sebentar lagi dan ia juga memberikan potongan harga istimewa. Pada suatu hari, mamaku lagi pergi dengan temannya terus ku beranikan telepon om GT untuk dia ke rumah karena napsuku sudah tak bisa ditahan lagi<br /><br />”Hallo om, lagi ngapain sekarang?” tanyaku menahan malu sedikit.<br /><br />”oh Fifi ,ada apa Fi ? aku lagi tak ada kerjaan.” balasnya.<br /><br />”main sini dong om aku lagi sendirian mamaku pergi” kuberanikan berkata begitu dengan hati berdebar-debar. Tak lama kemudian om GT datang langsung aku dipeluknya dan pipiku diciumnya dengan mesra kubalas dengan rangkulanku. Sambil mendesah aku berkata kalau aku kangen sama dia, bibirku dilumatnya lidahku diisepnya. Sambil lidahnya masuk kumulutku mencari liurku lalu diteguknya dengan napsu, terasa penisnya sudah tegang menyentuh perutku, kuraih dan kuremas remas lembut dia mendesah enak katanya penisnya kuremas begitu dan ketiakku diciumnya. Hidungnya dibenamkan menikmati aroma ketiakku yang lembut tak berbulu. Aku menggelinjang kegelian nikmat, lalu tangannya mulai meraba raba pahaku terus naik membelai selangkanganku enak rasanya selangkanganku dibelai belai membangkitkan gairahku.<br /><br />Sedikit dia menyentuh cdku yang sudah mulai basah itu membuat aku penasaran kepingin rasanya dia terus meraba raba vaginaku dan memasukkan jarinya. Ooh aku kepingin sekali vaginaku diobok oboknya. Semakin mendesah aku dan mengerang penuh nikmat, tapi om GT masih asik mencium ketiak dan belahan dadaku sambil dia berbisik mesra kalau dia senang denganku. Dia sungguh menikmati kemulusan tubuhku baru kali ini dia dapat merasakan kemulusan tubuh seorang wanita, dari istrinya ia tidak pernah mendapatkan kenikmatan seks seperti ini katanya. Aku pun makin tersanjung dan senang seandainya sekarang dia mau menyetubuhiku aku pun bersedia dan akan aku nikmati tusukan penisnya sampai aku orgasme berkali-kali dan dia orgasme di dalam vaginaku dan tak akan kulepas penisnya sampai dia betul-betul tuntas orgasmenya.<br /><br />”Om ayo om ngentot di kamarku ya, aku pengin ngerasai kontol ini” tanpa sadar aku berkata begitu sambil tanganku sudah masuk celananya dan meremas remas penisnya yang semakin tegang itu.<br /><br />Kuajak dia masuk kamarku dan aku merebahkan di tempat tidur dengan kaki kubuka lebar menantangnya sambil celana pendekku kutarik ke atas sampai selangkanganku terpampang dengan mengairahkan. Dia mulai mencium pahaku dari bawah sampai naik ke selangkanganku. Diciumnya dengan napsu selangkanganku digesek geseknya hidungnya ke selangkanganku yang lembut sambil menghirup aromanya yang katanya amat mengairahkan. Kukuakkan celanaku supaya dia dapat cium cdku lalu dia mau melepas celanaku aku pun senang ditelanjanginya. Kuangkat pantatku supaya celanaku gampang dilepas. Sensasi rasanya aku ditelanjangi olehnya tapi cdku masih belum dilepasnya karena dia mau menikmati cdku untuk di cium dan diisepnya. Untung aku pakai cd yang mini yang hanya menutupi sebagian saja vaginaku. Diciumnya cdku dibenamkan hidungnya seraya menghirup aroma vaginaku yang selalu kurawat.<br /><br />“Eemmm…emmm, enak dan wangi hangat!” katanya<br /><br />Apa aku senang cdku dicium begini? dia tanya aku. Aku hanya mengangguk menahan nikmat dan geli sekali. Cdku makin basah tapi om GT tak perduli malah dia makin bernapsu menciumnya. Aku sudah tak tahan makin kubuka kakiku lebar-lebar dan cdku kukuakkan supaya langsung vaginaku yang diciumnya. Ooooh sekarang dia sudah menciumnya terasa hidungnya masuk ke belahan vaginaku tak perduli sudah banyak lendirku makin bernapsu dia menciumnya. Katanya vaginaku wangi dan enak, belum pernah dia lihat vagina yang begitu indah kaya vaginaku ini, lalu lidahnya menjilat jilatnya. Oohh enak rasanya makin mengerang dan mendesah aku<br /><br />”ooooh seee ommm seee eenaaak, jilat terus ooh!!” aku meracau keenakan dan makin basah saja, lalu kakiku dinaikkan ke atas untuk melepas cdku<br /><br />Sekarang vaginaku sudah bebas menantang dan merekah dia mendesis melihat vaginaku yang merekah. Indah dan merangsang sambil dinikmatinya dan dilihatnya lama sekali sambil diielusnya dengan lembut. Mulai lidahnya menjilat dari bawah dekat anusku.<br /><br />“Aaw…aw…geli ah om!!” aku kegelian kena lidahnya terus menelusuri belahan vaginaku ke bawah lagi makin dekat anusku naik lagi sambil bibirnya melumat bibir vaginaku<br /><br />Nikmat sekali, sekarang anusku dijilat jilatnya lidahnya bermain main lama di sana. Serasa melayang aku kegelian dia tak merasa jijik menjilat anusku. Jilatannya menyebabkan aku makin mendesah keenakan. Kakiku kupegang rapat nempel di dadaku sehingga vaginaku makin menonjol dan merekah lidahnya mulai masuk dan menjilat jilat di dalam lendirku makin banyak keluar. Pantatku diganjalnya dengan bantal supaya aku tak capek. Sungguh enak rasanya vaginaku terasa di dalam ada ular yang meliuk liuk. Wah nikmat sekali baru sekarang aku merasakan kenikmatan ini, lendirku makin banyak keluar dan diisepnya sampai habis. Katanya dia senang dapat merasakan air perawanku. Sekarang dia mau aku mengemut penisnya, dia naik dan mengangkangi kepalaku diganjalnya kepalaku dengan bantal. Kujilat kepalanya dulu dan lobang kencingnya dia meringis kegelian kena jilatanku. Kemudian kuemut emut penisnya dengan lahap sampai 3/4nya masuk mulutku dan kuurut dengan bibirku sambil lidah ku menjilat jilat, kukocok dengan tanganku dengan pelan supaya om GT tambah enak,<br /><br />”Ooooh Fi enak banget lo emutanmu ini, om rasanya mau keluar” erangnya<br /><br />Terasa penisnya makin keras. Lalu aku minta gaya 69 saja karena vaginaku kepingin dijilatnya lagi. Aku di atas vaginaku di atas mukanya dijilat dan lidahnya bermain di dalam. Aduh enak sekali sambil aku mengemut penisnya, kenikmatan dobel vaginaku enak dan mulutku enak. Rupanya om GT mau orgasme, kakinya menghentak hentak, mulutku sudah tak muat karena penisnya makin besar dan keras maka terpaksa emutanku sampai lehernya dan kuurut dengan bibirku sambil kusedot sampai terlepas kuemut lagi sambil kukenyot sambil kuputar putar sambil lidah ku menjilat. Enak sekali penisnya aku amat menikmatinya.<br /><br />“Fi enak emutanmu sayang, terus dikenyot…om mau keluar “erangnya keenakan kena kenyotanku<br /><br />Entah mengapa aku begitu pintar mengemut penisnya padahal baru beberapa kali ini aku ngemut penis. Mungkin dorongan napsuku yang membuat aku bernapsu melumat penisnya, lagian vaginaku di jilatinya sampai aku keluar berkali kali. Sungguh nikmat sekali permainan ini, enak tak kepalang. Aku minta sekarang om GT menusuk vaginaku dengan penisnya karena vaginaku sudah tak tahan gatalnya. Aku telentang dan kubuka kakiku lebar-lebar sambil mendesah<br /><br />“Ayo om…entot aku, udah gak tahan nih!!“aku memohon dengan sangat dan tak perduli lagi harga diriku.<br /><br />Penisnya digesek gesek ke bibir vaginaku dan mulai masuk pelan-pelan kepalanya saja sudah enak rasanya. Kakiku kunaikkan ke pinggangnya, pantatku kunaikan supaya aku bisa menekan penisnya makin masuk. Blees aw aw enak sekali terasa vaginaku sesak dimasuki penisnya.aduh enaknya, terus makin masuk penisnya sampai tinggal pangkalnya. Aku kesakitan sedikit vaginaku tapi sebentar saja sekarang malah enak karena penisnya keluar masuk mengesek vaginaku. Om GT pun memejamkan matanya keenakan penisnya merasakan kehangatan vaginaku.<br /><br />”Fi enak lo vaginamu enak lo,kamu masih perawan kan?” bisiknya sambil dia melumat bibirku<br /><br />Aku makin merangkulnya dengan erat sambil merasakan penisnya keluar masuk vaginaku. Enak sekali makin licin keluar masuknya karena lendirku sudah banyak keluar sampai berbunyi ceprot ceprot. Kugoyang pantatku supaya tambah enak penisnya mengaduk aduk vaginaku.<br /><br />Ketiakku dicium dan dijilatnya sehingga aku makin mengelinjang. Terus om GT mengoyangku penisnya keluar masuk dengan lancar karena licin, aku pun menikmatinya. Ternyata sungguh enak bersetubuh itu. Lalu dia mau orgasme dan dia tanya apa dia boleh orgasme di dalam vaginaku? dia takut aku hamil. Kujawab keluarin di dalam aja karena aku mau merasakan semprottan maninya di dalam vaginaku karena kalau orang bersetubuh paling enak kalau sama-sama orgasme. Om GT makin mengerang dan menghentak hentak penisnya. Crot…dia orgasme dan mengerang terasa penisnya makin membesar dan berdenyut berkali kali menuntaskan keluarnya di dalam vaginaku terasa mengalir air hangat enak sekali sampai vaginaku menjepit penisnya dengan kuat karena aku juga keluar. Aku puas sekali. Om GT memang hebat. Puas aku sekarang dapat merasakan orgasme sesungguhnya dengan bersetubuh, nikmat sekali permainan om GT, mau rasanya tiap hari aku disetubuhinya. Setelah puas bersenggama, kami berbaring berpelukan di ranjangku. Kali ini dia sudah lebih terbuka padaku dan mulailah ia curhat padaku. Ia berterima kasih padaku karena aku adalah wanita yang mampu membangkitkan kembali gairahnya terhadap wanita. Pengakuannya cukup membuatku tercengang, ternyata ia sudah lama kehilangan gairah terhadap istirnya sendiri yang frigid. Yang lebih mengejutkan adalah ia juga ternyata menyukai sesama pria, cinta sejatinya adalah seorang pengusaha kaya raya dan juga ketua parpol besar di negeri ini berinisial AB. Pertemuannya dengan AB berawal ketika ia mengurus tunggakan pajak dari perusahaan AB yang jumlahnya tidak sedikit. Dari jasanya memanipulasi pajak, AB memberi om GT imbalan berlimpah. Dari situ pula mereka mulai saling suka satu sama lain. Keduanya sering kali bertemu di hotel dan berakhir dengan hubungan sesama jenis di kamar. Entah mengapa om GT begitu blak-blakan mengaku padaku sampai menceritakan hal yang paling pribadinya dengan AB seperti misalnya kadang ia menyodomi AB dan kadang sebaliknya, sampai aku agak risih mendengarnya. Ia memperlihatkan padaku fotonya bersama AB sedang berpelukan mesra. Ia berkata bahwa foto itu diambil di Belanda ketika berlibur, di sana mereka serasa bebas mengekspresikan cinta mereka, tidak terkukung seperti di tanah air. Di tengah ceritanya ia menitikkan air mata, ia berkata bahwa ia benar-benar mencintai AB, tapi kondisi sosial dan posisi AB sebagai salah seorang yang berpengaruh di negeri ini tidak memungkinkan untuk meneruskan hubungan mereka lebih jauh sehingga selama ini om GT rela dirinya menjadi kekasih gelap pria dari AB. Hubungan terlarang sesama jenis mereka terus berlangsung tapi dengan sangat hati-hati. Dengan hartanya yang berlimpah, AB menunjang kehidupan om GT sehingga secara ekonomi om GT sangat berkelimpahan hingga sanggup membeli sebuah rumah mewah, gajinya sebagai pegawai negeri golongan 3A seperti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tunjangan yang diberikan AB ditambah lagi imbalan dari pekerjaan sampingannya menggelapkan pajak. Ceritanya mau tidak mau membuatku tersentuh juga, meskipun cinta sesama jenis yang diharamkan sebagian orang dan terlibat pekerjaan kotor, ternyata mereka pun masih bisa saling mencintai. Aku memeluk om GT dan mengelus kepalanya untuk menghiburnya. Aku bertanya padanya kenapa ia mau berterus terang padaku mengenai hal yang sensitif seperti ini. Ia menjawab bahwa ia butuh tempat untuk mencurahkan perasaannya, dan ia merasa aku cocok untuk itu dan percaya aku bisa jaga rahasia. Aku pun menyanggupinya dan tidak akan mengatakan pada siapapun apa yang kuketahui itu. Ia pun berterima kasih padaku karena hatinya lebih lega setelah curhat. Hari ini sungguh penuh kejutan, ternyata orang yang diam-diam menjadi partner seksku adalah seorang biseks dan kekasih gelap dari seorang figur yang sangat dikenal masyarakat.<br /><br />Beberapa bulan kemudian aku mendengar berita om GT menghilang dan diburu aparat karena ditetapkan sebagai tersangka penggelapan pajak. Ia tertangkap di Singapura beberapa hari kemudian dan ditahan oleh pihak berwajib. Selama beberapa minggu om GT menjadi bintang di media massa baik cetak maupun elektronik. Hingga akhirnya 1-2 bulan kemudian namanya tidak banyak terdengar lagi di media. Suatu hari sebuah nomor tak dikenal masuk ke hapeku, setelah kuangkat ternyata orang itu adalah om GT, katanya ia kepingin bertemu denganku dan bersetubuh lagi. Tentu saja awalnya aku kaget karena kan katanya dia sedang di penjara, bagaimana mungkin bisa bebas keluar untuk bertemu denganku? Ia menjelaskan padaku bahwa semua itu mudah saja, di negeri ini asalkan ada uang apa sih yang tidak bisa didapat, dengan uangnya ia telah menyuap para petugas yang menjaganya sehingga dapat keluar penjara untuk sesekali refreshing. Selama keluar dari penjara ia selalu mengenakan wig dan kacamata untuk menyamar agar tidak mudah dikenali orang. Di telepon ia kembali curhat padaku bahwa yang menyebabkannya seperti ini adalah seorang pejabat tinggi di kepolisian yang juga pernah menerima sebagian uang haramnya. Rupanya pejabat kepolisian berinisial SD itu juga penyuka sesama jenis dan menaruh hati pada om GT. Tapi om GT yang mencintai AB tidak bisa menerima cinta dari SD, mereka hanya pernah melakukannya sebatas hubungan badan sesama jenis saja, tapi om GT mengaku tidak pernah mencintai SD sedikitpun. Suatu hari setelah melakukan oral seks di kantor SD, ia menyatakan rasa cintanya pada om GT tapi om GT menolaknya sehingga membuat SD tersinggung dan marah. Tak lama kemudian SD terlibat kasus dan dalam penyidikannya ia menyebut nama om GT terlibat dalam mafia pajak. Dari sini lah nama om GT mulai santer diberitakan media hingga akhirnya menjadi tahanan seperti sekarang ini. Begitu dalam cintanya pada AB, sampai di persidangan ia tidak ingin membuat AB terlibat dalam kasus ini, ia selalu menolak jika perbutatan kriminalnya dikait-kaitkan dengan AB. Ia juga berkilah keluar dari penjara bukan bermaksud untuk kabur tapi hanya refreshing saja, karena pak SD pun juga sering keluar dari penjara untuk bertemu keluarga bahkan juga pernah masuk hotel dan membooking pria tampan untuk berkencan dengannya, kabar burung mengatakan bahwa selebritis pria seperti Bertrand Antolin dan Roger Danuarta termasuk di antara yang pernah berkencan dengan SD. Setelah bicara panjang lebar akhirnya om GT menutup pembicaraan dan menyuruhku menunggu di rumah karena ia akan datang. Aku geleng-geleng kepala setelah menutup telepon darinya, wah…wah…benar-benar kacau negeri ini, APA KATA DUNIA!!??Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-43349281961936332122012-03-31T14:22:00.002-07:002012-03-31T14:22:34.210-07:00Parto, Orang Desa yang Cari Rejeki di KotaDay 1<br /><br />Lelaki berkulit sawo matang bertampang amburadul dan berpakaian kusut itu memencet bel di depan pintu gerbang rumah yang besar sekali itu. Beberapa saat kemudian muncul pembantu cewek stw dari dalam rumah itu.<br /><br />“Lho, Parto! Kok kamu bisa kesini?”<br /><br />“Ceritanya aku nyari kerja di Jakarta, Mbak. Tapi sudah jauh-jauh kesini, sampai seminggu masih belum dapet kerjaan juga. Sekarang duitku abis Mbak.”<br /><br />“Aduh, Parto, Parto, dari dulu kamu itu nggak pernah berbuat benar. Nggak dipikir dulu, nekat ke Jakarta. Ngabis-ngabisin duit aja.”<br /><br />“Yah gimana lagi Mbak. Semua ini gara-gara si bangsat Tarjo itu. Kata dia di Jakarta enak, kerjaan kantoran dapet duit banyak. Ternyata sampe disini, aku ga dapet kerjaan. Dan dia ternyata cuma jadi kuli bangunan.”<br /><br />“Trus sekarang maumu apa?”<br /><br />“Eh, anu..aku mau minta duit, Mbak. Dan aku pengin kerja di rumah ini. Wah, rumahnya gede dan bagus. Pasti yang punya kaya banget ya Mbak.”<br /><br />“Enak aja. Pikirmu Mbakmu ini punya duit banyak. Dan kamu jangan mimpi bisa diterima kerja disini. Lha wong kamu ga punya kepandaian apa-apa gitu.”<br /><br />“Siapa tahu disini butuh tenaga kasar Mbak. Jadi kuli atau kacung pun aku mau daripada pulang ke desa. Malunya itu lho.”<br /><br />“Salah sendiri, kenapa kamu nekat ke Jakarta. Huh, jangan harap kamu tinggal disini. Tuan nggak akan menerima kamu kerja apalagi membolehkan tinggal disini.”<br /><br />“Kok dari tadi Mbak yakin banget aku ga bakalan diterima disini?”<br /><br />“Soalnya Tuan khan punya anak gadis yang baru dewasa. Mana mungkin dia membolehkan kamu tinggal disini.”<br /><br />“Lho aku khan pengin kerja beneran bukan mau ngapa-ngapain. Lagipula mana mungkin aku berani godain anak majikan. Coba tanyain dulu Mbak. Kalo memang ga boleh ya udah aku pulang. Tapi kasih duit buat ongkosnya donk.”<br /><br />Entah karena kegigihan Parto yang memaksa atau karena ia tak mau memberikan uang, akhirnya ia mengalah.<br /><br />“Ya udah aku coba tanyain ke Tuan dulu. Kamu tunggu disini, jangan kemana-mana.”<br /><br />Tak lama kemudian, pembantu cewek tadi muncul lagi sambil membuka pintu pagar.<br /><br />“Kamu betul-betul mujur. Kebetulan Tuan butuh orang untuk mencabuti rumput liar dan mengerjakan pekerjaan kasar lainnya. Tapi kamu disini cuma sementara. Sekarang hari Senin. Hari Jumat pagi nanti, sebelum Tuan pergi ke kantor, kamu sudah harus pergi. Gajimu 5 hari disini cukup untuk ongkos pulang. Tapi awas, disini kamu jangan bikin malu Mbak ya!” katanya memperingatkan adik bungsunya.<br /><br />“Baik Mbak,” kata Parto sambil menghela nafas. Ah, kalau cuma kerja 5 hari nyabutin rumput, ngapain aku jauh-jauh ke Jakarta, keluhnya.<br /><br />–@@@@– <br />Parto<br /><br />Parto<br /><br />Parto adalah pemuda malas yang tinggal di desa di Jawa Timur. Meski usianya sudah 21 tahun, ia masih luntang lantung tanpa kerjaan dan bergantung ke orangtuanya. Ia tak mau bekerja karena merasa tak punya tanggungan apa-apa. Sementara biaya hidup orangtuanya ditunjang oleh saudara-saudaranya termasuk pembantu cewek tadi yang bernama Mbok Minah. Ia adalah kakak sulungnya. Meski pengangguran, tak berarti kehidupan Parto susah. Malah sebaliknya, tiap hari ia menghabiskan waktu berjudi maen gaple dan kartu sambil menggodai gadis-gadis desa yang lewat. Ia juga sering menggerombol dengan pemuda-pemuda berandalan lainnya sambil minum-minum tuak. Kalau duitnya habis, ia tinggal minta ke orangtuanya. Orangtuanya tak bisa menolak karena sejak kecil memang ia amat dimanja. Sehingga semua saudara-saudaranya jadi sebal dengan Parto. Sementara itu, ibunya beberapa kali mencoba ingin mengawinkan dia dengan gadis sedesanya yang seumuran. Namun semua pinangannya itu selalu ditolak, baik oleh gadisnya sendiri dan juga keluarganya. Karena reputasi Parto terkenal buruk. Apalagi belakangan ini timbul isyu santer kalau dia ada hubungan gelap dengan Sutinah, janda kembang muda yang cantik. Beberapa orang menjumpai dirinya keluar dari rumah Sutinah. Kebetulan atau kebetulankah? Yang jelas reputasi Parto semakin hancur di desanya. Oleh karena itu, saat Tarjo teman kecilnya balik dari Jakarta dan membual tentang hidup enak di Jakarta, dengan nekat ia pergi ke Jakarta. Inilah jalanku, pikirnya sambil membayangkan orang-orang yang kini memandang rendah dirinya, nantinya pada terkagum-kagum melihat keberhasilannya hidup di Jakarta. Namun apa lacur, kenyataan sungguh jauh berbeda dibanding angan-angannya. Sungguh beruntung ia sebelumnya mencatat alamat rumah tempat kakak sulungnya bekerja, sehingga kini bisa didatanginya. <br /><br />–@@@@–<br /><br />Begitu selesai memberikan instruksi kepada Parto, Pak Sutanto pemilik rumah itu segera pergi ke kantor. Sementara Parto mulai bekerja mencabuti rumput liar di taman yang luas. Karena memang malas, belum setengah jam ia mulai mengeluh. Namun karena tak ada pilihan lain, ia terpaksa melakukan pekerjaannya itu dengan terus-terusan mengeluh. Tak terasa hari pun telah berubah menjadi sore dan kini ia telah berhenti bekerja. Saat itu ia sedang berbincang-bincang dengan kakak sulungnya yang usianya terpaut 20 tahun itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil.<br /><br />“Sebentar, aku bukain pintu dulu,” kata Mbok Minah langsung meninggalkan Parto. <br /><br />Tak lama kemudian, masuklah mobil merah ke dalam rumah itu. Ternyata pengendaranya seorang gadis yang masih sangat muda. Wajahnya putih cakep dan berambut panjang. Ia memakai baju seragam yang lengkap dan tertata rapi di tubuhnya.<br /><br />Cewek itu tersenyum manis kepada Mbok Minah. <br /><br />“Kok Non Fey Chen jam segini baru pulang?” tanya Mbok Minah.<br /><br />“Soalnya tadi ada latihan buat upacara 17 Agustus, Mbok. Aku kepilih jadi pembawa bendera. Makanya pake baju seragam lengkap gini,” jawab Fey Chen dengan ramah sambil menutup pintu mobilnya.<br />Fei Chen dalam seragam sekolah<br /><br />Fei Chen dalam seragam sekolah<br /><br />Sementara Parto yang melihatnya dari kejauhan sungguh terkesima dengan cewek cakep itu apalagi saat dia tersenyum manis. Kesannya putih bersih dan high class gitu loh. <br /><br />Belum pernah ia melihat cewek semenarik itu. Usianya masih sangat muda. Kulitnya putih bersih. Wajahnya sungguh cantik menawan. Ditambah lagi rambutnya yang panjang dicat agak kecoklatan. Sungguh bening sekali, beda dengan gadis-gadis desa yang biasa dilihatnya.<br /><br />“Oh ya Non, yang disitu itu Parto adik Mbok yang baru datang dari desa. Tadi pagi ia datang kesini dan Tuan mau mempekerjakan dia disini sampe Jumat,” katanya sambil menunjuk Parto yang berdiri agak kejauhan itu. Rupanya Mbok Minah tidak ingin cewek itu kaget melihat ada cowok rendahan yang tak dikenal berada di dalam rumah.<br /><br />“Ooh, begitu,” komentar cewek itu singkat tanpa sedikitpun menoleh ke arah Parto. ”Oh ya, Mbok, tadi Papi bilang nggak pulangnya jam berapa?”<br /><br />“Tadi Papi pesan kalo pulangnya agak malaman, jadi kalau sudah lapar, Non makan duluan aja katanya.”<br /><br />Sementara Parto yang dari tadi sudah kesengsem dengan gadis itu, merasa berbunga-bunga saat dirinya dikenalkan oleh Mbok Minah. Ia pengin jual tampang dikit ke cewek itu. Segera ia berjalan mendekati mereka. Lumayanlah kalo bisa salaman sama dia juga, pikirnya.<br /><br />“Oh begitu. Ya udah aku masuk kamar dulu deh Mbok,” kata Fey Chen.<br /><br />Sementara itu Parto yang berjalan mendekat sambil terus memandang Fey Chen lekat-lekat, menganggukkan kepalanya sambil menyodorkan tangannya dan berkata,” Saya Parto, Non.”<br /><br />Namun sial baginya, karena bersamaan pada saat itu Fey Chen telah keburu membalikkan badannya dan berjalan ke dalam. Pada saat yang sama Fey Chen berbicara ke Mbok Minah tanpa menoleh,”Tolong makanannya dipanasin sekarang ya Mbok, sementara aku mandi dulu.” Sehingga ia tak mendengar suara Parto. Jadilah kini Parto berdiri salah tingkah sementara tangannya masih terjulur ke depan. Mukanya merah padam. Sementara Mbok Minah tertawa mengikik melihat adegan lucu itu. <br /><br />“Hahahaha. Makanya jadi orang jangan sok pengin nampang. Level kamu nggak nyampe. Nggak dianggap kamu sama dia. Makanya jadi orang tahu diri dikit napa sih. Ayo kamu balik nyabutin rumput sana,” kata Mbok Minah sambil tertawa setelah Fey Chen masuk ke dalam rumah.<br /><br />“Itu tadi siapa sih, Mbak?” tanya Parto penasaran saat keduanya berjalan masuk.<br /><br />“Ooh, dia itu Non Fey Chen, anaknya Tuan. Kalo Tuan manggil dia Chen-Chen. Kalo kamu harus panggil dia Non, jangan panggil namanya! Dan ingat, kamu jangan kurang ajar sama dia. Mengerti?”<br /><br /> “Wah, anaknya cantik banget ya Mbak. Kulitnya putih lagi. Memang cewek Cino akeh sing ayu-ayu yo Mbak (cewek Chinese banyak yang cakep ya Mbak), tapi dia ini betul-betul istimewa.”<br /><br />“Hushh! Sudah dibilang jangan kurang ajar kok kowe ngomong gitu!” sergah Mbok Minah.<br /><br />“Lho iya beneran Mbak. Ga pernah aku ketemu cah wedhok sing ayune koyok ngono (Nggak pernah aku ketemu dengan cewek yang cakepnya seperti itu).”<br /><br />“Kowe kalo ngomong jangan sembarangan. Ingat, disini kamu cuma numpang sementara. Kamu harus sopan sama tuan dan terutama sama Non, mengerti?”<br /><br />“Yo ngerti ngerti Mbak. Tapi mbayangno di dalam hati khan boleh-boleh aja. Lha wong cakep dan putihnya kayak gitu, heheheh,” kata Parto sambil membayangkan wajah Fey Chen tadi. Apalagi ia mendengar gadis itu tadi bilang kalau ia akan mandi dulu sebelum makan. Dasar pikirannya memang kotor, ia langsung membayangkan Fey Chen yang cakep itu tentu kini sedang telanjang bulat. Seketika batangnya langsung mengeras membayangkan itu.<br /><br />“Heh! Ngelamunin apa kamu? Ayo sini bantuin Mbak bawa panci ini ke dalam untuk makan malam Non,” seru Mbok Minah.<br /><br />“Omong2, dia umur berapa sih Mbak? Masih sekolah ya.”<br /><br />“Ngapain kamu nanya umurnya segala? Itu bukan urusanmu tahu. Urusanmu disini cuma kerja kasaran, bukan ngurusin umurnya Nonik. Ngerti kowe?”<br /><br />“Ya ngerti, Mbak. Tapi ngomong antar kita sendiri khan nggak apa-apa. Aku cuma pengin tahu aja. Kok keliatannya masih muda banget.”<br /><br />“Memang dia baru ulang tahun ke-18, dia masih sekolah kelas 3 SMA.”<br /><br />“Ooh, makanya tadi Mbak bilang anaknya Tuan baru dewasa.”<br /><br />“Wis, wis jangan ngomongin dia lagi. Ayo taruh panci itu disini,” perintah Mbok Minah kepada Parto.<br /><br />“Wah, wis cakep, sexy, putih, masih muda, anak orang kaya lagi,” kata Parto membatin sambil menelan ludahnya. Ia masih terbayang-bayang akan wajah cakep Fey Chen.<br /><br />Tak berapa lama keluarlah Fey Chen dari kamarnya. Wajahnya nampak segar. Ujung-ujung rambutnya masih terlihat basah. Pertanda ia baru saja selesai mandi. Parto cukup beruntung saat itu. Tadi ia hanya bisa melihat wajah cantik Fey Chen saja, sementara tubuhnya tertutup rapat oleh baju seragam hitam yang lengkap dan berlapis-lapis. Namun kini ia melihat Fey Chen memakai pakaian rumah yang sifatnya informal yang tak se-tertutup dan berlapis-lapis seperti baju seragamnya tadi. Seketika mata Parto jelalatan menyaksikan putih mulusnya dan keindahaan bentuk tubuh gadis itu.<br /><br />“Wah, makanannya sudah selesai ya. Makasih ya Mbok,” kata Fey Chen dengan wajah ceria. Daster tanpa lengan warna abu-abu dengan motif bunga itu sungguh cocok sekali dikenakannya. Fey Chen sama sekali mengacuhkan kehadiran Parto. Sebaliknya Parto menatap gadis itu sampai melongo. <br /><br />Pandangan mata Parto tak bisa melewatkan “benda bening” di depan matanya itu. Daster yang dipakai Fey Chen itu termasuk “heboh” buat ukuran orang desa seperti Parto. Karena daster tanpa lengan itu menunjukkan jelas-jelas ke-sexy-an tubuh pemakainya. Bahu dan seluruh tangan gadis itu begitu terbuka dan terlihat jelas. Sungguh putih mulus kulitnya. Pinggulnya nampak padat berisi. Dadanya nampak menonjol di balik daster itu apalagi kalau dari samping, pertanda payudara gadis itu telah tumbuh sempurna. Tepat di ujung belahan leher daster itu, terlihat sedikit belahan payudaranya. Tak heran kalau sebentar-sebentar Parto selalu melirik ke arah Fey Chen. Sementara itu Mbok Minah seolah berperan sebagai polisi yang mengawasi jelalatan mata adiknya itu. Ia beberapa kali memelototkan matanya ke arah Parto memberi isyarat untuk meninggalkan cewek itu. Dengan terpaksa akhirnya Parto meninggalkan ruangan tengah itu dan pergi ke kamarnya di ujung belakang. Sebagai hiburan di dalam kamar, ia mendengarkan lagu dangdut dari radio kecil yang dibawanya. Inilah satu-satunya hiburanku, pikirnya. Sampai akhirnya ia pun tertidur lelap apalagi hari itu ia cukup kecapean karena mencabuti rumput. <br /><br />–@@@@–<br /><br />Day 2<br /><br />Pagi-pagi, Parto terbangun saat Mbok Minah memanggil-manggil namanya, padahal ia masih mengantuk.<br /><br />“Ayo cepat bangun. Tuan ingin bicara sama kamu!”<br /><br />Hari itu, selain mencabuti rumput, Pak Sutanto menyuruhnya untuk membetulkan genting yang bocor di bagian belakang rumah. Setelah itu, Pak Sutanto berangkat ke kantor. Sementara ia tak melihat Fey Chen pagi itu karena anak itu telah berangkat ke sekolah sejak pagi-pagi tadi. Setelah itu Parto melanjutkan mencabuti rumput. Siangnya ia naik ke atas membetulkan genting yang bocor. Kira-kira agak sorean ia mendengar suara Pak Sutanto dan Fey Chen. Rupanya mereka telah sama-sama pulang ke rumah. Namun ia sama sekali tak mendapat kesempatan cuci mata, karena ia harus bekerja di atas genting.<br /><br />Saat itu Parto ingin beristirahat setelah “bekerja keras seharian”. Ia menuruni tangga dan menuju ke belakang. Sambil bertelanjang dada ia menggotong tangga itu. Karena masih asing dengan rumah yang besar itu, rupanya ia salah jalan. Ia menuju ke sisi rumah yang selama ini belum pernah didatangi. Namun sungguh tak rugi ia salah jalan. Karena ia melihat dari arah samping, Fey Chen yang sedang asyik berjalan-jalan sambil ber-jogging menikmati angin sore yang sejuk. Sementara Fey Chen tidak melihatnya. Buru-buru ia bersembunyi dan mengintip di balik dinding bata yang berlubang-lubang. Ia ingin menikmati lebih lama pemandangan indah itu tanpa ketahuan gadis itu. Karena saat itu Fey Chen memakai pakaian yang minim sekali. Bahkan di mata orang desa seperti dirinya, itu termasuk kategori telanjang. Kini ia dengan bebas memelototi ke-sexy-an Fey Chen tanpa diketahui gadis itu. Rupanya saat itu Fey Chen sedang asyik sendiri sehingga ia tak memperhatikan kalau ada cowok di balik dinding sedang asyik mengagumi kemulusan tubuhnya. Namun sial bagi Parto, karena Fey Chen kini membelok ke arahnya. Rupanya gadis itu ingin melihat bunga-bunga merah yang merambat di dinding dari jarak dekat. Sementara ia tak sadar kalau Parto berdiri di belakangnya, juga sedang memperhatikan “bunga berjalan” yaitu dirinya. Parto berdiri kaku di belakang Fey Chen. Ia merasa tegang. Sekali gadis itu menoleh ke belakang, habislah ia sudah. Namun ia juga terpana oleh pemandangan indah bagian belakang tubuh Fey Chen. Bentuk tubuhnya sungguh proporsional. Kedua lengan dan pahanya begitu putih mulus. Pantatnya begitu padat menonjol di balik rok mini ketatnya. Namun rupanya naluri kewanitaan Fey Chen merasakan ada sesuatu yang janggal di balik punggungnya. Karena secara tiba-tiba gadis itu membalikkan badannya. Dan, kelihatan kalau ia amat terkejut sampai-sampai dirinya tersentak dan mengeluarkan seruan tertahan. Entah ia kaget karena tiba-tiba ada cowok rendahan macam Parto di belakangnya tak jauh dari tempatnya berdiri dan sedang menatap dirinya lekat-lekat. Ataukah karena jengah melihat tubuh kekar cowok berkulit sawo matang yang hanya terbalut celana pendek saja. (Atau mungkin karena keduanya?) Sementara Parto juga kaget tiba-tiba cewek itu menoleh ke arah dirinya. Ia jadi serba salah. Saat itu ia bagaikan murid yang ketahuan nyontek oleh gurunya. Setelah berhasil menguasai dirinya, akhirnya Fey Chen membuka pembicaraan.<br /><br />“Mas namanya Parto ya?…” tanya Fey Chen dengan pandangan menyelidik.<br /><br />“Iya Non,” kata Parto menjadi grogi dan tak berani memandang balik cewek itu.<br /><br />“Ngapain kamu disini?” tanya gadis itu dengan pandangan tajam.<br />Fei Chen saat menegur Parto<br /><br />Fei Chen saat menegur Parto<br /><br />“Eh, anu Non, saya mau naruh tangga ini disini,” kata Parto sambil berusaha menyandarkan tangga itu ke dinding bata tempat ia berdiri.<br /><br />“Tangga itu pasti bukan disini tempatnya. Dan pasti kamu salah jalan kesini,” kata Fey Chen sambil menaruh kedua tangannya di depan dadanya seolah ingin menutupinya dari pandangan Parto. <br /><br />“Eh, iya. Anu, maaf, saya tadi salah jalan Non,” katanya sambil melirik sebentar ke tubuh sexy di depannya itu. <br /><br />“Iya, kamu pasti salah jalan. Nggak seharusnya kamu masuk kesini. Jalan keluarnya lewat sana tuh,” kata Fey Chen sambil menunjuk dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain masih menutupi dadanya. <br /><br />“Baik. Permisi Non,” kata Parto sambil berjalan ngeloyor pergi.<br /><br />“Tunggu,” seru gadis itu tiba-tiba.<br /><br />“Eh, ada apa Non.”<br /><br />“Itu tangganya dibawa keluar juga,” kata Fey Chen,” Dan ingat, kamu jangan kesini lagi. Mengerti?” <br /><br />“Oh, i-iya Non. Permisi Non,” kata Parto sambil tergopoh-gopoh membawa tangga itu. Ia tak berani menoleh ke belakang lagi.<br /><br />Fey Chen akhirnya lega begitu Parto meninggalkan tempat itu. Ia sendiri merasa risih berbicara terlalu lama dengan Parto barusan. Pertama, ia menyadari pakaiannya cukup minim untuk “konsumsi” orang seperti Parto ini di tempat sunyi seperti itu. Dan kedua, ia jengah melihat Parto yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek yang sangat pendek. Ia bahkan tak berani melihat ke tanah, karena takut melihat bagian bawah tubuh Parto yang hanya tertutup celana yang amat pendek.<br /><br />Tak lama kemudian muncullah Mbok Minah.<br /><br />“Ada apa Non, kok tadi Mbok denger Non bicara sama orang.”<br /><br />“Iya, sama Mas Parto, Mbok. Dia tadi nyasar ada disini.”<br /><br />“Ooh, memang geblug itu anak. Padahal Mbok sudah bilang ga boleh ke tempat ini karena ini tempat Non Fey Chen. Maafin deh Non. Dia memang orangnya agak-agak bego,” kata Mbok Minah berusaha melindungi supaya Fey Chen tidak berpikiran yang negatif terhadap Parto.<br /><br />“Iya memang kayaknya sih memang dia rada-rada telmi gitu Mbok. Bukannya menghina ya. Masa tangga mau ditaruh di dinding sini. Padahal tingginya jelas-jelas nggak cukup,” kata Fey Chen sambil tersenyum geli. <br /><br />“Iya memang dari dulu juga begitu tuh anak. Nanti Mbok kasih tahu lagi deh Non. Maaf ya kalo tadi ngeganggu Non.”<br /><br />–@@@@–<br /><br />Malamnya…<br /><br />Parto berdiam di dalam kamarnya terus. Atau tepatnya “bersembunyi” disana. Ia merasa takut kalau-kalau Fey Chen mengetahui pikiran kotornya terhadap gadis itu dan melaporkan kejadian sore tadi ke Papinya. Untuk menenangkan pikirannya, ia ngendon di dalam kamar terus sambil mendengarkan radionya. Setelah sampai malam tak ada teguran yang ditakutinya, kini dirinya merasa lega. <br /><br />–@@@@–<br /><br />Saat larut malam…<br /><br />Pikiran Parto kembali membayangkan pertemuannya dengan gadis itu tadi. Tubuhnya berkeringat. Penisnya menegang keras. Jantungnya berdetak lebih kencang. Perasaannya bercampur antara rasa grogi dan terangsang. Antara takut dan nafsu birahi……… <br /><br />–@@@@–<br /><br />Saat lewat larut malam…<br /><br />Suasana rumah sunyi senyap. Namun di dalam kamar gelap yang dingin ber-AC itu terdengar suara sayup-sayup, suara seorang cowok dan cewek.<br /><br />“Ooohh….ohhhh…ohhhhhh, “ terdengar suara cewek itu mendesah-desah perlahan seperti layaknya sedang disetubuhi cowok.<br /><br />…<br /><br />…<br /><br />Lalu terdengar suara cowok,<br /><br />“Ayo, sekarang isep kontolku…Nah, ya gitu dong, aahhh, ahhhh, ahhhhh, seru suara cowok itu. Rupanya penisnya telah mulai didalam kuluman cewek tadi.<br /><br />Tak lama kemudian,<br /><br />“Oohhh, ohhhh, aaahhhhh, aaahhhhhhhhhh,” serunya penuh rasa puas saat seluruh spermanya meleleh di dalam mulut cewek tadi.<br /><br />Tak lama kemudian, lampu di dalam kamar itu dinyalakan. Yang cowok masih terkapar dengan telanjang bulat. Napasnya terengah-engah memandangi cewek di dekatnya yang juga telanjang bulat. Di dekat mulut cewek itu masih terdapat sisa-sisa sperma yang mengalir keluar dari mulutnya. <br /><br />“Wah, makin lama kamu makin asyik aja maennya, Nah,” kata Pak Sutanto kepada Mbok Minah,” Kamu nggak kalah sama cewek-cewek muda 20 tahunan. Yang pasti kamu lebih hebat dibanding Nyonya.”<br /><br />“Ah, bisa aja Tuan,” katanya tersipu.<br /><br />(Sungguh aneh. Kok bisa-bisanya Pak Sutanto kepincut sama Minah. Padahal dengan kekayaannya ia bisa mendapatkan banyak cewek-cewek muda yang jauh lebih cakep dan seksi. Sementara Minah sendiri meski body-nya bahenol tapi sudah stw dan tak bisa dikategorikan cakep. Mungkinlah karena ia jago bermain di ranjang, sehingga Pak Sutanto dibuatnya takluk? Ataukah ada alasan lain? Atau keduanya?)<br /><br />“Iya betulan. Besok malam lagi ya, mumpung Nyonya nggak disini. Aku pengin ngenyot-ngenyot susumu yang montok ini lagi,” kata Pak Sutanto dengan senyum mesum sambil meremas-remas payudara Minah yang montok.<br /><br />“Iih, Tuan genit deh,” katanya berusaha menepis tangan nakal majikannya itu, tapi pada akhirnya tangan majikannya itu masih terus melekat di dadanya.<br /><br />“Udah aku balik ke kamar dulu. Besok mesti bangun pagi-pagi nyiapin buat Non Fey Chen,” kata Minah sambil berdiri dan mulai mengenakan seluruh pakaiannya.<br /><br />“Ya udah kamu balik sekarang. Tapi ingat, besok jam yang sama kamu kesini lagi untuk begini lagi ya,” kata Pak Sutanto sambil menyelipkan ibu jarinya di antara telunjuk dan jari tengahnya.<br /><br />“Kalo itu tergantung, ininya banyak nggak,” kata Minah sambil menggerakkan tiga jarinya.<br /><br />“Itu sih beress. Nih buat malam ini,” kata Pak Sutanto mengambil segepok Rupiah dan menyelipkannya ke balik bra Minah dan meremasnya. “Besok aku tambah deh persenannya.”<br /><br />“Makasih tuan. Yuk, aku balik dulu,” katanya sambil mengerling genit dan memajukan bibirnya seolah mencium, sebelum membalikkan badan dan keluar dari kamar tuannya.<br /><br />–@@@@–<br /><br />Saat lewat lewat larut malam, menjelang subuh…<br /><br />Terdengar bunyi kresek-kresek di dalam rumah itu namun di kamar yang berbeda. Kali ini di kamar Parto. Parto yang telanjang bulat sedang menindih tubuh Fey Chen yang juga telah telanjang bulat. Keduanya menempel menjadi satu. Dan ternyata penis Parto telah berada di dalam vagina Fey Chen. Dan, Parto mengocok-ngocok penisnya di dalam tubuh gadis itu.<br /><br />“Ooohh, oohhhh, ohhhhhh…….<br /><br />Suara keduanya bercampur menjadi satu seiring dengan kocokan penis Parto di dalam tubuh Fey Chen.<br /><br />“Ahhhh, Fey Chen, ahhhhhh, ahhhhhh<br /><br />(To be continued next day)<br /><br />–@@@@–<br /><br />Day 3<br /><br />“Ooohh, ohhhh, ohhhh.”<br /><br />Shleeb, shleeb, shleeb<br /><br />Mmmpphh<br /><br />Aaahh, aaahhhh, aaahhhh, aaahhhhhh…<br /><br />…<br /><br />…<br /><br />…<br /><br />Dokk, dokk, dokk!<br /><br />Dokk, dokk, dokkkk!<br /><br />Dokk, dokk, dokkkkkk!<br /><br />Terdengar suara pintu yang digebrak-gebrak makin keras.<br /><br />“Partooo!!” <br /><br />“Partooo!!”<br /><br />Parto yang sedang asyik, jadi sangat terkejut.<br /><br />“Iya, iya, “ serunya tergopoh-gopoh.<br /><br />“Ayo buka pintunya, lagi ngapain aja kamu sih. Dipanggil-panggil dari tadi nggak dijawab,” suara Mbok Minah. “Kamu ini maunya kerja atau apa?”<br /><br />“Iya, iya bentar. Ah ngeganggu keasyikan orang aja,” gerutu Parto.<br /><br />“Ada apa sih Mbak, pagi-pagi ngagetin orang.”<br /><br />“Ini sudah jam 6 pagi. Kamu harus bangun!”<br /><br />Ah sialan, padahal ini udah ampir ngecrott, memang Mbak Minah ini ngerusak kesenangan orang aja. Lagi asyik-asyik sama “Fey Chen” dikagetin kayak gini. Padahal tiap malem dia sendiri “disasak” Pak Sutanto, gerutunya.<br /><br />“Ayo cepat kamu mandi dan bangun. Jangan bikin malu aja.”<br /><br />“Iya, iya, ini aku mandi,” kata Parto keluar dari kamarnya sambil menuju ke kamar mandi.<br /><br />Sementara itu, sebelum Parto bangun, pagi-pagi Fey Chen telah meninggalkan rumah itu berangkat ke sekolah. Hari ini ia tak membawa mobil namun ia dijemput temannya. <br /><br />–@@@@–<br /><br />Saat siang hari dikala Mbok Minah dan Parto sedang makan bareng, tiba-tiba Parto membuka pembicaraan.<br /><br />“Aku heran karo kowe Mbak. Kerja jadi pembantu kok bisa beli pakaian dan perhiasan yang mahal-mahal. Memang sebulan dikasih gaji berapa sih?”<br /><br />“Ah, selain gaji bulanan aku khan sering dapet duit tambahan dari Non Fey Chen dan juga tuan. Soalnya semua urusan Non Fey Chen khan aku yang beresin semua, dari nyuci baju, nyiapin makanan, mijitin dia, bahkan juga dia suka curhat tentang cowoknya.“<br /><br />“Ooh, dia sudah punya cowok tho,” kata Parto dalam hati agak-agak iri hati.<br /><br />“Iya lah, cewek cakepnya kayak gitu, cowok mana yang ga suka sama dia. Sudahlah To, kamu jangan mikirin dia terus. Mbok ya kamu ngaca. Jangan mikirin yang nggak-nggak. Mending abis ini kamu pulang kampung, kerja yang bener trus kawin gitu lho.”<br /><br />“Bukan gitu, Mbak. Aku cuma mikir aja, kirain dia belum punya cowok gitu lho.”<br /><br />“Eh, omong2, kok disini nggak ada Nyonya-nya Mbak. Memang kemana?”<br /><br />“Ooh, nyonya itu juga orang sibuk. Maklum kedua majikan kita ini sama-sama orang bisnis. Jadi sering pergi sendiri-sendiri. Sekarang dia pas nggak ada disini.”<br /><br />“Ooh gitu. Makanya sekarang Mbak “ngegantiin fungsi nyonya” ya,” sindir Parto.<br /><br />“Lho maksudmu apa To??”<br /><br />“Hehehe. Aku sekarang tahu Mbak dapet duit banyak karena tiap malem Mbak mijitin Tuan, tapi pijit-pijit plus plus plus,” kata Parto sambil nyengir kuda.<br /><br />“Anak gila! Kowe ngomong jangan sembarangan ya!” kata Mbok Minah marah.<br /><br />“Sudahlah Mbak jangan pura-pura. Rahasiamu telah terbongkar. Sekarang Mbak nggak mau khan kalo aku bongkar rahasia ini. Hehehe,” Parto tersenyum penuh kemenangan.<br /><br />“Sembarangan kamu ngomong. Memangnya aku orang ga bener sama kayak kamu yang main gila sama janda muda itu?” sergah Mbok Minah.<br /><br />“Sudahlah jangan munafik Mbak. Mbak sengaja ngerayu Pak Sutanto supaya dapet duit banyak. Ya khan? Dari dulu sifat Mbak sudah ketahuan, mata duitan tapi pelit! Kalo ga gitu masa mau kawin sama Mas Parno yang sudah tua bangka itu.”<br /><br />“Tadi malam aku ga bisa tidur, jadi ke kamar Mbak. Tapi aku gedor-gedor kok ga dijawab. Aku kirain sudah tidur. Tapi aku jadi curiga jangan-jangan di dalam nggak ada orang. Diam-diam aku sembunyi. Gak lama kemudian, Mbak dateng sambil ngitung uang ratusan ribu di tangan. Malam-malam gini, bisa dapet duit banyak, kemana lagi kalo ga habis dari kamar juragan asem itu.”<br /><br />“Ya udah sekarang maumu apa?” tanya Mbok Minah dengan muka merah padam. “Ingat ya sebagian uang dari berbuat gini, dipake untuk ngirim duit ke desa. Dan kamu juga makan dari duit itu. Jadi kamu jangan bertindah bodoh dalam hal ini.”<br /><br />“Itu Mbak ga usah kuatir. Tapi, boleh khan kalo aku dapet tambahan langsung dari Mbak? Heheheh.”<br /><br />“Dasar anak haram jadah. Ya udah berapa maumu?”<br /><br />“Ya paling nggak pipti-pipti lah Mbak.”<br /><br />“Edan kamu. Udah aku kasih sepertiga aja.”<br /><br />“OK terima kasih Mbak. Hehehe.”<br /><br />“Ayo sekarang balik kerja lagi.”<br /><br />“Tapi aku masih penasaran satu hal Mbak.”<br /><br />“Apa lagi?”<br /><br />“Aku heran kok Mbak bisa ngerayu Tuan Sutanto. Memang apa sih kelebihan Mbak sampe dia jadi tergila-gila sampe gitu. Padahal dia orang kaya, bisa gampang dapetin cewek-cewek yang lebih muda dan cakep-cakep. Pasti Mbak punya ilmu pelet ampuh. Kalo Mbak mau ngebagi, hehehe, siapa tahu aku bisa bikin Non Peicen (Parto menyebutnya “Peicen” karena ia tak bisa ngomong “f”) kepincut sama aku. Hehehe.” “Kamu gila ya To?!!! Tapi ketahuilah, biarpun kamu pake pelet ini, tetap aja ga cukup kuat buat orang kayak kamu untuk memelet Non.”<br /><br />“Ha! Jadi Mbak benar-benar punya ilmu pelet ya.”<br /><br />“Memang iya,” akhirnya ia mengakui. “Tapi ini ga boleh dipake sembarangan. Dan, yang Mbak bilang tadi, pelet ini ga cukup kuat kamu pake untuk memelet Non Fey Chen. Jadi sudahlah, kamu jangan berharap yang muluk-muluk. ”<br /><br />“Lho kenapa ga kuat Mbak?”<br /><br />“Seandainya kamu ini cewek dan Non Fey Chen itu cowok, kemungkinan pelet ini bisa berhasil. Ilmu pelet ini lebih gampang dipake oleh cewek untuk memelet cowok dibanding sebaliknya.”<br /><br />“Kenapa bisa begitu Mbak?”<br /><br />“Soalnya cewek lebih punya daya tarik seksual di mata cowok dibandingkan sebaliknya. Lain cerita kalo status cowoknya lebih tinggi dibanding ceweknya atau minimal ga beda-beda jauh lah. Lha kalo kamu sekarang, statusmu dan dia bagai bumi dan langit. Sudah pasti ga bakalan jalan. Salah-salah malah ketahuan, wah gawat, Mbak bisa kehilangan pekerjaan bagus disini.”<br /><br />“Dan juga kehilangan bonus “plus plus” nya ya Mbak”, sindir Parto.<br /><br />“Ah, tapi masa Mbak ga mau bantuin aku. Aku ini khan adikmu sendiri Mbak,” kata Parto penasaran.<br /><br />“Memang maumu apa?”<br /><br />“Ya apa lagi kalo bukan memelet Non Peicen supaya dia nurut sama aku. Sampe dia mau aku ajak “gituan”. Kalo bisa kayak Mbak, tiap malem “maen” sama dia khan asyik banget. Heheheheh.”<br /><br />“Edan kamu! Pikiranmu betul-betul gendheng! Tapi, NGGAK! Mbak nggak akan melakukan hal yang bakal merusak masa depan Non Fey Chen. Mbak cukup banyak mendapat kebaikan dari keluarga sini. Oleh karena itu aku nggak bakalan melakukan hal yang menyakiti keluarga sini, terutama yang merusak Non!” kata Mbok Minah tegas. “Biarpun orang yang minta bantuan itu adalah kamu, adik Mbak sendiri!” tambahnya lagi. <br /><br />“Aku tahu kenapa Mbak nggak mau bantu aku. Soalnya mereka bisa ngasih duit lebih banyak dibanding aku, ya khan? Sekarang baru terbukti, Mbak memang orang mata duitan. Lebih berat sama uang dibanding saudara sendiri,” tuduh Parto dengan tajam.<br /><br />“Hey! Dengar Parto, Mbak nggak akan melakukan perbuatan hina itu. Urusan Mbak memelet Pak Sutanto, itu karena memang Mbak rela ditiduri sama dia demi uang. Tapi yang kamu minta ini lain cerita. Non Fey Chen adalah anak gadis baik-baik yang belum menikah. Jadi Mbak nggak bakalan membantu kamu merusak dirinya demi memuaskan pikiran bejatmu itu. Kamu boleh melakukan itu terhadap janda Sutinah di desa. Tapi Non Fey Chen adalah lain cerita. Titik!!” kata Mboh Minah berjalan meninggalkan Parto.<br /><br />Sambil tersenyum licik, Parto berkata,”Ah, Mbak salah kalo berpikiran seperti itu.”<br /><br />“Salah dimana? Sudah jelas sekali niat kamu ini dilandasi nafsu bejatmu yang ingin meniduri dia. Sudahlah, kamu yang tahu diri gitu lho. Mending kamu ikuti nasehat Mbak: cepat pulang ke desa, kerja yang benar, terus kawin gitu. Jadi kamu nggak nyusahin orang terus.”<br /><br />“Mengenai aku kepingin meniduri dia, kuakui itu memang betul. Karena belum pernah aku ketemu cewek yang cakep dan sexy serta punya daya tarik seksual yang sekuat dia. Wajar dong kalo aku pengin tidur sama dia, aku khan juga cowok normal. Tapi ada satu hal lain yang perlu Mbak ketahui. Kalo Mbak membantu aku, justru Mbak akan mendapatkan keuntungan banyak dari sini.”<br /><br />“Apa yang bisa kamu berikan ke Mbak?” tanya Mbok Minah dengan sinis namun ia menghentikan langkahnya.<br /><br />Parto tersenyum penuh arti karena pancingannya mengena.<br /><br />“Seandainya aku berhasil menguasai dirinya, sudah pasti aku akan menikmati dirinya. Tapi selain itu, aku juga akan porotin duitnya, sama seperti Mbak morotin Bapaknya. Nah, kalo aku berhasil morotin dari dia, tentu Mbak bakal kebagian juga. Aku mau berbagi pipti-pipti sama Mbak. Apakah Mbak nggak tertarik dengan itu? Lagipula siapa tahu aku bisa morotin duit lebih banyak dari dia dibanding Mbak dari Bapaknya.”<br /><br />“Tapi tetap saja, Mbak nggak bisa membantu kamu melakukan itu. Itu adalah perbuatan yang sungguh keterlaluan. Sudah ngerusak anak gadis baik-baik masih diporotin lagi duitnya. Mbak nggak akan melakukan itu,” kata Mbok Minah. Namun kini nada bicaranya tak setegas sebelumnya.<br /><br />“Sudahlah Mbak ga usah munafik dan sok bermoral. Aku tahu Mbak bukan orang seputih itu. Karena itu aku ga percaya kalau Mbak ga mau bantu aku karena alasan Mbak sayang ke Non Peicen atau merasa berhutang budi terhadap keluarga sini. Menurutku Mbak ga mau bantu aku, karena seperti yang Mbak bilang tadi, ilmu pelet Mbak ga cukup ampuh untuk menaklukkan Non Peicen. Oleh karena itu Mbak nggak mau ngambil resiko.”<br /><br />“Tapi sekarang coba Mbak pikir lagi, kalo ada cara ampuh untuk menaklukkan cewek itu, CARA AMPUH YANG PASTI BERHASIL, masa Mbak tetap nggak mau membantu aku. Apakah Mbak nggak mau dapet uang tambahan dari “penghasilanku”? Sudahlah sama aku Mbak ga usah malu-malu dan ga usah sok suci kayak penggede-penggede itu.”<br /><br />“Memang cara ampuh seperti apa sih yang kamu punya?” tanya Mbok Minah yang kelihatan telah bergoyah pendiriannya.<br /><br />“Begini nih Mbak,” kata Parto sambil membisikkan rencananya secara detail ke telinga Mbok Minah. <br /><br />…………………………. <br /><br />“Wah!! Betul-betul anak setan kamu! Aku nggak nyangka kamu bisa punya akal sehebat itu!” Puji Mbok Minah yang terkagum-kagum. Memang Parto adalah pemuda malas yang asal-asalan. Namun kalau menyangkut hal-hal yang menguntungkan dirinya, ia kadang bisa punya ide-ide brilyan yang jenius. <br /><br />“Namun untuk melaksanakan rencanamu itu perlu timing yang betul-betul tepat. Karena ilmu pelet ini juga ada ketergantungan dengan waktu. Aku masih ragu apakah akalmu itu bisa jalan atau nggak,” kata Mbok Minah ragu. Meski ragu, namun kelihatan jelas bahwa tanda-tanda perubahan “arah angin” telah mulai nampak. <br /><br />“Kenapa nggak Mbak coba jelasin dulu gimana cara kerja ilmu pelet itu. Supaya aku bisa bantu mikirin juga,” kata Parto yang tak ingin kakaknya berubah pikiran lagi.<br /><br />Lalu berceritalah Mbak Minah kepada Parto tentang ilmu pelet itu. Ia mendapatkan ilmu pelet itu dari seorang dukun sakti yang tinggal di seberang sungai di desanya. Ceritanya waktu ia berumur 16 tahun, sepulang dari mencuci baju, diam-diam ia mendatangi rumah dukun itu. Ia ingin mendapatkan suami kaya. Yang diincarnya adalah Pak Parno, orang kaya di desanya yang suka gadis-gadis muda. Ia ingin dijadikan istri mudanya. Dukun itu, yang bernama Mbah Durgo, bersedia membantunya asal dengan syarat mutlak, yaitu ia harus menyerahkan keperawananannya kepadanya. Setelah ia menyerahkan keperawanannya, sesuai janjinya Mbah Durgo membantu sampai ia dipinang oleh Pak Parno dan akhirnya menjadi gundik favoritnya. Sementara itu, setelah diperistri Pak Parno, ia masih tetap menjalin hubungan gelap dengan Mbah Durgo sambil merayunya untuk mengajarkan ilmu pelet yang ampuh itu sampai akhirnya ia betul-betul menguasainya dan tak tergantung kepada Mbah Durgo. Setelah itu “ditendangnya” Mbah Durgo. Demikian pula Pak Parno, setelah harga kekayaannya habis diserap, juga ditendangnya. Sejak saat itu ia melakukan ilmu pelet itu ke banyak orang, sampai terakhir ke majikannya yang sekarang yaitu Pak Sutanto. Cara penggunaan pelet itu, yaitu orang itu harus mengucapkan mantera terus menerus sampai 34 kali sambil membayangkan orang yang ingin dipeletnya. Selama mengucapkan mantera itu ia tak boleh mendengar suara orang lain, termasuk orang yang ingin dipelet. Namun setelah pengucapan mantera itu selesai, ia harus langsung mendengar suara orang yang ingin dipeletnya itu. Apabila suara orang lain yang didengarnya pertama kali, maka mantera itu jadi tak berguna.<br /><br />Parto mendengar cerita kakak perempuannya itu sambil tersenyum getir. Tak disangkanya ternyata kakak sulungnya itu dari sejak berusia akil balik telah rela menyerahkan diri dan kehormatannya demi harta. Namun disisi lain ia gembira karena kini mendapat kesempatan menikmati Fey Chen yang mulus bening itu. <br /><br />“Kalau begitu aturannya, berarti kita mesti tunggu timing yang betul-betul tepat, tidak ada gangguan, dan suasana rumah yang sepi. Tapi sekarang Mbak mau membantu aku khan?,” tanya Parto sambil “melempar bola”. “Ingat Mbak, kalo aku untung, Mbak dapet untung juga,” katanya mengingatkan lagi.<br /><br />“Hmm. Baiklah. Mbak bersedia membantu kamu,” kata Mbok Minah akhirnya,”Tapi ingat, aku yang pegang kendali disini. Aku akan cari cara dan waktu yang tepat untuk melaksanakan itu. Dan kamu harus nurut semua perkataan Mbak. Sementara ini kamu duduk tenang saja dulu. Jangan bergerak sebelum aku kasih tanda. Mengerti? Dan ingat lagi, sebisa mungkin jaga supaya matamu itu jangan jelalatan ngeliatin dia. Atau lebih baik lagi kalo kamu nggak ketemu dia. Aku nggak mau dia jadi curiga sampai nanti rencana kita jadi berantakan. Atau lebih parah lagi, aku dipecat dari sini. Kalo itu terjadi, bisa aku bunuh kamu. Mengerti?” seru Mbok Minah sambil matanya berkilat-kilat. Rupanya kini dapat dipastikan bahwa arah angin telah berbalik arah. <br /><br />“Baik Mbak.”<br /><br />“Dan satu lagi, ingat janjimu itu, kalau sudah berhasil: fifty-fifty. Kalau nggak, nanti ilmu pelet itu ga bakalan tahan lama.”<br /><br />“Baik Mbak.”<br /><br />“Nah sekarang, ayo kamu balik kerja lagi. Supaya kamu nggak dimarahi Tuan.”<br /><br />–@@@@–<br /><br />Kira-kira pukul 3 di saat Parto sedang mencabuti rumput di halaman depan, sebuah BMW model terbaru yang mengkilap berhenti di depan rumah itu. Ternyata Fey Chen. Ia masih mengenakan seragam sekolah. Namun gadis itu tidak sendirian. Ia diantar oleh seorang cowok. Namun yang membuat Parto semakin iri adalah cowok itu kemudian menggandeng tangan Fey Chen. Cowok itu adalah Roger, pacar Fey Chen yang juga adalah anak teman Papanya. Kini Parto dapat melihat secara langsung cowok Fey Chen. Sungguh pasangan yang amat serasi. Karena cowok itu juga keren dan cakep dan dari keluarga kaya pula, cocok untuk bersanding dengan Fey Chen. Setelah itu kedua muda mudi ini masuk ke dalam, sementara Parto hanya bisa manyun sambil berjongkok meneruskan mencabuti rumput. Namun hatinya tak tertuju di pekerjaannya. Karena hatinya penuh dengan rasa iri dengki. Pada saat menjelang maghrib, Mbok Minah, yang hati dan pikirannya kini telah penuh dengan racun hitam, memulai misinya mendekati Fey Chen. Akhirnya ia masuk ke dalam kamar Fey Chen untuk memijiti gadis itu. Di dalam kamar, sambil memijiti punggung Fey Chen yang putih telanjang itu, ia memancing-mancing tentang hubungannya dengan Roger. Seperti layaknya hubungan cinta anak SMA, tentu ada naik turunnya. Mbok Minah memancing Fey Chen untuk menceritakan lebih banyak saat-saat dimana mereka bertengkar. Dengan licin, ia menghasut Fey Chen dengan membuat seolah-olah cowoknya adalah cowok yang egois dan nggak setia. Pada saat kedua tangannya dengan lembut memijiti punggung Fey Chen, mulutnya terus mengeluarkan kata-kata yang memanaskan hati. Tangannya adalah tangan malaikat, namun mulutnya adalah mulut setan. Fey Chen terhanyut bagaikan air sungai yang mengalir menikmati pijitan Mbok Minah, namun makin lama api amarah berkobar-kobar semakin besar di dalam hatinya. Apalagi pada dasarnya Fey Chen adalah gadis yang lugu yang tidak paham akan intrik-intrik tersembunyi. Ditambah juga ia amat mempercayai Mbok Minah yang sering membantunya dan selalu dijadikan tempat curhat itu. Sementara Mbok Minah tahu betul sifat Fey Chen sejak kecil dan perasaan gadis muda itu. Akhirnya Fey Chen sungguh termakan hasutan Mbok Minah. Oleh karena termakan emosi, begitu pijitan Mbok Minah selesai, ia langsung menelpon Roger dan menuduh cowok itu selama ini tak setia dan tak menyayangi dirinya. Roger kebingungan mendengar ceweknya yang tiba-tiba sewot tanpa sebab. Dan ia menyangkal semua tuduhan ceweknya itu.<br /><br />Sebuah kesalahan fatal dari cowok itu, karena hal itu hanya membuat Fey Chen semakin terbakar emosinya dan semakin percaya bahwa ia adalah cowok egois. Mbok Minah mendengarkan percakapan telepon dua anak muda itu dengan senyuman iblis tersungging di bibirnya. Ah, darah muda…sungguh mudah ditebak, batinnya. Dan, percakapan dua muda-mudi yang sedang dilanda cinta itu berubah jadi amat buruk. Sungguh bertolak belakang dengan siang tadi dimana hubungan mereka lagi bagus-bagusnya. Apalagi setelah emosi Roger juga naik karena tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dilemparkan oleh Fey Chen. Ia menyerang balik Fey Chen dengan mengatai gadis itu sebagai cewek yang susah dimengerti dan sangat tidak masuk akal. Namun yang paling parah adalah ia menuduh balik cewek itu sengaja cari gara-gara karena ia memang ingin putus hubungan karena ada cowok lain. Pada saat telpon itu diputus, Fey Chen tak kuasa menahan air matanya. Perasaan marah, sedih, menyesal, dan takut kini betul-betul menguasai dirinya.<br /><br />“Bagaimana ini Mbok? Ternyata betul terbukti dia nggak sungguh-sungguh mencintaiku, ” tanyanya disela-sela tangisannya. “Kok, tega-teganya ia melakukan itu kepadaku. Padahal aku sungguh mencintainya.” Kedua tangan Mbok Minah kembali bekerja seolah berusaha menyejukkan hati gadis itu. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin membuat gadis itu terbakar emosinya. “Bagaimana kalau betul-betul ada cewek lain selama ini? Aku takut kalo kehilangan dia, Mbok.”<br /><br />“Tenang Non…yang sabar ya,” katanya sambil mengelus-ngelus punggung gadis itu. “Sebenarnya Mbok tahu ada cara yang bisa membuat cowok Non itu menyayangi Non. Tapi Mbok nggak tahu apakah Non percaya dengan hal-hal seperti itu.”<br /><br />“Apa itu Mbok? Coba ceritakan dong.”<br /><br />“Begini Non,<br /><br />… <br /><br />…<br /><br />Lalu diceritakannya tentang ilmu pelet itu ke gadis itu. Tentu ia tak menyebutnya sebagai “pelet” dan ia mengubah versi ceritanya disana sini untuk memberi kesan tidak terlalu mengandung misteri. Dan Fey Chen pun mempercayainya. <br /><br />–@@@@–<br /><br />“Bagaimana Mbak?” tanya Parto bersemangat.<br /><br />“Wah idemu memang hebat, To. Dia sudah kena perangkap. Hehehe,” tawa Mbok Minah dengan senyum licik.<br /><br />“Wah! Jadi bisa malam ini ya Mbak? Waktunya kapan? Sekarang?”<br /><br />“Sabar dulu, To. Dia memang sudah kena jerat kita, tapi malam ini bukan waktu yang tepat. Nanti malam bakal ada tamu Tuan yang datang kesini. Biasanya mereka pulang agak larut malam. Kamu tahu sendiri khan persyaratan ilmu pelet ini, semakin banyak orang semakin susah dilaksanakan. Dan Mbak nggak yakin omongan Mbak tadi sudah cukup membuat dia mau melakukan itu. Jadi besok mesti Mbak komporin lagi. Jadi kamu sabar dulu sampai besok.”<br /><br />“Ah!” seru Parto dengan kecewa. “Tapi besok adalah hari terakhirku disini. Gimana kalo gagal?”<br /><br />“Ah, tenang. Kowe sabar kenapa. Yang penting alon alon asal kelakon. Kalo masalah itu, gampang, bila perlu aku ngomong sama Tuan minta waktumu disini diperpanjang beberapa hari. Kalo cuma beberapa hari, pasti dia setuju. Tapi aku yakin kowe bakal bisa menikmati cewek idamanmu itu besok. Lagipula aku punya akal supaya besok Tuan pulang agak malam sehingga Non Fey Chen sendirian di rumah,” kata Mbok Minah. Kini ia tak ragu-ragu lagi mengorbankan Fey Chen, karena angin keberuntungannya telah berbalik arah. <br /><br />“Yah, aku kecewa banget Mbak. Kirain malam ini sudah bisa aku sikat dia.”<br /><br />“Tenang aja. Anggap ini adalah ujian kesabaran buatmu. Kalo pengin dapet hadiahnya, kamu mesti sabar. Ingat, kamu jangan terburu-buru berbuat hal-hal yang bodoh. Jangan sampai sesuatu yang hampir di tangan jadi terlepas. Mengerti? Dan jangan lupa ya janjimu, kowe nanti mesti bagi-bagi hasil.”<br /><br />“Itu beres lah Mbak. Ya aku ngerti Mbak.”<br /><br />“Tadi waktu mijitin di dalam, apa dianya telanjang juga Mbak?”<br /><br />“Ya iya lah, wong namanya orang dipijat. Bagian atasnya dibuka semua.”<br /><br />“Waduuh. Enak bener Mbak. Badannya mulus banget ya Mbak. Trus teteknya gede nggak? Bagus nggak?”<br /><br />“Ya baguslah. Sudahlah jangan banyak nanya, aku mesti kerja lagi, nyiapin makanan buat tamu Tuan.”<br /><br />“Wah, bikin aku penasaran aja Mbak. Yang dipijit tadi apanya aja Mbak? Susunya juga?”<br /><br />“Sudahlah jangan banyak tanya lagi. Mbak mesti masak sekarang. Besok kamu bisa liat dan pijit-pijit sendiri sambil sekaligus nyusu sana.”<br /><br />“Ah, Mbak tahu aja maunya orang,” kata Parto cengengesan.<br /><br />–@@@@–<br /><br />Malamnya memang betul ada dua orang tamu yang datang, yaitu Pak Burhan dan Pak Abdul. Keduanya adalah oknum militer yang terlibat KKN dengan Pak Sutanto. Pak Abdul adalah orang Jawa Timur juga yang logat bicaranya sama seperti Parto. Sementara itu Fey Chen sempat muncul keluar mengobrol sebentar basa-basi dengan mereka sebelum akhirnya balik ke dalam kamarnya. Meski kedua tamu itu telah berusia setengah baya dan telah berkeluarga, namun Parto bisa merasakan kalau kedua bandot tua juga tertarik terhadap Fey Chen. Dan malam itu adalah malam penuh penderitaan bagi Parto. Pikirannya terus terbayang-bayang akan diri Fey Chen. Apalagi sebelumnya ia punya harapan tinggi bakal “mendapatkan” gadis itu malam ini. Namun ia mengikuti saran kakaknya yaitu berusaha sabar. Sehingga kini ia mau tak mau melewatkan malam itu dengan manyun seorang diri.<br /><br />–@@@@–<br /><br />Day 4<br /><br />Parto bangun pagi dengan sendirinya tanpa perlu dibangunkan. Karena memang sebenarnya ia nggak bisa terlalu tidur. Pikirannya masih diliputi rasa kecewa terutama karena harapan sebelumnya yang begitu tinggi. Ini adalah hari terakhirku disini. Besok pagi-pagi aku sudah harus meninggalkan tempat ini. Jadi hari ini harus berhasil, pikirnya. Pagi itu ia sempat membukakan pintu untuk Fey Chen saat gadis itu ke sekolah. Setelah seluruh pemilik rumah pergi, kedua pembantu itu berdiskusi untuk merampungkan rencananya. Kini Parto takut rencana itu tak kesampaian.<br /><br />“Gimana kalau rencana ini ga berhasil, Mbak?” tanyanya.<br /><br />Sebaliknya Mbok Minah yang kemarinnya ragu-ragu kini malah lebih yakin.<br /><br />“Tenang aja,” katanya,” Pokoknya malam ini Non Fey Chen yang mulus itu pasti akan jatuh ke tanganmu.”<br /><br />“Benarkah itu? Tapi bagaimana kalau meleset?”<br /><br />“Tenang aja. Hari ini semuanya bakal beres. Karena aku sudah mengatur semuanya.”<br /><br />–@@@@– <br />Fei Chen dalam pakaian renang<br /><br />Fei Chen dalam pakaian renang<br /><br />Hari itu Fey Chen pulang lebih awal karena hari itu hari Jumat dan ia tak ada kegiatan ekstra kurikuler. Begitu nyampe, tak lama kemudian Fey Chen bilang ke Mbok Minah kalau ia ingin berenang. Rupanya di dalam rumah itu terdapat kolam renang di ruang tertutup. Hebat juga pemilik rumah ini, pikir Parto, kolam renang aja ada. Sementara Mbok Minah menemani Fey Chen berenang, Parto bersembunyi di tempat yang aman namun strategis untuk mengintip Fey Chen berenang. Setelah Fey Chen selesai berenang, diam-diam Parto mendatangi Mbok Minah.<br /><br />“Aduuh Mbak. Aku sudah nggak kuat lagi. Sampe kapan mesti nahan kayak gini terus. Tolongin dong, laksanakan sekarang juga! Kalo gini terus bisa gila aku rasanya,” keluh Parto.<br /><br />“Hihihi, tenang, abis ini semuanya beres. Tunggu Non Fey Chen selesai mandi, setelah itu aku pijitin dia sambil aku bisiki lagi. Sementara kamu siap tunggu aba-aba dariku, ok?”<br /><br />Setelah itu Mbok Minah menelpon Pak Sutanto.<br /><br />“Tuan masih ingat dengan permintaan saya kemarin malam. Jangan lupa tolong belikan kembang 4 warna. Tapi harus Tuan sendiri yang beli, nggak boleh nyuruh orang lain. Kembang ini dijual di pasar kembang antara jam 5 – 6 doang.”<br /><br />“Memang kamu yakin ini betul-betul efektif?”<br /><br />“Betul Tuan. Dengan pake kembang ini, Nyonya nggak bakalan tahu tentang hubungan kita. Bahkan semisal ia tidur di ranjang yang sama pun, ia akan terus tertidur lelap. Asalkan setelah itu Tuan membuang bunga-bunga kecil itu di Ancol SATU PERSATU.”<br /><br />“Hahaha. Mbak pintar. Membuang bunga itu satu persatu bisa berjam-jam lamanya.”<br /><br />“Eh jangan salah, tapi bunga itu betul-betul ada khasiatnya lho.”<br /><br />“Hah, memang khasiat bunga itu memang betul seperti yang Mbak bilang??”<br /><br />“Bukan, tapi khasiat bunga itu sebenarnya untuk kamu. Bunga itu akan membuat penghuni rumah ini menyetujui usul Mbak supaya kamu tinggal lebih lama disini. Sehingga kamu bisa dengan leluasa menggauli Non Fey Chen tiap hari, sekaligus supaya kamu bisa morotin duitnya sebanyak mungkin.”<br /><br />“Wah, aku nggak nyangka ternyata Mbak begitu hebat. Ya, kalo aku sih setuju-setuju aja Mbak. Hehehe.”<br /><br />“Nah, sekarang bapaknya sudah dibereskan. Tinggal sekarang ngurus anaknya. Kamu diam tenang dulu. Tunggu isyaratku, ok? <br /><br />“Beres, Mbak.”<br /><br />–@@@@–<br /><br />Fey Chen sedang tiduran di ranjang menikmati asyiknya dipijit-pijit oleh Mbok Minah. Sembari memijit, Mbok Minah memulai pembicaraan mengenai ilmu pelet kemarin. Dengan cerdik ia membuat Fey Chen penasaran dulu, sampai akhirnya gadis itu bersedia mencoba hal itu.<br /><br />“Baiklah, sekarang Non inget baik-baik kalimat ini.”<br /><br />Mbok Minah membacakan mantera ilmu pelet itu kepada Fey Chen. <br /><br />“Sudah Non ingat baik-baik? Nah, begini cara kerjanya. Pertama, Non sebut dulu nama cowok Non sambil membayangkan orangnya. Lalu Non baca kalimat tadi sebanyak 34 kali sambil konsentrasi membayangkan cowok lain. Non bebas pilih sendiri cowok ini. Dia boleh siapa saja asalkan bukan cowok Non. Karena dia hanyalah sebagai pemancing supaya cowok Non merasakan kalau dalam pikiran Non ada cowok lain. Nah, karena ia merasakan adanya kehadiran cowok lain, maka ia akan jadi lebih sayang kepada Non. Ada dua syarat buat cowok pemancing tadi. Pertama, cowok itu sama sekali nggak ada hubungan keluarga sama Non. Kedua, cowok Non pernah bertemu dengan cowok itu ”<br /><br />“Tapi mungkin nggak nanti jadi salah alamat sehingga cowok yang aku pikirin itu malah jadi suka sama aku. Atau lebih gawat lagi, aku yang jadi suka sama cowok itu?”<br /><br />“Itu sih nggak mungkin Non, karena fungsi cowok itu adalah pemancing belaka. Yang penting Non jangan salah menyebut nama cowok Non sambil membayangkan orangnya sebelum memulai membaca kalimat tadi.”<br /><br />“Oh ya, Mbak lupa bilang satu hal. Pengaruh cowok pemancing itu akan lebih kuat terhadap cowok Non apabila cowok itu sekarang berada dekat dengan tempat Non sekarang. Semakin dekat semakin balik. Nah sekarang Non pikir dulu, setelah menemukan orangnya baru Non bisa mulai.”<br /><br />“Cowok yang paling dekat sama tempatku sekarang adalah Parto. Dia memenuhi dua syarat tadi karena dia nggak ada hubungan keluarga sama aku. Dan kemarin cowokku pernah liat dia waktu si Parto bukain pintu pagar. Tapi apakah ada syarat bahwa cowok pemancing ini harus orang yang kira-kira cocok jadi cowokku. Soalnya aku khan sudah pasti ga mungkin jadian sama Parto. Kalo aku milih dia sebagai cowok pemancing, apakah itu bakal efektif membuat cowokku merasakan adanya saingan?”<br /><br />“Itu sih nggak masalah, Non. Asalkan cowok dan memenuhi dua syarat tadi.”<br /><br />“OK deh. Kalo gitu aku pake Parto, Mbok.”<br /><br />“Baiklah. Dan Non ingat, setelah Non selesai membaca kalimat tadi, untuk beberapa waktu Non tidak boleh berbicara ke siapa pun, bahkan lewat telpon juga. Oleh karena itu sebaiknya telpon Non dimatikan. Setelah waktunya selesai, nanti Mbok akan ketuk pintu kamar. Setelah itu Non bebas berbicara. Ini nggak lama kok, paling cuma beberapa menit.”<br /><br />“Non mengerti khan? Nah, sekarang silakan Non sebut dalam hati nama cowok Non, kalau sudah silakan Non menganggukkan kepala.”<br /><br />Fey Chen menganggukkan kepalanya.<br /><br />“Nah, sekarang silakan Non mulai membaca kalimat itu dan membayangkan cowok pemancing tadi.”<br /><br />Fey Chen segera memejamkan matanya sambil membaca mantera itu. Sementara Mbok Minah tersenyum puas menyaksikan betapa mudahnya gadis cantik itu diperdayanya. Penyebutan nama cowok di saat awal hanyalah tipuan belaka yang sama sekali tak ada artinya. Yang berarti justru cowok yang dibayangkan sambil membaca mantera itu. Sengaja ia mengarahkan supaya Fey Chen memilih Parto sebagai “cowok pemancing”. Kini sudah jelas-jelas pasti ilmu pelet itu akan berhasil dengan sukses, karena sekarang justru Fey Chen lah yang memelet Parto!! Sementara khasiat pelet itu juga berlaku bagi si pemelet. Artinya, si pemelet juga akan menjadi makin suka terhadap orang yang dipeletnya. Hal ini sangat masuk akal. Bukankah alasan orang memelet adalah karena ia suka terhadap orang yang dipeletnya? Semua ini adalah akal Parto yang jitu dan dilaksanakan dengan sukses oleh Mbok Minah. Kini terbukti omongan Parto tentang sifat Mbok Minah. Demi harta, ia tidak segan-segan mengorbankan gadis yang telah dirawatnya sejak masih SD. <br /><br />Diam-diam Mbok Minah keluar dari kamar Fey Chen. Segera ia menemui Parto dan berkata sambil berbisik,<br /><br />“Sudah beres. Sekarang kamu boleh memulai membaca mantera itu juga.”<br /><br />“Hah, jadi dia sudah mulai membaca mantera itu? Jadi semuanya berjalan sesuai rencana?”<br /><br />“Betul. Akalmu itu betul-betul busuk. Tapi memang jitu. Abis ini silakan kamu bersenang-senang abis dengan dia.”<br /><br /> “Ya, aku juga nggak sabar lagi pengin ngerasain madunya. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini. Selama ini Mbak dijadikan pelampiasan nafsu bandot tengik itu demi uang. Kini keadaannya dibalik. Giliran aku, adikmu ini, yang melampiaskan nafsunya ke anak gadisnya. Kalo Mbak dipake bapaknya, kini aku gantian make anaknya. Ini baru adil, ya nggak Mbak. Apalagi, hehehe, anaknya cakep banget dan ngegemesin gitu, pasti enak kalo diesek-esek di ranjang. Hehehe.”<br /><br />“Setelah itu, kita sama-sama porotin duitnya. Mbak morotin bapaknya, aku morotin anaknya. Hahahaha…”<br /><br />“Nah, sekarang ajarin aku mantera itu donk, Mbak.”<br /><br />Setelah Mbok Minah memberitahu mantera itu, Parto segera membacanya sebanyak 34 kali dengan pikiran yang terkonsentrasi penuh ke Fey Chen.<br /><br />–@@@@–<br /><br />Kamar Fey Chen,<br /><br />Saat itu meski malam belum datang, namun hari sangat gelap karena langit sedang mendung gelap pekat. Sehingga suasana kamar itu juga gelap kecuali di ranjang tempat Fey Chen duduk saja yang ada lampu penerangan. Saat itu Fey Chen telah selesai mengucapkan mantera itu 34 kali. Kini ia membuka matanya. Dirasakannya hawa AC kamar lebih dingin dibanding sebelumnya, mungkin karena pengaruh udara luar yang mendung pekat disertai angin kencang. Ia tak melihat Mbok Minah disitu. Iia menunggu dengan sabar. Beberapa menit kemudian terdengar suara ketukan. ‘Dokk-dokk-dokk.’ Pertanda bahwa ia sudah boleh bicara.<br /><br />Segera ia menjawabnya,”Iya, masuk Mbok.”<br /><br />Dan terdengar suara jawaban dengan keras,”BAIK NON!”<br /><br />Namun itu suara Parto, bukan Mbok Minah! Sebelumnya Fey Chen mengucapkan mantera itu sambil membayangkan Parto dan kini ia mendengar suara Parto. Sebaliknya, Parto tadi mengucapkan mantera itu sambil membayangkan Fey Chen dan kini ia mendengar suara Fey Chen. Jadi syarat ilmu pelet itu telah terpenuhi dan kini menjadi aktif secara dua arah, dari Fey Chen ke Parto dan dari Parto ke Fey Chen! Dua orang yang saling memelet! Bisa dibayangkan seperti apa akibatnya. Tentu keduanya bakal NEMPEL terus kayak perangko, seperti apa yang akan terjadi sekarang ini. Kini Fey Chen ibarat tikus yang telah terjerat di dalam jebakan, tak bisa (dan juga tak mau) lari kemana-mana. Sementara Parto adalah kucing yang akan membuka pintu jebakan itu untuk menggerogotinya. Parto membuka pintu kamar Fey Chen. Ia baru menyadari betapa besar sekali kamar gadis ini. Bahkan berkali-kali lebih besar dibanding rumahnya di desa! Saat itu suasana kamar tempat ia berdiri cukup gelap. Hanya ada satu sampu penerangan yaitu di dalam ranjang Fey Chen yang tertutup kelambu. Ia melihat figur indah tubuh Fey Chen yang sedang duduk di atas ranjang di balik kelambu. Seketika penisnya menegang melihat siluet bentuk tubuh yang indah itu. Lalu ia berjalan mendekati tempat gadis itu duduk.<br /><br />Fey Chen merasa heran mendengar suara cowok. Dan suasana saat itu amatlah gelap. Ia segera menyalakan lampu di sekeliling ranjangnya serta membuka pintu otomatis yang menuju ke taman kecil di dalam kamarnya dengan remote control. Sementara Parto yang telah sampai di tepi ranjang itu, segera menyingkap kelambu dan masuk ke dalamnya, bagaikan seorang pengantin pria yang mendekati pengantin wanita saat malam pertama. Seketika ia terpesona melihat kecantikan yang memancar dari tubuh Fey Chen. Sementara Fey Chen berteriak terkejut ketika melihat ternyata adalah Parto yang masuk ke dalam kamarnya dan berdiri di tepi ranjangnya.<br /><br />“Kenapa kamu bisa kesini?” tanyanya.<br /><br />“Karena aku ingin membuka kelambu ranjang Non,” katanya asal-asalan sambil membuka seluruh kelambu itu.<br /><br />Fey Chen yang masih keheranan bertanya lagi tanpa mengubah posisi duduknya. “Kenapa kamu membuka semua kelambu ini?”<br /><br />Ia terpana akan kecantikan Fey Chen yang begitu natural. Namun pandangan Parto segera beralih ke paha putih Fey Chen yang agak terbuka karena posisi duduk gadis itu.<br /><br />Parto yakin kalau gadis ini telah terkena pengaruh ilmu pelet. Dengan nekat ia menjawabnya,” Karena aku ingin melihat wajah Non yang cantik itu. Aku suka sama Non,” kata Parto tanpa sungkan lagi.<br /><br />Fey Chen segera menundukkan kepalanya. Terlihat rona-rona merah di pipinya yang putih. Parto jadi semakin berani.<br /><br />“Dari semula melihat Non, aku langsung jatuh cinta sama kamu Non,” kata Parto sambil duduk di ranjang itu. Ia meraih tangan kanan Fey Chen dan meremas-remasnya dengan lembut. Melihat cewek itu diam saja, tangan yang satunya meraih rambut Fey Chen dan membelai-belai rambut yang panjang dan indah itu. Fey Chen menunduk sambil memejamkan matanya, membiarkan rambutnya dibelai-belai Parto. Parto segera mendekatkan kepala Fey Chen ke dirinya dan direbahkannya kepala gadis itu di dadanya sambil tangannya terus membelai-belai rambut gadis itu. Fey Chen membiarkan dirinya bersandar di dada Parto yang bidang, merasakan aroma kejantanan yang kuat dari tubuh Parto. Sementara Parto merasakan aroma kewanitaan yang harum semerbak dari rambut dan tubuh gadis berpakaian putih itu. Bagaikan bunga yang mekar harum semerbak. Pada saat itu waktu seakan berhenti berjalan bagi keduanya.<br /><br />Parto memandang wajah cantik Fey Chen. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke bibir indah gadis itu. Pada saat bibir keduanya akan bertemu, Tiba-tiba Fey Chen menjauhkan dirinya dari pelukan Parto. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan Parto. Perhatiannya tertuju ke satu benda di lantai di dekat ranjang. Ternyata handphone-nya yang sebelumnya di-Silent, kini layarnya berubah berwarna warni, pertanda ada telepon masuk.<br /><br />“Halo.”<br /><br />“Kenapa lu telpon?”<br /><br />Sementara Parto mendengarkan dengan waswas. Ia telah bisa menduga siapa si penelpon itu.<br /><br />“Eh, tunggu dulu. Gua cuman mau bilang….”<br /><br />“Sorry, sekarang gua lagi nggak pengin bicara sama elu. Nanti aja, ok?”<br /><br />Klik! Telepon itu langsung diputus oleh Fey Chen. Kemudian disingkirkannya handphone itu.<br /><br />“Cari gara-gara aja,” gerutu Fey Chen. Kemudian ia tidur berbaring di atas ranjang yang besar itu sambil memejamkan matanya.<br /><br />“Udah lupain aja dia. Sekarang khan ada aku disini, sayang,” kata Parto memegang punggung Fey Chen dan meraba-rabanya. Tangannya yang hitam nampak kontras dengan gaun putih gadis itu. Dan tangan satunya mengelus-ngelus rambutnya.<br /><br />“Ehhh” Fey Chen bereaksi dengan sedikit menggeliatkan tubuhnya. “Kok saat ini gua jadi ngerasa aneh ya.”<br /><br />“Itu gara-gara cowok sialan tadi. Sekarang dia sudah pergi. Tinggal sekarang kita berdua sayang.”<br /><br />“Iya tapi aku masih bingung sebenarnya kamu ini siapa sih?<br /><br />“Aku adalah pacarmu, sayang.”<br /><br />“Ah, ya betul. Mas adalah pacarku,” kata Fey Chen mengubah posisi tidurnya supaya ia bisa menatap wajah “Mas Parto-nya”. Tangannya memegang tangan Parto.<br /><br />“Badanku kok agak lemas ya. Mas, tolong donk ambilin aku air disana, “kata Fey Chen sambil menunjuk kulkas besar di dalam kamar itu.<br /><br />Segera Parto bangkit, mengambil segelas air putih yang dingin dan segar, dan menyerahkannya ke gadis itu.<br /><br />“Aaahhh, segarnya!” seru gadis itu dengan gembira sambil mengangkat kedua tangannya. “Sekarang badanku jadi segar kembali. Dan kini ingatanku pulih kembali. Kamu adalah Mas Parto adik Mbok Minah yang baru datang itu khan?” <br /><br />Parto agak waswas dengan perkembangan itu.<br /><br />Namun,<br /><br />“Mas, aku senang deh punya cowok kayak Mas,” kata Fey Chen dengan matanya yang polos memandang Parto.<br /><br />“Kenapa?” tanya Parto dengan hati lega.<br /><br />“Karena badan Mas kekar, apalagi waktu di taman waktu itu,” Fey Chen menundukkan kepalanya.<br /><br />“Kesannya macho gitu loh,” tambahnya.<br /><br />“Aku juga suka punya cewek kayak kamu,” jawab Parto.<br /><br />“Kenapa?”<br /><br />“Karena kamu cantik dan putih. Juga kamu sexy banget apalagi pake baju putih gini.”<br /><br />“Iih, Mas memang suka ngerayu deh.”<br /><br />“Beneran aku ga bohong. Bahkan saat ini pun aku juga bersedia jadi suamimu, sayang.”<br /><br />“Eh, Mas Parto, kamu betul-betul mencintaiku?”<br /><br />“Iya donk, aku betul-betul mencintaimu, Non.”<br /><br />“Kalo gitu jangan panggil aku Non donk. Meski Mas adalah adiknya Mbok Minah yang bekerja disini, tapi masa Mas manggil ceweknya Non gitu. Panggil aku Fey Chen aja, ok?”<br /><br />“OK non. Eh, Peicen.”<br /><br />“Hihihi, mas Parto lucu deh. Bilang katanya cinta, tapi manggil namaku yang bener aja nggak bisa,” kata Fey Chen sambil tersenyum geli.<br /><br />“Itu nggak ada hubungannya Non, eh Peicen.”<br /><br />“Lalu yang ada hubungannya apa?”<br /><br />“Yang ada hubungannya ini nih,” kata Parto sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Fey Chen. Kemudian disentuhnya bibir gadis itu dengan bibirnya. Lalu dikecupnya.<br /><br />Hmmmpphhhhh…gadis itu membiarkan bibirnya dicium. Lalu Parto melumat bibir indah itu dan dijelajahinya setiap milimeter, seolah tak ingin melewatkan satu pun butir-butir kenikmatan yang ada pada pada bibir gadis itu. Dinikmatinya bibir Fey Chen lama sekali.<br /><br />Dan Fey Chen membiarkan bibirnya dinikmati Parto sambil ia memejamkan matanya. Sepertinya ia juga tak kalah menikmati ciuman itu. Mmmmpphhhhh. Parto mendorong tubuh Fey Chen sampai ia terbaring di ranjang sambil terus menciumi bibirnya. Wajahnya yang hitam kini menindih wajah cakep gadis itu. Sementara kedua mulut mereka masih saling bertautan. Ciuman itu telah berubah menjadi nafsu birahi yang berkobar-kobar membakar dua sejoli yang berbeda segalanya itu. Dan nafsu birahi itu kini menjalar ke seluruh bagian tubuh mereka, terutama pada Fey Chen. Kedua tangan Parto memegangi wajah Fey Chen. Seolah ia ingin mematek gadis itu supaya tak bisa bergerak sehingga ia bisa dengan bebas melakukan deep kissing. Kini lidah keduanya saling bertemu dan beradu di dalam mulut. Mereka melakukan french kissing dengan seru. Sambil menciumi, tangan Parto mulai bergerilya menggerayangi tubuh Fey Chen. Kedua tangannya menjelajahi kedua tangan putih Fey Chen yang tak tertutup oleh daster putih itu. Kini ia bisa merasakan langsung kehalusan kulit tubuh Fey Chen. Lalu tangan kanannya merabai tubuh Fey Chen. Disentuhnya perut gadis itu. Hmm, sungguh rata seperti tak berlemak sama sekali. Tangannya naik ke atas. Diraba-rabanya dada dan tangan Fey Chen. Cewek itu bereaksi dengan menggeliatkan tubuhnya. Pertanda ia suka dengan sentuhan-sentuhan Parto. Terutama saat tangan Parto melewati dadanya. Kini Parto semakin berani. Semakin sering diraba-rabanya payudara Fey Chen dengan lembut. Membuat Fey Chen semakin ganas menciumi Parto. Kini lidahnya dengan lincah menari-nari di dalam mulut Parto, saling beradu dengan lidah Parto. Dan ciuman bibirnya juga semakin ganas. Membuat Parto juga semakin aktif dalam melakukan aksinya meremas payudara Fey Chen. Sungguh ia tak menyangka, gadis dengan wajah sepolos ini bisa beraksi seganas itu. Kini gantian kedua tangan Fey Chen memegang leher Parto, seolah tak ingin ciuman itu terlepas.<br /><br />Tangan Parto menuruni sekujur tubuh Fey Chen. Diraba-rabanya paha mulus gadis itu yang sejak dilihatnya tadi telah membuatnya ngiler. Sementara ciuman Parto kini beralih turun ke leher gadis itu. Dikecupinya leher yang putih halus itu dengan bibir hitamnya sampai terdengar suara-suara kecupannya. Membuat Fey Chen mulai mendesah-desah perlahan. Apalagi pada saat yang sama tangan Parto telah merayap masuk ke dalam dasternya. Diraba-rabainya pangkal paha Fey Chen yang putih mulus dan lembut bagaikan sutera itu. Rupanya bagian ini juga termasuk bagian yang sensitif bagi Fey Chen. Terbukti tubuhnya semakin menegang-negang seiring dengan sentuhan-sentuhan jari-jari nakal Parto. Jari jemari Parto dengan lincah menari-nari di sekitar pangkal paha Fey Chen. Bahkan sesekali menyentuh-nyentuh bagian rahasia gadis itu. Parto semakin buas mengecupi leher kiri dan kanan Fey Chen. Sembari ia menciumi harum rambut panjang Fey Chen. Memang Parto sengaja menciumi leher gadis itu supaya lehernya yang putih jadi penuh dengan cupang-cupang merah yang membekas. Dan Fey Chen sendiri sepertinya tak peduli dengan itu, karena ia juga merasakan kenikmatan yang luar biasa. Ia melenguh-lenguh kecil sambil gerakan-gerakan tubuhnya yang mengejang menjadi semakin sering, membuatnya semakin erotis di mata Parto. Sementara tangannya di dalam daster putih itu kini semakin sering memegang-megang celana dalam cewek itu. Jarinya menekan-nekan daerah vaginanya dan telunjuknya ditempel-tempelkannya persis di liang vagina gadis itu. Setelah puas menggrepe-grepe Fey Chen saat mengenakan daster putih, kini tiba saatnya untuk menelanjangi gadis itu. Dibangunkannya gadis itu sampai terduduk di ranjang. Lalu satu persatu diturunkannya kedua pengait daster di bahunya ke bawah. Fey Chen nampak sexy sekali dengan kedua pundaknya yang kini terbuka. Lalu Parto menurunkan daster putih itu sampai ia berhasil mengeluarkan kaitan daster itu dari tangan Fey Chen.<br /><br />Semakin turun daster itu, semakin terlihat belahan payudaranya yang indah dan berisi. Kini kira-kira sepertiga payudaranya telah terbuka. Parto segera menurunkan dasternya ke bawah lagi supaya ia bisa segera membuka bra di balik daster itu. Ia sudah tak sabar lagi ingin melihat dada telanjang Fey Chen. Namun pada saat ia melakukan itu, alangkah kagetnya dirinya ternyata Fey Chen sama sekali tak memakai bra. Rupanya di daster itu ada mini bra yang melekat yang berfungsi melindungi supaya kedua putingnya tak kelihatan menonjol keluar. Parto langsung melongo menyaksikan pemandangan indah di depannya itu. Meski saat selagi berpakaian tak terlalu terlihat menonjol, namun begitu dilihat langsung secara telanjang begini, ternyata payudara Fey Chen cukup padat berisi juga. Keduanya nampak simetris. Putingnya berwarna merah. Nampak begitu segar dan muda. Kedua putingnya kecil namun nampak menonjol keluar. Fey Chen nampak tersipu malu dan menundukkan kepalanya saat Parto tak bergerak menatap lekat-lekat dadanya yang telanjang. Kedua tangan hitam Parto kembali beraksi di tubuh putih mulus yang setengah telanjang itu. Sasarannya mana lagi kalo bukan payudara Fey Chen. Ia segera meremas-remas sepasang gunung kembar yang indah menantang itu. Diusap-usapnya “lereng gunung” yang putih itu. Makin lama makin ke tengah. Sampai akhirnya mencapai “puncaknya”. Kedua telunjuknya bergerak melingkari kedua puting Fey Chen. Lalu ujung dua puting yang menonjol itu disentuh-sentuhnya dengan ujung telunjuknya, yang mana membuat geli Fey Chen. Tanpa dapat dicegah ia menggerak-gerakkan tubuhnya karena geli. Semakin gadis itu menggerakkan tubuhnya, semakin aktif jari telunjuk Parto menekan-nekan kedua putingnya yang membuat gerakan tubuh gadis itu semakin tak terkendali. Kini kedua jarinya kemudian juga menggerak-gerakkan kedua puting yang sejak tadi menggemaskan dirinya itu baik dari arah horizontal dan juga vertikal. Parto mendorong tubuh Fey Chen sehingga ia tertidur ke atas ranjang. Ia kembali menciumi leher Fey Chen sambil meneruskan meremas-remas payudaranya. Kemudian mulutnya yang agak tonggos itu turun ke bawah dan kini menciumi pundak putih gadis itu. Dan turun makin ke bawah lagi sampai akhirnya mendarat di lekukan di tengah gunung kembar gadis putih itu. Diselipkannya lidahnya di tengah-tengah dua gunung kembar gadis itu. Lalu digerak-gerakkannya naik turun sambil lidahnya menjilat-jilat “lereng gunung putih kembar” itu.<br /><br />Sementara Fey Chen jadi melenguh-lenguh dibuatnya sambil kedua tangannya memegang kepala Parto. Aksi spontan gadis itu membuat Parto jadi kian semangat. Lidahnya semakin aktif bergerak kesana kemari di payudara Fey Chen dan dilanjutkan dengan gerakan melingkari puncak gunung itu. Kemudian ia sengaja menyentuh-nyentuhkan lidahnya mengelilingi kedua puting segar kemerahan itu bergantian, mula-mula payudara kiri gadis itu dan lalu diulangi lagi aksinya itu di payudara kanannya. Sambil sesekali menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke ujung puting kemerahan yang tegak menonjol di atas dada membusung gadis putih berwajah oriental itu. Sementara gadis itu tanpa malu-malu lagi mulai mendesah-desah pertanda ia merasakan kenikmatan yang luar biasa. Parto sungguh puas sekali menyaksikan reaksi gadis itu. Apalagi mengingat saat pertama kali ketemu, cewek ini sama sekali tak menggubrisnya bahkan melihat pun tidak. Sungguh arogan sekali cewek ini. Namun kini ia puas bisa memberi pelajaran kepada cewek arogan ini! Sementara Fey Chen saat itu betul-betul dibuatnya terangsang. Karena memang payudaranya terutama putingnya adalah bagian yang amat sensitif. Kedua tangannya memegang erat-erat kepala Parto, seolah tak ingin cowok itu menghentikan aksinya. Saking terangsangnya sampai ia kini sudah tak peduli lagi bahwa Parto adalah kacung rendahan yang sungguh amat tak pentas melakukan itu terhadap gadis elit seperti dirinya. Sementara Parto masih belum puas memainkan “susu” Fey Chen ini. Kini lidahnya menjilat-jilat dan menggerak-gerakkan puting kemerahan itu ke kiri…ke kanan…ke atas…ke bawah…ditekannya dengan ujung lidahnya ke dalam…dan digigit-gigitnya dengan lembut dan ditarik-tariknya keatas dengan giginya yang tonggos. Setelah puas dengan yang kanan, Parto berpindah ke yang kiri. Kini mulut Parto sedang asyik mengulum payudara Fey Chen. Wajahnya yang berwarna sawo matang menempel di dada putih gadis cakep oriental itu, karena ia sedang asyik mengenyot-ngenyot puting payudara gadis itu. Terdengar suara kecupan-kecupan mulut Parto yang sedang asyik menikmati payudara ranum gadis belia itu.<br /><br />Dan Fey Chen menjadi bertambah liar terutama semenjak cowok berkulit coklat itu menciumi dadanya yang telanjang. Sementara cowok itu mengenyot-ngenyot payudaranya, kini ia malah mendekapkan kepala cowok itu ke dadanya sambil kedua kakinya terbuka lebar-lebar. Seolah tak ingin cowok itu buru-buru menghentikan aksinya yang seharusnya tergolong perbuatan amat sangat kurang ajar dari seorang kacung terhadap putri majikannya. Namun apa mau dikata kalau ternyata putri majikannya kini malah membiarkan hal itu bahkan menikmati saat dirinya “digerogoti” oleh Parto. Setelah beberapa saat, dekapan Fey Chen mulai mengendur meskipun aksi Parto terhadap dirinya tak berkurang dahsyatnya. Dan kini kedua tangan Fey Chen mulai bergerak meraba-raba punggung Parto. Bahkan kedua tangannya dimasukkan ke dalam baju kaus Parto. Tangan yang putih mulus itu meraba-raba kulit sawo matang tubuh Parto. Dan juga mulai menarik kaus Parto keatas sehingga bagian atas tubuh Parto hampir seluruhnya terbuka. Parto sungguh tak menyangka kalau gadis kinyis-kinyis seperti Fey Chen bisa menjadi seliar ini di atas ranjang. Sungguh hatinya tersenyum gembira karena keliaran gadis itu diarahkan kepadanya. Kini Parto menghentikan kenyotannya untuk memberi kesempatan gadis itu beraksi. Dan Fey Chen terus melanjutkan aksinya. Dilepaskannya baju kaus Parto sehingga bisa dilihatnya dada bidang dan kekarnya. Kemudian ia merebahkan kepalanya ke dada bidang cowok berkulit sawo matang itu. Tercium oleh Parto bau harum gadis itu yang memancar dari tubuh dan rambutnya. Rambut panjang dan lebat Fey Chen menempel di tubuhnya. Parto mengelus-ngelus kepala dan rambut gadis itu. Dan payudara putih Fey Chen menempel ke tubuh Parto. Nampak kontras perbedaan warna kulit keduanya. Namun mereka berdua nampak bagaikan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Sejenak mereka berdua berdiam menikmati saat-saat tenang itu. Setelah itu Fey Chenlah yang memulai melakukan gerakan. Bibirnya yang indah itu kini mulai mengecupi dada kekar Parto. Sampai kemudian giliran ia mengecup dan menjilati puting dada Parto. Nampak Parto juga menikmati kecupan gadis feminin itu. Apalagi, seolah tak mau kalah dengan aksi gadis itu, kedua tangannya kini mulai merengkuh dan meraba-raba serta meremas-remas payudara putih Fey Chen yang sejak awal bertemu telah menjadi obsesinya. <br /><br />Fey Chen menghentikan aksinya dan ia menjauhkan dirinya dari Parto. Namun, hanya supaya ia bisa membuka kancing dan retsleting celana jins Parto! Dikeluarkannya celana jins belel itu dari tubuh Parto. Nampak tonjolan penisnya yang besar di balik celana dalam warna biru tua. Sementara bulu kemaluan dekat penis Parto nampak keluar di sekitar celana dalamnya. Rupanya Fey Chen tak terlalu canggung dengan hal itu dan rupanya ia cukup cekatan di ranjang karena selama ini ia telah sering melakukannya dengan Roger, cowoknya. Terbukti bahwa kini tangan putih mulus itu menarik celana dalam biru tua itu ke bawah sampai akhirnya diloloskannya dari tubuh Parto. Sehingga terlihatlah penis Parto yang hitam besar dan berurat. Kepalanya yang tak disunat nampak cukup besar. Sementara Parto yang telah ditelanjangi gadis itu sampai telanjang bulat tentu tak mau kalah. Ia pun juga menarik daster tidur putih Fey Chen turun ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Nampak kedua paha yang putih mulus dan celana dalam warna putih. Ia tak tahan untuk tak meraba-raba paha putih di depan matanya itu. Sambil sesekali menyentuh-nyentuh bagian paling rahasianya. Disadarinya bahwa celana dalam gadis itu telah agak basah. Rupanya gadis itu sungguh terangsang hebat saat ia memain-mainkan payudaranya. Tanpa menunggu lama-lama segera diloloskannya celana dalam putih itu dari tubuh Fey Chen. Sehingga kini kedua orang yang berlainan jenis dan warna kulitnya berbeda kontras itu sama-sama telanjang bulat di atas ranjang putih itu. Nampak penis Parto berdiri dengan super tegak menyaksikan tubuh putih mulus Fey Chen yang polos tanpa selembar benang pun. Sementara vagina Fey Chen yang berbulu rapi itu nampak agak basah. Seolah hati mereka telah saling menyatu, pada saat bersamaan keduanya saling meraih “benda pusaka” milik lawan jenisnya. Tangan Parto didekapkan di vagina Fey Chen. Ibu jarinya meraba-raba bulu rapi kemaluannya, sementara keempat jari lainnya menggesek-gesek vaginanya, terutama jari tengahnya yang persis berada di liang vaginanya.<br /><br />“Ooooh, oohhhhh, oohhhhhh,” desah Fey Chen.<br /><br />Tangan Parto yang satunya segera meraba-raba tubuh putih halus Fey Chen terutama paha dan dadanya.<br /><br />Fey Chen menggeliat-geliat sambil terus mendesah-desah.<br /><br />“Ooohh, ohhhhh, ohhhhhh,” desahnya sambil tangannya asyik mengocok penis hitam Parto. Telunjuk dan ibu jarinya yang mungil meraba-raba kepala dan leher penis Parto, membuat cowok itu mengerang-ngerang karena nikmat. Apalagi menyadari bahwa yang melakukan itu adalah cewek yang super cakep dan sexy. <br /><br />Tentu Parto tak ingin “keluar” di tangan gadis itu. Untuk itu ia menjauhkan dirinya dari Fey Chen. Kini dibukanya kedua kaki Fey Chen lebar-lebar. Nampak liang vaginanya yang masih tertutup rapat. Lalu didekatkan kepalanya ke vagina cewek itu dan mulailah ia menjilat-jilat vagina yang kemerahan itu. Kedua jarinya membuka liang vagina Fey Chen sampai ditemukannya klitoris gadis itu. Lalu dijilatinya klitorisnya. Membuat Fey Chen jadi menggelinjang-gelinjang sambil berteriak mendesah-desah.<br /><br />“Aaahhhhh, AAAHHHHH, AAAAHHHHHHH.”<br /><br />Parto memang sengaja ingin supaya gadis itu “naik” hampir sampai ke puncaknya. Oleh karena itu ia meneruskan jilatannya, apalagi ia sendiri juga menikmati menjilati vagina gadis yang bersih ini. Ia ingin membuat gadis itu jadi “kuyup” sebelum akhirnya “dieksekusinya”. Vagina Fey Chen dibukanya semakin lebar. Lidahnya dimasukkan ke daerah G-spot gadis itu. Dan, gadis itu semakin liar gerakan tubuh dan desahannya. Sementara itu vaginanya kini betul-betul jadi basah kuyup. Kini ia mulai menjilati lendir cinta yang keluar dari vagina Fey Chen. Setelah beberapa saat membuat gadis itu betul-betul kuyup, kini tiba saatnya menikmati hidangan utama tubuh gadis itu. Ditatapnya liang vagina Fey Chen yang kelihatan jelas di tengah kedua kakinya yang mengangkang. Nampak vagina itu tertutup rapat kembali. Lalu didekatkannya penisnya ke depan liang vagina Fey Chen sambil tubuhnya menindih di atas tubuh Fey Chen yang tidur telentang di tengah-tengah ranjang. Setelah menarik napas, lalu…..eggh…dipaksanya masuk ujung kepala penisnya ke dalam vagina sempit Fey Chen. Meskipun terasa sempit sekali, namun pada akhirnya, bleessssh!… masuk juga penisnya ke dalam vagina gadis itu. Dan,” OOOhhhhh,” Fey Chen secara spontan berteriak saat benda tumpul itu masuk menembus ke dalam vaginanya. Kemudian Parto meneruskan mendorong tubuhnya sehingga penisnya amblas masuk seluruhnya ke dalam vagina Fey Chen. Lalu…dikocoknya penisnya di dalam tubuh Fey Chen.<br /><br />“AAAHH, AAHHHH, AAHHHHH….”<br /><br />Fey Chen mendesah-desah sambil tubuhnya bergerak-gerak maju mundur saat dirinya disetubuhi oleh Parto.<br /><br />Dua sejoli yang berbeda warna kulit itu nampak asyik menikmati saat itu. Parto semakin terangsang untuk terus mengocok penisnya di dalam tubuh Fey Chen, menyerap seluruh sari madu gadis itu. Sementara Fey Chen membiarkan dirinya “dibolongi” oleh Parto, cowok yang berbeda ras dan status sosialnya sungguh jauh di bawah dirinya. Inilah hubungan seks interracial ala Indonesia, yang terjadi atas dasar suka sama suka, mau sama mau, dan saling menikmati. Terbukti bahwa Fey Chen memejamkan matanya sambil terus mendesah-desah menikmati tusukan-tusukan penis Parto yang menembus vaginanya. Apalagi saat Parto melakukan itu sambil menindih tubuhnya dan mengecupi lehernya. Setelah puas mencicipi gadis kelas 3 SMA ini dalam posisi konvensional, Parto ingin merasakannya dalam posisi yang berbeda. Untuk itu ia mencabut penisnya dari vagina Fey Chen. Dilihatnya lipatan liang vagina Fey Chen yang agak terbuka dibanding sebelumnya. Namun yang membuatnya sungguh terkejut namun amat membanggakan hati adalah dilihatnya vagina gadis itu berdarah. Sampai darah itu membasahi seprei putih di sekitarnya. Artinya, gadis ini sebelumnya masih perawan! Dan ialah cowok pertama yang menikmati keperawanan gadis Chinese yang cakep dan kinyis-kinyis ini!!! Sungguh hal ini diluar dugaannya. Pantas tadi begitu seret. Rupanya selama ini Fey Chen telah sering melakukan petting dengan cowoknya. Namun hubungan mereka itu tak sampai sejauh seperti yang dilakukannya barusan. Perasaan bangga yang menggelora itu makin membuatnya bernafsu untuk mengobok-obok lebih banyak lagi.<br /><br />Kini ia tidur telantang di atas ranjang. Sementara Fey Chen yang baru saja diperawaninya itu diarahkan untuk duduk diatas tubuhnya. Tepatnya di atas penisnya yang mengacung ke atas. Rupanya gadis itu telah mengerti kemauan Parto. Segera ia mendekatkan vaginanya ke atas penis Parto. Dan dengan berat tubuhnya, bleeesss, tubuhnya turun ke bawah sampai bulu-bulu kemaluannya menempel di bulu kemaluan Parto. Lalu ia menggerakkan tubuhnya naik turun sambil tangan Parto mulai beraksi. Karena ia tak mau membiarkan payudara yang bergoyang-goyang naik turun itu “sia-sia”. Kedua tangannya meremas-remasnya sambil jari-jarinya memainkan kedua putingnya. Rupanya posisi ini sungguh efektif bagi cewek untuk bisa mengatur ritmenya supaya ia bisa orgasme. Hal ini terbukti karena Fey Chen menggerakkan tubuhnya dengan ritme kadang cepat kadang lambat. Dan tak lama setelah itu tubuhnya mengejang sambil ia mengerang di saat ia memainkan tubuhnya naik turun. Rupanya ia mencapai orgasmenya. Hati Parto sungguh puas saat menyaksikan ekspresi gadis cakep berwajah oriental itu saat orgasme karena ditembus penisnya yang perkasa! Setelah orgasme, napas Fey Chen agak terengah-engah dan ia menghentikan gerakan tubuhnya. Pertanda ia agak kecapean. Untuk itu Parto mengubah posisinya. Kali ini dibiarkannya gadis itu yang tiduran di ranjang. Fey Chen tidur dengan posisi miringdengan kepalanya ditaruh di atas tangannya (mirip seperti sebelumnya yang ada di foto). Cuma bedanya kini dirinya telanjang bulat. Meski ia sedang tiduran, namun bukan berarti Parto membiarkannya untuk beristirahat. Karena ia masih belum selesai, tentu ia ingin melanjutkan melampiaskan nafsu lelakinya itu terhadap gadis ini. Kali ini ia akan melakukannya dengan membelakanginya. Diangkatnya satu kaki Fey Chen. Sehingga kini mengangalah liang vagina cewek itu. Lalu dengan posisi tubuhnya yang juga miring di belakang Fey Chen, didekatkannya penisnya di antara kedua kaki Fey Chen. Dan dimasukkannya penisnya ke dalam vagina Fey Chen dan “dipompanya” dari belakang. Parto melakukan itu sambil menatap wajah cakep Fey Chen yang jadi mendesah-desah lagi. Tangannya ikutan main dengan meraba-raba sekujur tubuh bagian depan Fey Chen. Kali ini Fey Chen merasakan sensasi kenikmatan yang berbeda dibanding posisi sebelumnya. Ia merasakan vaginanya yang sempit diobok-obok oleh benda tumpul yang rasanya lebih besar dibanding sebelumnya. Hati Parto sungguh puas menyaksikan gadis Chinese ini lagi-lagi mendesah-desah karena desakan-desakan penisnya.<br /><br />Setelah puas menyetubuhi Fey Chen di posisi itu, kali ini Parto akan kembali mengganyang gadis itu dengan posisi doggy style. Kali ini Fey Chen disuruhnya menungging ke depan. Dan sengaja ia menyuruhnya menungging di depan kaca rias yang besar. Parto membelakangi Fey Chen, mengarahkan penisnya yang menegang ke liang vaginanya. Dan, bluuusshh, dimasukkannya penis hitamnya ke dalam tubuh putih mulus itu. Lalu, shleeb, shleeeb, shleeebb…dengan gagah disodok-sodoknya vagina gadis itu dari belakang. Saking kerasnya sampai-sampai seluruh tubuh Fey Chen ikut terdorong-dorong dan bergoyang-goyang dibuatnya. Terutama payudaranya yang menggantung jadi ikut terguncang-guncang pula. Parto menyaksikan bayangan mereka dari pantulan cermin.Kulit tubuh dirinya dan Fey Chen sungguh berbeda kontras sekali. Tubuhnya sendiri kesannya gelap dan dekil. Tubuh Fey Chen putih mulus. Namun kini tubuh keduanya menjadi satu. Penis Parto terus dengan perkasa memompa dan menggoyang Fey Chen. Parto bisa menyaksikannya dari cermin, tubuh Fey Chen termasuk payudaranya terguncang-guncang gara-gara perbuatannya itu. Kemudian Parto mencabut penisnya dari dalam tubuh Fey Chen. Dan kembali dibaringkannya gadis itu. Namun kini kedua kakinya ditekuknya sambil dibuka lebar. Lalu ia memajukan tubuhnya diantara kedua kaki gadis itu. Kembali ia mengarahkan penisnya ke depan vagina cewek itu. Dan, lagi-lagi dihajarnya vagina Fey Chen dengan dentaman penisnya yang bertubi-tubi. Sampai-sampai seluruh tubuh Fey Chen kembali terdorong-dorong. Parto semakin terangsang dan buas saat melihat payudara Fey Chen bergerak berputar-putar karena sodokan-sodokan penisnya yang mengocok habis vagina gadis itu. Cukup lama Parto menikmati vagina cewek itu dalam posisi itu. Sambil diselingi variasi dimana ia menciumi bibir dan leher cewek itu dengan penuh nafsu. Atau juga meremas-remas payudara yang bergoyang-goyang itu dan juga mengenyot-ngenyot dan menjilati payudaran gadis itu. Sampai akhirnya Fey Chen tak tahan lagi. Dan sampailah ia meracau tak karuan dengan suara-suara yang merintih-rintih pertanda ia sampai ke orgasme keduanya.<br /><br />Parto sengaja membiarkan Fey Chen menikmati orgasmenya itu. Sementara penisnya masih berada di dalam tubuh gadis itu. Setelah gadis itu mulai cooling down, ia mencabut penisnya yang masih menegang. Lalu ia mendekatkannya ke wajah cakep Fey Chen dan disuruhnya gadis itu mengemut penisnya. Dengan patuh Fey Chen menuruti permintaan cowok itu. Setelah terlebih dahulu ia mengikat rambut panjangnya yang kini agak awut-awutan, lalu penis hitam tegak dan berlendir itu akhirnya masuk ke dalam mulutnya. Dikulumnya penis itu lalu ia mengocoknya dengan mulutnya.<br /><br />“Bleep..bleep…bleep…..” <br /><br />Ia begitu patuh mengulum dan memaju-mundurkan mulutnya. Sementara itu di dalam mulut, lidahnya juga ikut menari-nari di seluruh bagian leher dan kepala penis Parto. Kemudian Fey Chen mengeluarkan penis itu dari mulutnya. Kini ia mengemut-ngemut buah zakar Parto. Tersengar suara kecupan-kecupannya.<br /><br />“Cleep, cleep, cleeep….”<br /><br />Dan lidahnya menjilati batang penis Parto mulai dari dasarnya di buah zakar sampai ke ujung kepalanya. Lalu kembali lidahnya menari-nari di seluruh leher dan kepala penisnya. Sampai akhirnya Parto tak dapat menahan lagi, dan….<br /><br />crooootttt, crrrrrrrrrrrruttttttt, crruuuuooooottt, crooott, crooottt,…. akhirnya penis Parto akhirnya menyemburkan sperma dengan volume begitu banyak secara tak beraturan. Ada yang kencang dan jauh semprotannya, ada yang dekat, namun makin lama semprotannya semakin lemah dan sedikit. Sampai akhirnya penis Parto tidak mengeluarkan cairan sperma lagi. Namun semburan “lava” sperma tadi sebagian besar mendarat di wajah cakep Fey Chen. Sehingga kini wajahnya jadi belepotan. Di hidungnya menempel sperma kental yang menyembur dengan kuat saat pertama kali. Sementara itu di pipinya juga terdapat cipratan sperma disana-sini. Di bibirnya pun juga terdapat cairan kental warna putih keruh. Alisnya pun juga tak luput dari semburan liar tadi. Bahkan di rambutnya pun juga ada cairan putih kental yang mendarat kesana. Lalu Parto menyuruh gadis itu kembali mengemut penisnya yang masih sedikit menegang. Dengan lidahnya, dibersihkannya penis itu dari sisa-sisa lendir yang menempel. Setelah penisnya terkulai lemas, barulah ia mencabutnya dari dalam mulut Fey Chen.<br /><br />Penisnya menjadi licin bersih. Sungguh hatinya sangat puas sekali akhirnya ia berhasil menikmati tubuh gadis cakep itu bahkan mendapatkan keperawanannya. Sementara Fey Chen kini nampak begitu amburadul. Rambutnya yang tadi diikat telah dilepas oleh Parto saat gadis itu sedang mengulum penisnya. Rambutnya itu nampak awut-awutan dan sperma Parto “mendarat” di dua tempat di rambutnya. Wajah cakepnya yang kinyis-kinyis kini jadi basah belepotan karena semprotan sperma Parto tadi yang kini telah agak mencair. Dan cairan itu sebagian turun ke bawah bagaikan anak-anak sungai membasahi dagu, leher, dan payudaranya. Di leher dan dadanya, selain basah karena sperma disana sini, juga nampak bekas-bekas cupang merah disana sini akibat kecupan-kecupan buas Parto tadi. Sementara di vagina dan pangkal pahanya masih ada sisa-sisa darah yang telah mengering. Sesaat kemudian, Parto tidur telentang dengan tenaga yang telah terkuras. Meskipun secara fisik kecapean, namun hatinya puas sekali. Sementara tangannya mengelus-ngelus rambut panjang Fey Chen yang tertidur lemas diatas dadanya. Ia bisa merasakan gerakan napas gadis itu karena dadanya menempel di tubuhnya. <br /><br />“Aku mencintaimu sayang,” bisik Parto ke telinga Fey Chen.<br /><br />“Aku juga mencintaimu sayang,” bisik Fey Chen tak kalah mesra sambil menatap Parto. “Oleh karena itu aku rela menyerahkan segalanya kepadamu.”<br /><br />“Benarkah Mas sungguh-sungguh mencintaiku?” tanya Fey Chen.<br /><br />Parto menganggukkan kepalanya.<br /><br />Dan Fey Chen tersenyum sambil merebahkan kembali kepalanya ke dada Parto.<br /><br />Dan Parto kembali mengelus-ngelus rambutnya sambil senyum tersungging di bibirnya.<br /><br />–@@@@–<br /><br />Parto memakai pakaiannya kembali sambil memandangi Fey Chen yang masih tiduran di ranjang. Dengan hati puas ia menyaksikan tubuh mulus telanjang gadis cantik yang barusan dinikmatinya itu. Dan Fey Chen, kontras dengan sikapnya di hari-hari sebelumnya yang sama sekali tak memandang Parto, kini ia tak merasa risih dirinya yang masih telanjang bulat itu ditatap oleh Parto. Apalagi setelah apa yang barusan terjadi. Dan kini cara bicara dan cara pandang Parto tentu tak lagi menunjukkan rasa hormat seperti layaknya seorang pembantu pria terhadap nona majikannya.<br /><br />“Wah ga nyangka, ternyata kamu hebat juga ya di ranjang. Aku benar-benar puas telah “menikmatimu” sayang. Sekarang aku keluar dulu ya. Nanti kita “gituan” lagi. Hahahaha.”<br /><br />Pada saat ia melangkah, kakinya tersandung sesuatu. Ternyata handphone tadi. Diambilnya benda itu dan dilihatnya. Ternyata layarnya menyala, tanda ada telpon masuk. Dilemparnya benda itu ke ranjang dan mendarat dekat Fey Chen,<br /><br />”Nih, punya kamu.” Fey Chen mengambil handphone itu, ternyata lagi-lagi Roger menelponnya lagi.<br /><br />“Halo.”<br /><br />Terdengar suara cowok dari ujung sana, rupanya speaker phone-nya kepencet.<br /><br />“Say, kok lu marah-marah mulu sih. Sampe gua telpon terus ga diangkat-angkat. Gua kaga tau apa salah gua ke elu. Tapi kalo elu marah sama gua, apa pun alasannya, gua minta maaf deh. Gue sayang banget sama elu. Tapi plisss, tolong jangan cuekin gua kayak gitu donk,” suara cowok itu terdengar memelas sekali.<br /><br />“Aaaahh, ngapain lu telpon gua lagi….kini semuanya sudah terlambat..” kata cewek itu lemah.<br /><br />“Loh, apa maksud elu Chen?….Halo….Haloo….Halo….????”<br /><br />Klik!<br /><br />Parto tersenyum puas mendengar semua itu. Kemudian ia keluar dari kamar itu, meninggalkan Fey Chen yang masih tiduran sambil termenung-menung.<br /><br />“Bagaimana? Wah, tampangmu senyum-senyum gitu dan baru muncul sekarang, kayaknya sukses besar yah!” bisik Mbok Minah. <br /><br />“Bener-bener gini nih,” kata Parto sambil mengangkat kedua jempolnya dan mengedipkan matanya,” Pokoknya top markotop dah! Luar biasa!”<br /><br />“Hah, jadi beneran kamu sudah berhasil meniduri Non Fey Chen?” serunya kagum dan gembira. Hebat juga adiknya yang cuma cowok pengangguran dari desa bisa mencicipi anak gadis majikannya.<br /><br />“Iya donk Mbak. Dan, waah, tubuhnya putih muluuuss. Susunya montok lagi. Pentilnya merah, Mbak. Bener-bener asik pokoknya. Aku kenyot-kenyot abis deh susunya tadi.”<br /><br />“Dan, puas banget rasanya waktu ngeliatin wajahnya yang kinyis-kinyis tadi sampe mendesah-desah ga karuan waktu diesek-esek. Hehehe.”<br /><br />“Tapi yang paling hebat nih, Mbak, ternyata dia itu masih perawan lho. Jadi akulah cowok pertama yang memerawani Peicen.”<br /><br />“Oh ya?”<br /><br />“Iya Mbak. Kalo ga percaya, nanti lihat aja sendiri seprei ranjangnya. Pasti tahu deh. Non Peicen itu memang cakep tapi sudah “bolong”. Sudah jadi barang bekas dia sekarang. Hahahahahahaaaaaa!”<br /><br />“Hush. Jangan keras-keras tertawanya,” katan Mbok Minah sambil menoleh ke kiri kanan. “Nanti terdengar orang lho. Dan namanya adalah Fey Chen, F-E-Y C-H-E-N, bukan “Peicen”. Gimana sih, sudah meniduri orangnya tapi masih nggak bisa manggil namanya dengan benar.” <br /><br />“Ah, terserahlah mau apa namanya. Itu ga penting. Yang penting bisa menikmati orangnya sambil mendapatkan duitnya. HEHEHEHEHEEE.”<br /><br />–@@@@–<br /><br />Di dalam kamar itu, Fey Chen telah membersihkan dirinya dan ia telah memakai kembali pakaian dalam dan gaun tidur putihnya. Ia duduk melamun di atas ranjang untuk waktu yang lama sekali. Pandangan matanya menerawang jauh. Dari luar, nampak tak ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Namun ia tahu persis bahwa dirinya kini telah berbeda dibanding saat sebelumnya. Dan banyak hal-hal lain yang juga telah berbeda. Termasuk seprei putih yang didudukinya itu. Karena seprei itu kini sudah tak betul-betul putih lagi. Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-85054947434818005142012-03-31T14:16:00.000-07:002012-03-31T14:16:21.574-07:00Winda: Nikmat Terbalut Guna-gunaSeptember 26, 2007<br /><br />Kisah ini juga true story di mulai saat Winda seorang ibu muda, 26 tahun yang telah bersuami dan mempunyai seorang anak berumur 1 tahun di tempatkan di Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman-Sumatera Barat. Kabupaten ini terkenal dengan magisnya yang kuat, terletak di pesisir selatan Sumatera Barat. Demi karirnya di sebuah Bank swasta pemerintah, ia terpaksa bolak balik Padang – Lubuk Sikaping tiap akhir minggu mengunjungi sang suami yang menjadi dosen pada sebuah Universitas di kota Padang.<br /><br />————-<br /><br />Awal Winda mengenal Johan sejak Winda kost di rumah milik kakak perempuannya. Winda tidak begitu kenal dekat, Winda hanya menganggukkan kepala saja saat bertemu dengannya. Diapun begitu juga pada Winda. Jadi mereka belum pernah berkomunikasi langsung. Yah, sebagai adik pemilik rumah tempat kostnya, Winda harus bisa menempatkan diri seakrab mungkin. Apalagi sifatnya yang suka menyapa dan memberi senyum pada orang yang Winda kenal. Winda tahu diri sebab Winda adalah pendatang di daerah yang cukup jauh dari kota tempat Winda bermukim.<br /><br />Begitu juga dengan latar belakang Johan Winda tidak begitu tahu. Mulai dari statusnya, usianya juga pekerjaannya. Perkenalan mereka terjadi di saat Winda akan pulang ke Padang.<br /><br />Saat itu hari jumat sore sekitar jam 17.30. Winda tengah menunggu bis yang akan membawanya ke Padang, maklum di depan rumah kost nya itu adalah jalan raya Lintas Sumatera, jadi bis umum yang dari Medan sering melewatinya. Tak seperti biasanya meskipun jam telah menunjukan pukul 17.50, bis tak kunjung juga lewat. Winda jadi gelisah karena biasanya bis ke Padang amatlah banyak. Jika tidak mendapat yang langsung ke Padang, Winda transit dulu di Bukittinggi, dan naik travel dari Bukittinggi.<br /><br />Kegelisahannya saat menunggu itu di lihat oleh ibu pemilik kost Winda. Ia lalu memanggil Winda dan mengatakan bahwa adiknya Johan juga mau ke Padang untuk membawa muatan yang akan di bongkar di Padang. Dengan sedikit basa basi Winda berusaha menolak tawarannya itu, namun mengingat Winda harus pulang dan bertemu suami dan anaknya, maka tawaran itu Winda terima. Yah, lalu Winda naik truknya itu menuju Padang.<br /><br />Selama perjalanan Winda berusaha untuk bersikap sopan dan akrab dengan lelaki adik pemilik kostnya itu yang akhirnya Winda ketahui bernama Johan. Usianya saat itu sekitar 45 tahun. Lalu mereka terlibat obrolan yang mulai akrab, saling bercerita mulai dari pekerjaan Winda juga pekerjaan Johan sebagai seorang sopir truk antar daerah. Iapun bercerita tentang pengalamannya mengunjungi berbagai daerah di pulau Sumatera dan Jawa. Winda mendengarkannya dengan baik. Dia bercerita tentang suka duka sebagai sopir, juga tentang stigma orang-orang tentang sifat sopir yang sering beristri di setiap daerah. Windapun memberikan tanggapan seadanya, dapat dimaklumi karena Winda yang di besarkan dalam keluarga pegawai negeri tidak begitu tahu kehidupan sopir.<br /><br />Windapun bercerita juga tentang pekerjaannya di bidang perbankan dan suka dukanya. Iapun sempat memuji Winda yang mau di tempatkan di luar daerah, dan rela meninggalkan keluarga di kota Padang. Ya Winda tentunya memberikan alasan yang bisa diterima dan masuk akal.<br /><br />Winda juga memujinya tentang ketekunannya berkerja mencari sesuap nasi dan tidak mau menggantungkan hidup kepada keluarga kakaknya yang juga termasuk berada. Iapun berkata bahwa truk yang ia sopiri itu milik kakaknya itu, setelah ia dan suaminya pensiun dari guru. Sedangkan anak-anak kakaknya itu sudah bekeluarga semua, juga bekerja di beberapa kota di Sumatera juga Jakarta.<br /><br />Selama perjalanan itu mereka semakin akrab. Winda sempat bertanya tentang keluarga Johan. Ia tampak sedih, menurutnya sang istri minta cerai dengan membawa serta 2 orang anaknya .Istrinya meminta cerai karena ada hasutan dari keluarganya bahwa seorang sopir suka menelantarkan keluarga. dan Johan memberi tahu dirinya sebab musabab ia bercerai dengan lengkap. Padahal bagi Winda saat itu, hal itu tidaklah begitu penting, namun sebagai lawan bicara yang baik selama di perjalanan lebih baik mendengarkan saja. Hingga akhirnya Winda sampai di dekat rumahnya di Padang.<br />Winda di jemput suaminya di perempatan jalan by pass itu, Winda sempat mengenalkan Johan pada suami dan suaminya, dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Tak lupa Winda menawarkan singgah untuk makan kerumahnya, namun Johan dengan sopan menolaknya dengan alasan barang muatan truknya harus di bongkar secepatnya. Dan mereka pun berpisah di perempatan by pass itu.<br /><br />Semenjak Winda mengenal Johan, Winda akhirnya sering menumpang truknya ke Padang. Winda jadi tidak kuatir lagi jika tidak ada bis umum yang akan ke membawanya ke Padang. Sejauh itu, keakraban Winda dan Johan, mereka masih dalam batas – batas yang di tentukan norma masyarakat Minang. Ya kadang dalam perjalanan jika perut lapar, mereka singgah untuk makan dan Winda selalu berusaha untuk membayar, sebab sebagai seorang wanita selalu ada perasaan tidak enak, jika semuanya menjadi tanggungannya. Winda tidak mau terlalu banyak berhutang budi pada orang. Itulah prinsip yang dianutnya dari kecil. Masa selama ke Padang udah gratis ,makan gratis pula??<br /><br />Kejadian pulang ke Padang seolah telah biasa bagi Winda bersama Johan. Kadang dia tidak ke Padang, hanya ke Bukittinggi, Winda juga ikut menumpang, lalu dari Bukittinggi Winda naik travel atau bis. Winda pun akhirnya telah menganggap Johan seperti kakaknya sendiri. Itu karena ia sering memberinya petuah tentang hidup, misalnya harus banyak sabar jika jadi istri, juga sikapku yang baik dimata ibu kost kakaknya itu. Terkadang Winda sering membawakan oleh-oleh untukt ibu kostnya jika pulang, terkadang Winda menyisihkan buat Johan, ya meski harganya tidak seberapa namun ia amat senang.<br /><br />Selama 2 bulan itu Winda selalu bersama Johan jika ke Padang. Mulailah Johan bersikap aneh. Kini dia jadi sering bicara jorok dan tabu. Juga ia mulai berani bertanya tentang gimana Winda berhubungan dengan suami, berapa lama suaminya bisa bertahan dan berapa kali Winda berhubungan selama seminggu.Pertanyaan-pertanyaannya ini tentu saja membuatnya merasa risih dan tidak enak hati. Winda kadang berusaha untuk pura-tidur tidur jika ia mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak pantas itu. Meskipun ia mulai aneh dan bicara tentang hal-hal yang cabul itu. Winda bersyukur hingga saat ini Johan tidak macam macam kepadanya. Winda menyadari mungkin Johan sedang stress akibat hidupnya yang sendiri itu, namun Winda tidak menanggapinya, dan seperti angin lalu saja.<br /><br />Hingga sampailah saat Winda pulang dengannya untuk kesekian kali, ia berusaha memegang jemari tangannya. Winda tentu saja kaget dan cemas, sekaligus takut. Winda langsung menarik tangannya dari genggaman Johan.<br /><br />“Da jaan da, Winda alah balaki dan punyo anak ketek, apo uda ndak ibo membuek Winda kecewa (bang jangan bang,,,,Winda punya suami dan anak yang masih kecil,,apa abang tega membuat Winda kecewa)?” ucap Winda. Winda juga mengancam akan mengadukan perlakuannya itu kepada kakaknya. Johanpun lantas melepaskan tangannya yang akan kembali meraih jemarinya. Winda juga berkatag padanya.<br />“Cukuik sampai disiko sajo da, Winda indak ka manumpang oto uda lai ( Winda tidak akan menumpang truk abang lagi)”. Hingga Winda sampai di Padang Winda hanya berucap terima kasih lalu diam. Winda masih kesal.Diapun sepertinya agak takut. Namun Winda tidak tahu apa yang membuatnya jadi seperti tadi.<br /><br />Hampir selama sebulan ini Winda tidak melihat Johan di rumah kakaknya, namun truknya masih nongkrong di halaman samping rumah induk itu. Selama itu Winda pulang naik bis yang kadang transit di Bukittinggi. Winda tidak tahu kemana ia pergi, namun Winda menanyakan pada ibu kosnya, dan Winda di beri tahu bahwa Johan sedang mengunjungi mantan istrinya untuk menjenguk anaknya. Windapun larut dengan rutinitasnya seperti biasa.<br /><br />Namun hatinya yang tadinya kesal, dongkol dan marah kepada Johan tanpa sadari Winda perasaannya mulai berubah. Tiba – tiba saja Winda malah sangat ingin bertemu dan ingin numpang pulang dengan truknya. Ya, Winda seakan rindu berat.<br /><br />Hari jumat sore itu dengan masih mengenakan pakaian kerja dan penutup kepala, Windapun mau saja diajak pulang bareng dengan Johan yang mengantarkan muatan truknya ke Padang. Mereka berangkat jam setengah lima. Lalu dalam perjalanan lelaki berbadan tegap tersebut kembali bicara itu, tentangg hubungan laki-laki dan perempuan serta sifat perempuan yang memiliki libido tersembunyi. Juga kekuatannya berhubungan badan dengan lawan jenis. Winda malah mendengar dengan seksama dan sesekali memberi komentar. Mungkin saja karena lama tidak tersalur atau laki – laki itu punya kemampuan lebih dalam hubungan badan, juga mungkin bantuan obat pemanbah perkasaant pria, komentar Winda. Sepertinya wanita muda tersebut tidak peduli lagi akan omongan joroknya Johan.<br /><br />Hingga senja. Sekitar jam 7 lewat mereka turun mampir di rumah makan di pinggiran jalan di Bukittinggi untuk beristirahat sejenak sambil mengisi perut. Anehnya saat itu Winda membiarkan saja saat tangannya di gandeng oleh Johan. Mereka makan dengan lahapnya. Dan setelah makan mereka berkemas dan berangkat untuk melanjutkan perjalanan menuju Padang<br /><br />Mobil mulai jalan meninggalkan rumah makan. Pas melalui daerah Bukit Ambacang daerah yang dulunya tempat pacuan kuda itu mungkin karena perut udah kenyang, dan dinginnya udara malam yang berembus dari celah kaca mobil, Winda jadi mengantuk. Winda menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil, tetapi karena jalan yang tidak rata, kepala Winda sering terantuk. Lalu Johan menawarkan, supaya Winda tidak terantuk kaca agar Winda mendekat kearahnya, dan bersandar di bahunya.<br /><br />“Win…daripado adiek ndak bisa lalok, labiah elok cubo sanda an kapalo di bahu uda (Winda daripada ga bisa tidur , lebih baik rebahkan kepalamu di bahu abang)” kata Johan.<br />“Ndak usahlah da, kan uda sadang manyopir, beko malah mambuek uda ndak bisa manyopir elok – elok, apolagi iko kan lah malam (nggak usahlah bang,,kan abang sedang nyetir, nanti malah bikin abang tidak bisa nyetir dengan baik.apalagi ini malam bang)” kata Winda menolak dengan halus dan tidak mau mendekat padahal saat itu Winda telah ngantuk berat.<br /><br />Dengan sebelah tangannya Johan meraih tangan wanita muda itu dan menariknya agar mendekat, dan makin mendekat hingga duduk mereka menjadi menempel bersisian dan hanya di batasi handel persneling mobil. Winda akhirnya menurut dan merebahkan kepalanya di bahunya lelaki tersebut. Winda terlelap sesaat. Padahal hati kecil Winda saat itu berbisik bahwa itu salah besar, dan Winda mengetahui itu amat sangat tidak boleh. Namun Winda juga merasakan dorongan yang jauh lebih besar untuk membiarkan itu terjadi.<br /><br />Saat terpejam dan dalam keadaan setengah tertidur itu tanpa Winda menyadari, tiba – tiba sebuah kecupan menerpa pipi dan bibirnyanya. Wanita muda itu kaget dan langsung bereaksi. Langsung ia menolakkan muka Johan dengan tangannya. Johan pun menghentikan kecupannya meskipun tangan kirinya masih merangkul bahu Winda agar tetap rapat menempel pada dirinya. Winda berusaha melepaskan tangan Johan pada bahu kirinya dan mengingatkan agar ia konsentrasi ke jalan.<br /><br />“Da sadarlah da, iko kan di jalan raya bisa cilako beko, caliak tu mobil lain kancang – kancang (Bang sadar bang ini jalan raya bisa kecelakaan, mobil lain pada ngebut tuh)” kata Winda mengingatkan. Johan pun menurut dan kembali berkosentrasi mengemudikan truknya..<br /><br />Tak lama kemudian saat truknya berjalan perlahan karena macet di daerah Padangpanjang, saat Winda yang masih merebahkan kepalanya pada bahu Johan, terkejut karena tiba – tiba saja karena bibir berkumis Johan menghampiri bibir tipisnya dan mengecupnya sekilas. Winda langsung terbangun dan duduk kembali menjauh dari bahunya. Perasaannya sangat dongkol tidak bisa berkata – kata apalagi berbuat kasar<br /><br />” Eh da Johan ko ndak mangarati juo, Winda mintak jaan di ulangi, badoso da, apo kato urang beko kalau mancaliak tadi (Eh bang Johan ini tidak juga ngerti, Winda mohon jgn di ulang lagi ini, dosa bang apa nanti kata org jika lihat kita saat itu tadi)?”. Namun, Johan sang sopir dia tetap santai-santai saja, seakan – akan Winda mengizinkan Johan berlaku demikian<br />” Abihnyo Winda mambuek uda galigaman (habis Winda bikin abang gemas)” jawabnya sambil meminta maaf.<br /><br />Kembali wanita muda tersebut diam membisu selama perjalanan, tidak menggubris apapun yang Johan katakanKembali tangan kiri Johan meraih bahu Winda untuk mrengkuhnya agar kembali rebah pada bahunya. Selama perjalanan itu Johan tidak lagi menciumi Winda, hanya meremas remas jari lentiknya dan mengecupi kepalanya yang masih mengenakan penutup kepala. Rasa hangat dan nyaman menghampiri perasaan Winda saat itu.<br /><br />Hingga…<br />Saat truk mereka memasuki wilayah jalan by pass yang gelap itu dekat simpang bandara yang baru sekarang ini, lelaki itu melambatkan laju truknya dan kembali menciumi dan melumat bibir wanita muda itu. Hanya saja herannya Winda malah membiarkannya saja. Jujur diakuinya ada desir – desir gairahnya yang mulai bangkit. Lalu Johan menghentikan truknya di tengah jalan dan kembali… menciumi, melumat bibir sebelah bawah milik Winda kembali dengan lebih bergairah. Tangan kanannya mulai naik meraba menemukan bukit padat yang membusung terbungkus di dada wanita muda tersebut . Meremasnya perlahan. Winda diam, matanya terpejam dan menikmati betapa gairahnya yang telah terbit kembali meluap. Dalam keasyikan mereka tersebut.<br /><br />Tiba – tiba…<br />Ada cahaya dari lampu mobil dari arah berlawanan menyorot kepada mereka. Dan langsung Johan menghentikan aksinya, lalu kembali pada posisinya menjalankan mobil tersebut hingga rumah wanita muda tersebut. Sesampainya di rumah, Winda masih saja terbayang akan perlakuan Johan pada dirinya. Untunglah saat itu suaminya sedang berada di Jakarta dan takkan mengetahui perubahan sikapnya tersebut. Hingga pada waktu tidur pada malam itu Winda bermimpi melakukan hal yang sama hingga ia disetubuhi oleh Johan. Dalam mimpinya ia merasa amat puas, puas yang berbeda sekali saat ia melakukan dengan suaminya.<br /><br />Kembali kini Winda ke Pasaman, dan bekerja seperti biasanya. Telah 3 minggu ini ia tak bertemu Johan. Kata kakaknya Johan sedang ada muatan ke Pematang Siantar. Winda sangat berharap untuk bertemu. Dirinya dilanda rindu yang sangat merajam perasaannya. Winda seolah – olah menjadi seorang remaja putri yang amat rindu pada kekasih saat itu. Membuat pikirannya hanya tertuju pada Johan seorang.<br /><br />Beberapa minggu kemudian mereka bertemu dan kembali berangkat bersama saat Winda hendak pulang ke Padang. Saat di perjalanan Johan minta Winda untuk melepas kacamata Winda. Winda heran kenapa dia meminta Winda melepaskan kacamata?<br /><br />“Uda taragak mancaliak mato diek Win indak mamakai kacomato (Abang ingin melihat mata Dik Win tidak mengenakan kaca mata) .” kata Johan. Windapun menurut lantas melepas dan menyimpannya dalam kotak dan kemudian memasukan dalam tas miliknya. Sepanjang perjalanan itu Winda tidak mengenakan kacamata. Kembali tangan kiri Johan merengkuh bahu Winda, menariknya agar duduk berdekatan. Winda yang tidak ngantuk bergeser mendekati dan karena merasa tidak enak dengan hawa kaki lelaki itu dari bawah dashbord dekat stirnya itu kemudian menegakkan kepalanya dan tidak rebah dibahu Johan.<br /><br />Dan kembali dalam perjalanan menuju Padangpanjang Johan meminta Winda melepas penutup kepalanya<br /><br />” Win uda taragak mancaliak rambuik Winda, salamo iko uda alun pernah mancaliaknyo, sabanta sajonyo, kan hanyo diateh oto iko, ndak ado do nan ka maliek (Win..abang ingin melihat rambut Winda…selama ini abang belum pernah lihat.sebentar aja Win, kan hanya di atas truk ini, tidak ada yang akan lihat)” katanya. dengan alasannya ia sudah sangat lama ingin melihat rambutku.<br />“Jaan daa, Winda alah barumahtanggo.. punyo anak.. Winda taragak manjadi ibu jo istri nan elok.., sabab uda beko bisa barubah pangana.., Winda kuatie da (jangan lah bang,Winda sudah berkeluarga,juga punya anak, jadi Winda ingin, jadi ibu dan istri yang baik, sebab jika Win buka kerudung, nanti,abang bisa berubah pikiran, Winda kuatir bang)”. Winda merasa keberatan, sebab merasa amat telanjang jika kerudungnya lepas.<br />“Alaa, Diek Winda jaan takuik ka uda, uda kan indak jaek, apolagi uda sayang bana ka Winda, walaupun alah punyo laki jo anak (Ala..Dik Winda jangan takut ama abang, abang kan bukan orang jahat, apalagi abang amat sayang pada Winda,meski abang tau Winda sudah punya suami dan anak)” kata Namun Johan menyakinkan. Winda bahwa ini hanya sebentar. Lalu Windapun meluluskan permintaannya. Penutup kepalanya dilepas dan di taruh, di pangkuannya sendiri.<br /><br />Tangan kiri Johan naik dan membelai rambut Winda, dari atas lalu turun ke tengkuknya yang di tumbuhi rambut halus.<br /><br />“Uda suko mancaliak bulu roma di kuduak diek Win (abang suka melihat rambut halus di tengkuk dik Win) ” ujar Johan.<br />“Harum bana (sangat wangi)” lanjut lelaki tersebut seraya menarik leher wanita muda itu mendekat kearah wajahnya. Dan mencium tengkuk berbulu halus itu. Winda merasa geli dan merinding, sebab gairahnya mulai terpicu. Lalu ia merebahkan kepala Winda di bahunya di sepanjang jalan yang macet, pada penurunan Lembah Anai tersebut. Sesekali ia meraba pipi wanita muda tersebut<br />“Pipi diek Win aluih jo barasiah (Pipi dik Win halus dan bersih)” tambah Johan. Winda diam saja.<br />“Biasalah laki – laki, suka menyanjung. Seperti biasa dilakukan suamiku sebelum menciumi aku” batin Winda.<br /><br />Winda pun lalu berusaha memicingkan matanya. Namun saat laju mobilnya terhenti karena macet Johan mencoba menciumi pipi kirinya terus turun hingga menemukan bibir tipis yang tersaput merah dan mengecupnya sesaat. Winda berusaha mengatupkan bibirnya namun tangan kanan Johan berusaha masuk kedalam kaos panjang lengan putih bergaris pakaian atasnya itu melalui bawah kaos. Tangan lelaki itu menyentuh pembungkus dadanya yang membusung. Winda memejamkan matanya<br /><br />“Uhhh…’desah wanita muda itu perlahan. Sehingga Winda tidak dapat berbuat apa apa selain hanya menikmati dan larut karena tangan kanannya saat itu masih memegang penutup kapalanya di pangkuan. Beberapa saat kemudian Johan menarik tangannya dan kembali melajukan truknya menuju arah Sicincin saat macet telah berakhir.<br /><br />Saat di jalan Sicincin itu mobil saat itu berjalan perlahan karena macet, meski tangan kirinya di stir Johan dengan tangan kanannya merengkuh wajah Winda, dan tiba – tiba saja bibir wanita muda tersebut di lumatnya. Winda langsung saja terpana dan kaget, mukanya memerah. Namun Winda tidak bisa marah karena rasa nikmat yang mulai timbul .. Akhirnya Johan melepaskan bibir merah milik Winda. Namun tangan kiri Johan kini meremas jari lentiknya. Sehabis jari wanita muda itu di remasnya, tangannya mulai merayap masuk ke dalam melalui belahan atas kaos kaos panjang lengan yang bergaris putih yang saat itu ia kenakan berpadu dengan celana panjang. Winda sadar dan menahan laju tangan tersebut dengan tangan kirinya. Saat itu baru bagian perutnya yang tersentuh oleh tangan Johan. Terasa hangat dan kasar. Tangan Johan lalu keluar dan dia kembali asyik dengan stir.<br /><br />Saat memasuki jalan by pass…<br />Jalanan gelap sekali hanya beberapa tempat saja yang di terangi lampu jalan, Johan menepi dan menghentikan truknya di pinggir jalan.<br /><br />“Ko baranti da (kenapa berhenti bang)?” tanya Winda bingung.<br />Johan diam saja tak menjawab, dan kembali merengkuh bahu wanita muda tersebut. Menariknya mendekat kearahnya. Dan diatas mitsubishi colt berwarna kuning tersebut bibir Winda kembali dikecupnya. Tidak saja di kecupnya, kuluman dan lumatan juga dilakukan Johan pada bibir lembut wanita cantik tersebut. Mengelitiki setiap ujung bibir tipis tersebut dengan tekun. Sedikit demi sedikit gairah dalam tubuh wanita muda tersebut bangkit. Winda membalas setiap lumatan bibir Johan, membuka mulutnya memberikan keleluasaan pada lidah Johan untuk menikmati kebasahan di dalamnya. Lidah mereka saling berpilin, membelit di dalam. Tangan kanan Johan merayap masuk kedalam kaos panjangnya melalui bagian bawahnya, bergerak naik keatas menemukan bukit membusung padat di sebelah kanan lalun meremas dan memijit bukit padat milik Winda tersebut dari luar bahan pembungkusnya. Wanita muda tersebut seolah tak mampu menolaknya. Winda berusaha melepaskan tangan Johan, namun keinginannya di kalahkan oleh hasratnya yang telah terpicu. Dirasakannya begitu hangat dan cekatan tangan lelaki itu mengirimkan berjuta-juta sengatan birahi disana. Tubuh indahnya mulai menggeliat – geliat dalam dekapan Johan di dera nikmat pada sekujur pori – porinya. Selang sekitar 25 menit kemudian Johan menghentikan perbuatannya.<br /><br />“Indak usahlah disiko, daerah iko agak angek, acok tajadi parampehan (Jangan disini, daerahnya rawan sering terjadi perampasan)” ujarnya kuatir kemudian.<br /><br />Winda diam, membenahi pakaiannya mulai dari kaos dan penutup kepalanya, juga membenahi napasnya yang sempat memburu disertai gairahnya yang sempat meninggi. Lagi pula persimpangan arah ke rumahnya telah dekat. Mobil Mitsubishi kuning itu pun kembali bergerak. Winda terdiam selama perjalanan menuju persimpangan rumahnya. Ada penyesalan dalam dirinya saat itu bisa terlibat sejauh itu, namun seakan terhapuskan rasa yang timbul akibat perlakuan lelaki tersebut pada dirinya. Begitu sesampainya Winda di rumahnya sekitar pukul setengah sepuluh malam itu Winda langsung mandi. Ternyata suaminya masih berada di kampus.<br /><br />Malam itu Winda sempat bersetubuh dengan suaminya Winda heran malam itu ia kurang bergairah seolah hanya terpaksa menjalankan kewajiban saja.<br /><br />“Alah lamo awak indak bahubuangan diak (sudah lama kita tidak berhubungan dik)” kata suaminya. Winda merasa berhutang pada suaminya karena memang dalam minggu ini mereka belum pernah berhubungan badan. Dengan enggan Windapun menuruti keinginan suaminya. Di ranjang mereka malam itu ditengah kesibukan suaminya mengayuh biduk asmara mereka, tiba-tiba datang sekelebat bayangan berupa sosok Johan .Langsung gairah dan nafsunya mereda. Winda langsung kehilangan gairah di tengah pergumulan mereka, namun demi menjalankan tugasnya sebagai istri, maka Winda berpura-pura menikmati hubungan itu hingga selesai.<br /><br />Aktifitas Winda kembali seperti biasa hingga ia kembali ke Pasaman, daerah tempat bekerjanya. Dan bekerja seperti biasanya.<br /><br />Hari itu hari Selasa. Saat ia pulang ke kost-anya. Didapatinya rumah dalam keadaan kosong. Rupanya sang ibu kost beserta suaminya berangkat ke Palembang mengunjungi salah seorang anaknya di sana. Dan praktis hanya Winda yang berada di rumah itu. Johan dan juga tak kelihatan. Besoknya pada hari rabu Johan muncul namun tidak dengan truknya.<br /><br />“Oto sadang di pelo-an di bengke (truk sedang diperbaiki di bengkel) ” ujarnya Johan menerangkan pada Winda saat menanyakan truknya. Malam itu Johan mengajak Winda.<br /><br />“Win ..alah makan Win (Win udah makan Win)?”tanya Johan.<br />“Alun lai da (Belum bang)” sahut Winda.<br />“Kalua awak makan lah, ado tampek nan rancak untuk makan daerahnyo dingin jo tanang (Ayo kita makan keluar, ada tempat makan yang bagus, daerahnya dingin dan sepi) terang Johan mengajak wanita muda tersebut.<br />“Ndak baa do da (Boleh bang)” sahut Winda.<br />“Tapi jan lamo – lamo yo da (Tapi ga lama kan bang)?” sambung Winda kembali.<br /><br />Lalu Windapun masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Mengenakan kaos panjang lengan berwarna merah muda dan jaket serta bawahan celana panjang berbahan katun hitam kemudian berangkat bersamanya. Kebetulan ada mobil kakaknya yang ditinggal. Sebuah toyota starlet berwarna merah. Mereka berangkat sekitar jam 7 malam itu. Tempat yang mereka tuju terletak agak jauh arah ke Medan tetapi masih di wilayah Lubuk Sikaping sekitar 1 jam perjalanan dari ibukota kabupaten tempat tinggalnya. Saat itu Johan mengenakan kaos oblongnya dan jeans biru<br /><br />Mereka makan di sebuah warung makan yang terbuat dari anyaman bambu menyerupai saung yang dinding setinggi tertutup setinggi bahu orang dewasa. Mereka makan ikan bakar dan duduk secara lesehan. Winda berada pada sisi kanannya Johan. Memang tempatnya amat romantis, apalagi saung itu lampunya redup dan bunyi jangkrik, meningkahi suasana makan mereka. Mereka makan, berbincang, bercanda dan sesekali saling menyuapi. Setelah makan mereka duduk bersantai.<br /><br />Mereka mulai saling berciuman, saling berpelukan erat. Winda terlena oleh suasana. Winda rebah di pangkuan pada paha kirinya Johan.<br /><br />Winda memegang lengan Johan. Wajah mereka saling tatap dalam senyuman. Perlahan Johan membelai wajah wanita muda tersebut. Merabai kehalusan kulitnya. Wajahnya menunduk turun mendekati wajah Winda. Winda merasakan jantungnya berdegup kencang Johan mengecup kepala Winda yang masih tertutup, turun kekeningnya terus ke pipi yang licin dan bergerak naik menjumpai sepasang bibir lembut yang memerah. Di kecupnya perlahan. Winda memejamkan matanya saat bibir berkumis lelaki itu mulai melumat bibir tipisnya. Awalnya Winda hanya diam namun akhirnya Winda mulai menerima dan bereaksi dan ikut arus lumatannya. Ada hawa kuat yang menggiringnya untuk mengikuti alunan gairah yang diberikan Johan.<br /><br />Lidah mereka telah saling belit dalam kebasahan mulut Winda. Sedangkan tangan kiri Johan telah mulai merayap. Awalnya mengelus leher bagian dalam terus turun masuknya lewat lobang krah ke arah dada dan masuk kebalik bra dan meremasputing bukit padatnya yang membulat dengan perlahan. Rabaan tangan kanan Johan merayap di sepanjang batang paha Winda mengelusnya bergantian paha kiri dan kanan tak terlewatkan meski kedua kaki Winda tetap rapat. Menurun pada bagian dalamnya dan mengelusnya dengan lembut. Lecutan gairah segera meletup dalam diri Winda. Napasnya mulai memburu, tersengal -sengal.<br /><br />Kurang lebih 1 jam kemudian baru mereka pulang ke rumah. Saat di mobil kejadian itu terjadi lagi pada perjalanan pulang sekitar 5 menit. Mobil starlet merah itu sengaja di hentikan Johan. Didalam mobil itu masih di kursi depan Johan kembali meraba dengan tangan kirinya. wajah dan terus ke dada Winda yang saat itu masih terbungkus kaos panjangnya. Johan pun melumat bibir tipisnya. Winda hanya bisa diam meski lidah Johan dengan leluasa telah mengait – ngait lidahnya dalam mulutnya… agak lama…. sebelah tangan Johan lalu berusaha masuk kedalam celana panjang katun yang Winda kenakan, tangan kiri itu menyelinap masuk dan mulai menyentuh bagian kewanitaannya diluar pakaian dalamnya Winda seperti tersengat… geli. namun Winda menariknya kembali tangan tersebut beraksi beberapa saat.<br /><br />“Jaan lah da… ,Winda alah punyo laki jo anak (jangan bang Winda udah mempunyai suami dan anak)” ujar Winda lirih.<br />“Winda malu…”tambah Winda mencoba menahan keinginan Johan saat itu disela -sela napsunya yang telah bangkit hampir membakar dirinya.<br /><br />Johanpun menurut dan kembali menghidupkan mesin mobil berangkat menuju rumah. Dan begitu sampai mereka langsung masuk rumah. Winda masuk kerumah pavilunnya dan terus masuk ke dalam kamar. Sedangkan Johan pergi lagi, ada urusan katanya. Padahal saat itu Winda sudah sangat terangsang, batinnya menuntut pelepasan dan kalaupun dia datang menemuinya kembali untuk menuntaskan apa yang mereka telah mulai… Winda pun takkan kuasa menolak rasanya. Tetapi tampaknya Johan memang tengah berusaha memancingnya. Paginya Windapun kembali menjalankan aktifitasnya di kantor seperti biasanya<br /><br />Malamnya, malam Jumat itu mereka kembali makan malam bersama diluar namun tidak di tempat kemaren malam itu. Denag arah yang sama ke arah Medan, tapi berbelok kekanan. Suasana tempatnya seperti umumnya restoran, ada beberapa orang singgah untuk makan. Tempatnya juga tidak begitu ramai. Winda maklum Johan mengajaknya ke luar dari kota itu agar mereka tidak di pergoki oleh temannya ataupun teman sekantornya Winda. mereka hanya makan saja, kemesraan mereka tidak seperti kemaren malam. Malam ini mereka hanya saling berpegangan tangan saja. Dan setelah itu mereka langsung pulang.<br /><br />Sampai di rumah sekitar jam 21.00 WIB.<br /><br />Winda masuk langsung masuk ke paviliun kamarnya, sedangkan Johan masuk ke dalam rumah kakaknya. Saat Winda telah bersalin pakaian dengan, mengenakan kemeja tidur yang panjang berwarna merah muda dan setelannya berupa celana panjang bercorak sama. Tapi tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu pavilunnya. Terdengar suara Johan memanggilnya. Winda menutup rambutnya dengan bergok yang biasa Winda pakai jika ada tamu dan membuka pintu untuk mempersilakan lelaki itu masuk mengingat selain dia adik pemilik rumah mungkin dia mempunyai keperluan yang harus disampaikan.<br /><br />Rupanya Johan habis mandi malam itu. Terlihat dari rambutnya yang basah dan anehnya ada sedikit bau – bauan yang agak menyengat menyemburat di hidung Winda. Ya, wanita muda itu masih ingat baunya seperti wangi bunga mawar… mereka duduk di ruang depan faviliun itu, bersebelahan pada sofa sudut. dengan Johan berada di sebelah kirinya. Sambil berbincang – bincang apa saja. Tak disadarinya pembicaraan Johan mulai bergeser pada hal yang sangat pribadi dan cenderung intim. Dari pembicaraan mengenai kesepian dirinya setelah bercerai, godaan – godaan saat ia membawa truk keluar daerah, juga bercerita bahwa ia pernah berhubungan dengan wanita di kota yang ia singgahi, termasuk dengan pelayan rumah makan di Medan, juga berkata mengenai keperkasaannya saat bersetubuh katanya cukup mampu melayani wanita itu hingga beberapa kali .<br /><br />Kemudian Johan pindah duduk disamping wanita muda itu, duduk disebelah kirinya.<br />Lalu lelaki itu meraih jemari lentiknya dan membawanya ke pahanya. Winda diam tak bereaksi. Perlahan menarik bahu Winda, memutar nya agar menghadap dan menjatuhkan kecupan ringan pada bibir tipis wanita muda tersebut. Winda merasa sedikit jengah langsung menunduk malu sebab itu berlangsung tiba tiba dan mengejutkan dirinya, meskipun hal itu telah diduganya akan terjadi.<br /><br />Namun… sentuhan bibir saat itu tidak seperti biasanya, Winda merasakan sengatan listrik mengalir pada sekujur tubuhnya. Tetapi Johan terus mengulum dan melumat bibir tipis wanita muda tersebut. Perlahan Windapun mulai membalasnya… menerima bibir lelaki berkumis itu dengan membuka mulutnya, memberikan ruang bagi lidah Johan untuk menerobos masuk di sela -sela giginya yang berbaris rapi. Menikmati betapa lidah kasap itu menggelitik di dalam rongga mulutnya, menemukan lidah Winda yang lancip untuk saling bercengkrama dan saling palun dalam kebasahan mulut Winda. Winda memejamkan matanya menikmatinya.<br /><br />Lalu tangan Johan naik pada leher Winda, berusaha melepas penutup kepala Winda saat mereka berhadapan. Setelah lepas wajahnya mendekat, napasnya terasa hangat menembus kemeja tidur pada pundaknya. Johan dengan lembut mencium pundak dan di bagian belakang leher wanita muda berkulit putih tersebut. Sambil mendorong perlahan agar wanita muda itu rebah di sandaran sofa. Winda larut dalam dekapan dan cumbuan lelaki gagah itu. Ia semakin… terlena… pasrah.. lemas… menyerah pada birahi yang timbul oleh perlakuan Johan pada dirinya kemanapun arah yang diingininya.<br /><br />Tangan Winda memegang bahu Johan yang tengah menahan kepala Winda dengan kedua tangannya. Sambil terus saling lumat dan kulum itu… tangan kanan lelaki tersebut turun dari belakang kepala dengan perlahan, menyusuri bahu yang telah terbuka, melewati belikatnya dan menemukan bukit membusung padat di dada wanita muda tersebut. Masih dari luar tangannya mulai meremas bukit padat yang terbungkus itu. Dengan sedikit kasar ia memilinnya…!!!Wajah dan tubuh wanita muda itu mulai berkeringat. Kehangatan bara birahi yang dialirkan oleh perlakuan Johan pada dirinya mulai membakar setiap titik syaraf kewanitaannya.<br /><br />Tangan kanan Johan kemudian turun… merasakan hangatnya perut yang terselimuti pakaian… terus turun menemukan ujung bawah kemeja tidur wanita berkulit putih tersebut… menyelinap kebaliknya dan naik menyusuri perut terus ke atas. Menyelinap ke balik pembungkus bukit membusung di dada Winda. Meremas dengan lembut beberapa kali lalu memjit putiknya dengan intens.<br /><br />“Ohh…..” Winda mendesah… matanya terpejam dikarenakan rasa malu dan rasa nikmat yang bercampur baur… Tubuhnya serasa terbang melayang lepas dari tempat berpijaknya. Kedua tangan Winda semakin erat memeluk leher Johan. Bibir Johan merayap turun dan menciumi leher jenjang yang mulai basah… basah oleh keringat. Bibir berkumis lelaki itu menjejali lehernya dengan gigitan – gigitan kecil yang kurang pahaminya, namun membuat Winda semakin larut…<br /><br />Sementara itu tangan kiri Johan telah berada pada pertemuan paha wanita muda itu… meski diluar saja dan tidak masuk kedalam celana tidurnya… Winda amat kaget dan tubuhnya terlonjak kaget… serasa tersengat listrik… Tangannya meraba raba mengelus… dengan lincah meskipun pada posisi kaki Winda yang masih merapat. Winda meraih tangan tersebut berusaha melepaskan tangan lelaki itu pada pertemuan pahanya. belum pernah di perlakukan demikian oleh lelaki manapun termasuk suaminya. Johan menurut dan menarik tangannya dan menjauh dari Winda.<br /><br />Kembali mereka duduk lagi seperti biasa.. begitu juga Winda pun kembali duduk sewajarnya. Johan bangkit melangkah keluar kembali ke rumah kakaknya. Beberapa saat kemudian kembali dengan sebotol air putih beserta 2 gelas beling. Menuangkan air putih tersebut dan memberikannya segelas pada Winda. Dia meminum air tersebut begitu juga Winda. Tubuhnya yang telah menghangat dan berkeringat oleh percumbuan barusan membutuhkan penawar menyegarkan.<br /><br />Kemudian Johan berdiri, melangkah ke pintu dan menutupkan pintu paviliun tersebut sekaligus menguncinya… dari dalam. Melangkah menghampiri Winda yang masih duduk dan menariknya agar berdiri. Winda menurut dan seakan jadi manusia idiot yang mau saja saat di bimbing lelaki gagah itu ke dalam kamar tidurnya sendiri. Sesampainya dikamar, Johan menutupkan pintu kamar dan menghidupkan lampu tidur yang bersinar temaram. Winda di dudukan oleh lelaki itu dipinggiran ranjang dari besi yang sudah lama dan bermodel antik … diatas spreinya yang berwarna putih. Johan lalu berdiri dan melepas kaos putih berlengannya hingga ia tinggal bercelana santai yang pendek saja….<br /><br />Kembali dihampirinya wanita muda, meraih dagu lancip Winda dengan tangan kanannya dan menjatuhkan kecupan pada bibir tipis itu. itu Kecupan itu berubah menjadi lumatan dan kuluman menghisap bibir tersebut hingga membuat Winda hampir kehabisan napas sehingga terpaksa membalas karena lidah Johan telah menyelusuri bagian dalam mulutnya… Johan berhenti… memberikan waktu bagi wanita muda itu untuk mengatur napasnya yang tersengal sengal.<br /><br />Tangan Johan meraih kancing kemeja tidur wanita muda berrkulit putih tersebut. Mencoba melepaskannya dengan perlahan satu demi satu. Winda menahan laju tangan lelaki itu dengan tangannya. Johan tak menggubrisnya dan tetap melakukan hal itu. Setelah kancing tersebut lepas semuanya, disibakkannya kemeja tidur tersebut pada bahunya sehingga bahan tersebut meluncur turun… lepas dari tubuh pemakainya.. dan langsung jatuh ke lantai. Praktis tubuh mulus atas Winda telanjang…!!! hanya sebuah kalung yang biasa dipakainya dan dua cup menutupi bulatan padat yang membusung di dadanya<br /><br />Johan mulai mengecupi bahu telanjang wanita berkulit putih itu.<br /><br />“Ohh……” Winda mengeluh, tangannya terpaku pada pinggiran ranjangnya… ada rasa geli..dan gairah yang datang menghampirinya lewat ciuman itu. Ciuman itu merayap ke leher jenjangnya dan turun menyusuri belikatnya ke bawah menemukan lembah kedua bukit dadanya yang mulai berkeringat. Lalu tangan Johan merayap ke belakang menemukan kait pengikat benda pembungkus dada Winda. Satu sentakan kecil membuat kait benda tersebut lepas dan membiarkannya meluncur turun meninggalkan tubuh yang sintal dan mulus itu untuk tergolek menemani kemeja tidur yang telah berada di lantai. Winda berusaha memiringkan tubuhnya agar tidak terlalu terekspos pada lelaki itu… namun dengan kedua tangannya yang berada di balik lengkung punggung Winda. Johan mencoba menahan gerakan itu.<br /><br />Wajah lelaki itu mendekat pada dada Winda. Lidahnya mulai menjilati permukaan licin dada yang membusung indah tersebut. Bergantian bukit yang kiri dan kanan tak satupun tertinggal… hingga akhirnya bibir berkumis itu mampir pada puncak bukit padat di dada Winda. Kepala Winda langsung terlontar rebah kebelakang…!!! Menggigit dan mengulumnya dengan intens… saat ia menggigit… Winda merasa geli dan segera gairahnya terlecut.<br /><br />“Ahh….”rintih Winda terlepas begitu saja dari bibir tipisnya. Tubuhnya mulai hangat dan berkeringat, menggeliat-geliat dalam dekapan Johan. Tak kuat ia rasakan deraan nikmat yang melanda segenap penjuru tubuhnya. Tubuhnya lunglai dan seiring dengan itu Johan mulai merebahkan tubuh sintal tersebut perlahan di ranjang bersprey putih. Sedangkan kedua kaki wanita itu masih menjejak lantai. Kini Winda terbaring di ranjangnya sendiri… dengan peluh yang muncul di setiap porinya, tersengal-sengal dalam gemuruh nafsu yang telah membubung…!!!<br /><br />Johan rebah diatas tubuhnya, diantara kedua kakinya yang masih mengenakan celana tidur telah membuka naluriah. Terasa oleh wanita muda pada perutnya betapa sebuah batang mulai mengeras. Kembali bibir dan lidah lelaki itu mencumbui bukit padat milik Winda yang mulai mengeras dalam nafsu… tak ketinggalan wajah… bibir… leher jenjangnya mendapat kecupan… lumatan yang bertubi-tubi… kedua tangan Johan terkadang menggantikan aksi bibirnya pada dada Winda.<br /><br />“Uhhh……”desah Winda mulai sering terdengar. Rasa nikmat perlakuan Johan pada tubuhnya membubungkan nafsunya pada titik yang tak bisa kembali… kedua tangan Winda hanya bisa meraih dan mencengkeram pada bahu berkeringat lelaki gagah tersebut… bisa dia rasakan betapa dirinya telah basah disana sini… juga pada kewanitaannya yang mulai berdenyut. Lalu Johan bergerak lagi.. diangkatnya tubuh mulus yang telah telanjang hingga pinggang tersebut… menggesernya lebih keatas hingga kedua kaki Winda kini tergolek di atas ranjang bersprey putih tersebut.<br /><br />Kembali berbaribg di samping kiri Winda, tangan kanan Johan meraih ke bawah, menemukan karet celana tidur wanita muda itu. Mencoba menariknya. Kaget Winda berusaha mencegahnya… tetapi telah terlambat karena karet celananya telah turun hingga lututnya… dan terus turun hingga akhirnya hanya sehelai kain tipis berwarna putih yang telah basah yang masih menutupi pertemuan batang pahanya. Bulu roma Winda berdiri di dera oleh nafsu yang berkesangatan… seakan ikut merasakan apa yang kan terjadi malam itu.<br /><br />Kini tangan Johan kiri meraba bagian kewanitaan Winda yang masih terbalut itu dengan jarinya… menekan lepitan belahan kewanitaannya yang basah… itu di luar. Sambil kedua tangan Winda hanya bisa mendekap kepala Johan.. Winda berusaha tetap merapatkan kedua batang pahanya. Namun Johan bergerak ke lain arah menemukan karet kain tipis pembalut pertemuan paha Winda, menariknya perlahan.. dan dengan mudah kain yang berbentuk segitiga tersebut lolos dan meninggalkan tubuh pemakainya menyusul pakaian lain yang telah terlebih dahulu lepas. Semuanya berjalan lancar seolah – olah Winda tak bisa kuasa menolak setiap perlakuan Johan.<br /><br />Semuanya telah terbuka.. tidak ada lagi ditubuh Winda yang masih tertutup…, terbaring telanjang dalam napas bergemuruh dengan tubuh yang berpeluh disana – sini…!!! Bukit padat di dadanya dengan puncaknya yang berdiri tegak mengkilat di di bawah sinar temaram lampu kamar itu. Winda merasa heran saat itu.. hentakan dalam tubuhnya amat mengelora… ingin semuanya terjadi sesegera mungkin..<br /><br />Lalu Johan berdiri, melepaskan celana pendek dan sekaligus pakaian dalamnya… hingga tubuh tegapnya telanjang. Ada rasa takut… dalam diri wanita muda yang tergolek di ranjang itu saat melihat sosok Johan dengan dada dan tangannya yang berbulu… lebat. Apalagi dengan pakaian yang telah lepas dari tubuhnya saat itu… membuatnya amat kuatir… melihat batang kelelakian yang amat panjang milik lelaki gagah itu..!!! Jujur diakuinya milik suaminya tak berarti di bandingkan dengan milik Johan. Jauh didalam hati kecilnya Winda menyesali kejadian yang tengah berlangsung itu. Ini baru pertama kalinya dalam hidupnya… telanjang di hadapan lelaki lain yang bukan suaminya. Namun gairah… nafsu… dan rasa yang Winda tak dipahaminya itu terus membutakan hati kecilnya saat itu.<br /><br />Johan mulai merayap naik di atas tubuhnya tak mempunyai pilihan kedua batang paha Winda naluriah membuka memberikan ruang pada pinggul lelaki tersebut untuk menempel. Kembali Johan mengecupi bibirnya dengan bernafsu dan kini Winda tak kalah lincah menyambut bibir dan mulut lelaki itu.. . Sedangkan tangannya telah bermain di bukit padat di dada Winda. Meremasnya berkali- kali.. kadang menggesek dengan gemas menggunakan kumisnya…<br /><br />“Ouhh…” rintih Winda. Perasaannya serasa terbang tinggi ke angkasa dengan tubuh menggeliat-geliat bak cacaing kepanasan…Kedua tangan Johan tak henti – hentinya meremas… memilin.. bukit membusung di dada Winda hingga kedua bukit padat itu menegang dengan putik yang mengeras… seolah tegak… membuatnya memerah di setiap permukaan licinnya. Terasakan juga oleh wanita muda itu betapa hangat dan tegapnya batang pejal milik Johan… menyentuh di bawah pusarnya.<br /><br />Lalu Johan turun dan berlutut bertumpu di atas kasur ranjang. Meraih kedua betis putih milik Winda yang tengah terbuka… mengangkat keduanya keatas. Kemudian lidah Johan meluncur sepanjang kedua kaki Winda, mulai dari ujung kaki hingga ke pangkal paha bagian dalamwanita muda itu tanpa sedikitpun ketinggalan… Lidah kasapnya terasa kasar, kesat dan basah. Winda masih memejamkan matanya menikmati gelombang biraai yang menderu-deru melandanya… kemudian ia terus turun, Winda seakan telah tergolek…kalah… rasa pasrahnya… membuat tubuhnya seolah menerima perlakuan dia saat itu..<br /><br />Terus Johan membungkukkan wajahnya hingga jatuh pada kewanitaan Winda. Lidahnya masuk… menjilat … lepitan basahnya.. ada rasa hangat, geli, oleh jilatannya itu. Kadang lidahnya menghisap dan mengulum tonjolan sebesar kacang tanah di sana. Winda tidak mampu lagi berkata kata saat itu hanya bisa merintih dan mendesis… dengan tubuh menggeliat- geliat… Telapak tangan Winda berada dikepalanya menggenggam rambutnya dengan gemas…. sebagai tempat berpegang.. kedua kakinya berusaha dirapatkan karena rasa geli yang menghujam namun… terganjal.. kepalanya… rasa basah itu mulai datang dan seakan meledak… Lidah dan bibir masih di lepitannya, tidak ada sedikitpun rasa jijik pada dirinya saat itu..<br /><br />“Ohh………” dengus Winda. Beberapa saat Winda klimaks… Winda mengejang..!!!. tubuhnya serasa melayang seringan seperti kapas.. Winda basah.. dan terkulai lemas… Johan lalu berhenti, lalu bangkit dan berdiri melangkah pergi mengambil air minum diluar kamar, dan kembali masuk dengan botol minuman dan gelas tadi. ia pun minum, namun tidak… menawari Winda..<br /><br />Lalu lelaki tegap itu kembali ke tempat tidur, dan berbaring di sampingnya di sisi kirinya. Winda masih terbaring lemas dan berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya untuk meredakan gairahnya. Merasakan kewanitaannya basah dan lengket, juga tubuhnya telah basah oleh peluh yang bercucuran di sekujur tubuh telanjangnya mulai dari ujung kaki, paha perut, dada dan wajahnya. Winda telah merasakan kembali klimaks yang lama tak di alaminya, hanya saat… baru – baru menikah hingga bulan ke lima saat mulai hamil.. setelah itu tidak pernah lagi..<br /><br />“Win adiek pueh..(Win, kamu puas)? Tanya Johan memecah kebisuan diantara mereka. Winda diam dan hanya mengangguk jujur seraya memandang matanya. Melihat pada kedalaman mata tersebut percik nafsu yang membara, berniat sangat ingin menyetubuhinya malam itu.<br /><br />Kembali Johan meremas dan memilin bukit padat di dada Winda yang telah memerah disana sini. Gairah wanita muda itu yang tadi telah surut kembali memuncak dengan cepat. Lincah sekali ia memperlakukan tubuh wanita muda itu. Dikulumnya bibir tipis itu… Awalnya Winda hanya diam lalu ikut membalas, bibbirmereka saling lumat, kulum.. Tangan kanan Johan… turun ke arah kembali ke kewanitaan Winda. jarinya masuk… mengorek – korek kebasahan yang timbul di sana membuat tubuh Winda terlonjak – lonjak diatas ranjang besi itu. Kewanitaannya mulai basah seolah tau saatnya untu permainan sesungguhnya akan di mulai..<br /><br />Johan mengangkat kedua paha Winda dan menahan dengankedua tangannya, berlutut memposisikan pinggulnya diantara kedua batang paha wanita muda itu. Winda hanya bisa memejamkan mata, merapatkan kedua pahanya dan menutup kewanitaannya dengan tangannya. Winda merasa ketakutan sekali jika batang pejal Johan yang telah tegak kaku itu akan memasukinya, karena sempat dilihatnya tadi ukurannya saat belum berada pada ketegangan penuh.<br /><br />“Apo nan diek Winda takuik-an (Apa yang dek Winda takutkan)?” tanya Johan.<br />“Itu da Winda takuik jo punyo uda tu (Itu bang Winda takut dengan milik abang)” jawab Winda.<br />“Diek Winda jan takuiik jo punyo uda ndak sakik do (Dek Winda jangan takut dengan kepunyaan abang, ga akan sakit ko) jelasnya berusaha memberikan pengertian.<br />“Kan Winda,,, alah pernah malahiakan..(kan Winda sudah pernah melahirkan)? Tambah Johan.<br />“Jadi punyo diek Winda pasti bisa (jadi kepunyaan Winda pasti mampu) katanya lagi menenangkan Winda.<br />“Winda indak malahiakan normal da, lewat badah sesar, iko ado jajaknyo (Winda tidak melahirkan secara normal bang tapi lewat bedah caesar, ini ada bekasnya) ” sahut Winda sambil menunjukkan bekas jahitan operasinya. Johan terdiam. Winda tau sekali Johan sangat menginginkan…, begitu juga dirinya juga amat sangat menginginkan persetubuhan yang sebenarnya namun rasa takut dapat mengalahkan keinginan Winda saat itu.<br /><br />“Baiko sajolah, baa kalau awak cubo dulu jo gesekan, siapo tau indak ka mambuek diek Winda kasakiek-an (begini sajalah, bagaimana kalau kita coba dengan gesekan, siapa tau tidak membuat Winda kesakitan)” pinta Johan.<br />“Uda bajanji indak ka mamaso diek Winda do (Abang tidak akan memaksa dek Winda ko). Tambah Johan.<br />“Kalau beko taraso sakik, doroang kan sajo badan uda (Kalau nati terasa sakit dorongkan saja tubuh abang) lanjutnya memohon. Dalam bimbangnya Winda mengalah. Mengalah pada permintaan Johan.. mengalah pada nafsunya dan membunuh rasa takutnya terhadap batang tegar milik Johan yang luarbiasa itu Seperti apa dilihatnya pada film – film semasa kuliahnya bersama dengan gengnya.<br /><br />Winda merasakan jantungnya berdegup keras… menunggu saat – saat pertemuan kelamin mereka. Kini Johan berada di atas tubuh Winda yang terlentang telanjang…!!! Membuka kedua batang paha milik wanita itu dan menekuknya keatas… bersiap untuk masuk… Johanpun mulai… menempelkan… mengesekan ujung membola kepala kejantanannya di belahan kewanitaan wanita muda itu. Awalnya hanya gesekan-gesekan saja, terasa geli .. gatal di pintu kewanitaannya… rasa kaget dan hangat membuat Winda tidak sadar lagi apa yang sedang terjadi….. dan perlahan Johan sambil menggesekkan juga mendorong pinggulnya sedikit demi sedikit, menyebabkan ujung membola kejantanannya menyibakkan lepitan kewanitaan Winda yang telah basah guna memperlancar lajunya, dan mendesak. terus… yang membuatnya makin lama makin masuk… Winda merasakan seperti ada kulit bergesekan ketat.<br /><br />“Ouhh……” wanita muda itu mengeluh.<br /><br />Dan secara bertahap masuk di perlancar oleh kebasahan yang timbul dalam kewanitaan Winda Winda menahan dengan tangan gerakan pinggul Johan. Kembali Johan mendorong masuk.. Winda tau batang pejal yang kokoh milik Johan itu telah masuk meski belum seluruhnya baru seperempatnya…… ada rasa sempit dan nyilu di kewanitaannya saat itu.. rasanya penuh sekali. Johan terus memajukan pinggulnya dan melepaskan kedua kaki Winda, meletakkannya di kasur, tangannya kembali ke bukit padat yang membusung di dada Winda… memilin… dan meremasnya kembali. Sedangkan kedua tangan Winda menggengam pinggul lelaki itu… agar jika terasa dan sakit dan nyeri bisa menahan dan mendorong batangnya agar tetap diluar..<br /><br />Lalu Johan menjangkau bantal yang terletak tidak jauh dari tubuh Winda, Dan mengangkat pinggul padat Winda untuk meletakkan bantal di bawahnya… sementara batang tegarnya masih menancap… Winda merasakan posisinya jadi agak rileks… Johan bergerak kembali. Dengan mata yang di kernyitkan Winda melihat batang tegap milik lelaki tersebut kembali mendesak masuk perlahan. Lalu…. pas semua hampir masuk rasa nyilu mulai datang.. terasakan oleh wanita muda itu otot-otot di dalam kewanitaannya berderik – derik seperti cincin karet yang diregangkan paksa. Kembali Winda menahankan gerakan pinggul Johan dengan tangannya, Johan terus berusaha mendorong.. Winda bersikeras menahan dengan tangannya sehingga posisinya tetap tak berubah.<br /><br />“Ndak lamo lai diek Win (ga akan lama lagi dik Win)..”ucap Johan sambil terus berusaha mendorong. Winda tidak peduli dan terus bertahan dengan tangannya karena merasakan nyilu dan nyeri…, Winda meringis dan mengernyitkan keningnya…!!! Johan mengalihkan serangannya, meremas – remas kembali dada membusung milik Winda dan menciumi bibirnya dengan gemas bernafsu sekali… Kini kedua tangan Winda lepas dari pinggul lelaki itu dan memeluk punggung lelaki tersebut dan kembali larut dalam deraan nikmat yang membuatnya lengah dan terlena sehingga lupa menahankan pinggul Johan. Johan bergerak kembali mendorong dengan tiba – tiba. Dan seiring rasa sakit yang datang makin menyesakan maka amblaslah seluruh batang pejal milik Johan pada kewanitaan Winda… terbenam didalam tubuhnya.<br /><br />“Aahhh…….”erang Winda. Matanya memejam menikmati sensasi luarbiasa yang dialaminya saat itu, sakit sekaligus nikmat merajam pertemuan pahanya…!!! Terasa oleh Winda kini paha mereka sudah rapat menempel dan tidak ada jarak lagi..<br /><br />Johan diam sejenak. Winda merasa nafasnya serasa berat amat… rasanya batang pejal itu menyesak sampai ke ulu hati. Winda mulai membuka matanya memandang mata Johan, mengungkapkan rasa salutnya, dan amat suka caranya memperlakukan dirinya, amat pengertian… sekali<br /><br />“Indak sakik kan diek Win (Tidak sakit kan dik Win)? Tanya Johan.Winda diam tak menjawab. Kemudian Winda memiringkan wajahnya ke samping, merasa malu dipandangi Johan seperti itu. Kembali Johan masih meraih wajahnya dan menciumi Winda. Terkadang menggigit dengan gemas bukit padat yang membusung telah memerah di dada wanita muda itu. Johan kembali bergerak, menarik pinggulnya hingga akhirnya batang pejalnya yang kokoh perlahan keluar sedikit demi sedikit, perlahan sekali Terasa nyilu dan geli sekaligus…!!! lalu mendorong masuk lagi… mulanya perlahan dan amat terasa nyilu… sekaligus nikmat… Beberapa saat kemudian… ia mulai bergerak makin cepat, naik turun pinggulnya menghujamkan batang tegarnya. Telah lancar memang keluar masuknya pada liang kewanitaan Winda sehingga… seluruh tubuh Winda berguncang<br /><br />“Ouh….” Rintih Winda berulang – ulang. Iya… Winda malu bila mengingat saat itu terdengar kecipak – kecipuk suara dari benturan pangkal paha mereka… sedangkan tangan Winda sudah lepas dan memegang kain… selimut dengan mata terpejam. Posisi Johan tetap dengan berlutut.. Kini pinggul padat Winda juga bergerak mendesak keatas….!!! menyambut setiap hujaman batang pejal kejantanan Johan pada liang kewanitaannya..Winda pun mulai merasakan ada gelombang besar yang akan meledak didalam tubuhnya..<br /><br />Tiba – tiba Winda merasa semua menjadi gelap.. tubuhnya melenting keatas… Winda menggigit bibir bawahnya dengan kedua kaki yang menjepit pinggang Johan di belakang tubuh lelaki itu bak tang raksasa. Merasakan… gelombang klimaks datang menggulungnya… melemparkannya ke awang – awang dan kembali terkulai lemas. di atas ranjangnya yang telah kusut., Keringatnya sudah membasahi sprei yang sudah kusut semua…<br /><br />Namun Johan masih tetap bergerak mengayunkan… pinggulnya maju mundur… beberapa menit kemudian Winda merasakan tubuh Johan mulai menegang dan… sepertinya ia akan klimaks.. Winda tau… Johan akan segera membasahi rahimnya…<br /><br />“diek Win ka uda kalua-an dima, di dalam atau di lua (dik Win akan dikeluarkan di mana, dalam atau di luar)? Tanya Johan. Winda tidak sempat menggeleng atau mengiyakan. Tubuhnya masih terlonjak – lonjak dalam hunjaman Johan… saat bergerak memompa naik turun dan …<br /><br />Sambil mendengus Johan menekankan pinggulnya sedalam mungkin, merasakan lecutan birahinya melambung dan akhirnya materi kental itu memancur keras membasahi seluruh permukaan dalam kewanitaan Winda. Terasa hangat… Untunglah Winda masih ingat bahwa saat itu ia masih menggunakan kontrasepsi sehingga tidak terlalu kuatir… Johan rebah menggelosoh di atas tubuh telanjang wanita muda itu. Bobotnya amat berat sehingga Winda harus memiringkan tubuhnya menyebabkan tubuh Johan meluncur turun terbaring di sisinya. Winda memejamkan matanya merasa bersalah dan menyesal. namun segera hilang oleh rasa puas yang datang. Tubuhnya amat capai…<br /><br />Windapun meraih selimut dan menutupkan pada tubuh telanjangnya. Karena merasa malam itu sangat dingin meski hujan tak turun. Berdua mereka tidur di ranjang yang telah kusut itu hingga pagi harinya.<br /><br />Pagi harinya Winda heran kenapa tak merasakan adanya penyesalan yang dalam pada dirinya malah semakin suka kepada Johan sehingga membuatnya menelpon kepada suaminya di Padang untuk tak bisa kembali dalam minggu itu karena ada urusan kantor yang harus di selesaikannya. Lagi pula ia merasa kuatir jika pulang ke Padang dapat dipastikan suaminya saat meminta berhubungan badan akan mengetahui perbuatan mereka di karenakan di seluruh masih ada jejak-jejak memerah di dada dan leher akibat persetubuhan mereka yang bergelora malam itu.<br />
<br />
Malam Jumat itu Winda telah jatuh dalam pelukan dan takluk pada keperkasaan Johan di atas ranjang. Ya.., semalaman mereka berhubungan hingga pagi.<br /><br />Pagi hari Johan bangun terlebih dahulu, meninggalkan Winda masih terlelap di ranjang yang telah acak-acakan tersebut. Saat Winda bangun ada sedikit rasa sesal di hatinya, selangkangannya terasa sedikit nyilu. Masih tertera dalam benaknya bagaimana perlakuan Johan pada setiap sudut tubuhnya, terutama saat – saat penetrasi yang dramatis. Pagi Jumat itu Winda mandi sebersih – bersihnya, berusaha agar jejak – jejak di tubuhnya hilang. Ya…, Winda kuatir jika jejak – jejak itu akan terlihat. Jejaknya mungkin bisa hilang, tapi nikmatnya tidak akan pernah hilang, juga sprei tempat tidurnya direndamnya juga..<br /><br />Winda masuk kantor pagi Jumat itu seperti biasanya. Dari kantor Winda menelepon ke Padang memberi tahu suaminya bahwa ia tidak bisa pulang, ada urusan kantor yang harus di bereskan, demikian alasannya. Winda berbohong, berusaha untuk mendapatkan tengat waktu yang cukup untuk menghilangkan jejak memerah di tubuhnya dan mencari penyelamatan diri dari perselingkuhan yang tidak dihendakinya itu<br /><br />Di kantor seperti biasa, Winda menyelesaikan dengan baik seluruh pekerjaannya hingga sekitar jam setengah 5 sore Jumat itu. Segera ia pulang. Sesampai di rumah wanita berkulit putih itu langsung menuju kamar mandi, mencuci pakaian dan sprei yang telah ia rendam pagi itu. Dan setelahnya langsung mandi. Winda saat itu mengenakan kaos bertangan panjang, dan celana panjang santai berwarna hijau muda berikut penutup kepala seperti biasa, Terlihat segar dan cantik ia sore itu.<br /><br />Kembali di dalam rumah paviliunnya itu Winda berkutat di dapur memasak untuk dirinya sendiri. Lalu membereskan kamarnya, merapikan semua yang dianggapnya tidak pada tempatnya.<br /><br />Senja itu sekitar pukul 6 sore. Itu Johan datang. Tanpa bicara sepatahpun langsung ia menuju rumah induk dan terdengar mandi. Mengenakan kemeja panjang, sesaat kemudian Johan mendatangi wanita muda yang tengah duduk di ruang tamu pavilion kamarnya itu. Sambil berdiri di pintu ia bertanya pada Winda<br /><br />“Winda , indak pulang ka Padang (Winda, pulang ke Padang ‘gak)”?.<br />“Ma bisa Winda pulang… (mana bisa Winda pulang)..“, sambil berdiri di pintu paviliun Winda sewot menjawab.<br />“Winda alun siap ka Padang, takuik pado kasalahan malam kapatang (Winda belum siap ke Padang masih takut pada kesalahan yang terjadi malam kemaren)” tambah wanita bertubuh sintal itu…<br />“Di badan ko panuah jajak pa-buek-an uda.. (di tubuh ini penuh jejak perbuatan abang)”<br />“Apolai jikok uda Winda mintak jatah, bisa kiamat beko (apalagi jika suami Winda minta, jatah bisa kiamat)” ujar wanita muda tersebut menerangkan.<br /><br />Johan hanya tersenyum dan duduk di sebelah kanan Winda. Lalu ia berkata.<br /><br />“Uda ka pai ka Medan malam ‘ko (Abang mau pergi ke Medan malam itu)”.<br />“ Untuk 3 hari se nyo (untuk 3 hari)” tambahnya. Kemudian dia meraih jemari wanita muda tersebut.<br />“ Uda sayang bana ka Winda (abang sangat menyayangi Winda)” Winda diam saja, merasa percuma untuk menolak karena sudah tidak ada lagi yang perlu ia pertahankan, sebab hubungan yang tercipta diantara mereka sudah tak ada batas lagi sejak malam Jumat yang bergelora kemaren.<br /><br />Johan berjalan menghampiri Winda yang duduk dengan tangan masih berada di pangkuannya, memandang mata memandang kedepan, menerawangnya. Mengajaknya agar duduk di sebelah kirinya. Lebih dekat pada sofa di ruangan itu. Kedua tangan Johan berada berada pada bahu kiri Winda, perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya, dan mulai mengecup. Bibir berkumisnya berlabuh pada kening wanita bertubuh sintal itu… Winda diam membiarkan saja, bibir berkumis tersebut meluncur turun di sepanjang pipi halusnya sambil tak henti mengecup pipi sebelah kiri tersebut, dari dahinya menuju dagu yang lancip, naik keatas menemukan kedua bibir lembut wanita muda dan langsung melumat<br /><br />Beberapa saat Winda membiarkan dan menerima saja perlakuan Johan pada bibirnya itu. Lelaki gagah itu kini menjulurkan lidahnya, menyelusuri permukaan lembut bibir Winda mili demi mili, mendesak kedua bibir tersebut agar memberikan jalan, meyelusuri setiap permukaan gusi dengan lembut dan perlahan. Kedua bibir wanita muda tersebut membuka dengan perlahan, iapun terus mengulum rongga mulutnya beberapa saat hingga Winda tergerak membalasnya…, mulai menghisap.. dan kedua tangannya dengan nakal menjamah dada Winda yang saat itu masih berpakaian lengkap. Winda menengadahkan kepalanya menyambut dengan sukacita. Tubuhnya mulai bersandar ke bahu lelaki tersebut. Winda mengikuti saja… tindakannya tubuhnya mengeliat-geliat dalam geli yang memabukkan.<br /><br />Lalu diapun melepaskan pagutan pada bibirnya. Johan berdiri melangkah ke arah pintu, menutupnya dan kembali kearah wanita muda tersebut. Ditariknya tangan kanan Winda untuk masuk kamarnya. Dalam cahaya lampu yang terang Winda tak sedikitpun berusaha menolak. Merebahkan Winda di ranjang biru muda dalam kamarnya, terlentang…, lalu melepaskan busana Winda termasuk pakaian dalamnya yang berwarna putih, juga pakaian yang dikenakannya termasuk pakaian dalam biru tuanya yang membungkus pertemuan pahanya. dengan cepat tergesa – gesa sekali.., melemparkan semuanya di lantai. Winda hanya memandang dengan nafas yang mulai tak teratur. Ada ketakutan dan keinginan kuat yang bercampur Winda tau Johan ingin melakukannya lagi seperti juga keinginannya juga. Masih terpatri kuat dalam benaknya kejadian malam sebelumnya yang sangat melenakannya…. Winda terlentang pasrah, tubuh Johan mulai menindih, dan kedua kaki wanita muda itu di bukanya. Winda yang tengah memeluk bahu lelaki itu, tak sadari saat ia telah memasukkan kejantanannya pada kewanitaan Winda. Hanya rasa nyilu terbit dari pertemuan pahanya, tubuhnya terlonjak kekiri dan kekanan. Lelaki itu bergerak perlahan, menghunjamkan pinggulnya pada pertemuan kedua paha Winda yang kedua kakinya terbuka lebar.., dengan tempo yang teratur. Pinggul wanita muda itu menyentak keatas, menyambutnya, menjemput hunjaman batang kokoh tersebut… hingga akhirnya Johan menghunjam dengan kuat, mendesakkan kejantanannya se dalam-dalamnya, menggeram…, dan mencapai klimaks. Melepaskan semuanya didalam tubuh wanita muda itu. Lalu tubuhnya jatuh masih diatas tubuh wanita berkulit putih tersebut… Padahal Winda belum apa – apa. Setelah ia sampai klimaks iapun berdiri mengenakan pakaiannya kembali, menjauh darinya masih dalam kamar tersebut.<br /><br />“ Uda ka pai ka Medan, jadi tadi itu adolah raso nan ‘ndak uda sampaikan ka Winda (Abang akan ke Medan jadi tadi itu adalah rasa yang ingin abang sampaikan pada Winda)”, ucap Johan.<br />“ Uda minta maaf, uda tau Winda alun apo – apo, lain wakatu uda ‘ndak mamuehkan diek Winda (abang minta maaf, abang tau Winda belum apa- apa, lain kali abang akan memuaskan dik Win)”, tambah lelaki berkulit gelap tersebut. Winda merasa aneh, Johan malah minta maaf karena persetubuhan itu hanya memuaskan satu pihak saja. Johan minta izin berangkat malam itu kira – kira jam 9 malam. Malam itu Winda tinggal sendiri di kamarnya, ada rasa kecewa karena Winda merasa hanya jadi sarana pelampiasan nafsu Johan saja.<br /><br />Dan Sabtu itu Winda tetap di rumah saja, karena Johan ke Medan selama 3 hari. Merapikan rumah, dan membereskan pakaian untuk bekerjanya Senin nanti. Jam 10 pagi suaminya telpon. bahwa dia dan anaknya akan ke Bukittinggi hari Sabtu itu sekalian singgah di tempatnya. Suaminya datang sekitar jam 3 sore dengan mobil mereka di tempatnya bersama anaknya berikut mertua Winda. Seharian itu Winda asyik dengan anak dan suaminya… jalan – jalan di daerah itu. Tak sedikitpun ada kesempatan atau waktu bagi wanita muda tersebut dan suaminya untuk dapat sedikit bermesraan dan berhubungan layaknya suami istri. Minggu sore sekitar jam jam 5 sore suaminya pulang ke Padang. Windapun kembali larut dengan rutinitasnya..<br /><br />Saat itu Winda baru pulang dari kantor sekitar jam 5 sore. Masih sendirian dia karena kakaknya Johan masih belum pulang Winda pun mandi membersihkan badannya, karena capai seharian kerja. Selasa malam itu Johan pulang. Dia pun langsung ke rumah dan mandi. Saat itu Winda mengenakan kimono tidur berikut penutup kepala seperti biasa dan celana panjang bermotif bunga. Mengenakan pakai celana pendek dan hanya kaos kutang Johan lalu menemui Winda di kamarnya dan minta Winda menemaninya makan, di dalam rumah kakaknya sebab saat itu ia membawa oleh – oleh makanan yang ia beli di jalan. Winda yang merasakan lapar akhirnya mau menemaninya makan senja itu.<br /><br />“ Win, uda bali nasi jo gulai kambiang di tampek langganan, lamak mah, kawani uda makan yo (Win, abang, beli nasi dengan gulai kambing di tempat langganan, ini enak Win, kawani abang makan ya)?”,kata Johan. Winda menurut saja dan menyajikan makanan itu untuk mereka makan malam itu. Setelah makan Winda merasakan makanan amat kentara ‘panas’nya ‘maklum gulai kambing’ pikirnya tubuhnya memanas peluhnya keluar .hingga keningnya basah, Johan juga begitu.<br /><br />Setelah makan saat itu mereka duduk berhadapan, masih di dalam rumah itu. Winda menceritakan tentang kedatangan suaminya hari Sabtu itu kepada Johan. Johan hanya tersenyum simpul dan tidak sedikitpun merasa iri atau cemburu mendengar penuturan wanita muda berkulit putih itu. Kemudian ia berdiri dan meraih tangan kanan Winda dan menariknya kearah kamarnya. Winda agak keberatan, berusaha melepaskan tangannya karena tak terbiasa…<br /><br />“ Ado apo kok Winda di bao ka siko da (ada apa kok Winda di bawa kesini)?, tanya Winda jengah.<br />“ Ado sasuatu untuak Winda (ada sesuatu buat Winda)” jawabnya…<br /><br />Winda dengan sedikit menahan diri melangkah ke kamar yang terletak di sebelah kiri terpisah dari rumah induk berlantai kayu itu dengan bergandengan tangan. Winda dimintanya duduk di tepian kasur spring bed dalam kamar itu, kakinya menjuntai. Winda duduk saja mengikuti permintaannya karena Johan memohon dengan amat sangat, tak terbersit sedikitpun akan hal- hal yang dapat terjadi pada benak wanita cantik tersebut, menurut saja. Springbednya 1 lapis saja sudah lusuh dan jarang dicuci sepertinya. Juga bau rokok dan minuman terbersit pada hidung wanita bertubuh sintal itu. Winda memaklumi kamarnya yang agak jorok dan di sana sini banyak puntung rokok dan botol – botol minuman..<br /><br />Kemudian Johan memgeluarkan sesuatu dari dalam laci meja di kamarnya berbentuk kotak berwarna hitam. Rupanya ia baru saja membeli sebuah kalung berwarna seperti emas putih. Winda merasa tersanjung atas sikapnya itu dan merasa terpuji..<br /><br />“Iko hadiah (ini hadiah)” katanya.<br />“ Uda mintak Winda mamakainyo kini juo (Abang minta Winda mau memakainya sekarang juga)” pintanya. Winda berusaha menolak<br />“Indak usahlah da…malu…” katanya dengan tersipu-sipu. dan merasa tidak ingin memakainya namun Johan yang saat itu berdiri di depannya terus memaksa. Akhirnya dengan terpaksa, Winda membiarkan lelaki itu bergerak kebelakang untuk melepaskan kalung itu yang tengah dipakainya. Winda menurut membiarkan, malah membantunya. Johan melepas penutup kepala Winda yang kemudian di letakkannya dia atas ranjang, serta melepas kalung yang selama itu membelit di lehernya. kemudian memberikan kalung yang selama ini Winda kenakan ketangan Winda, dan memasangkannya kalung berwarna putih itu pada leher mulusnya dari arah belakang, dan mulai saat itu Winda memakai kalung pemberian Johan.<br /><br />Setelah kalung putih tersebut terpakai, Johan mulai menciumi dan mengelus tengkuk sebelah kanannya. Tangan satunya merangkul pinggang Winda dari belakang. Winda merinding, kepalanya menunduk karena geli, Winda berusaha menolakkan kepala Johan dengan tangan kanannya namun Johan terus saja menciumi tengkuknya, Winda kegelian… dan Johan tak juga berhenti, sedangkan tangan kirinya sudah tidak berada di bahunya lagi, bergerak melalui ketiak ke depan, pada bukit padat yang membusung di dada Winda.<br /><br />“Uhhh…..”Winda mengeluh merasakan gairahnya kembali terbit, lalu jemari kedua tangannya, memilin bukit padat yang membusung di dada Winda yang saat itu masih terbalut kimono dan pakaian dalamnya. Winda lalu berusaha melepas tangan Johan yang berada di dadanya, namun tidak bisa karena tenaganya lelaki tersebut kuat tak tergoyahkan…! Hingga kancing kimono itu akhirnya dilepaskan Johan. Winda diam saja hingga pakaian tersebut jatuh ke lantai. Membaringkan tubuh sintal yang terbuka pada bagian depannya hingga pinggang itu di atas ranjang. Hanya dua buah cup berwarna hijau muda polos, berukuran 34b yang masih menutupi bukit padat yang membusung indah di dada pemiliknya.<br /><br />Perlahan Johan menciumi belahan dada yamg memutih mulus itu, mata Winda memicing menikmati rasa geli yang timbul.<br /><br />“Ahh……..”rintih wanita muda tersebut tak henti-hentinya. Hingga akhirnya penutup dada Winda lepas dan membebaskan bukit padat di dada wanita muda itu bersentuhan dengan udara bebas. Johan membalikkan tubuh Winda menyamping, hingga mereka berhadapan. Tangannya meraih kebelakang, pengait penutup dada Winda dilepaskan berikut kimononya. Tak sedikitpun wanita muda tersebut berusaha melarang atau menolak, karena dirinyapun telah tak punya lagi yang harus dipertahankan. Saat itu pakaian atasnya sudah lepas, tubuh mulus memutih tersebut telanjang hingga pinggang. Pikirannya kosong… Hanya tinggal celana panjang yang masih pada tempatnya. Kembali Johan membalikkan tubuh mulus itu menelentang, mulai berusaha menarik celana tersebut. Winda membiarkan saja menatap sendu pada wajah lelaki gagah tersebut. malah membantu mempermudah dengan mengangkat pinggul hingga pakaian dalam yang berukuran medium dan berwarna putih polos yang merupakan lembaran kain terakhirnyapun hingga meluncur turun pada kedua tungkai mulusnya dan lepas dilantai. Winda telanjang dan terkulai pasrah didera nafsunya yang mulai bergelora.<br /><br />Johanpun berdiri, melepas semua kain yang melekat di tubuhnya, dalam tatapan pasrah Winda yang terlentang… telanjang. Lalu rebah di samping kiri nya. Winda pun mulai menginginkannya, mungkin karena pengaruh makanan tadi membuat tubuhnya seakan amat panas bergairah. Johan bergerak ia terus membelai dari dada hingga pusat kewanitaannya. Jari tangan kanannya masuk ke dalam lepitan kewanitaan yang basah…,!!! dibantu oleh kedua kaki Winda yang membuka memberikan jalan… Winda hanya bisa menatap mata Johan.., menggeliat bak cacing kepanasan dan merintih…<br /><br />“Ohh………”. Lalu Johan berdiri dalam tatapan Winda pada punggungnya dia dan mengambil sebuah botol berwarna hitam yang terletak di atas lemarinya. dan kembali duduk di samping kiri wanita muda yang telah telanjang tersebut. Menuangkan isinya yang berwarna merah, keatas perutnya hingga dada dan lehernya amat wangi. Lalu ia menjilat cairan itu yang sudah tumpah di atas kulit perut dan noktah pusarnya hingga leher, ada rasa geli dingin dan gairah yang Winda rasakan dalam sinar lampu kamar yang saat itu terang benderang. Ia menjilatnya hingga tandas, lalu kepala Johan turun, meluncur kearah kewanitaannya, tubuhnya kembali berada di lantai, dengan kedua tangan tak henti-hentinya menggeluti bukit padat pada dada wanita bertubuh sintal tersebut.. Spontan kedua kaki Winda membuka, dirinya terangsang hebat…..<br /><br />Saat dirinya yang diam menikmati, Johanpun membuka kewanitaan Winda dengan jemari tangan kanannya, lalu menjilatnya dengan lidahnya yang terasa kasar. Wanita bertubuh mulus itu hanya bisa menggeliat dan merintih-rintih. Winda memiringkan tubuh karena nikmat dan geli yang dirasakan bersamaan. menarik kepala lelaki itu. Dengan intens lidah Johan…. terus bermain di liang kewanitaan wanita bertubuh sintal tersebut, memggelitiki bagian lembut yang memerah muda dan telah badah itu. Tampaknya ia amat ingin menyempurnakan dan menuntaskan gairah yang makin membulak-bulak yang melanda tubuh sintal itu.., beberapa saat kemudian Winda… orgasme…!!! Tubuhnya mengejang.., pinggulnya menelikung keatas sambil merintih dengan keras. Saat itu Winda hanya bisa memicingkan mata… kejang,.. dan merintih.. , semua cairan kewanitaan miliknya dihisap Johan…!!!<br /><br />Johan bangkit .lalu ia memandang wanita sintal yang terbaring bersimbah keringat. Tangannya yang berbulu kekar membuka kedua kaki Winda yang mulai merapat kembali, lalu meraih tangan kanan Winda dengan tangan kanannya, tiba-tiba saja Winda merasakan.. menyentuh dan memegang.. sebuah tonggak yang kuat. Dirinya kaget, rupanya Johan menarik tangan wanita muda itu agar memegang batang kejantanannya yang kokoh. Winda takjub karena ukurannya yang luarbiasa.. Karena agak takut dilepaskannya kembali. Namun Johan dengan cepat menarik tangan wanita berkulit putih itu agar kembali memegangnya. Winda menggenggamnya sambil memandang ke wajah lelaki yang terbaring di sampingnya dengan rasa kuatir takut akan menyakitinya.., beberapa saat kemudian Winda melepaskannya kembali…<br /><br />Lalu Johan merangkak di atas tubuhnya yang telah lemas dan telentang. Kedua kaki wanita muda di di bukanya dan ia berjongkok memposisikan kejantanannya dengan tangan kanannya tepat pada lepitan basahnya. Menggesek-gesekkannya seperti kebiasaannya, Windapun turut bergerak, menggeser pinggulnya agar ujung membola batang kokoh itu tepat pada lepitan kewanitaannya. Winda memicingkan mata yang ada hanya perasaan geli dan ingin cepat – cepat di masuki saja… Lalu batang kaku itu masuk pelan pelan dengan lancar, awalnya geli, basah dan sebentuk benda hidup masuk.., sudah tidak sakit lagi…!!!<br /><br />“Uhh….”rintih Winda. Tubuh Winda terlonjak saat langsung mentok..! Kedua kakinya tetap terbuka. Kembali seluruh tubuh wanita itu di eksplorasi Johan dengan tangannya hingga Winda merasa sangat amat bergairah. Sedang kedua tangan wanita muda bertubuh sintal itu di bukanya dan jari merekapun saling mengenggam .di samping bahu telanjang wanita muda itu. Lidahnya menggigit dan menjilati bukit padat berikut puncaknya di dada wanita berkulit putih tersebut perlahan. Bergantian sebelah kiri dan kanan . Lalu… lelaki itu bergerak menarik pinggulnya perlahan, sehingga lepitan kewanitan Winda seperti tertarik keluar dan sebaliknya saat batang kokoh tersebut menusuk ke dalam. Kepala wanita muda terlempar ke kiri dan ke kanan saking nikmatnya rasa yang menderanya. Pinggul padatnya bergerak menyambut dengan memutar di bawah karena terangsang hebat aliran strum birahi dan sesekali menyentak keatas ke bawah pada setiap hujamannya.<br /><br />“Ahh……..”klimaks kembali menghampiri wanita muda tersebut. Ada rasa seperti tersengat listrik…, tubuhnya melengkung keatas dan kedua kakinya menjepit pinggangnya di belakang. Seluruh tubuhnya mengeletar dengan pinggul yang bergerak liar. Winda ingin ia berlama lama dan tak cepat klimaks. Kewanitaannya ber denyut-denyut seolah menjepit merapat dengan kuat. Membuat Johan amat bernafsu sekali dan bergerak makin cepat. Saat itu yang membuat Winda merasa takjup saat Johan memompa itu amatlah kuat, iramanya perlahan dengan batang kejantanannya yang kokoh tak henti menghunjam dan hingga beberapa kali dan kira – kira 15 menit kemudian itu Johan semakin cepat dan menumpahkan spermanya sambil menggeram Ada rasa hangat tumpah dalam kewanitaannya.., di rahimnya.<br /><br />Johanpun mendiamkan kejantanannya di dalam beberapa saat Lalu menggelosoh kesamping.. Kepuasan terpancar pada wajah wanita muda tersebut. Semburat memerah terbit pada wajahnya. Berpelukan mereka terbaring dia tas ranjang yang telah basah dan acak-acakan tersebut. Winda terpejam dan merasa hangat pada kewanitaannya. Winda puas…<br /><br />Kemudian Johan berdiri dan melangkah masuk kekamar mandi. Winda hanya memandang, terlentang dan telanjang dengan kaki masih terbuka, yang ada dalam pikiran saat itu hanya rasa lepas, puas dan tubuh capai, kehabisan tenaga dan daya.<br /><br />Rupanya ia baru saja mandi, saat Winda melihatnya keluar dari kamar mandi dengan berlilitkan handuk pada pinggangnya. Johanpun lantas meminta Winda untuk membersihkan diri di kamar mandi itu. Windapun menurut dan beranjak ke kamar mandi, telanjang…<br /><br />Dalam kamar mandi itu Winda mengguyur tubuhnya dengan air dingin, segar sekali rasanya. Sewaktu menyabuni tak sedikitpun terbayangkan perlakuan Johan sebelumnya pada bagian – bagian tubuh mulusnya, yang penting tubuhnya bersih dan tidak ada keringat ataupun sisa bau tubuh Johan.<br /><br />Lalu Winda melongok ke luar kamar mandi Winda meminta handuk untuk menutupi tubuh telanjangnya yang telah segar. Johan mendekat memberikan handuk yang ia pakai, untuk menutupi dan mengeringkan tubuh wanita muda yang basah setelah mandi. Winda melangkah keluar dari kamar mandi dengan menakai handuk yang berwarna biru muda, agak kotor dan bau, mungkin jarang di cuci, namun Winda tidak mempunyai pilihan.<br /><br />Di kamar Winda pun kembali mencari cari untuk mengenakan pakaian dalamnya namun tidak ada dan Winda bertanya. Akhirnya carik segitiga itu dapat di temukan Johan tergeletak di sudut ranjang-nya. Winda tidak sadar bahwa benda kecil itu tadinya terlempar oleh perbuatan mereka berdua. Johan berdiri mendekati di depan Winda. Winda berusaha merebut kain segitiga penutup pertemuan pahanya dari tangan Johan. Sambil bercanda Johan melemparkan benda itu ke atas ranjang. Winda bergerak cepat meraihnya, hampir dapat namun tak di duganya handuk yang melilit tubuh sintalnya terlepas dari tubuhnya.<br /><br />“Aw… ah.. ah.. uda (aw… ah.. ah.. abang)”, Winda menjerit manja. Winda kembali telanjang, berusaha menutup pertemuan pahanya dengan tangannya. Johan yang telah mengenakan celana dalam itu kembali memeluknya. Winda langsung terjerembab jatuh ke atas ranjang itu diikuti tubuh lelaki dan langsung ditindih oleh tubuh besarnya yang masih lembab sehabis mandi.<br /><br />Johan berusaha menciumi bibir wanita menggairahkan tersebut. Winda yang gelagapan tak menduganya menerima perlakuannya itu sehingga mereka saling kulum. Saat itu Winda pun tidak mau kalah, membalas setiap hisapan lidah Johan Sementara kedua tangan berada di samping kepala Winda, sedangkan naluriah tangan Winda mendekap bahunya. Di bawah, Winda hanya bisa membalas perlakuan bibir dan lidah Johan, meskipun kedua kakinya telah membuka, menempatkan tubuh Johan diantaranya.<br /><br />Tangan kirinya lalu meraih bukit padat membulat di dada Winda dan meremasnya, bibir berkumis lelaki itupun ikut andil dengan memberi gigitan kecil pada bukit padat yang membusung pada bagian kanan sehingga Winda mulai bernafsu lagi dan mengikuti tindakan Lelaki itu serta dan membalasnya.. Tangan kiri Johan lalu menyelusuri perut turun kearah bawah pusar menemukan gundukan hangat kewanitaan Winda, dan jarinya masuk kedalam..!! Winda semakin tidak karuan, Winda sudah mulai basah, gejolak tubuhnya sudah menegang, mendesah…<br /><br />Sementara tangannya masih meremas kedua bukit membusung di dada Winda yang puncaknya semakin menjulang, tubuh Johan turun, membuat rasa basahnya semakin menjadi – jadi saat kepala Johan ikut turun, menjilat seluruh isi kewanitaannya. Winda tentu saja menjepit kepalanya karena rasa geli.., gairah.., dan rasa yang seakan meledak di dalam tubuhnya sementara kedua tangannya berada pada kepala lelaki tersebut, menarik dan menjambak rambutnya..!! Winda mendengus,<br /><br />“Mnnnh ah mm ugh… mm”, Winda mulai merasakan ada aliran basah mengalir dari dalam kewanitaannya.<br /><br />Kemudian Johan bangkit dan berdiri, memposisikan tubuhnya sejajar diatas tubuh indah wanita muda tersebut. Tubuhmya telah telanjang juga . Rupanya saat melakukan rangsangan pada Winda, Johan juga melucuti pakaian dalamnya sendiri. Dengan kedua tangannya diraihnya kedua kaki wanita muda itu dan membukanya, sementara Winda hanya bisa memegang dengan erat kain sprei… Johan mengarahkan batang kokoh kejantanannya, bersiap memasuki tubuh wanita muda yang telah terkangkang pasrah itu. Winda tak berani memandang ke bawah dan hanya menatap ke samping karena agak malu, kuatir dan jengah… Perlahan Winda merasakan sebentuk batang yang kokoh tengah memasuki tubuhnya di bawah. Wanita muda itu menggigit bibir bawahnya karena dirasakannya masih terasa seret dan nyilu. Tak dapat lagi ia hentikan karena telah mulai masuk.., rasanya panas dan kaku..! Lelaki itu bergerak memajukan pinggulnya, mendorong batang tegangnya hingga masuk semuanya..<br /><br />“Ou… uhh..” erang Winda saat batang tegang yang kaku itu amblas terbenam…, tubuhnya menggial… matanya memicing… dengan tangan mencengkeram sprei. Winda tau keseluruhan batang tegang Johan telah terbenam amblas dalam kewanitannya saat terasa selangkangan lelaki itu saat berbenturan dengan pertemuan kedua paha Winda. Johan diam beberapa saat. Perlahan ditariknya kembali. Terasa lepitan kewanitannya tertarik kembali. Saat Winda mulai merasakan nyaman pada kewanitaannya dengan batang tegang itu didalamnya. Winda mendesah keras,<br /><br />“Ouhh……” Baru beberapa senti kira-kira seperempat bagian yang keluar Johan mendorong pinggulnya lagi, sangat perlahan..! hingga mentok, rasanya hangat, masih ada sedikit rasa tebal dan nyilu…!!<br /><br />Johan menarik kembali lagi beberapa saat hingga berulang- ulang, Gerakan Johan semakin cepat,<br /><br />“Uu…auuu… ugh.. ugh…” Winda mendesah dengan cepat. Meski tanpa ada gerakan berarti dari tubuh wanita muda bertubuh indah itu karena sudah merasa capai dan otot pinggulnya serasa kaku, ia sangat menikmati persetubuhan ini. Winda menjadi agak malu karena saat Johan bergerak memacu pinggulnya itu terdengar ada kecipak bunyi – bunyian pada pertemuan kedua selangkangan mereka yang telah basah oleh keringat. Hingga sekarang Winda masih merasa malu pada dirinya sendiri apabila mengingat itu.<br /><br />Beberapa saat kemudian Winda mengerang keras dengan serak, matanya terpejam dan meledak…, tubuhnya menegang kejang.., melentingkan punggungnya keatas bak ulat tertusuk duri, menjepit ketat pinggul Johan dengan kedua kakinya yang saling berkait di belakang Bagian dalam kewanitannya kembali berkedut-kedut. Jiwanya serasa ringan, terbang melayang… lalu terkulai.. capai..<br /><br />“Oh… ahhhhhh… addduhh… ‘duhh”<br /><br />Johan masih terus bergerak, menghujamkan batang tegangnya pada kelembutan basah kewanitaan Winda tak berhenti… malah semakin cepat..!!! Winda sudah sangat lemah saat itu, hanya terlentang, terkangkang pasrah. Kedua tangannya tergolek tidak berdaya memegang apapun. Hanya suara kecipak pertemuan kelamin mereka saja dan nafas Johan yang memburu riuh terdengar dalam ruangan itu. Tidak lama kemudian Johan dengan cepat menyusul. Seraya menggeram ia menyentakan pinggulnya ke bawah dengan kuat membuat pinggul wanita muda itu terbenam dalam kelembutan ranjang, menyemburkan cairan kental yang hangat miliknya di dalam kewanitaan Winda. Dan iapun rebah lagi diatas tubuh wanita bertubuh sintal itu beberapa saat, lalu menggelosoh ke samping Winda..<br /><br />Jam 2 malam itu juga Winda meminta di antar kembali ke kamarnya namun Johan memaksanya tidur di situ.<br /><br />“Da… Winda.. ka kamar malam iko yo (bang Winda..kekamar malam ini ya..),<br />“Beko Uni uda pulang baa pulo? Bisa gawat da (nanti kakak abang pulang gimana? bisa gawat bang..)”.kata Winda tetap ngotot. Winda takut jika tiba-tiba kakaknya pulang sedangkan Winda berada di dalam kamar adiknya.<br />“ Kan Winda masiah latiah, disiko sajo lah. Uni pulangnyo indak mungkin malam ‘ko (kan Winda masih letih, disini sajalah, kakakku pulangnya ‘gak mungkin malam ini koq)”, sahut Johan.<br />“Winda indak namuah lalok disiko, kalau di caliak urang lain tantang awak apo pulo katonyo beko (Winda tidak mau tidur disini, nanti jika dilihat orang lain tentang kita bagaimana)?”, kata Winda menerangkan.<br /><br />Dengan berat hati dan malas-malasan Winda melangkah diantar Johan ke kamarnya, meski tidak terlalu jauh. Dan untungnya jalan menuju kamarnya lampunya tidak ada sehingga tidak akan ada orang yang tau. Saat sampai di pintu paviliunnyanya. Winda masuk tetapi dengan nakal tangan Johan masih sempat meraih dada membusung Winda yang langsung menepisnya. Saking lelahnya Winda tidak teliti sehingga penutup segitiga pakaian dalamnya masih tertinggal di kamar Johan. Winda berbisik pada Johan,<br /><br />“Da, sarawa Winda lupo…, (bang pakaian dalam Winda lupa di pakai)”dengan tersenyum Johan berkata,<br />“Bisuak lah uda anta-an, maleh bulak baliak (besok abang antarkan, malas bolak balik). Begitu tau Winda tidak mengenakan pakaian dalamnya, tangan Johan lansung meraih ke bawah, berusaha meraba kewanitaannya yang tertutup pakaian tidur.<br />“ Malu ‘da, iko kan dilua (malu ini kan diluar bang..)”, kata Winda<br /><br />Winda kemudian mencuci muka dan berbaring. Langsung ia tertidur karena kelelahan yang amat sangat akibat persetubuhan tadi. Dan esok nya kembali bekerja seperti biasa. Winda juga sudah lupa pakaian dalamnya yang tertinggal di kamar Johan. Setelah dia mengatakan akan menyimpannya di tempat yang aman. Winda tidak kuatir lagi…Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-81617670433631499222012-03-31T14:14:00.002-07:002012-03-31T14:14:29.122-07:00Pembantu jadi PejantanAgustus 12, 2007<br /><br />TERSINGGUNG KATA<br /><br />Rumah yang mewah, uang yang berlebihan dan fasilitas hidup yang lebih dari cukup ternyata bukan kunci kebahagiaan untuk seorang wanita. Apalagi untuk seorang wanita yang muda, cantik dan penuh vitalitas hidup seperti Sari. Sudah satu bulan ini ia ditinggal suaminya bertugas ke luar kota. Padahal mereka belum lagi enam bulan menikah. Pasti semakin mengesalkan juga, untuk Sari, kalau tugas dinas luar kota diperpanjang di luar rencana. Seperti malam itu, ketika Baskoro, suami Sari, menelepon untuk menjelaskan bahwa ia tidak jadi pulang besok karena tugasnya diperpanjang 2 – 3 minggu lagi. Sari keras mem-protes, tapi menurut suaminya mau tidak mau ia harus menjalankan tugas. Waktu Sari merayunya, supaya bisa datang untuk ‘week-end’ saja, Baskoro menolak. Katanya terlalu repot jauh-jauh datang hanya untuk sekedar ‘indehoy.’ Dengan hati panas Sari bertanya: “Lho mas, apa kamu nggak punya kebutuhan sebagai laki-laki?” Mungkin karena suasana pembicaraan dari tadi sudah agak tegang seenaknya Baskoro menjawab, … “Yah namanya laki-laki, di mana aja kan bisa dapet.”<br /><br />Dalam keadaan marah, tersinggung, bercampur gemas karena birahi, Sari membanting gagang telepon. Ia merasa sesuatu yang ‘nakal’ harus ia lakukan sebagai balas dendam kepada pasangan hidup yang sudah demikian melecehkannya. Kembali ia teringat kepada pembicaraannya dengan Minah beberapa hari yang lalu, kala ia tanyakan bagaimana pembantu wanitanya itu menyalurkan hasrat sex-nya.<br /><br />Waktu itu ia bercanda mengganggu janda muda yang sedang mencuci piring di dapur itu. “Minah, kamu rayu aja si Iman. Kan lumayan dapet daun muda.” Minah tersenyum malu-malu. Katanya, “Ah ibu bisa aja … Tapi mana dia mau lagi.” Lalu sambil menengok ke kanan ke kiri, seolah-lah takut kalau ada yang mendengar Minah mengatakan sesuatu yang membuat darah sari agak berdesir. “Bu, si Iman itu orangnya lumayan lho. Apalagi kalau ngeliat dia telanjang nggak pakai baju.” Pura-pura kaget Sari bertanya dengan nada heran: “Kok kamu tau sih?” Tersipu-sipu Minah menjelaskan. “Waktu itu malam-malam Minah pernah ke kamarnya mau pinjem balsem. Diketuk-ketuk kok pintunya nggak dibuka. Pas Minah buka dia udah nyenyak tidur. Baru Minah tau kalau tidur itu dia nggak pakai apa-apa.” Tersenyum Sari menanyakan lebih lanjut. “Jadi kamu liat punyaannya segala dong?” Kata Minah bersemangat, “Iya bu, aduh duh besarnya. Jadi kangen mantan suami. Biarpun punyanya nggak sebesar itu.” Setengah kurang percaya Sari bertanya, “Iman? Si Iman anak kecil itu?” “Iya bu!” Minah menegaskan. “Iya Iman si Pariman itu. Kan nggak ada yang lainnya tho bu.” Lalu dengan nada bercanda Sari bertanya mengganggu,”Terus si Iman kamu tomplok ya?” Sambil melengos pergi Minah menjawab, “Ya nggak dong bu, “” kata Minah sambil buru-buru pergi.<br /><br />PIKIRAN NAKAL<br /><br />Dalam keadaan hati yang panas dan tersinggung jalan pikiran Sari menjadi lain. Ia yang biasanya tidak terlalu memperdulikan Iman, sekarang sering memperhatikan pemuda itu dengan lebih cermat. Beberapa kali sampai anak muda itu merasa agak rikuh. Dari apa yang dilihatnya, ditambah cerita Minah beberapa hari yang lalu, Sari mulai merasa tertarik. Membayangkan ‘barang kepunyaan’ Iman, yang kata Minah “aduh duh” itu membuat Sari merasa sesuatu yang aneh. Mungkin sebagai kompensasi atau karena gengsi sikapnya menjadi agak dingin dan kaku terhadap Iman. Iman sendiri sampai merasa kurang enak dan bertanya-tanya apa gerangan salahnya.<br /><br />Pada suatu hari, setelah sekian minggu tidak menerima ‘nafkah batin’nya, perasaan Sari menjadi semakin tak tertahankan. Malam yang semakin larut tidak berhasil membuatnya tertidur. Ia merasa membutuhkan sesuatu. Akhirnya Sari berdiri, diambilnya sebuah majalah bergambar dari dalam lemari dan pergilah ia ke kamar Iman di loteng bagian belakang rumah. Pelan-pelan diketuknya pintu kamar Iman. Setelah diulangnya berkali-kali baru terdengar ada yang bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Wajah Iman tampak kaget melihat Sari telah berdiri di depannya. Apalagi ketika wanita berkulit putih yang cantik itu langsung memasuki ruangannya. Agak kebingungan Iman melilitkan selimut tipisnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Melihat tubuh Iman yang tidak berbaju itu Sari menelan air liurnya. Lalu dengan nada agak ketus ia berkata, “Sana kamu mandi, jangan lupa gosok gigi.” Iman menatap kebingungan, “Sekarang bu?” Dengan nada kesal Sari menegaskan, ‘Ia sekarang ,,, udah gitu aja nggak usah pake baju segala.” Tergopoh-gopoh Iman menuju ke kamar mandi, memenuhi permintaan Sari. Sementara Iman di kamar mandi Sari duduk di kursi, sambil me!ihat-lihat sekitar kamar Iman. Pikirnya dalam hati, “Bersih, rapih juga ini anak.”<br /><br />MENCOBA JANTAN<br /><br />Kira-kira sepuluh atau lima belas menit berselang Iman telah selesai. “Maaf bu …,” katanya sambil memasuki ruangan. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.”Saya pake baju dulu bu,” katanya sambil melangkah menuju lemari pakaiannya. Dengan nada ketus Sari berkata,”Nggak usah. Kamu duduk aja di tempat tidur … Bukan, bukan duduk gitu, berbaring aja.” Lalu sambil melempar majalah yang dibawanya ia menyuruh Iman membacanya. Sambil melangkah keluar Sari sempat berkata “Sebentar lagi saya kembali.” Dengan kikuk dan kuatir Iman mulai membalik halaman demi halaman majalah porno di tangannya. Tapi ia tidak berani bertanya kepada Sari, apa sebenarnya yang wanita itu inginkan.<br /><br />Setelah saat-saat yang menegangkan itu berlangsung beberapa lama, Iman mulai terangsang juga melihat berbagai adegan senggama di majalah yang berada di tangannya itu. Ia merasa ‘alat kejantanannya mengeras. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sari melangkah masuk. Iman berusaha bangkit, tapi sambil duduk di tepi pembaringan Sari mendorong tubuhnya sampai tergeletak kembali. Tatapan matanya dingin, sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. “Iman dengar kata-kata saya ya. Kamu saya minta melakukan sesuatu, tapi jangan sampai kamu cerita ke siapa-siapa. Mengerti?” Iman hanya dapat mengangguk, walaupun ia masih merasa bingung. Hampir ia menjerit ketika Sari menyingkap handuknya terbuka. Apalagi ketika tangannya yang halus itu memegang ‘barang kepunyaan’nya yang tadi sudah tegang keras. “Hm ….. Besar juga ya punya kamu,” demikian Sari menggumam. Diteruskannya mengocok-ngocok ‘daging kemaluan’ Iman, dengan mata terpejam. Pelan-pelan ketegangan Iman mulai sirna, dinikmatinya sensasi pengalamannya ini dengan rasa pasrah.<br /><br />Tiba-tiba Sari berdiri dan langsung meloloskan daster yang dikenakannya ke atas. Bagai patung pualam putih tubuhnya terlihat di mata Iman. Walaupun lampu di kamar itu tidak begitu terang, Iman dapat menyaksikan keindahan tubuh Sari dengan jelas. Tertegun ia memandangi Sari, sampai beberapa kali meneguk air liurnya. Tidak lama kemudian Sari naik ke tempat tidur, diambilnya posisi mengangkangi Iman. Masih dengan nada ‘judes’ ia berkata … “Yang akan saya lakukan ini bukan karena kamu, tapi karena saya mau balas dendam. Jadi jangan kamu berpikiran macam-macam ya.” Lalu digenggamnya lagi ‘tonggak kejantanan” Iman dan diusap-usapkannya ‘bonggol kepala’nya ke bibir ke’maluan’nya sendiri. Terus menerus dilakukannya hal ini sampai ‘vagina’nya mulai basah. Lalu ditatapnya Iman dengan pandangan yang tajam. Katanya dengan suara ketus, … “Jangan kamu berani-berani sentuh tubuh saya.” Setelah itu, … “Juga jangan sampe kamu keluar di ‘punyaan’ saya. Awas ya.” Lalu di-pas-kannya ‘ujung kemaluan’ Iman di ‘bibir liang kewanitaan’nya dan ditekannya tubuhnya ke bawah. Pelan-pelan tapi pasti ‘barang kepunyaan’ Iman menusuk masuk ke ‘lubang kenikmatan’ Sari. ‘Aduh … Ah … Man, besar amat sih” demikian Sari sempat merintih. Setelah ‘kemaluan’ Iman benar-benar masuk Sari mulai menggoyang pinggulnya. Suaranya sesekali mendesah keenakan. Tidak lama kemudian dicapainya ‘orgasme’nya yang pertama. Hampir seperti orang kesakitan suara Sari mengerang-erang panjang. “Aah … Aargh … Aah, aduh enaknya … ” Seperti orang lupa diri Sari mengungkapkan rasa puasnya dengan polos. Tapi ketika Sari sadar bahwa kedua tangan Iman sedang mengusapi pahanya yang putih mulus, ditepisnya dengan kasar. “Tadi saya bilang apa …!” Iman ketakutan, … “Maaf bu.” Lalu perintah Sari lagi, … “Angkat tangannya ke atas.” Iman menurutinya, katanya … “Baik bu.” Begitu melihat bidang dada dan buluketiak Iman Sari kembali terangsang. Sekali lagi ia menggoyang pinggulnya dengan bersemangat, sampai ia mencapai ‘orgasme’nya yang kedua. Setelah itu masih sekali lagi dicapainya puncak kenikmatan, walaupun tidak sehebat sebelumnya. Iman sendiri sebetulnya juga beberapa kali hampir keluar, tapi karena tadi sudah di’wanti-wanti,’ maka ditahannya dengan sekuat tenaga. Rupanya Sari sudah merasa puas, karena dicabutnya ‘alat kejantanan’ Iman yang masih keras itu. Dikenakannya kembali dasternya. Sekarang wajahnya terlihat jauh lebih lembut. Sebelum meninggalkan kamar Iman sempat ia menunjukkan apresiasi-nya. “Kamu hebat Man …” lalu sambungnya “Lusa malam aku kemari lagi ya.” Setelah itu masih sempat ia berpesan, …. “O iya, kamu terusin aja sekarang sama Minah … Dia mau kok.” Iman hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa.<br /><br />Sampai lama Iman belum dapat tertidur lelap, membayangkan kembali pengalaman yang baru saja berlalu. Kehilangan ke’perjaka’an tidak membuat Iman merasa sedih. Malah ada rasa bangga bahwa seorang wanita cantik dari kalangan berpunya seperti Sari telah memilih dirinya.<br /><br />PEJANTAN GAGAH<br /><br />Sesuai pesannya dua malam kemudian Sari datang lagi ke kamar Iman. Kali ini pemuda itu sudah betul-betul menyiapkan dirinya. Jadi Sari tinggal menaiki tubuhnya dan menikmati ‘alat kejantanan’nya yang keras itu. Walaupun suaranya masih ketus meminta Iman untuk sama-sekali tidak menyentuh tubuhnya, kali ini Sari sampai meremas-remas dada dan pinggul Iman ketika mencapai ‘orgasme’nya. Bahkan tidak lupa wanita cantik itu sempat memuji pemuda yang beruntung itu. Katanya, … “Man, Pariman, kamu hebat sekali. Selama kawin aku belum pernah sepuas sekarang ini. Terma kasih ya.” Iman hanya menjawab terbata-bata, … “Saya … Saya … seneng … Hm … Bisa nyenengin bu Sari.” Sambil membuka pintu kamar Sari berpesan. Katanya, …. “Iya Man, tapi jangan bosen ya.” Lalu tambahnya lagi, … “Udah, sekarang kamu terusin sama Minah sana. Aku mau tidur dulu ya.”<br /><br />Dua malam kemudian kembali Sari menyambangi kamar Iman. Kebetulan tanpa penjelasan apapun siangnya ia sempat meminta pemuda itu untuk mengganti seprei ranjang dan sarung bantalnya. “Man … Kamu capek nggak? Sari bertanya dengan lembut. Rupanya berkali-kali dipuaskan pemuda itu membuatnya sikapnya lebih ramah. Iman tersenyum, … “Nggak kok bu. Saya siap dan seneng aja melayani ibu.” Tanpa malu-malu langsung Sari melepaskan daster-nya. Setelah itu dilorotnya kain sarung Iman. Dengan takjub ia memandangi kepunyaan lelaki itu. Tanpa sadar sempat ia memuji, … “Aduh Man, udah besar amat sih kepunyaanmu.” Lalu sambil mengocok-ngocoknya Sari sempat berkata, … “Hm Man, keras lagi.” Lalu sambil membaringkan tubuhnya ia meminta, … “Kamu dari atas ya Man. Aku mau coba di bawah.” Langsung Iman memposisikan ‘kemaluan’nya di antara celah paha Sari. Lelaki muda itu betul-betul terangsang melihat kemolekan nyonya muda yang sedang marah kepada suaminya itu. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia boleh mencicipi tubuh yang seputih dan semulus ini. Apalagi Sari sekarang tidak lagi judes dan ketus seperti pada malam-malam sebelumnya, sehingga semakin tampak saja kecantikannya. Sempat terpikir oleh pemuda itu mungkin judes dan ketusnya dulu itu hanya untuk mengatasi rasa malu dan gengsinya saja. “Man …” Sari memanggilnya lembut, setengah berbisik. “Iya bu …” “Kamu gesek-gesek punyaanmu ke punyaanku dulu ya. Terus masukinnya nanti pelan-pelan.” Diikutinya permintaan Sari, digesek-geseknya ‘bibir kemaluan’ Sari dengan ‘ujung kejantanannya.’ Sari mendesah kegelian, hingga membuat Iman lupa diri. Tangannya mulai mengusap-usap paha dan perut Sari. Tapi wanita cantik itu menepis tangannya. “Jangan sentuh tubuhku, jangan ….” serunya tegas. Iman segera berhenti, ditariknya tangannya. Tidak berapa lama kemudian terdengar Sari meminta. “Man, masukin pelan-pelan Man. Tapi ingat … Jangan sampai keluar di dalam ya.” Pelan-pelan Iman mendorong ‘batang keras’nya memasuki ‘liang kenikmatan’ Sari. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ‘tombak kejantanan’nya menerobos masuk. Sari terus mendesah keenakan. “Maaf bu, saya mohon ijin memegang paha ibu, supaya punya ibu lebih kebuka.” Akhirnya Iman memberanikan diri meminta. Dengan terpaksa Sari mengijinkan, … “Iya deh. Tapi bagian bawahnya aja ya.” Begitu diberi ijin Iman langsung melakukannya. Walaupun tubuhnya tegak, karena kuatir menetesi tubuh Sari dengan keringatnya, ia dapat menghunjamkan ‘barang kepunyaan’nya masuk lebih jauh. “Ah Man, enak sekali.” Sari berseru keenakan. Langsung Iman menggoyangkan pinggulnya, ke kanan dan ke kiri, mundur dan maju. Sari terus mendesah keenakan, semakin lama semakin keras. Pada puncaknya ia menjerit lembut dan mengerang panjang. “Aduh Man, aku udah. Aduh enak sekali. Aaah, Maaan …. Aaah!”<br /><br />Sementara beristirahat Iman menarik keluar ‘batang kemaluan’nya dan melapnya dengan handuk. Dengan tatapan penuh hasrat Sari memandangi ‘kemaluan’ Iman yang tetap kaku dan keras. Pada ‘ronde’ berikutnya Iman yang bertindak mengambil inisiatif. “Maaf bu …” katanya sambil kedua tangannya mendorong paha mulus Sari hingga terbuka lebar. Sari hanya mengangguk lemah, sikapnya pasrah. Rupanya rasa gengsi atau angkuhnya sudah mulai sirna di hadapan pemuda pejantannya. Ditatapnya wajah Iman dengan seksama. Sekarang baru ia sadar bahwa Iman bukan hanya jantan, tapi juga lumayan ganteng. Begitu berhasil menembus ‘liang kemaluan’ Sari, yang merah merangsang itu, Iman mulai beraksi. Sekali lagi goyangannya berakhir dengan kepuasan Sari. … setelah itu sekali lagi …<br /><br />Sari tergolek lemah. Dibiarkannya Iman memandangi tubuhnya yang terbaring tanpa busana. Mungkin karena itulah ‘alat kejantanan’ Iman, yang memang belum ber-’ejakulasi,’ tetap berada dalam keadaan tegang. “Man … ” suara Sari terdengar memecah keheningan. “Kamu kok hebat sekali sih? Udah sering ya?” Iman menggelengkan kepalanya. “Belum pernah bu. Baru sekali ini saya melakukan. Sama ibu ini aja.” Dengan heran Sari menatapnya, lalu tersenyum karena teringat sesuatu. Tanyanya langsung, … “Tapi udah dikeluarin sama Minah kan?” Jawab Iman, … “Belum kok bu.” Semakin heran Sari. “Lho yang kemarin-kemarin itu? Kan udah saya kasih ijin.” Dengan polos Iman menjawab, … “Iya bu, tapi saya nggak kepengen.” Sari penasaran, … “Lho kenapa?” Dengan polos Iman menjawab, … “Abis barusan sama ibu yang cantik, masa’ disambung sama mbak Minah. Rasanya kok eman-eman ya bu.” “Jadi selama ini kamu tahan aja?” Jawab Iman, … “Iya bu, menurut saya kok sayang.” Entah bagaimana Sari merasa senang mendengar jawaban Iman. Ada rasa hangat di hatinya. “Ah sayang aku udah puas. Mana besok mens lagi …” Tapi ada rasa kasihan juga yang membersit di hatinya. Hebat juga pengorbanan Iman, yang lahir dari penghargaan kepadanya itu. Akhirnya ia mengambil keputusan …<br /><br />“Sini Man, sekarang kamu yang baring di sini.” Kata Sari sambil bangun dari posisinya semula. Iman menatapnya dengan pandangan bertanya, tapi diikutinya permintaan majikannya. Sari segera membersihkan ‘barang kepunyaan’ Iman dengan handuk. Karena dipegang-pegang ‘daging berurat’ milik Iman kembali mengeras penuh. Sambil duduk di tepi ranjang Sari mulai mengelus-elusnya. Sempat ia berdecak kagum menyaksikan kekokohan dan kerasnya. Dirasakannya ukuran ‘daging keras’ Iman yang besar, ketika berada dalam genggaman tangannya. Keenakan Iman, hingga matanya sesekali terpejam. Bibirnya juga mendesis, bahkan sesekali mengerang. Tangan kanannya di tempatkannya di bawah kepalanya. Tangan kirinya mengusap-usap lengan Sari yang sedang mengocok-ngocok ‘barang kepunyaan’nya. Kali ini Sari membiarkan apa yang pemuda itu ingin lakukan. Setelah beberapa saat berlalu Iman mulai mendekati puncak pengalamannya. “Bu, saya hampir bu” Lalu lanjutnya lagi, “Awas bu, awas kena, saya udah hampir.” Sari hanya tersenyum. Katanya, “Lepas aja Man, nggak apa-apa kok.” Setelah berusaha menahan, demi memperpanjang kenikmatan yang dirasanya, akhirnya Iman terpaksa menyerah. “Aduh bu aduuuh aaah …” Cairan kental ‘muncrat’ terlontar berkali-kali dari ‘daging keras’nya, yang terus dikocok-kocok Sari. Tanpa sadar kedua tangan Iman mencengkeram lengan Sari dan menariknya. Tubuh wanita itu tertarik mendoyong ke atas tubuh Iman. Akibatnya cairan kental Iman juga tersembur ke dada dan perutnya. Tapi Sari membiarkannya saja, seakan-akan menyukainya. Setelah ‘air mani’nya terkuras habis baru Iman sadar atas perbuatannya. “Maaf bu, saya tidak sengaja …” Matanya terlihat kuatir. Sari hanya tersenyum, “Nggak apa-apa kok Man.” Lalu sambungnya, … “Aduh Man, kentelnya punyaan kamu. Banyak amat sih muatannya. .” Iman bernafas lega, apalagi ketika dilihatnya Sari melap badannya sendiri, lalu setelah itu badan dan ‘batang terkulai’ miliknya dengan handuk.<br /><br />Sambil bangkit berdiri Sari mengenakan dasternya. Lalu ia berdiri di depan Iman yang masih duduk di tepi pembaringan. “Menurut kamu aku cantik nggak Man?” Tanyanya kepada pemuda itu. “Cantik dong bu, cantik sekali.” Sambil mengelus pipi Iman ia bertanya lagi, … “Kamu bisa nggak sementara nahan dulu?” Iman terlihat kecewa, “Berapa hari bu?” Tersenyum manis Sari menjwab, Yah, sekitar 5-6 hari deh.” Iman mengangguk tanda mengerti dan menatapnya dengan pandangan sayang. Sari membungkuk dan meremas ‘batang kemaluan’ Iman yang masih lumayan keras. “Punya kamu yang besar ini simpan baik-baik ya buat aku.” Lalu dengan gayanya yang manis ‘kemayu’ ia membuka pintu dan melangkah keluar.<br /><br />MENGUMBAR HASRAT<br /><br />Sementara berlangsungnya masa penantian cukup banyak perubahan yang terjadi. Iman sekarang nampak lebih baik penampilannya daripada waktu-waktu sebelumnya. Rambutnya ia cukur rapi dan pakaian yang dikenakannya selalu bersih. Ia sendiri tampak semakin PD atau percaya diri, kalaupun sikapnya kepada Sari tetap sopan dan santun. Apalagi ia yang dulu-dulu tidak pernah dipandang sebelah mata, oleh nyonyanya, sekarang sering diajak mengobrol atau menonton TV. Semua ini tentu saja menimbulkan tanda-tanya, terutama dari orang-orang seperti Minah. Apalagi Sari sering tanpa sadar membicarakan tentang Iman, dengan nada yang memuji. Di waktu malam Sari kadang-kadang terlihat melamun sendiri. Tapi rupanya bukan memikirkan tentang suaminya yang lama bertugas ke luar Jawa. Ia malah sedang merindukan orang yang dekat-dekat saja.<br /><br />Setelah selesai masa menstruasi-nya Sari masih menunggu dua hari lagi, setelah itu baru ia merasa siap. Sore itu ketika berpapasan dengan Iman ia memanggilnya. “Shst sini Man.” Iman menghampirinya, … “Ada apa bu?” Dengan berseri-seri Sari menjelaskan, … “Nanti malam ya.” Iman merasa senang. “Udah bu? Kalau begitu saya tunggu di kamar saya ya bu. Nanti saya beresin.” Tapi kata Sari, … “Ah jangan, kamu aja yang ke kamarku. Jam 11-an ya?” Sambil melangkah pergi dengan tersenyum Iman mengiyakan.<br /><br />Sari benar-benar ingin tampil cantik. Dibasuhnya tubuhnya dengan sabun wangi merk ‘channel.’ Tidak lupa dikeramasnya juga rambutnya yang hitam, panjang dan lebat itu. Lalu dikenakannya gaun malam yang paling ’sexy,’ yang terbuka punggung dan lengannya. Sengaja tidak dipakainya ‘bra.’ Setelah itu masih dibubuhinya tubuhnya dengan ‘perfume’ dan sedikit kosmetik. Begitu juga dengan Iman. Setelah mandi dan keramas dipakainya ‘deodorant’ dan ‘cologne’ pemberian Sari. Jam sebelas kurang sudah diketuknya pintu ruang tidur utama, yaitu kamar Sari.<br /><br />Sari membuka pintu dan menggandeng tangan Iman. Pemuda itu tertegun menyaksikan kecantikan wanita yang berkulit putih itu. Sari mengajak Iman duduk di tepi ranjang. Ditatapnya mata pemuda itu yang balik menatapnya dengan rasa kagum. Sari tersenyum. “Malam ini kamu hanya boleh manggil aku Sari atau sayang. Mau kan?” Iman mengangguk sambil menelan ludah. Kata Sari lagi, … “Malam ini ini kamu boleh memegang saya dan melakukan apa aja yang kamu mau.” Agak gugup Iman menjawab, … “Eng … Terima kasih … Eng … Sayang. Kamu kok baik sekali. Kenapa? Saya ini orang yang nggak punya apa-apa dan nggak bisa ngasih apa-apa.” Sari merangkulkan tangannya ke leher Iman dan menidurkan kepalanya di bahu iman. “Kamu salah Man. Kamu itu laki-laki yang bisa memberi saya kepuasan yang total. Sejak kawin saya belum pernah mengalami seperti yang saya dapat dari kamu.” Lalu sambil tersenyum Sari meminta, … “Sini Yang, cium aku.” Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Sari, lalu menciumnya. Tapi karena kurang berpengalaman akhirnya Sari yang lebih agresif, baru kemudian Iman mengikuti secara lebih aktif. Kedua bibir itu akhirnya saling berpagutan dengan penuh semangat. Dengan penuh gairah Sari melepas baju Iman. Sebaliknya Iman agak malu-malu pada awalnya, tapi akhirnya menjadi semakin berani. Dilepasnya gaun malam Sari, sambil diciuminya lehernya yang ramping, panjang dan molek itu. Dengan gemas tangannya meremas buah dada Sari yang ranum. Karena Sari membiarkan saja akhirnya ia berani menciumi, lalu mengulum puting buah dada yang indah itu. Sari kegelian. Tangannya mengusap-usap tonjolan di celana Iman. Kemudian dibukanya ‘ruitslijting’ celananya. Tangannya menguak celana dalam Iman dan masuk untuk menggenggam ‘batang kemaluan’nya yang telah mengeras. Tangan Iman juga langsung melepas celana dalam Sari, kemudian langsung ditaruhnya tangannya di celah paha Sari. Wanita cantik itu mengerang nikmat, rupanya sebelum dengan Iman rasanya cukup lama juga ‘milik berharga’nya itu tidak disentuh tangan lelaki. Kemudian Sari berlutut di depan Iman, hingga membuat pemuda itu merasa jengah. Ditariknya celana panjang Iman, sampai lepas. Lalu dimintanya Iman berbaring di tempat tidur.<br /><br />Iman sempat merasa agak kikuk, tapi gairah Sari segera membuatnya merasa nyaman. Dipeluknya wanita itu dikecup-kecupnya lengan, dada, perut, bahkan pahanya. Karena kegelian Sari mendorong dada Iman hingga sampai terbaring. Sekarang gantian ia yang menciumi tubuh pemuda itu. Dengan mantap dilorotnya celana dalam Iman hingga terlepas. Cepat digenggamnya ‘batang kemaluan’ Iman yang sudah tegang keras berdenyut-denyut. “Man, Iman, besarnya punya kamu. Keras lagi …” Iman tersenyum, … “Abis kamu cantik sih Yang.” Sambil mengocok-ngocok ‘kemaluan’ Iman dengan manja Sari berkata, … “Rasanya aku gemes deh Man.” Iman tersenyum nakal, entah apa yang ada dipikirannya. Ia hanya menanggapi singkat, … “Kalau gemes gimana dong Yang?” Sari tersenyum manis. Tiba-tiba diciuminya ‘kemaluan’ Iman, hingga membuat pemuda itu terkejut. Dengan tatapan heran, tapi senang, dilihatnya Sari kemudian menjilati ‘alat kejantanan’nya. Mulai dari ‘bonggol kepala,’ terus sepanjang ‘batang’nya, bahkan sampai ke ‘kantung buah zakar’nya. Ketika Sari mengulum ‘kemaluan’nya di mulutnya Iman mengerang keenakan. “Aduh sayang, aduh enak sekali … Ah enaknya.”<br /><br />Akhirnya Iman tidak tahan lagi. Ditariknya Sari dengan lembut lalu dibaringkannya terlentang. Didorongnya kedua paha Sari hingga terbuka lebar. Masih sempat diciumi dan dijilatinya tubuh Sari bagian atas, termasuk mengemut puting buah dadanya seperti bayi yang lapar. Lalu pelan-pelan didorongnya ‘alat kejantanan’nya masuk, menguak bibir ‘vagina’ Sari yang ranum, menyusuri liang kenikmatannya. “Pelan-pelan Man, … Punya kamu terasa besar amat sih malam ini, … Aah …” Sari mengerang keenakan. Akhirnya dengan sentakan terakhir Iman menghunjamkan ‘batang kemaluan’nya yang besar itu masuk. Begitu ia menggoyang pinggulnya Sari langsung mendesah. Rasanya nikmat sekali digagahi pemuda yang penuh vitalitas dan enerji ini. Iman terus menggerakkan ‘alat kejantanan’nya maju mundur, hingga membuat Sari mendesah dengan tanpa henti. Akibat gaya Iman yang agresif ini Sari tidak mampu menahan dirinya lebih dari 10 menit. Ia merasa seperti dilambungkan tinggi, sewaktu dicapainya puncak ‘orgasme’nya yang pertama. “Aduh Man, aduh, aku sayang kamu …. Aaah” Erangan panjang keluar dari bibir Sari. Tapi Iman ternyata masih kuat. Diteruskannya gerakan maju-mundur dengan pinggulnya. Akibatnya sensasi nikmat Sari, yang tadi hampir mereda, mulai meningkat lagi. Lima belas menit atau dua puluh menit berlalu sampai terdengar lagi jeritan Sari. “Man … Pariman … Yang … Aku lagi … Yang … Aaah … Aaah” Sekali inipun Iman merasa sudah hampir tiba di ujung daya tahannya. “Sari … Sayang, saya hampir …. Boleh?” Dengan nafas tersengal-sengal Sari memintanya, … “Iya Man, lepas sekarang Man …” Segera Iman mendorong dengan hentakan-hentakan keras. “Sari … Sayang … Aaah” Begitu Iman menyemburkan ’sperma’nya ke dalam ‘vagina’ Sari, ujung kepala kemaluannya berdenyut-denyut. Akibatnya Sari kembali merasa kegelian yang nikmat. “Man aduh Man aduh …”<br /><br />Sari terkulai lemah. “Peluk aku dong Yang …” Disusupkannya kepalanya di ketiak Iman. Tangannya mengusap-usap dadanya yang berkeringat. “Kamu puas Man …?” Tanya Sari kepada Iman. “Puas Sayang, puas sekali” Dalam keheningan malam mereka berdua terbaring saling berpelukan, sampai Iman merasa tenaganya pulih. Sekali lagi ia minta dilayani. Walaupun Sari sudah merasa cukup, dipenuhinya kemauan pejantan mudanya itu. Dengan kagum dirasakannya bagaimana sekali lagi ia dipuaskan oleh birahi Iman. Akhirnya baru menjelang subuh Iman beranjak pergi untuk kembali ke kamarnya.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-62233661387282270312012-03-31T14:13:00.000-07:002012-03-31T14:13:04.501-07:00Marto Sang NapiAgustus 20, 2007<br /><br />Ryani adalah seorang mahasiswi program profesi pada sebuah fakultas psikologi di sebuah universitas di Solo. Saat itu berumur 25 tahun, kulit putih, sopan. Sosoknya amat cantik dan menarik hati pria yang memandang dan tidak heran bila ia telah di pertunangkan dengan seorang pria yang berprofesi sebagai pegawai pemda setempat.<br /><br />Kejadiannya bermula saat untuk menyelesaikan tugas akhir dari kampus, dan yang menjadi objek penelitiannya adalah tentang perilaku narapidana selama proses asimilasi. Untuk itu Ryani sering mondar mandir masuk kedalam LP dikota itu untuk melakukan penelitian. Iapun mengambil sebuah contoh kasus dari seorang napi yang bernama Marto. Marto adalah napi yang terhukum selama 9 tahun dalam kasus pembunuhan. Ia telah menjalani masa tahanan selama 7 tahun dan karena berkelakuan baik maka ia sering mendapat remisi.Umurnya 49 tahun, sosoknya pendek, hitam, perut buncit.<br /><br />Untuk keperluan penelitiannya Ryani pun sering berada bersama Marto, kadang-kadang karena ada kelonggaran dari LP maka Marto boleh keluar tahanan siang hari dan malamnya kembali masuk untuk asimilasi dengan dunia luar. Ryanipun sering memanfaatkan waktu Pak Marto saat keluar itu untuk kepentingan penelitiannya. Karena sering bersama dan selalu berdua dengan, Martopun akhirnya merasa jatuh hati pada Ryani, Marto hanya memendamnya dalam hati. Dan…<br /><br />Suatu hari, untuk mendapatkan bahan bagi penelitiannya, Ryani menyetujui untuk brengkat bersama Marto mengunjungi orangtuanya di desa. Mereka berangkat pagi -pagi sekali menggunakan bis. Bis yang mereka tumpangi melaju dalam kecepatan normal. Membelah pagi hari dengan deru knalpotnya. Bersisian mereka duduk. Tak terpikirkan sedikitpun di benak Ryani kemungkinan-kemungkinan terburuk dari perjalanannya ini. Tekadnya hanya satu, mendapatkan data seakurat mungkin untuk kepentingan penulisan tugas kampusnya.<br /><br />Mengenakan kaos berbalut jaket tak mengurangi kecantikannya. Rambut berkucirnya tak dapat menyembunyikan kemulusan kulit tengkuknya yang berbulu halus. Juga balutan jeans pada kakinya semakin menunjukkan bentuk tubuhnya yang indah. Menjelang sore sampailah mereka di terminal dan dengan menggunakan angkutan setempat melaju menuju rumah tinggak orangtuanya Marto. Selang 30 menit kemudian merka turun di halaman sebuah rumah dengan halaman yang luas. Rumah kayu yang cukup asri. Marto melangkah masuk diikuti oleh Ryani. Dan seperti biasanya rumah di desa, rumah itupun tak di kunci.<br /><br />Pandangan Ryani jatuh berkeliling pada ruangan tamu yang di penuhi jendela pada sisi – sisinya. Memandang melalui jendela ke seberang, menikamati suasana yang tenang dengan kehijauan tanaman di kejauhan. Menyaksikan betapa rumah-rumah disini terletak berjauhan dengan halaman yang rata rata luas.<br /><br />‘Uh….panasnya’ batin Ryani seraya melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di punggung kursi panjang yang ada di ruangan tersebut. Dengan bertelekan pada kusen jendela sambil memejamkan mata memajukan wajahnya ayunya untuk di tiup angin semilir…damai rasanya.<br /><br />“Ini mba’…silakan minum hanya air putih…..”ucapan Marto menyadarkannya dari kedamaian perasaanya.<br />“Ga usah repot-rept pak Marto……”sahut Ryani. Melangkah menyisiri jendela dan duduk di kursi kayu jati yang terletak di sampingnya.<br />“Segar sekali………..”ucap Ryani. Menikmati aliran air putih tersebut mengalir membasahi kerongkongannya yang cukup lengket karena sedari tadi belum di aliri air setitikpun.<br />“Gimana ya mba….? ujar Kemudian..<br />“Ada apa…pa…? tanya Ryani memandang raut wajah bingung lelaki yang masih gagah itu.<br />“Ngg….Ng…, ini kedua orang tuaku lagi ga disini, mereka sedang berkunjung ke rumah paklik ku di desa sebelah..”ujarnya terbata-bata.<br />“Tadi aku ketemu sama pak Warjo itu tetangga di sebelah, beliau yang bilang …” sambung nya lagi.<br />” Ya sudah ngga pa pa……., “sahut Ryani.<br />“Kita tunggu saja mereka…., tanggung sudah sampai sini…”sambung Ryani lagi.<br /><br />Waktu pun berlalu dengan cepat. Malampun datang dengan kegelapannya. Syukurlah didesa ini listrik telah masuk, sehingga kegelapan tidaklah merajalela di desa ini. Begitu juga dengan rumah orangtuanya Marto. Beberapa lampu listrik telah dinyalakan biarpun dengan cahaya alakadarnya sehingga tidaklah membuat Ryani berada di wilayah yang asaing baginya.<br /><br />Tadi sore Marto dengan keramahan ala desa telah mempersilakan Ryani untuk mendiami kamar paling depan. Cukup bersih karena jarang sekali di pergunakan. Dengan mengenakan sehelai kain panjang yang melilit pinggangnya Ryani tengah duduk di ruang tengah, mempelajari dan menelaah kembali data – data yang telah di kumpulkannya selama bersama Marto. Marto dengan sebatang rokok duduk di kursi lainnya pada meja yang sama. Mengepulkan asap rokoknya dengan nikmat, sembari matanya tak lepas dari bagian dada gadis cantik yang tengah menunduk menghadapi kertas-kertasnya.<br /><br />“Belum mengantuk mba..?”tanyanya kepada Ryani.<br />“Hmm..belum pak………….”jawab Ryani tak memalingkan wajahnya. Tetap berkonsentrasi pada kertas – kertas yang ada di hadapannya.<br />“Kalau Pak Marto udah mengantuk,.duluan saja…saya masih membereskan pekerjaan ini menjelang kantuk saya datang…”sambung Ryani tak menoleh.<br />“kalau begitu saya duluan saja ya mba…….”ujar Marto sembari beranjak meninggalkan kursinya melangkah ke arah kamar satunya dimana dia biasanya berada apabila berada di rumah ini.<br />“Kalau perlu sesuatu saya berada di sebelah kamar mba ko…..”tambah Marto dari dalam kamar.<br /><br />Terdengar suara gemerisik kaln bergeser.., Ini dikarenakan sebagaimana biasanya rumah di desa tidak mengunakan pintu sebagai pembatas kamar , hanya menggunakan sehelai kain yang di lekatkan pada kusen pintu. Dan kain itulah yang menjadi batas wilayah ruang yang satu dengan ruang lainnya.<br /><br />Tak terasa waktu berjalan, menimbulkan tanda-tanda pada tubuh agar segera menghentikan aktifitas. Meminta waktu untuk memulihkan pada kondisi idealnya. Menuntut agar beristirahat. Begitu juga pada gadis ayu ini. Beberapa kali ia menguap… Perjalanan dan pekerjaannya malam ini telah menyita energinya. Tubuhnya tak dapat berkompromi dengan kepenatan yang amat sangat. Ryani pun membereskan kertas-kertasnya, beranjak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan buatnya. Langsung begitu rebah di pembaringan tak ingat apa-apa lagi…tertidur pulas.<br /><br />Di tengah kepulasannya Ryani merasakan secercah sentuhan pada betisnya, sangat ringan tetapi sangat nyaman. Ia menggeliat sejenak. Sentuhan tersebut tak berhenti… makain naik pada lututnya…, makin nyaman dan sebersit rasa aneh yang sangat nyaman mulai tumbuh di dasar perasaannya. Sentuhan itu benganti dengan elusan. Kedua lutut gadis itu kini mendapatkannya secara bergantian. Menggelitik sisi keperempuanannya yang masih lugu. Ryani mengeluh..<br /><br />Tapi alam kesadarannya segera bangklit. Otaknya langsung bekerja… Bukankah saat ini ia sedang tak dirumahnya sendiri… Bukankah tadi pada pagi ia bepergian bersama Pak Marto… bukankan saat ini ia tengah berada di rumah Pak Marto…. Bukankah saat ini ia tidur di rumah Pak Marto… Lalu apakah atau siapakah yang mengelusi kakinya…. jangan – jangan…..<br /><br />Rayani langsung tersentak bangun dan langsung duduk bersandar pada punggung ranjang. Mata indahnya membelalak… dengan seruan tertahan hampir keluar dari bibirnya.<br /><br />“Apa – apaan pak Marto…?”serunya tertahan. Terkejut melihat Marto telah berada di kamarnya. Memandangnya dengan seringai tersungging di bibirnya.<br />“Saya sudah lama memendam ini mba…”ujarnya ringan.<br />“Mba juga tau sudah berapa lama saya di penjara….., tak sekalipun saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan perempuan… Tapi saat ini saya tak dapat menahan diri lagi…” tambah marto<br />“Mba sangat cantik….,”ujarnya memuji.<br />“Tapi…,tapi kenapa harus saya Pak Marto…? Ryani melontarkan pertanyaan yang tak harus di jawab.<br />“Lebih baik mba terima saja.., sekali mba berteriak saya tidak segan – segan menghabisi mba… bagi saya penjara adalah rumah kedua…”ucap Marto dengan nada tegas memandang tajam.<br /><br />‘Oh tuhan…., kenapa nasib saya begini……’ keluh Ryani dalam hati.<br />‘Apakah salah saya sehingga harus menghadapi kenyataan seperti ini….?<br /><br />Marto bergerak naik ke atas pembaringan. Merangkak mendekati gadis ayu yang ketakutan bersedekap memeluk dadanya sendiri. Marto meraih kedua tangan yang tengah bersedekap itu… melepaskannya hingga turun disisi tubuhnya. Meraih wajah ayu tersebut… menengadahkannya.<br /><br />“Tak usah takut mba… saya takkan menyakiti mba….”ujar Marto.<br /><br />Perlahan kedua mata Ryani yang terpicing terbuka, memandang dalam sinar takut ke wajah Marto. Perlahan Marto mendekatkan wajahnya… menjatuhkan kecupan ringan di pelupuk mata Ryani… di barengi jilatan pada kelopaknya. Kedua tangan Marto melai merengkuh bahu gadis ayu itu. Menariknya mendekat. Tak kuasa menolak Ryani menuruti kehendak Marto.<br /><br />Marto membaringkan tubuh gadis itu dengan perlahan. Kembali wajahnya mendekat. Kini kecupan dan jilatan lidahnya mampir pada sisi wajah Ryani. Menjilati cuping telinga yang lancip… menjilati bagian belakangnya dengan lidahnya yang kasap… Turun ke bawah menelusuri urat leher yang tegas menopang kepalanya.. mampir di sepanjang belikatnya. Mata Ryani bekerjap-kerjap. Antara ketakutan dan rasa nikmat yang timbul oleh lidah dan mulutnya Marto. Tak sadar beberapa kali keluhan terbit di bibir mungil gadis ayu tersebut.<br /><br />Tangan Marto pun tak tinggal diam… Kini telah berada di permukaan daster yang dikenakan Ryani menangkupi bukit padat di dadanya… Ahhh… Ryani mendesah merasakan betapa permukaan telapak tangan itu bergerak di sepanjang bulatan dada kirinya… Rasa itu langsung menyentuh kulit di bawah dasternya yang tak mengenakan bra… Kini jemari Marto bergerak menyelusuri lereng bukit membusung tersebut menuju puncaknya… Menemukan puncaknya dengan stupa mungil yang mencuat… Memijit-mijitnya dengan perlahan… Lalu memilin-milinya…<br /><br />Tubuh Ryani menggeliat kegelian. Tak merasa cukup, dengan menggunakan tangannya Marto melucuti kancing daster gadis ayu tersebut… menyibakkannya ke samping… Menampilkan kulit putih mulus….. sangat indah di terangi oleh lampu yang temaram.<br /><br />“Ahhh…..” keluh Ryani pendek. Bibir Marto kini telah mencucupi puncak dadanya yang sebelah kiri… Menjilatinya mengelilingi puncaknya… Mengulum dan melingkari puncaknya dengan lidah kasapnya… bergantian yang kanan dan kiri tak ada yang terlewatkan. Terus turun ke bawah… menyelusuri cekungan garis perut yang bergerak-gerak gelisah….. menemukan cekungan di bawahnya… mencucupi dengan lincah.<br /><br />Ryani yang belum pernah merasakan hal sejauh ini hanya bisa diam dan menggeliat-geliat gelisah. Satu sisi dirimya merasakan hal ini tidaklah benar tapi sisi lainnya tubuhnya tak dapat menolak…<br /><br />Saat bibir Martto mampir di sepanjang batas karet pakaiannya yang terakhir, gelinjang tubuhnya makin hebat. Gelitikan lidah Marto semakin menggila di sana. Tak berhenti… lidah dan bibir Marto menemukan sisi dalam batang paha kiri Ryani… Kembali menjilati… menyeluri bagian dalam batang paha tersebut ke bawah… hingga lututnya… berpindah ke bagian sebelahnya….. memberikan perlakuan yang sama di sana…. Tak memberikan jeda pada Ryani untuk berfikir jernih… berusaha membangkitkan birahinya yang selama ini terpendam…<br /><br />Gadis ayu itu pun tak tahu kapan pembalut bagian tubuhnya yang sangat pribadi di lucuti. Yang ia rasakan hanyalah serbuan rasa nikmat yang amat sangat menerpa seluruhpenjuru tubuhnya… Tak dapat berfikir kenapa tubuhnya begitu peka terhadap sentuhan Marto… tak dapat lagi berfikir untuk menyudahi selagi belum terlambat… Tak dapat berfikir lagi…. Tubuhnya begitu menikmati… begitu bereaksi….. begitu terbakar nafsunya sendiri…<br /><br />Yang dia tahu Marto telah bergerak menindih tubuh telanjangnya….<br /><br />“ja…. jangan Pak Marto…………”bisik Ryani terbata-bata.<br />“Mba lebih baik diam….. saya bisa bertindak brutal apabila mba tidak bekerja sama…” ujar Marto. Ucapan yang halus tetapi cukup tegas. Ryani tak bisa apa apa lagi selain menurutinya. Tak dapat dibayangkannya akibat yang timbul oleh penolakannya.<br /><br />Air mata menggenang di matanya saat Marto duduk di hadapan pinggulnya. Marto menyibakkan kedua batang paha mulus tersebut ke samping tubuhnya. Merapatkan Pinggulnya pada wilayah pribadi Ryani.<br /><br />“Uhh…..”lenguh Ryani saat ujung bulat kejantanan Marto menggosok lepitan kewanitaannya. Birahinya yang tadi surut kembali mengalir menuju puncaknya.<br /><br />Marto menggosok-gosokkan ujung kejantannanya pada lepitan yang masih rapat tersebut. Memberikan kembali rasa nikmat yang lebih dibandingkan aksi sebelummnya. Ryani hanya dapat menggeliat-geliat dengan nafas yang tersengal-sengal. Kepalanya berulangkali terbanting kekiri dan kekanan. Jemari lentiknya mencengkeram kedua lutut Marto. Perlahan tapi pasti cairan hangat timbul pada kewanitaan Ryani…, Membasahi… mempersiapkan diri untuk penetrasi…<br /><br />Peluh telah bercucuran di tubuh tegap Marto. Begitu juga pada Rayni…Peluh telah membuat sekujur tubuhnya mengkilap, sebagian lagi mengalir dipermukaan kulitnya… Menuruni puncak dadanya dengan bulir-bulir berkejaran…. Marto bergerak… Mengangkat kedua belah kaki lenjang gadis ayu tersebut mendekati dadanya. Memposisikan dirinya setengah berjongkok. Berkerjab-kerjab mata Ryani menantikan aksi Marto selanjutnya… Marto mulai mendesak…. mendorongkan pinggulnya… Mendesakkan ujung membola kejantanannya pada lepitan kewanitaan Ryani… Mencoba menembus lepitan yang ketat tersebut.<br /><br />“Uhf…..”keluh Ryani. Membeliakkan mata indahnya saat ujung membola kejantanan Marto mendesak kuat… menyibakkan lepiatn kewanitaannya yang basah… memberikan jalan untuk pertama kalinya bagi sebuah benda asing… Sedikit perih terbit di sana… Ryani hanya bisa menggigit bibir bawahnya agar jeritan tak keluar dari mulutnya. Hanya kuku jemari lentiknya makin mencengkeram pada kedua lutut Marto.<br /><br />Marto kembali mendesak… menuntaskan segala hasratnya… mendorong pinggulnya. Terasakan oleh Marto betapa liang kewanitaan tersebut begitu ketat mencengkeram. Bahkan terasakan berapa deretan cincin-cincin melingkar di sepanjang liang tersebut berderik-derik membuka diri bagi batang hangat tersebut. Perlahan tapi pasti batang pejal tersebut terus maju mili demi mili hingga… seolah-olah terhambat suatu halangan..<br /><br />‘Inilah saatnya…….’batin Marto.<br /><br />Kembali menghela napas dan mengumpulkan tenaga pada pinggulnya… mendorong kembali dengan tenaga penuh… terasa sesuatu berdetus… putus… dalam liang tersebut dan di barengi dengan meluncurnya batang pejal kejantanannya hingga amblas terbenam seutuhnya… Terlihat Ryani tersengal-sengal dengan mata berair… habislah harapannya untuk mempersembahkan miliknya pada suaminya kelak…. Martopun diam… Waktu seolah – olah berhenti…<br /><br />Marto kembali bergerak… Perlahan-lahan menggerakkan pinggulnya memacu birahinya… Sebagai seorang lelaki ia menyadari bahwa dengan kelembutanlah persetubuhan ini akan menjadi sempurna. Tubuh tegapnya bergerak perlahan mencoba menghapuskan rasa perih gadis ayu tersebut dan menggaqntikannya dengan rasa nikmat. Batang pejalnya perlahan tapi pasti bergerak bolak-balik disepanjang liang kewanitaan Ryani. Terkadang diam dan mengedut…<br /><br />Ryani mendelik merasakan kedutan tersebut memijit setiap tombol birahinya.. Menyirami api nafsunya dengan bahan bakar yang di butuhkannya… Mengelorakan setiap ombak nikmat di sekujur tubuhnya… Rayni merintih…. mengelinjang…. Marto kembali bergerak… menghujamkan batangnya…. makin lama makin cepat…. Merebahkan tubuhnya menelungkupi tubuh indah tersebut. Ryani tak sadar merengkuh tubuh tegap tersebut…..<br /><br />Marto mulai bergerak mundur batangnya…. perlahan-lahan…. Ryani semakin menggeliat …. Marto mendorong maju lagi…. mundur… maju …. semuanya dengan perlahan-lahan …. kedua tangan Ryani kini tak tinggal diam…. ia juga menginginkan rasa ini dapat dinikmati dengan sempurna….. bibirnya menganga dan sesaat kemudian telah berubah menjadi desah dan rintihan…. tubuhnya menggelinjang-hebat ….. mengangkang lebih lebar…. Marto mencoba agak mempercepat gerak naik turunnya…. pinggul Ryani mulai bergerak gelisah mengimbangi…. Marto mempercepat gerakan…. Marto mempercepat lagi hingga batas yang memungkinkan…. Marto mempertahankan kecepatan itu tanpa mengurangi atau melebihinya…. Marto merasakan liang kenikmatan Ryani semakin membasah dan licin…. mulutnya tak henti-hentinya mendesah…. merintih… mengerang…. Marto mengerahkan seluruh tenaga untuk memompakan terus kenikmatan demi kenikmatan kepadanya…. Ryani semakin larut dalam deru birahi…. pinggulnya naik bergerak ke atas menyambut setiap gerak turun tubuh Marto…. seolah ingin membantu menghujamkan batang pejal Marto lebih dalam lagi ke dasar liang kewanitaannya ….<br /><br />Keringat telah mengucur di seluruh tubuh Marto jatuh dan bercampur dengan keringat tubuh Ryani…. kedua tubuh mereka bagaikan di hempas gelombang badai…. terbanting-banting diatas ranjang…….. wajah Ryani kian memerah…. kedua alisnya semakin mengernyit…. Marto merasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin lama semakin menghimpit ….. otot-otot didalamnya semakin terasa meremas-remas…. Marto melihat kedua matanya sudah setengah terpejam…. mulutnya setengah terbuka dengan lidah mengambang di tengah-tengahnya… Ryani rupanya sudah berada di ambang puncak klimaksnya.<br /><br />Tak lama kemudian ia mencengkeram sprei sejadi-jadinya………. Marto membenamkan batangnya sedalam-dalamnya…. hingga menyentuh dasar….. dan Marto membiarkan terdiam menekannya…. Marto menanti saat-saat yang paling mengesankan itu…. dan tak lama kemudian…. dinding-dinding liang kenikmatan Ryani mulai berkontraksi…. semakin lama semakin keras…. dan semakin keras…. berkontraksi dengan hebat …. Ryani memekik lirih…. Marto menggerakkan pinggul maju mundur perlahan-lahan…. sambil menekan dengan bertenaga…. Marto mendekap dengan erat bongkahan pantatnya…. kontraksi itu semakin berkelanjutan….. seiring dengan gerakan pinggul Marto…. dibarengi oleh pekikan-pekikan lirih Ryani….. seluruh tubuhnya bergetar hebat…. entah sudah berapa kali ia memekik…. hingga ia tak sanggup lagi meneriakkan pekik nikmatnya itu … agaknya kenikmatan itu terlalu memuncak baginya … tubuhnya terkulai …. lemas….!!!<br /><br />Marto kembali bergerak… memacu nafsunya yang hampir menjelang.. bergerak maju mundur… Batang pejalnya terus menhujam tak kenal lelah… menggosok seluruh permukaan dinding liang kewanitaan Ryani dengan tergesa-gesa… terus bergerak…<br /><br />Puncak telah semakin dekat…dengan satu hujaman… mendesakkan batang pejalnya hingga ke dasar liang tersebut dan menggeram….. lecutan-lecutan mengalir di sepanjang tulang belakang tubuhnya…. menjalar menuju pinggangnya…. terus mengumpul pada pangkal kejantannnannya… berkejaran di sepanjang pembuluh batang kejantantannya… memancur keluar dengan kuat… berkali-kali…. membasahi seluruh bagian dalam liang kewanitaan Ryani…. terkulai dan menggelosoh di samping tubuh indah berkeringat tersebut. Mereka terdiam beberapa detik lamanya…<br /><br />“Maafkan aku mba…..”ujar Marto beringsut mengambil kembali pakaiannya. Ryani memalingkan wajahnya… terisak-isak… tak menjawab. Selangkangannya sedikit merasa terganjal. Tubuhnya terasa lengket. Badannya capai dengan pinggang serasa remuk.. ada juga sebersit rasa yang tak dapat diutarakan dengan kata-kata timbul dalam dirinya… tak dapat ia pungkiri kejadian barusan sangat melenakannya<br /><br />Semenjak kejadian itu Ryani selalu menjadi sarana pelampiasan nafsu Marto. Iapun tak dapat menolak, mengkin dikarenakan iapun menikmatinya. Dan Ryani di paksa Marto untuk memutuskan hubungannya dengan pacar. Sampai saat ini ia belum menemukan jalan keluar dari masalahnya ini..Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-73276335565478321342012-03-31T14:06:00.000-07:002012-03-31T14:06:58.126-07:00Alfi dan Bu Gurunya yang CantikRok Niken terangkat sedikit di atas lutut ketika dia menyilangkan kakinya yang panjang semampai membentuk betis yang indah. Bu Niken, guru Bahasa Indonesia itu sibuk menerangkan pelajaran di depan kelas namun pikiran Alfi tak sedikitpun menyimak pelajaran. Matanya mengikuti kemanapun tubuh semampai itu bergerak. Alfi tidak punya otak yang pandai, modalnya hanyalah sperma yang terus berproduksi. Namun Alfi tidak juga dapat disalahkan, Niken memang luar biasa menarik, apa-apa yang dimilikinya sanggup membuat lelaki manapun bertekuk lutut. Ia memang primadona di sekolah itu. Tidak hanya murid laki-laki tapi para guru pun tak dapat melepas pandangannya saat melihat wanita itu. Niken berkulit putih, berwajah cantik dengan rambut hitam terurai sedada dan berumur 25 tahun. Seorang sarjana sasra lulusan dari perguruan tinggi terkemuka. Lajang yang dua bulan lagi dipersunting seorang pengusaha muda kaya. Satu jam pelajaran terasa singkat bagi Alfi.<br /><br />“Uuuu… sudah bel” gerutunya<br /><br />Beruntung bagi Alfi ia duduk di persis depan meja guru. Posisinya paling dekat. Matanya sesekali menatap tonjolan indah pada dada Niken. Meski menghayalkan tubuh indah sang ibu guru namun ia harus tetap berhati-hati mencuri pandang agar Niken tak curiga. Tapi penisnya terasa nyeri akibat mendesak celana seragam sempitnya. Itu memang celana pendek yang sesuai bagi anak seusia Alfi tapi tidak untuk anak itu. Benda itu tumbuh sedemikian besar setelah bertahun-tahun di pakai ngentot. Alfi juga ingat bagaimana telatennya Sriti dulu mengocok penisnya mempergunakan ramuan campuran air teh basi dan beberapa jamu-jamuan.<br /><br />“Untuk apa campuran ini kak?” tanya anak itu bingung, ia sungguh tak menyukai aroma yang hinggap di hidungnya.<br /><br />“Biar punya kamu tambah gede dan kamu bakal menaklukan banyak wanita kelak Fii” ujar Sriti saat itu.<br /><br />Setiap pagi barangnya digodok dengan ramuan itu, Bertahun-tahun kemudian baru terlihat manfaatnya. Penisnya tidak hanya bertambah besar dan panjang, namun efek ramuan itu juga membuat otot-otot tetap kaku setelah berejakulasi.<br /><br /><br /><br />“Uh sakit” keluhnya<br /><br />Anak itu kesal, napsunya yang memuncak tak dapat ia salurkan sementara Sandra sedang ke kota G bersama suaminya Didiet. Nadine sudah dua hari ini terserang flu demam dan Dian sedang halangan. Masih terngiang ucapan Nadine pagi tadi sebelum ia berangkat ke sekolah<br /><br />“maaf ya Fi, kakak belum bisa ngasih kamu pagi ini, tubuh kakak masih lemas.” ujar Nadine berusaha memberi pengertian.<br /><br />“kalau kamu mau biar kakak oral, mau?” ujar Dian nampak iba<br /><br />“Ngga usah kak, biar Alfi tahan”<br /><br />Kedua wanita itu tersenyum geli melihat Alfi pergi ke sekolah dengan muka cemberut.<br /><br />Alfi memang memiliki libido tidak normal dan nyaris tak terkendalikan, spermanya terlalu cepat berproduksi hingga testisnya bagai tak dapat menampungnya. Sandra dan kedua sahabatnya nyaris kewalahan meski Alfi mengiliri mereka bertiga setiap malamnya. Ketika pelajaran usai, Alfi seperti enggan untuk cepat pulang ke rumah. Ia tahu ke dua bidadarinya belum bisa ia jamah. Ia duduk satu persatu para siswa pergi meninggalkan sekolah semakin lama semakin sepi hingga akhirnya tinggal ia sendiri duduk sambil merenungi perjalanan hidupnya yang beruntung. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sosok makhluk cantik yang selama ini di pujanya. Niken baru keluar dari kantor, sepertinya ia baru selesai mengkoreksi ulangan kelas Alfi tadi dan akan pulang. Saat melangkah pada sebuah anak tangga, wanita itu tiba-tiba terhuyung jatuh. Alfi secara reflek memburu ke sana untuk membantu. Niken terpleset dan pergelangan kakinya terkilir hingga ia tak mampu berdiri<br /><br />“Aduhh..duhh..” erangnya saat sakit menjalar pada bagian yang terkilir tadi.<br /><br />“Bu mari Alfi bantu” ujar anak itu iba melihat gurunya yang cantik itu merintih kesakitan.<br /><br />Beruntung ia belum jauh dari kantor. Alfi membantu wanita itu bangkit dan menuntunnya perlahan duduk di bangku.<br /><br />“ibu tunggu disini Alfi cari air hangat buat kompres”<br /><br />Belum sempat Niken mencegahnya Anak itu sudah lenyap ke balik pintu. Dua menit kemudia ia kembali dengan sebaskom air hangat dan balsam. Alfi lalu meletakan baskom berisi air hangat di lantai.<br /><br />“bu masukan kaki ibu ke air nanti Alfi urut yang terkilir tadi”<br /><br />Sebenarnya Niken agak jengah diperlakukan seperti itu. Namun ia menghargai usaha Alfi yang sudah bersusah payah mengobatinya. Lagian kakinya memang terasa sakit sekali.<br /><br /><br /><br />“pelan-pelan ya Fi…” ujarnya lirih<br /><br />Alfi mengurut lembut pergelangan kaki Niken. Tangannya gemetar saat bersentuhan dengan kulit halus wanita itu. Sekilas ia melirik lutut hingga ke ujung jari yang dekat sekali dengan wajahnya. Semuanya terlihat begitu indah bahkan tercium bau harum berasal dari tubuh wanita itu.<br /><br />“untung tidak parah, sepertinya ibu cuma terkilir tidak sampai retak atau patah”<br /><br />Pijatan Alfi membuatnya agak nyaman dan perlahan rasa sakitnya mulai reda.<br /><br />“Gimana ulangan yang ibu kasih tadi, kamu bisakan?” tanya wanita itu memecah kekakuan<br /><br />Anak itu hanya menggeleng<br /><br />“Soalnya susah banget bu. Alfi tadi cuma bisa jawab sedikit-sedikit” <br /><br />“Loh.. kamu ngga belajar semalam ya?”<br /><br />“Belajar kok bu, tapi kata temen-temen yang lain soal ulangan tadi memang susah sekali”<br /><br />“Uh Cape ibu ngajarin kalian, kalau begini terus ibu mau berhenti ngajar saja!”<br /><br />“kalau gitu Ibu jadi foto model atau bintang film saja, ibu kan cantik”<br /><br />“Idihh.. kamu kok ngomong ngelantur, kamu tahu bicaramu terdengaran ngegombal”<br /><br />“Tapi Alfi bicara apa adanya, ibu memang cantik.”<br /><br />“masa?”<br /><br />“semua orang di sekolah juga tahu ibu cantik”<br /><br />“begitu ya?”<br /><br />“Betul bu, bahkan banyak pak guru yang suka sama ibu”<br /><br />“Aduh.. kamu ternyata juga pintar bikin gossip. Awas loh nanti pada heboh dan ibu disalahkan!”<br /><br />“abisnya ibu Niken cantik banget!”<br /><br />“udah ah kamu tambah ngelantur…emmm sepertinya sakit kaki ibu sudah banyak berkurang Fii” ujar Niken sambil mengerak-gerakan pergelangan kakinya.<br /><br />Niken bangkit dan mencoba untuk berjalan dan tak ia rasakan sakit itu lagi<br /><br /><br /><br />“makasih ya Fii, pijatanmu manjur sekali”<br /><br />Alfi tersenyum malu. Pujian Niken merupakan sesuatu yang luar biasa baginya<br /><br />“he..he ,Iya bu Alfi juga senang sudah nolongin ibu”<br /><br /> “eng… Buu!”<br /><br />“Ya, ada apa Fi?”<br /><br />“Engg…Besok boleh kan Alfi ngebantu ngebawain buku-buku ibu?”<br /><br />Niken tersenyum geli, secara naluriah ia tahu anak ini tertarik padanya seperti yang lain. Namun ia pikir itu adalah hal yang wajar dikerenakan pada anak usia Alfi sudah mulai tertarik dengan lawan jenisnya.<br /><br />“Begitu ya… hi hi ..baiklah, sekarang ibu pulang dulu, sampai ketemu besok Alfi” Niken melambaikan tangan sambil tersenyum.<br /><br />“Uhhh manisssnya”, angan Alfi melambung jauh<br /><br />Alfi gembira karena hari ini ia berhasil lebih dekat dengan Niken. Pulang dari sekolah, setelah selesai mandi dan hendak berpakaian, ia menoleh ke arah tempat tidur di mana nampak Dian dan Nadine menunggu sambil tersenyum manis padanya. Keduanya dalam keadaan polos tanpa sehelai benang yang melekat pada tubuh.<br /><br />“Fi..Kakak sudah selesai ‘itu’ nya dan kak Nadine juga udah baikan sore ini ” ujar Dian<br /><br />“Kamu ingin siapa dulu yang menjadi istri kamu malam ini, kak Dian apa kak Nadine?”<br /><br />“Dua-duanya aja… kali ini Alfi mau ngentot bertiga sama kakak berdua” <br /><br />“Kok pulangnya telat, kemana aja Fii? Kamu ngga keluyuran kan?” tanya Nadine<br /><br />“Alfi ikut eskul di sekolah sampai sore” jawab anak itu sekenanya<br /><br />Alfi menyusul naik ke ranjang. Dian menjadi sasaran pertamanya. Vagina wanita itu masih dalam keadaan kering langsung di jebolnya. Sehingga ia terpekik<br /><br />“Aduhhh Fiii!! pelan-pelan dong sayanggg..ughhh”<br /><br />Lima belas kocokan cepat Alfi menghantarkan keduanya ke puncak kenikmatan. Stok sperma selama dua hari segera ia setorkan ke rahim Dian seakan ingin ia buang tanpa sisa.<br /><br />“oww.. Kakakkkkk!!! Enakkkkkk!” jeritnya<br /><br />“Sisain buat kakak dong Fii” ujar Nadine ketika dilihatnya pinggul Alfi berkali-kali mengenjang<br /><br />Sesudah berejakulasi sekali Alfi baru bisa mengontrol dirinya. Dian baru dicumbuinya mesra. Alfi menggarap tubuh cantik Dian setengah jam lalu Nadine mendapat giliran disetubuhi kuda jantan kecil itu. Begitu secara bergiliran mereka mereguk nikmat hingga tiba waktu makan malam. Lalu setelah itu mereka lanjutkan lagi hingga larut malam.<br /><br /><br />Alfi<br /><br />Alfi<br /><br />*******************<br /><br />Sejak kejadian tempo hari hubungan Alfi dan Niken semakin akrab. Anak itu pandai mengambil hati gurunya yang cantik itu. Tak hanya membawakan buku-buku saja, terkadang Alfi rela terlambat pulang menemani Niken menyelesaikan urusannya di sekolah. Namun sejauh ini Alfi selalu berlaku sopan. ia tak terpikir untuk berani berbuat macam-macam terhadap Niken. Niken begitu anggun bak putri dalam cerita novel yang harus diperjuangkan untuk mendapatkannya. Menjelang pernikahannya yang tak lama lagi. Masih hal yang mengganggu pikiran Niken selama ini. Soal Perjodohannya dengan Doni telah diatur oleh kedua keluarga mereka sejak mereka kecil. Doni adalah seorang pemuda tampan, terpelajar dan memiliki masa depan yang baik. Para sahabatnya mengatakan kalau Niken beruntung mendapat suami yang sepadan seperti Doni. Niken menerima perjodohan itu. Namun kenyataan itu tak seindah apa yang tampak.<br /><br />Doni ternyata adalah seorang playboy. Tak hanya sering ‘jajan’ ia juga menjalin hubungan khusus dengan beberapa wanita cantik karyawan di perusahaannya, bahkan setelah mereka resmi tunangan sekalipun Donie tak kunjung merubah kebiasaan buruknya. Niken bukannya tidak tahu akan hal itu. Ia bahkan pernah tidak sengaja memergoki Doni sedang berjalan berdua dengan seorang wanita. Kasihan Niken, kondisi ibunya yang mengindap penyakit jantung membuatnya ia tak mempunyai pilihan lain kecuali meneruskan perjodohan itu. Ia tak ingin mengecewakan harapan keluarganya terutama sang ibunda. Wanita itu hanya pasrah menerima nasibnya Selama berpacaran, memang Ia dan Doni tidak pernah sekalipun melakukan kemesraan secara fisik. Niken selalu menjaga diri dan menolak jika Doni mulai terlihat ingin menjamahnya, ia hanya akan memberikan segalanya pada Doni setelah mereka resmi menikah kelak. Selama ini ia hanya berusaha menyibukan diri pada pekejaan mengajar di sekolah Alfi. Adanya Alfi paling tidak dapat menghibur hatinya. Tawa dan canda anak mampu membuatnya tertawa serta melupakan masalah tersebut sejenak. Suatu hari setelah bel pulang berbunyi, seperti biasa Alfi pergi ke kantor untuk menengok siapa tahu Niken masih di sana. Dan ternyata harapannya benar. Wanita itu terlihat sibuk di mejanya.<br /><br /><br /><br />“belum pulang bu?”<br /><br />“Oh Alfi, belum . mungkin setengah jam lagi. masih ada ulangan temanmu yang harus ibu koreksi”<br /><br />“Alfi temani ya bu?”<br /><br />“Apa orang tuamu ngga marah karena kamu sering pulang terlambat karena terus menerus nemani ibu?”<br /><br />“Ahh..ngga kok bu, yang penting Alfi kan ngga keluyuran ke mana-mana”<br /><br />Niken tersenyum, ada perasaan nyaman setiap kali anak itu menemaninya.<br /><br />“Sebentar lagi ibu selesai, kita makan sama-sama ya” Niken selalu mempersiapkan bekal dari rumah apabila ia terpaksa harus lembur seperti siang ini. Seperti hari sebelumnya ia selalu berbagi makanan siangnya dengan Alfi, ia kuatir anak itu malah masuk angin karena menemaninya.<br /><br />“Alfi cuci tangan dulu ya bu, ni Alfi titip Hp ke ibu”<br /><br />Alfi pergi ke arah kamar mandi<br /><br />“ZZZZZ!!!!” belum lama Alfi pergi, HP tersebut bergetar lembut.<br /><br />“Uhh..sebuah sms masuk” mungkin dari orang tua Alfi yang menghubungi pikir Niken.<br /><br />Niken melirik benda di atas mejanya dan … Sejenak ia terpaku menatap baris-baris kalimat pada layar kecil tersebut. Berulang-ulang ia membacanya seakan tak percaya<br /><br />Sebuah pesan muncul<br /><br />“jam 15:00, Fii temui kakak di Mal hbs tu kita, ke tpt pertama kali kamu perawani kakak. Love Sandra”<br /><br />Siapakah si Sandra ini? Tidak mungkin ini sms nyasar, wanita itu menyebut nama Alfi pada pesannya tadi. Niken cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat didengarnya suara sepatu Alfi mendekat ke arah kantor. Ia berpura-pura sibuk dengan tugasnya meski pikirannya begitu penasaran.<br /><br /><br /><br />Saat makan diam-diam Niken melirik wajah muridnya itu. Dipandanginya wajah ABG itu, seperti tak ada perbedaan antara anak ini dengan temannya yang lain, masih begitu polos. Apa mungkin anak bau kencur seperti itu telah berbuat yang tidak-tidak? Anak ini masih kelas satu smp paling-paling juga usianya baru 12 tahunan . Entahlah semuanya masih tidak jelas.<br /><br />“Haruskah aku tanyakan langsung ke Alfi? Sebaiknya jangan sebab aku yakin ia tak akan mau menjelaskannya. Sebaiknya aku ikuti saja kemana ia pergi nanti.” itu yang tersirat di pikiran Niken.<br /><br />Selesai makan Alfi baru menyadari ada pesan pada HP-nya. Niken melihat perubahan pada wajah Alfi yang nampak sumeringah. Alfi sama sekali tak menduga jika Niken sudah mengetahui pesan rahasia tersebut.<br /><br />“Bu Alfi ikut ibu ya kalau ibu ngga keberatan, nanti Alfi turun di perempatan Mal GG”<br /><br />“Loh.. ngga langsung pulang? Kamu hendak kemana?” Niken pura-pura<br /><br />“Alfi mau nemui ibu asuh Alfi, kak Sandra. Ia baru pulang dari kota G. nanti kami ketemuan di Mal”<br /><br />“A..a..pa.. ja..diii” Niken terkejut bukan main, hampir saja kelepasan begitu terkejutnya mendengar kenyataan bahwa wanita yang bernama Sandra tersebut ternyata adalah ibu asuhnya anak itu.<br /><br />“Kenapa bu? Ngga pa pa kalau ibu buru-buru, nanti Alfi bisa pergi sendiri naik angkot”<br /><br />Alfi mengira Niken tak bisa mengantarkannya ke mal. Niken segera menguasai diri, ia tak mau rencananya gagal. Untung Alfi tak curiga akan ketololannya tadi.<br /><br />“eh..uh..bukaann begituu Fii, eng nanti ibu antar kamu ke sana, sekarang kita beresin dulu bekas kita makan barusan ya”<br /><br />Tak berapa lama mereka meluncur ke arah mal GG. Niken sengaja mengantar Alfi hingga di pintu depan Mal.<br /><br />“ma kasih ya bu” ujar anak itu sebelum menutup pintu mobil.<br /><br />“sampai ketemu besok di sekolah Fii”<br /><br /><br /><br />Niken memarkir mobilnya tak jauh dari tempat tersebut. Dengan sabar Ia menunggu … dan menunggu. Hingga akhirnya setelah satu jam ia melihat Alfi keluar bersama seorang wanita dewasa seusia dengannya.<br /><br />“Hm.. cantik sekalii, wanita itukah yang bernama Sandra?” gumam Niken<br /><br />Mereka masuk kesebuah taxi lalu meninggalkan mal. Niken tak membuang waktu. Ia ikuti taxi tersebut . Wanita itu sengaja menjaga jarak mobilnya dengan taxi yang membawa Alfi. Arus kendaraan yang agak macet cukup membantu Niken untuk tidak kehilangan jejak. Perjalanan itu membawa mereka ke luar dari kota. Setelah lebih dari satu jam, Niken melihat Taxi itu berhenti di sebuah resort pantai. Nampak Alfi dan wanita yang diduga Niken adalah Sandra tersebut turun dari taxi lalu mereka berjalan kaki menelusuri pantai tersebut. Niken tak ingin Alfi mengenali mobilnya. Keadaan hari yang mulai gelap memudahkannya untuk tak dikenali. Niken melihat jam, ternyata sudah pukul 18:00. Suasana pantai yang sepi, hanya terdengar suara deburan ombak dan binatang malam yang mulai keluar. Pandangannya menangkap bayangan beberapa pasangan yang sedang asik berpelukan memadu kasih di antara pepohonan nyiur di sepanjang pantai itu. Ia sempat ragu untuk meneruskan pengintaian ini, namun ia ingin semuanya menjadi jelas apa yang terjadi pada anak itu. Maka ia terus mengikuti keduanya dari jauh. Mereka memasuki wilayah lain dari pantai itu. Ada banyak bagunan tersebar . Bangunan mirip rumah kecil berornamen khas dan sebagian besar terbuat dari bahan kayu. antara satu bangunan dengan yang lainnya berjarak berjauhan. Niken tahu itu yang disebut Cottage. Setelah berjalan cukup jauh dari tempat mobilnya akhirnya Niken melihat keduanya memasuki salah satu Cottage yang agak jauh terpencil agak tepisah dengan cottage lainnya. Malam itu bulan tak muncul. Menunggu hingga keadaan semakin gelap lalu perlahan ia mendekat. Seberkas sinar nampak muncul dari sebuah ruangan. Cahayanya membias pada jendela kaca bertirai indah. Ada celah di antara kain tirai yang tersingkap memungkinkan ia untuk melihat ke dalam. Wanita itu nyaris terpekik menyaksikan apa yang terjadi di dalam sana. Alfi dalam keadaan telanjang bulat sedang menindih wanita cantik yang bersamanya tadi. Tubuh Sandra masih memakai lingerie hitam dan keduanya sedang menyatu dalam gairah.<br /><br />Anakkk itu… ia bersetubuhh dengan ibu asuhnya… Meski ia dari awal sudah menduga-duga tetap saja ia sulit mempercayai penglihatannya.<br /><br /><br /><br />Mendadak kedua lutut wanita itu menjadi lemas. Jantungnya berdetak keras sementara napasnya ikut memburu. Ia teringat isi sms di handphone Alfi, ia sungguh tak habis berpikir bagaimana wanita cantik seperti Sandra mau disetubuhi bahkan diperawani anak ingusan yang mempunyai bentuk fisik dan tampang jauh dari harapan para wanita itu. Adegan itu berlangsung cukup lama, semuanya kini sudah jelas bagi Niken. Entah mengapa ia belum mau pergi meninggalkan tempat itu malah terus terpaku di situ. Dari posisinya mengintip nampak jelas Kemaluan Alfi yang besar dan hitam sedang keluar masuk secara cepat di dalam vagina Sandra. Nikenpun terkejut setelah ia melihat ukuran kemaluan Alfi saat benda itu sempat tercabut keluar dari jepitan vagina Sandra.<br /><br />Arkk… Gila…..besarnya…jika tak melihat sendiri rasanya sulit mempercayai anak seusia itu memiliki kemaluan seukuran itu. Benda itu terlihat seperti seekor ulat besar. Begitu besarnya sampai-sampai vagina Sandra terlihat menganga lebar. Vagina Sandra bagai ikut tertarik keluar saat anak itu menarik penisnya demikian pula sebaliknya bibir vaginanya ikut terdorong masuk saat penis Alfi mendesak masuk.<br /><br />“Apakah ukuran kejantanan Alfi yang membuat Sandra tergila-gila?” pikir Niken<br /><br />Beberapa saat kemudian sayup-sayup ia mendengar pekikan kedua insan berlainan jenis yang sedang diamuk nafsu birahi itu.<br /><br />“Kak sandraa….Alfi keluarrrrr!!!”<br /><br />“Fiii kakakkk juga ouhhhh”<br /><br />Entah jijik atau bukan ia tak tahu namun di dapatinya celana dalamnya basah oleh cairan yang keluar deras dari kewanitaannya. Ada perasaan kecewa yang menghimpitnya. Ia bener-benar shock, Alfi murid yang dikenalnya selama ini ternyata tak berbeda dengan pria kebanyakan yang memandang wanita hanyalah sebagai ojek seks belaka. Bahkan ibu asuhnya sendiri ia zinahi. Niken langsung teringat akan perbuatan Doni yang selama ini selalu ‘bermain’ di belakangnya. Ketika segalanya berhenti dan keadaan kembali hening<br /><br />Ia lalu berusaha bangkit dan segera meninggalkan tempat itu.<br /><br /><br /><br />***************************<br /><br /><br /><br />Hari-hari berikutnya telah terjadi perubahan sikap pada Niken. Niken selalu menghindari pertemuan dengan Alfi, Wanita itu selalu pulang lebih awal tak pernah lagi bisa ia temui setelah usai jam sekolah. Awalnya Alfi mengganggap Niken hanya sedang sibuk dengan tugasnya namun setelah berjalan lebih satu minggu Alfi menduga memang sedah ada yang berubah. Yang membuat hati Alfi menjadi sedih, gurunya itu bahkan tak pernah lagi ia melemparkan senyumnya pada Alfi. Untuk menanyakan langsung ia tak mempunyai cukup keberanian, terkadang ia menghayal saat-saat kebersamaan mereka. Suatu hari ia sengaja keluar saat jam pelajaran berlangsung. Dicarinya guru cantiknya itu. Beruntung baginya Niken sedang berada di ruang guru sendirian. Matanya celingukan melihat situasi yang memang sepi tak ada orang lain di ruangan itu. Lalu meski agak takut-takut Ia putuskan juga untuk menemuinya.<br /><br />“Bu..”<br /><br />Niken mengangkat wajahnya saat melihat Alfi ia kembali pada kertas dan penanya<br /><br />“Ya ada apa?” Alfi tak pernah mendengar Niken berbicara setegas ini, ada perasaan takut menjalari hatinya.<br /><br />“Apa salah Alfi bu, kenapa ibu tidak mau Alfi temani lagi”<br /><br />Niken diam tak menjawab. Alfi lemas sepertinya ia menduga apa yang menjadi penyebab perubahan sikap Niken.<br /><br />“ibu …sudah tahu hubungan Alfi sama Kak Sandra?”<br /><br />“Aku melihat apa yang kalian lakukan di tempat itu! Aku sungguh tak menyangka kalau dirimu mampu melakukan hal yang tabu tersebut!”<br /><br />“Tapi kenapa bu? Kak Sandra dan Alfi melakukan itu karena saling suka”<br /><br />“Tapi kamu belum cukup umur!” suara Niken meninggi “dan jika sampai ketahuan suami Sandra pastilah rumah tangganya akan hancur dan apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan suaminya!”<br /><br />“Baiklah mumpung ngga ada orang biar Alfi ceritain semuanya agar ibu ngga bingung”<br /><br /><br /><br />Alfi memutuskan untuk menceritakan segalanya, tak ada yang ia tutupi. Ia percaya dan yakin Niken bukanlah type wanita yang mau membeberkan aib orang lain. Niken tercengang mendengar penuturannya. Ia tak menduga ABGl di hadapannya ini sudah banyak mengalami peristiwa dasyat dalam hidupnya. Ada keibaan timbul dalam hatinya. Sungguh Alfi tak juga dapat disalahkan dalam hal ini. <br /><br />“Ibu sudah tahu semua tentang Alfi kan” ujar Alfi setelah selasai bertutur.<br /><br />Niken masih bingung harus berkata apa, rasanya sulit dicerna akal sehat bagaimana mungkin seorang suami membiarkan calon istrinya yang cantik diperawani anak seusia Alfi. Bahkan tidak hanya Sandra masih ada dua orang wanita yang sampai sekarang bergaul intim dengan Alfi<br /><br />“Ada lagi yang perlu ibu ketahui”<br /><br />“Apa itu Fi?”<br /><br />“Sebenarnya Alfi… cinta pada bu Niken dan Alfi ingin…intimi ibu ”<br /><br />“Ohh!! A..paa!!” Niken tersentak atas pengakuan jujur anak itu, ia tak menyangka kalau selama ini Alfi kecil memendam hasrat untuk melakukan hal-hal yang tabu pada dirinya.<br /><br />“Plaakkk!!!!” sebuah tamparan keras mendarat di wajah Alfi. Niken baru tersadar saat dilihatnya hidung Alfi mengeluarkan darah segar.<br /><br />“Ohh..Ma..afkan ibu Fii, Ibu tidak bermaksud..”<br /><br />Alfi menepiskan tangan Niken yang hendak menggapainya. Wanita itu menjadi serba salah.<br /><br />“Baiklah jika ibu tak sudi lagi melihat Alfi”<br /><br />Alfi berlari pergi meninggalkan Niken<br /><br />“Fii tunggu! biar ibu obati dulu hidungmu…”<br /><br />Alfi terus berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hatinya hancur karena gagal mendapatkan hati wanita pujaannya itu.<br /><br /><br /><br />**************************<br /><br /><br /><br />Sudah tiga hari Alfi tak ke sekolah. Guru wali kelas Alfi memberitahu hal itu pada Niken<br /><br />“Tak ada berita, mungkin bu Niken tahu keadaan Alfi sebab saya lihat dia akrab dengan bu Niken”<br /><br />“Emm Saya juga tidak tahu. mungkin ia sedang sakit bu” <br /><br />“Ya.. baiklah kalau begitu”<br /><br />Setelah seminggu Alfi tak juga kunjung masuk. Niken jadi betul-betul prihatin dan merasa bersalah. Ia menduga pasti penyebab keabsenan Alfi adalah akibat perlakuan kasarnya saat itu. Sungguh ia pun sudah keterlaluan. Jika dipikir-pikir memang tak ada seorangpun yang dirugikan oleh perbuatan Alfi. Wanita itu merasakan ada yang sesuatu hilang. Tiada lagi tawa canda Alfi yang selalu menemaninya saat ia memerlukan teman berbagi. Akhirnya Niken mencoba mendatangi rumah Sandra. Ternyata wanita itu sudah berangkat lagi ke kota G. Saat itu hanya bik Nah yang ada.<br /><br />“Alfi belum pulang non udah seminggu yang lalu dia pamit sama non Dian dan Nadine, katanya ada kemping dadakan dari sekolah” ujar bik Nah menjelaskan.<br /><br />“kemping bik?”<br /><br />“iya non emangnya ada apa non?”<br /><br />“Oh ngga ada apa apa bik. Oh ya apa dia pernah telpon-telpon kemari”<br /><br />“Wah selama bibik disini dia ndak pernah telpon selebihnya ndak tahu ya non soalnya bibik cuma kerja dari jam 9 sampai 12 menunggu sampai non Dian dan non Nadine pada pulang”<br /><br />Niken tercenung, rasanya ia tak harus memberitahu kedua wanita Alfi tersebut. Ia akan berusaha mencarinya dulu.<br /><br />“Yah sudah bik saya permisi dulu”<br /><br />Tak tahu harus kemana Niken kembali ke sekolah. Namun ia belum menginformasikan keadaan Alfi ke pihak sekolah. Ia masih ingin berusaha mencari tahu keberadaan anak itu.<br /><br />Seusai bel sekolah. Ia mulai melaksanakan rencananya. Niken adalah wanita yang cerdas,<br /><br />Ia tahu dimana bisa menemukan Alfi, dipacunya mobilnya menuju ke sebuah tempat yang ia yakini bisa menemukan anak itu.<br /><br /><br /><br />Hari menjelang sore ketika ia sampai di Cottage xxxxx, tempat yang menyimpan sejarah indah bagi si Alfi. Ternyata benar dugaannya. Si resepsionis menjelaskan bahwa memang ada seorang anak sedang menginap sendirian. Kebetulan tempat itu masih disewa selama satu tahun oleh orang tua anak itu. Niken mengaku sebagai tante Alfi agar orang itu mau memberinya kunci serep. Setelah memperoleh apa yang dibutuhkannya, Niken bergegas menuju tempat itu. Niken berhasil masuk, namun lampu cottage semua dalam keadaan mati, dengan hati-hati ia melangkah kuatir tersandung sesuatu dalam kegelapan kamar itu<br /><br />“Fii …apakah kamu di sana?..” Niken mencoba menyapa anak itu.<br /><br />Ia berusaha mencari stop kontak lampu namun terdengar suara anak itu<br /><br />“bu jangan hidupkan lampunya, Alfi mohon..”.<br /><br />Niken mengurungkan niatnya dan bukan main gembiranya Niken mendengar suara Alfi karena usahanya tidaklah sia-sia. Tadinya ia takut sekali anak itu sudah berbuat nekat<br /><br />“Fii! Di mana kamu?”<br /><br />Setelah beberapa detik matanya mulai terbiasa melihat dalam gelap. Barulah ia dapat menangkap bayangan anak itu. Alfi nampak sedang duduk di pinggir tempat tidur di dalam kamar besar. Tubuhnya tertutup oleh selimut tebal, seperti orang kedinginan. Dan memang kondisi kamar itu sangatlah dingin mungkin karena AC-nya dihidupkan selama berhari-hari. Niken mendekat, lalu ia duduk di kasur namun agak berjauhan dari Alfi<br /><br />“Fii .. sukurlah ibu bisa menemukan kamu, ibu seharian mencari kamu..kenapa kamu tidak pulang-pulang dan tidak ke sekolah?”<br /><br />“Kenapa ibu mencari Alfi?”<br /><br />Niken merasa serba salah,<br /><br />“ibu mau minta maaf atas kejadian tempo hari Fi, ibu khilap” ujar wanita itu lirih,<br /><br />namun Alfi diam tak berkomentar.<br /><br />“I..bu ingin mengajak kamu pulang, ibu ingin kamu kembali menjalani hari-hari kamu seperti sebelumnya”<br /><br />“aiii…..” terdengar Alfi menghelah napas “Alfi ngga mau bu..”<br /><br /><br /><br />“Loh kenapa apa mau membuat orang tuamu kuatir atau kamu masih marah sama ibu?”<br /><br />“Alfi ngga pernah marah sama ibu malah Alfi kesal sama keadaan Alfi sendiri, seharusnya Alfi ngga ikut tinggal dengan kak Sandra menjalani hidup normal ditengah-tengah masyarakat, biarlah Alfi besar di tempat Alfi dulu dimana orang-orang tidak pernah mempermasalahkan hal tabu dan tidak tabu, Alfi malu terutama sama ibu…”<br /><br />“Tidak Fii kamu jangan kembali ke tempat itu lagi, kamu juga ngga usah malu ibu sadar kamu tidak salah, ibu juga minta maaf sebab ibu telah lancang mencampuri kehidupan pribadimu”<br /><br />“Pulang sama ibu ya Fi”<br /><br />Niken berusaha mencairkan kekerasan hati anak itu, namun Alfi bersikukuh tidak mau diajak pulang. Tiba-tiba terdengar langkah menuju ke arah pintu kamar diiringi suara tawa cekikikan. Dua orang wanita cantik berbusana minim tahu-tahu menerobos masuk. Seorang berambut berwarna merah sedangkan temannya hijau. Niken dibuat terperanjat oleh kedatangan dua tamu tak diundang tersebut.<br /><br />“Hi jantan, gimana pestanya malam ini jadi ngga? Hi..hi..hi” salah seorang menyapa Alfi dengan gaya nakal tanpa menghiraukan Niken di situ.<br /><br />“s..siapaa kalian masuk tanpa permisi?!” Niken terkejut melihat penampilan mereka yang tidak senonoh.<br /><br />“Wow. wow… rupanya sudah ada yang lebih dulu memacu kuda tunggangan kita” ujar si rambut hijau<br /><br />“ngga papa kan kita kan bisa main berempat” ujar temannya menimpali.<br /><br />Niken sudah dapat menduga-duga siapa adanya kedua perempuan itu. Sehingga timbul kemarahannya<br /><br />“Pergi kalian atau aku panggil satpam buat ngusir kalian!!!” bentaknya<br /><br />“Loh loh di ajak enak kok malah marah-marah, ….ya udah kalau ngga mau”<br /><br />“Yuk kita pergi cari kuda jantan lain saja”<br /><br />“ya cari yang ngga bawa pengasuh” Ujar si rambut merah bernada mengejek sambil ngelonyor pergi diikuti oleh temannya.<br /><br />“Awas kalian!!” kata Niken geram bukan main<br /><br /><br /><br />Setelah kedua perempuan itu berlalu Ia bergegas mengunci pintu depan agar kejadian barusan tidak terulang lagi. Niken menatap Alfi kesal kedua tangan wanita itu berkacak di pinggang. Niken adalah wanita berperangai halus sungguh mengherankan jika emosinya begitu gampang meledak. Ada perasaan yang aneh muncul dengan sendirinya, Ia tidak suka melihat kedua perempuan tadi menyapa Alfi, mungkinkah ia dibakar api cemburu… tidak mungkin…mungkin ia hanya prihatin terhadap perjalanan nasib anak itu, begitu banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya namun Niken masih tak menemukan jawaban. Tanpa Niken sadari rasa simpatinya terhadap Alfi selama ini berubah menjadi kasih sayang. Secara visual Alfi tidak memiliki daya tarik fisik bagi kaum perempuan, wajah tidak bisa dikatakan tampan, tubuh kurus kering, kulit hitam, pakaian selalu lusuh namun di balik itu bola mata yang yang bening masih begitu polos penuh kejujuran. Ia mau mengakui semua perbuatannya. Sedangkan Alfi meski ia masih di bawah umur ia begitu menunjukan perhatian serta kejujuran nya pada Niken. Bahkan terkadang ia seolah ingin melindunginya. Caranya yang polos saat ia menunjukan kasih sayangnya pada Niken. Hal-hal seperti itu tak Niken temukan pada sosok Donie tunangannya. Kembali pada keadaan di kamar cottage, wajah Niken cemberut menunggu jawaban penjelasan Alfi.<br /><br />“Alfi ngga pernah mengundang mereka bu, mungkin tamu lain yang salah masuk kamar soalnya Alfi lihat keduanya lagi teler” ujar anak itu.<br /><br />“Betul kamu ngga pernah boking cewek selama kamu di sini?”<br /><br />Alfi mengangguk<br /><br />“Alfi sudah janji sama kak Sandra, kak Dian dan kak Nadin, Alfi ngga bakalan ‘jajan’, Alfi ngga mau tertular penyakit” ujarnya polos<br /><br />Niken lega ia yakin Alfi tidak berbohong padanya.<br /><br />“Ya sudah Fii, baiknya kita pulang sekarang..” ujar Niken.<br /><br />Ia harus bergegas membawa Alfi pulang agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat mereka hanya berdua dan berada jauh dari orang lain. Siapa tahu ada orang jahat mengincar mereka.<br /><br /><br /><br />“ibu ngga usah takut . Di sini aman kok yang tadi itu cuma kebetulan dan mereka bukan orang jahat”<br /><br />“Tapi kita ngapain lama-lama di sini Fi? Ayo dong ikut ibu”<br /><br />“satu minggu Alfi menunggu dan berharap ibu akan datang menemui Alfi, ternyata harapan itu sudah menjadi kenyataan, kini Alfi tak mau berpisah lagi dari ibu….Alfi sayang…..cinta sama ibu dan Alfi belum mau pulang sebelum……”<br /><br />“Sebelum aapa Fii?…”<br /><br />Sebelum Alfi .. intimi ibu sama seperti Alfi mengintimi kak Sandra dulu di ranjang ini ”ujarnya sambil menatap mata Niken dalam-dalam.<br /><br />Alfi mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia tak kuatir Niken akan menamparnya lagi seperti tempo hari.<br /><br />Deg… Anak ini…rupanya masih tak mau menyerah untuk mendapatkanku pikir Niken. Niken kaget mendengar pengakuan Alfi yang blak-blakan. Bahkan di saat-saat seperti ini anak itu masih sempat-sempatnya merayu. Tak cukupkah kehadiran Sandra dan wanita lain bagi anak itu?. bahkan Ia masih menginginkan dirinya. Ada perasaan aneh menjalarinya ketika teringat persetubuhan Alfi dan Sandra tempo hari. Dan kembali celana dalamnya membasah.<br /><br /> “Ng..ga bolehh Fi, iibu masih.. suci. Lagian ibu sudah resmi bertunangan. Ibu sudah berjanji padanya untuk memberikan milik ibu kepadanya, itupun setelah kami resmi menikah, kamu mau mengerti posisi ibu kan?” ujar Niken setengah berbisik.<br /><br />Ia berusaha menghindar meski ada bagian dari dirinya yang memberontak pada keimanan dan akal sehatnya. Kegelisahannya tentu saja terbaca oleh insting Alfi.<br /><br />“Kalau begitu boleh kan Alfi minta yang lainnya bu?”<br /><br />“y..yangg lainnn A..paa?”<br /><br />“Semuanya kecuali ‘satu itu’ boleh kan Bu?”<br /><br />Belum sempat Niken menjawab, Anak itu menekan tombol lampu kap di sampingnya sehingga menerangi kamar itu. Dan saat itu Alfi membuang selimut yang menutupi tubuhnya ke lantai.<br /><br />“Ohhh!!!” Niken terkejut melihat kondisi Alfi yang ternyata sudah tak dilekati sehelai benangpun.<br /><br />Semua lekuk tubuh telanjangnya jelas terlihat tersorot oleh sinar lampu. Ternyata Alfi sudah bugil sejak pertama ia datang tadi. Hanya saja ia menutupinya dengan selimut ditambah dengan kondisi kamar yang begitu gelap membuat Niken tak menyadarinya.<br /><br />Niken segera memalingkan wajahnyanya, tiba-tiba ia merasa jengah melihat tubuh Alfi yang telanjang. Meski Alfi masih tergolong ABG namun apa-apa yang dimilikinya sudah tumbuh sempurna. Sekejap Niken masih sempat melihat kejantanan anak itu yang besar dan hitam.<br /><br /><br /><br />Secara fisik ia terlihat tak berbeda dengan anak lain seusianya, namun tidak demikian pada bagian vitalnya. Benda itu membesar dua kali lipat ukuran normal. Bertahun-tahun dalam pengaruh lingkungan yang buruk telah membuat ia terpaksa menjadi lelaki dewasa secara instant. Pada tubuh kecilnya itu tersimpan energi untuk menaklukan para wanita di atas ranjang. Tak terhitung berapa pelacur ia tiduri sejak umur 7 tahun hingga saat ini, bahkan saat ini ia tidur dan tinggal satu atap dengan tiga orang wanita yang cantik bak bidadari Sandra, Dian dan Nadine. Semua wanita yang pernah bercinta dengannya berhasil di buatnya tergila-gila akan kejantanannya. Belum hilang rasa terkejutnya tahu-tahu anak itu sudah begitu dekat di hadapannya.<br /><br />“Ibu cantik sekali..” ucap anak itu singkat.<br /><br />“fii kamuu…ngga bolehhh…” hanya itu yang terucap<br /><br />Alfi mengamati wajah cantik di hadapannya. Niken hanya diam saat Alfi menyentuh pipinya dengan jari-jemarinya. Namun ketika jemari itu bergerak menyentuh telinganya tubuhnya menggigil.<br /><br />“Ahh Fiii…” Niken mendesah pelan ada perasaan yang aneh merayapi dirinya.<br /><br />Kemudian Alfi menyentuh bibirnya. Tiba-tiba anak itu mencubit sedikit bagian tengah bibirnya. Saat Niken terkejut, Alfi menarik tubuhnya kedalam pelukan, sesaat kemudian bibirnya telah penuhi dengan ciuman dari anak itu. Niken berusaha menolak tubuh Alfi namun bibir anak itu melekat dengan bibirnya seakan sebuah magnet. tak ada celah yang memungkinkan udara keluar dari mulut keduanya. Lumatan bibir Alfi membawanya pada kenikmatan berciuman yang sempurna. Percuma saja mati matian ia menahan gairahnya yang menggelegak. Gairah itu kini menjalari tubuhnya dengan cepat mengatifkan seluruh syaraf-syaraf kewanitaannya. sementara insting telah mengambil alih kendali pikiran dan mengalahkan akal sehat dan imannya. Pertahanan Niken akhirnya runtuh. Wanita memejamkan matanya menikmati itu semua, bibirnya terbuka perlahan menerima lidah Alfi yang mulai menyusup dan menjelajahi rongga mulutnya, jiwanya semakin melayang saat lidah miliknya bertemu dengan lidah Alfi dan saling membelit satu sama lain.<br /><br />tak ada yang bisa ia lakukan selain merintih mesra. Entah kenapa ia malah mau meladeni perbuatan Alfi padanya. Awalnya ia hanya pasif menerima perlakuan Alfi namun lama kelamaan gairahnya naik dan ia mulai membalas setiap hisapan anak itu.<br /><br /><br /><br />Saat Niken sudah mulai tergoda untuk melanjutkan pada kemesraan yang lebih dalam,<br /><br />selanjutnya Alfi membiarkan wanita itu mengambil alih kendali ketika gairah wanita itu mulai terpancing naik. Terkadang ia malah menggoda Niken dengan melakukan gerakan lidah rotasi atau memutar. Tekadang gerakkan lidahnya ke kiri, ke kanan, ke atas dan bawah. Sehingga Niken penasaran mengejar lidahnya. Nafas keduanya memburu. Dua menit ciuman panas itu baru terlepas napas Niken terengah-engah. Namun bibir Alfi menjelajah pada sasaran lain. Lidahnya menyapu cuping telinga wanita itu. Sesekali ia lakukan gigitan-gigitan kecil membuat Niken terpekik geli.<br /><br />“Fii..kamu anak nakal!!” Wajah wanita itu merona merah. Ia tak menyangka ia meladeni ciuman Alfi barusan<br /><br />Niken sadar anak itu sudah sedemikian ahli dalam soal bercumbu. Ia jadi teringat adengan Sandra dan Alfi malam itu lalu juga kisah perjalanan asmara Alfi. Semuanya membangunkan gairah wanita dewasa itu. Ini pertama kali baginya melakukan hubungan yang demikian intim dengan lawan jenisnya. Ciuman Alfi telah kembali ke bibirnya. Pada ciuman kedua ini Niken langsung membalas pagutan Alfi seakan ia betah berlama-lama seperti itu. Ia mulailah perlahan menuju bagian tubuh sensitif lainnya. Leher jenjang Niken dikecupi. Lalu perlahan makin turun hingga pada belahan dada putih wanita itu. Niken makin melayang, antara sadar dan tidak sadar ia membiarkan Alfi melepas satu persatu kancing bajunya. Saat itu ia memakai baju terusan, dengan mudah baju itu meluncur jatuh kelantai saat semua kancingnya terlepas. Kini nampak payudara Niken yang masih terbungkus indah oleh sebuah bra berenda-renda hitam. Warna yang kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Namun anak itu tak mau benda itu menghalangi hasratnya, ia tahu segera melepas pengaitnya. Alfi menggigil saat ke dua daging kembar itu menyembul dari balik pembungkusnya. Kedua benda itu mengantung indah dan sempurna, kedua puting susunya bersemu kemerahan. Alfi tak mengira betapa keberuntunganya ia malam ini. Milik Niken yang selalu diidamkan setiap pria di sekolahnya kini terpampang di hadapannya. Payudara Niken belum terjamah oleh siapapun kecuali dirinya.<br /><br /><br /><br />Niken sendiri sudah terperangkap dalam hasrat birahinya sendiri, ia tak hanya tak kuasa menolak perlakuan Alfi. Malah kini cenderung memberi peluang anak itu bertindak lebih jauh. Ia menikmati setiap jamahan Alfi pada tubuhnya. Matanya terpejam hanya rasa malu yang masih tersisa, selama ini belum pernah ada laki laki yang berani menjamahnya termasuk Doni tunangannya. Mereka berdua telah berkomitmen untuk tidak melakukan kemesraan dalam bentuk apapun hingga mereka menikah. Namun saat ini yang terjadi adalah ia tak berdaya menolak seorang bocah dibawah umur tengah berusaha mencumbuinya. Perlahan cumbuan Alfi berpindah ke dadanya yang kenyal, Alfi membuka mulutnya lebar-lebar, lalu perlahan dibenamkannya ke salah satu puting susu wanita itu lalu menghisapnya kuat. Alfi biasa mengemut dalam waktu yang lama bagai seorang bayi kehausan. Setelah puas menyusu, lidahnya menjilat ke seluruh permukaan bukit kembar itu seolah menjilat ice-cream. Kedua puting susu itu dihajar secara bergantian hingga mengacung tegak kedua-duanya.<br /><br />“Oohh… oohhhh… ooohhhhhh Fiiii geliiiiiii” suara rintihan Niken tak lagi tertahan. Tubuhnya mengelinjang gelinjang karena nikmat akibat perbuatan nakal bocah itu. <br /><br />Putingnya yang di’perawani’ Alfi menjadi sangat sensitif, anak ini benar-benar berpengalaman melakukannya. Alfi baru mendapatkan sebagian impiannya, ia selalu tak pernah gagal mendapatkan sisanya apabila sudah di tahap ini. Alfi kembali menetek sejak usia tujuh tahun pada banyak wanita, ia sudah tahu benar bagaimana menyenangkan seorang wanita melalui benda itu. Niken tak berbeda dengan ketiga ‘istri semu-nya’. Begitu menyukai putingnya dikerjai lama-lama. Alfi ingin meninggalkan kesan yang mendalam bagi wanita itu. Niken tak menyadari tubuhnya kini sudah terbaring diatas kasur, dadanya terlihat naik turun mengiringi nafasnya yang mulai tak beraturan. Sejak tadi celana wanita itu sudah terasa sangat basah oleh cairan bening yang terus menerus mengalir keluar dari kemaluannya. Sambil terus menyusu tangan Alfi mulai mengelus-elus permukaan perut Niken yang rata. Jemarinya bermain disekitar pusar wanita itu. lambat laun bergerak menjelajah semakin ke bawah meraba bagian dalam paha.<br /><br />perlahan menelusup ke pangkal paha, dan mulai mengelus gundukan bukit kemaluan Niken yang masih tertutup celana dalam renda-renda hitam. Lalu jemarinya menemukan gundukan itu sudah basah dengan sebuah garis membelah tercetak pada permukaan kain itu<br /><br /><br /><br />Tangan Alfi meremas lembut gundukan itu dan menggunakan jari tengahnya mengusap belahan tipis tersebut, perlahan ke atas dan kebawah. Niken menggigil rangsangan yang tiada henti silih berganti. Hingga akhirnya jemari alfi bergerak ke samping. Jemari Niken berusaha mempertahankan penutup tubuhnya yang terakhir ketika ia rasakan Alfi perlahan berusaha menariknya ke bawah.<br /><br />“Ohhh!! Fiii.. jangannn yang ituuu … …” ujar wanita itu lirih<br /><br />Alfi melepaskan cumbuannya pada dada Niken, berangsur kecupan-kecupannya turun semakin ke bawah. Lalu ia sampai pada tempat yang paling diinginkannya. Percuma saja ia berusaha merapatkan kedua kakinya. Kepala Alfi sudah terlebih dulu masuk di antaranya. Alfi berhasil membenamkan wajahnya pada selangkangannya. Walau masih tertutup oleh celana dalam, lidahnya menjilati seluruh permukaan kain lembut itu. Gundukan itu semakin basah oleh air liur Alfi terutama pada belahannya. Jemarinya tak kuasa lagi mempertahankan celana dalamnya ketika untuk kedua kalinya Alfi menariknya.<br /><br />benda itu akhirnya menyusul lepas sehingga kini tubuhnya yang indah sudah tak tertutup selembar benangpun. Meski sudah sering menggauli wanita cantik, Alfi tetap saja terpana oleh kemolekan tubuh Niken, gurunya yang cantik yang selama ini selalu ia dambakan termasuk setiap lelaki di sekolahnya. Alfi menyimpan perasaan yang berbeda terhadap Niken. Cinta telah berangsur tumbuh dalam hati bocah cilik ini lebih dari dalam dari cintanya pada wanita-wanita lain yang pernah ia kencani sebelumnya.<br /><br />“B..buuu…ibuuu..cantikkk sekalii….” Bisiknya lirih namun terdengar oleh Niken<br /><br />“Fiii..kamu liat apaaa?…..aaa”<br /><br />Dengan ke dua telapak tangannya Niken secara spontan menutup selangkangannya karena malu. Wajah anak itu hanya beberapa mili dari miliknya yang paling pribadi. Alfi mengecupi kedua paha berkulit halus terawat pelan-pelan hingga ke sekitar selangkangan termasuk jemari lentik Niken. Tak ada bagian tubuh wanita itu yang tidak indah, semuanya sempurna. Lama Alfi bermain di situ, perlahan jemarinya membuka dengan sendirinya. Niken hanya terlentang pasrah. Semuanya sudah terlanjur sulit untuk dihentikan lagi. Kini tak ada penghalang lagi bagi mulut dan lidah Alfi untuk mengeksplorasi bagian paling intim milik gurunya yang cantik itu. Harum khas bagian itu menggelitik seluruh syaraf kejantannya.<br /><br /><br /><br />“Ohhh…” desah Niken saat Alfi mengecup lembut belahan bibir kewanitaannya.<br /><br />Alfi mengecup lagi.. dua kali…tiga kali..lidahnya disapukan dari dari bawah hingga ke atas. Crass..crasss..cairan memancar meleleh keluar dari belahan cantik itu. Dengan penuh ketelatenan dia melahap dan menghisap tiap mili vagina Niken yang sudah basah itu, lidahnya dengan liar menjilati dinding vagina dan sesekali sapuannya menyentuh klitoris. Bocah itu mengerahkan seluruh kepandaian yang ia punyai, ia ingin memberikan yang terbaik bagi pujaan hatinya itu. Alfi tahu klitoris adalah bagian genitalia wanita yang paling sensitif, melebihi vagina. Berkat pengalaman lidahnya segera menemukan letak benda mungil tersebut. Jilatan lidahnya segera ia pusatkan ke situ, ia memulai menjilat dengan lembut. Secara perlahan-lahan sekali, lalu gerakan lidahnya dipercepat dan tekanannya makin kuat. Kelincahan lidahnya bergerak memberikan sensasi luar biasa bagi Niken. Sesekali Alfi menggunakan bibirnya untuk menghisap benda mungil itu seakan-akan ia berciuman dengan vagina Niken. dan secara bersamaan lidahnya menggelitik klitorisnya yang berada di tengah dengan gerakan lidah. Perlahan, kuluman dan jilatan pada benda mungil nan cantik itu membuatnya mengeras bak sebuah kacang. Niken terpekik pekik-pekik kecil dibuatnya. Rasa geli dan sengatan birahi membuat Niken semakin tak mampu menahan laju gairah Alfi. Kedua paha mulusnya mengepit kepala Alfi. Anak ini benar benar sudah sangat berpengalaman. Perlakuannya sungguh membuat Niken serasa terbang, tubuhnya menggelinjang-gelinjang geli diiringi erangan nikmat. Sampai akhirnya sebuah orgasme datang menyapanya untuk pertama kali dalam kehidupan wanita itu.<br /><br />“Auuuwwwwwww!!!!…Fiiiiiiiiii!!!!!!!!” Wanita cantik itu terpekik tak kuasa menahan rasa geli dan nikmat<br /><br />Otot-otot vaginanya mengejang dahsyat, berkontraksi kuat dan berirama, cairan cintanya memancar lebih banyak lagi hingga tumpah di sprey putih.<br /><br />“Inikah yang disebut orgasme? Begitu dasyat kenikmatan yang kurasakan. Tapi aku memperoleh orgasme pertamaku dari jilatan-jilatan lidah seorang anak kecil di bawah umur …muridku sendiri” pikir Niken.<br /><br /><br /><br />Niken rasakan sekujur tubuhnya menggigil. Kesadaran wanita itu sejenak hilang, pandangannya nanar, serasa jiwanya melayang tinggi, raganya serasa terendam ke dalam samudera kenikmatan ragawi yang tak bertepi. Secercah cahaya putih yang berpendar di matanya lalu menjadi kabur. Entah berapa lama ia tak sadar. Lalu perlahan-lahan bisa ia rasakan kesadarannya berangsur pulih. Masih ia rasakan lidah anak itu menyapu dan menjalari seluruh relung vaginanya, menghisap habis tiap tetes cairan cintanya tanpa sisa. Sesaat kemudian Niken baru menyadari bahwa Alfi telah mengambil posisi menindihnya, dan tubuh anak itu di antara kedua kakinya. Kedua paha putihnya masih terpentang lebar telah memberi jalan bagi Alfi.<br /><br />“Alfi… kamu mau apaaa?..”<br /><br />“Ibu pernah petting ngga?” bisik Alfi<br /><br />Niken menggeleng, ia sungguh tak mengenal istilah tersebut meski ia seorang guru bahasa Indonesia.<br /><br />“Kita cobain yuk”<br /><br />Niken terkejut saat Alfi mengarahkan penisnya ke arah vaginanya.<br /><br />“Fii..jangan….ibu ngga mauu”<br /><br />“ngga pa pa… Alfi cuma mau masukin kepalanya aja trus Alfi cabut lagi” Alfi mengosokan ujung penis ke atas dan kebawah pada bibir vagina Niken<br /><br />“ja..ngannn Fiiiii ..ohhhhh”<br /><br />Alfi dalam posisi yang tepat sehingga Niken tak kuasa mencegahnya.<br /><br />Leppp!!! Ujung kulup Alfi yang mbdol besar itu lenyap juga membelah dan masuk ke belahan liang cinta Niken.<br /><br />“Auuhhh..sakiittt!!” wanita itu terpekik oleh rasa nyeri yang menjalar saat ‘liang kewanitaan’nya dikunjungi penis Alfi<br /><br />Niken segera mendorong perut anak itu hingga titit Alfi melenjit keluar lagi, ia silangkan kedua pahanya untuk menutup jalan Alfi. Ada perasaan takut akan kehilangan kewanitaannya. Niken menatap selangkangan anak itu. Benda dahsyat itu teranguk-angguk. Ujungnya bulat mirip cendawan dan basah berlumuran lendir.<br /><br />“Uh..pantas agak nyeri pikirnya. Ternyata besar sekalii…. Nyaris melebihi bola pingpong.”<br /><br />Ia heran, Bagaimana mungkin anak ini mempunyai kemaluan sedemikian besar. Meski demikian Niken tak memungkiri penyatuan yang hanya berlangsung satu setengah detik tadi sempat menimbulkan nikmat yang luar biasa.<br /><br /><br /><br />“ngga sakit lagi kan bu? Alfi masukin lagi ya bu seperti tadi?”<br /><br />“ngga mau ah”<br /><br />“kenapaa buuu?”<br /><br />“punya kamu besar banget. Nanti perawan ibu robek!”<br /><br />“Buuu..tadi itu enak sekalii…Alfi boleh dong minta lagiii..” ujar Alfi memelas ia takut Niken mengakhiri permainan ini<br /><br />“Alfi janji ngga sampe mecahin selaput dara ibuu, boleh ya buu..?<br /><br />Niken jatuh iba melihat anak itu merengek-rengek, meski ia ragu dan takut untuk melangkah lebih jauh akhirnya ia putuskan memberi jalan Alfi memasukinya.<br /><br />“Betul..ya Fiiii jangan sampai kena selaput ibu”<br /><br />“He e , Alfi janji ngga dalem-dalem”<br /><br />Alfi membuka kedua paha mulus wanita itu, lalu ujung penisnya kembali membelah garis tipis kewanitaan Niken. Leppp!!! kepala penis berkulup itu masuk untuk kedua kalinya<br /><br /> “Aduhhh……Fiiiii”<br /><br />Niken mengeliat saat benda itu kembali bersarang di kewanitaannya, nyeri menyapanya namun diiringi geli dan nikmatnya bukan kepalang. Setelah masuk Alfi menahannya lebih lama dari tadi. Pinggul Alfi mulai bergerak mundur maju mengocok lembut vagina wanita itu. Ia tarik mundur sedikit namun tak sampai penisnya lepas tercabut lalu kembali melesak masuk lagi sedalam tadi. Memang tak banyak gerakan yang dibuat Alfi, namun itu cukup untuk membuat Niken menggelinjang nikmat. Pompaan kecil itu berlangsung lima menit hingga Alfi menjerit tertahan.<br /><br />“Buuu Nikennn sayangggg!! Alfi sampeee…. Arrgggg!!!”<br /><br />Alfi berupaya menahan laju spermanya keluar. Namun sia-sia, semakin ia tahan, gatal dan nikmat itu semakin tak tertahankan. Saat cairan itu menjalar perlahan dan tertahan pada lubang kencingnya. Mata Alfi mendelik hingga tinggal bagian putihnya. Niken bingung harus berbuat apa saat menatap ekpresi wajah Alfi yang bagai kesakitan.<br /><br />Tapi ia tahu anak itu sedang merasakan nikmat luar biasa<br /><br />“ohh..Fiiii… jangan di..cabutt..keluarinnn di dalam punya ibuu…” bisik wanita itu tersengal-sengal karena nafsupun mengukung dirinya.<br /><br />Alfi betul-betul tak menyangka Niken membiarkannya untuk berejakulasi di dalam vaginanya.<br /><br /><br /><br />Ucapan Niken berdampak besar bagi bocah itu. Gairah dan gejolak seksual semakin lepas kendali. Perasaan sayangnya yang menggebu terhadap Niken membuatnya mengalami kegagalan kali ini. Biasanya ia masih bisa mengulur-ulur waktu. Namun kali ini ia sudah tak mampu menahannya lagi. Saat itu juga Alfi memekik kuat sambil melepas orgasmenya<br /><br />“Yaarrrggggghhh…”<br /><br />Crettt..crettt..crotttt!!<br /><br /> “Ouhh..Fii..Fiii..Fiii” desah Niken lirih ketika benih cinta Alfi memancar dari lubang kencingnya menyirami relung-relung kewanitaannya.<br /><br />Dirasakannya penis anak itu berdenyut-denyut keras masih memancarkan cairan kental dan hangat dalam kewanitaannya. Begitu dasyat kenikmatan diterima Alfi. Niken adalah wanita pertama yang mampu membuatnya berejakulasi lebih dulu. Vagina wanita itu seakan betul-betul tercipta untuk menaklukan keperkasaannya. Alfi ambruk di dada Niken. Setengah menit Alfi berusaha menarik nafas sementara wanita itu membelai-belai rambutnya.<br /><br />“Ma kasih Bu.. Alfi jadi tambah sayang sama ibu” bisiknya Alfi masih penasaran<br /><br />“Dasar anak nakal, pintar ngombal”<br /><br />“Cuma ibu yang bisa bikin Alfi muncrat duluan…”<br /><br />“Betulkah?”<br /><br />“He e… Alfi kalah sama ibu, punya ibu enak sekali..”.<br /><br />Niken tersenyum ada rasa bangga dalam hatinya dapat menaklukan jantan kecil ini.<br /><br />ia berharap Alfi cukup puas tanpa harus merengut keperawanannya. Niken perlahan mendorong perut Alfi. Air mani Alfi meleleh tumpah di sprey. Namun wanita itu terkejut saat mendapati kenyataan, begitu cepat penis anak ini menegang lagi. Seharusnya seorang lelaki butuh istirahat untuk memulihkan tenaga kembali telah membuang spermanya begitu banyak. Tetapi tidak bagi Alfi<br /><br />“Ohh Fii.. itumuu ..be..besar…lagii”<br /><br /><br /><br />Alfi memberi waktu buat Niken itu mengamati barang miliknya yang berangsur membesar kaku. Bagi Niken benda itu terlihat aneh kepalanya jauh lebih besar dari batangnya. Benda yang tadi sempat masuk ke dalam miliknya. Alfi tak mau berlama-lama ia takut gairah Niken menurun bahkan hilang. ia gosokan penisnya ke atas dan ke bawah belahan vagina gurunya menyentuh klitoris lalu lalu perlahan bulatan kepala masuk hingga membentur selaput dara Niken.<br /><br />“uhh.. dia masuk lagiii” gumamnya lirih.<br /><br />Kali ini Alfi tak ingin kalah lagi. meski Niken memiliki jepitan mulut vagina sangat istimewa nikmat. Namun Alfi sesudah orgasme satu kali penisnya sudah jauh lebih tahan.<br /><br />“ougggggh…Fiiiiii”<br /><br />Alfi mengocok dengan cepat. Niken terbuai dan larut dalam goyangan birahi Alfi.<br /><br />Matanya terpejam menikmati persetubuhan ini. Ia masih sulit percaya membayangkan yang sedang dicumbui oleh seorang ABG berumur 16 tahun. Penis anak itu meluncur mulus sampai menyentuh selaput daranya. Niken mengerang setiap kali Alfi menyodokkan penisnya. sesekali penis Alfi terlepas. Alfi mulai percaya diri,<br /><br />“Oughhh Fiiii.” desah wanita itu.<br /><br />Alfi tahu gesekan dan sodokannya akan berhasil membawa wanitanya menuju ke puncak kenikmatan. Semakin cepat..cepat..dan..<br /><br />“Arrrrgggg……….Fiiiiiiiiiiiii !!!!!!!” Wanita itu menjerit mendapatkan orgasmenya.<br /><br />Tiba-tiba vagina Niken mencengkram hebat penisnya jauh lebih keras dari sebelumnya.<br /><br />Alfi terpekik tertahan tak menduga vagina wanita itu menjadi begitu nikmat. Alfi tahu satu dua kocokan lagi ia pasti sudah muncrat lagi. Namun ia berusaha bertahan sedikit lagi. Dalam hitungan detik setelah ia yakin Niken telah mendapatkan kenikmatannya<br /><br />bocah itu kembali melepas benih cintanya di sertai pekik kenikmatan.<br /><br />“ohhh buuuu.. Alfi keluarrr laagiii!!!!!!”<br /><br />Alfi memeluk gurunya itu dengan erat. Membenamkan kepala kecilnya pada dada Niken yang empuk.<br /><br />“Buuu Alfi sayang ibu…”bisiknya.<br /><br />“Ibu juga sayang kamu fi…”<br /><br />“benarkah?” Alfi mengangkat wajahnya untuk memandang wajah Niken seolah tak percaya dengan ucapan ibu gurunya yang cantik itu.<br /><br /><br /><br />Niken tersenyum dan mengangguk. Di tekannya kepala Alfi kembali ke belahan dadanya.<br /><br />Dan dibelainya. Ia tak tahu tiba-tiba ia merasakan benih-benih kasih sayang timbul dan menguat terhadap Alfi. Apakah perasaan ini yang muncul pada Wanita-wanita Alfi sebelumnya? Sehingga mereka rela menyerahkan milik mereka yang paling berharga…keperawan. Napas Alfi masih agak tersengal-sengal. Menaklukan wanita yang satu ini sungguh telah menguras tenaganya. Penisnya perlahan kembali keukuran semula dan terlepas dari vagina Niken. Mereka berdua akhirnya jatuh tertidur. Entah berapa lama Niken tertidur, saat ia terbangun Alfi masih dalam posisi menindih tubuhnya. Alfi sudah duluan terjaga dan kini sedang menetek padanya.<br /><br />“Ahh.. ia ereksi lagi” desah Niken sambil menarik napas panjang<br /><br />Ia merasakan benda itu kembali ‘bangun’ di atas bukit kewanitaanya padahal baru satu jam yang lalu ia dan Alfi bergumul. Kini anak itu menginginkannya lagi Niken tak tahu ia harus kuatir atau senang. Petting barusan nyaris merusak selaput daranya. Karena penis Alfi menerobos terlalu dalam. Beberapa jam ini ia cukup kelabakan menangani napsu anak ini yang tak kunjung reda. Dua kali ejakulasi tak cukup bagi Alfi, anak itu telah mengenalkannya pada dunia yang tadinya dianggapnya tabu mulai dari nikmatnya saling melumat bibir hingga petting. Niken merasa ia harus berusaha menghindari Alfi, ia takut makin terhanyut oleh permainan anak itu hingga akhirnya harus menyerahkan miliknya yang paling berharga. namun selalu seperti sebelumnya, ia tak bisa. Ia tak sanggup menolak. Naluri kewanitaannya juga menginginkan belaian-belaian dari bocah itu.<br /><br />Kenikmatan itu begitu memabukkan, membuatnya ketagihan<br /><br />Ughh…penis anak itu kembali menancap menyumbat jalan di mana bayi-bayi Niken akan lahir kelak. Gatal nikmat menjalar cepat menyengat selangkangannya akibat ujung sengat Alfi yang masih berkulup penuh.<br /><br />“Bu….”<br /><br />“Egg?”<br /><br />“boleh ya bu, kali ini … Alfi masukan semua titit Alfi kepunya ibu?”<br /><br />Niken telah menduga sejak awal kalau akhirnya anak ini akan meminta hal itu juga.<br /><br />“Jangan fii …, Alfi kan sudah janji . tidak akan melakukan lebih dari hanya sebatas petting..”<br /><br />Dengan akal sehatnya Niken masih berusaha mengendalikan hasrat pada dirinya yang juga menggelora. Niken bukan tidak tahu resiko permainan apinya dengan Alfi .<br /><br /><br /><br />Hanya tinggal satu langkah lagi ia dan Alfi akan melakukan apa yang hanya boleh ia lakukan dengan Donie sebagai suaminya yang sah kelak. Apabila ini terjadi ia tak bisa mundur lagi ke belakang menjelang pernikahan dengan tunangannya dua bulan lagi.<br /><br />Bagaimana jadinya kalau Donie mempermasalahkan keperawanannya di malam pertama mereka nantinya. Tidak semua laki-laki seperti Didit yang mau menerima wanita yang sudah tidak suci lagi sebagai istrinya<br /><br />“Alfi ngga mau ingkar janji sama ibu, tapi…kalau ibu ijinkan meski hanya sekali ini saja Alfi ingin menjadi laki-laki pertama yang ngentot sama ibu, dibunuh sama pak Donie pun Alfi rela demi cinta Alfi sama ibu”<br /><br />Niken nyaris tertawa mendengar celoteh dan rayuan anak itu. Rengekan seorang bocah polos. Mekipun dalam hatinya ia mengakui kejantanan Alfi. Namun ada beberapa hal yang membuat dirinya tidak dapat mengabulkan keinginan Alfi. Baginya Petting sudah merupakan tahap terakhir yang dapat ia berikan untuk anak itu. Alfi merasa kecewa ia tahu ia tak mungkin memaksa Niken. Ia maklum Niken pasti tidak mau menyerahkan keperawanannya. Namun Ia sudah bersukur Niken mau meladeninya hingga pada tahap ini. Alfi masih menindih tubuh sintal guru cantiknya itu Ia terus menerus memberikan rangsangan terhadap tubuh Niken, mulutnya menghisap kuat puting sebelah kiri payudara putih Niken karena ia tahu yang kirilah yang paling sensitif. Sementara kepala penisnya tetap bergerak keluar masuk dalam kelopak vagina wanita itu, ini adalah posisi paling di sukai Sandra dan kedua temannya, demikian pula dengan Niken. Ia merasakan kenikmatan ganda. Hanya Alfi yang bisa melakukan persetubuhan sambil menetek berbarengan secara sempurna. Karena usianya masih di bawah umur sehingga tubuhnya yang jauh lebih pendek dari wanita dewasa bertubuh setinggi Niken. Hal itu memungkinkan ia mendapat posisi yang ideal. Hampir satu jam lamanya ia melakukannya. Entah kenapa Alfi tak kunjung ejakulasi padahal Niken sudah empat kali memperoleh orgasme. Semakin lama vaginanya semakin sensitif terhadap rangsangan. Bahkan orgasme yang terakhir barusan nyaris membuat air kecingnya ikut memancar keluar bersama cairan cintanya. Rasanya ia tak mampu terus menerus melawan kemesraan yang diberikan Alfi padanya<br /><br /><br /><br /> “fiii……masuk..kan…semuaaa, ibuuu tak tahann lagiii ohhhh…” akhirnya Niken berbisik demikian ke telinga Alfi<br /><br />Alfi bukan main terkejut namun gembira mendengar penyerahan terakhir wanitanya itu, sungguh ia tak menyangka akhirnya gurunya mengijinkannya melakukan penetrasi penuh ke liang senggamanya yang masih perawan.<br /><br />“ughhh buuu.… Alfi entot ibu sekarang ya?” ujar bocah itu lirih<br /><br />“Iya fii..iya.. milikii ibuu sayangg!!!! Ohhh!!” rintih wanita itu. Tak ada rasa malu yang tersisa<br /><br />Niken sudah tak peduli lagi terhadap statusnya sebagai seorang pendidik atau sebagai calon istri Donie ….bahkan… pada kehormatannya yang bakal terengut. Birahinya sudah sampai pada titik puncak Kini ia hanya butuh penuntasan dari sang murid yang sedang menggumulinya. Tak membuang waktu Alfi mendekap tubuh sintal sang ibu guru yang cantik itu. Mulutnya menyergap kembali putting sebelah kiri Niken. Melumatnya untuk meningkatkan rasa nikmat bagi wanitanya sebelum penyatuan itu terlaksana. Petting yang mereka lakukan sejak tadi sebenarnya sudah nyaris merobek selaput dara wanita itu.<br /><br />Hingga tak terlalu sukar bagi penis Alfi melakukan penetrasi total. Alfi menurunkan pinggulnya dan dengan satu hentakan lembut kewanitaan Niken merengang dan terkoyak<br /><br />“Awww.. Fiiiii….Sakiiiiiiiit!!!” pekik Niken lirih perih saat selaput daranya robek, jemarinya mencengram pinggul Alfi.<br /><br />Penis bocah itu terus mendesak masuk perlahan menjamahi semua keindahan yang sudah sekian lama didambakannya di dalam sana hingga akhirnya berhenti setelah ujungnya yang berkulup menyentuh dasar liang cinta itu. Untuk kesekian kalinya bocah ini berhasil merengut keperawanan seorang wanita dewasa yang juga cantik dan menggiurkan tak kalah dari wanita-wanita sebelumnya. Darah keperawanan wanita itu meleleh membasahi serey putih di bawahnya. Penantian Alfi selama ini telah menjadi kenyataan, kini sang ibu guru yang cantik sudah menyerah secara utuh dalam dekapan eratnya.<br /><br /><br /><br />Kulit Niken yang halus lembut bersentuhan tanpa penghalang dan batas apapun dengan tubuh kasar Alfi. Kemaluan mereka bertaut erat menyatu dengan sempurna seakan penis Alfi memang tercipta bagi vagina Niken begitupun sebaliknya. Alfi merasakan nikmat dalam liang perawan ketat yang itu berdenyut melumat seluruh batang penisnya<br /><br />“Ougghhh..Fiii…pelann pelannn…”<br /><br />Niken mulai merasakan sengatan nikmat melanda selangkangannya meski sakit masih ia rasakan. Tak ingin wanitanya mengeluh, Alfi mengocok lembut daging kejantanannya.<br /><br />Ditariknya sedikit sejauh satu senti menghujam lagi perlahan hingga menyentuh dasar rahim lalu dua detik ditahannya di sana. Berulang-ulang ia ulangi gerakan itu<br /><br />“Ouhh…uuu..Fiii”<br /><br />Niken mengangkat pinggulnya bila titit Alfi ditarik keluar, begitupun bila penis Alfi menekan masuk, ia mengikuti arah gerakannya. Vaginanya begitu penuh sesak oleh daging cinta hitam milik Alfi. Gatal dan nikmat makin tak tertahankan. Ketika orgasmenya datang Niken pun terpekik<br /><br />“Fiiiiiiiiii!!!!!!!!……Oughhhhh……”<br /><br />Wanita itu mempererat dekapannya. Kedua kakinya melingkar dipinggul Alfi dan menekannya. Ini orgasme Niken yang pertama hasil persetubuhan secara penuh dengan Alfi. Bola mata Niken lenyap hanya tinggal putihnya. Cairan cintanya memancar deras, sungguh tak terkira nikmatnya, jauh lebih nikmat dari sebelumnya, bahkan berjuta kali jauh lebih nikmat dari petting barusan. Alfi tahu apa yang harus ia lakukan saat itu,<br /><br />Ia berusaha menambah sensasi kenikmatan orgasme bagi Niken. Sambil bertahan ketika vagina Niken berkontaksi melumat penisnya, ditekannya benda itu sedalam dan selama mungkin pada kemaluan wanita itu. Lalu dikerahkannya kekuatan otot kemaluannya untuk membuat denyutan-denyutan berirama dan keras, nampaknya ia berhasil. Vagina Niken masih terus menghisap penisnya hingga satu menit.<br /><br />“Buuu….Nikennn…enaakkkkkk!!”Alfipun terpekik dalam sensasi nikmat.<br /><br />Alfi menggigil menahan nikmat namun ia tak mau berakhir secepat itu. Spermanya seakan ingin meledakan di ujung penisnya namun masih dapat ia pertahankan sekuat tenaga.<br /><br /><br /><br />Alfi tetap mengocok penisnya kali ini secara cepat. Niken terkejut gerakan Alfi kali ini membuatnya begitu cepat melambung<br /><br />“Ohh.. Alfiiii… kamu kuat sekaliiiii”<br /><br />Nampaknya sesi kali ini tidak berlangsung lama, baik Alfi maupun Niken tak mampu lagi bertahan.<br /><br />“Bu Niken sayaaang…Alfiii sudah mau keluaarrr!!”<br /><br />Niken mengeratkan jepitan kakinya pada pinggul Alfi mencegah anak itu untuk mencabut penisnya. Segera hanya hitungan detik, orgasme dasyat melanda keduanya. Seketika itu juga Alfi menekan tititnya secara penuh dan membentur mulut rahim Niken<br /><br />“arrrggghhhhh…Fiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” jerit Niken<br /><br />Vagina indah Niken berkontraksi hebat melumat tiap senti daging penis Alfi, menghisapnya dengan segenap cinta dan kepasrahan. Alfi pun mendekap erat pujaannya.<br /><br />“Ouggghhhhh..Buuuuu!!!!!!..Alfi keluarrrrrr!!!!” pekiknya merasakan kenikmatan yang datang jauh lebih dasyat dari pada sebelumnya. <br /><br />Nampaknya kali ini Alfi tak mampu bertahan lagi. Pertahannya runtuh oleh nikmatnya lumatan dasyat vagina Niken sungguh membuat kejantannya tak berdaya. Penis anak itu berdenyut denyut kencang, air mani yang tersimpan dalam testisnya selama hampir satu jam ini tak tertahankan meletup dari ujung kepundannya dan memancar deras pada tiap denyutannya. Denyutan yang menghentak berulang-ulang jauh lebih dering dan keras dari biasanya, Alfi seakan-akan ingin mengosongkan seluruh isi testisnya ke dalam rahim pujaan hatinya itu. Orgasme dasyat itu berlangsung sekitar satu setengah menit namun bagi Niken dan Alfi bagaikan satu abad lamanya. Setelah orgasme Niken mereda dan kesadaran kembali pulih, ia berusaha mengatur napasnya. Penis Alfi pun masih menancap ketat.<br /><br />“Uhh..Fiii…cabut duluu sayanggg” pinta Niken lirih ketika ia rasakan kewanitaanya agak ngilu.<br /><br /><br /><br />Alfi mencabut perlahan meski ia masih ingin berlama-lama di dalam situ.<br /><br />“Plokk…” saat benda itu terlepas sebagian sperma Alfi tumpah ke seprey. Niken memperhatikan bercak-bercak darah yang bercampur lendir putih menempel pada penis Alfi. Secara naluriah ia tahu kewanitaannya pasti telah robek direngut oleh bocah itu.<br /><br />Di kamar dan di tempat tidur ini dulu Sandra menyerahkan kesuciannya pada Alfi dan kini iapun mengalami hal yang sama. Anak itu telah mengambil apa yang menjadi hak Donie calon suaminya. Alfi mengecup pipi Niken, anak itu tak dapat menyembunyikan kebahagianya, apa yang diidamkannya menjadi kenyataan sudah.<br /><br />“Ma kasih ya bu, sudah ngebolehin Alfi begituan sama ibu. Alfi sayang banget sama ibu…Alfi cinta ibu….”<br /><br />“Kamu bocah nakal… kamu tahu kamu telah menodai ibu gurumu sendiri”<br /><br />“Alfi ngga peduli , Alfi mencintai ibu walau Ibu telah menikahi pak Donie nantinya”<br /><br />“Setelah apa yang engkau lakukan apakah kamu masih memanggilku ibu?”<br /><br />“biarlah Alfi tetap memanggil ibu”<br /><br />“Bu..tadi Alfi muncratnya banyak, punya ibu enak sekali”<br /><br />Sesaat Niken merasakan batang kemaluan Alfi kembali mengeras pada mulut vaginanya<br /><br />“Anak nakal … kamu belum puas juga”<br /><br />“Alfi pingin lagi bu.. alfi pingin ngentot ibu lagi”<br /><br />Niken merasakan kasih sayang tak terbatas tercurah dari bocah itu. Tenaga Alfi bagai tak ada habisnya. Entah ia tak tahu apakah ia telah jatuh cinta pada anak itu atau tidak. Alfi telah mempersembahkan keindahan ragawi padanya dan membuat dirinya merasa nyaman dalam dekapan gurunya yang cantik.<br /><br /><br /><br />********************************<br /><br /><br /><br />Selama dua hari Alfi dan Niken tidak datang ke sekolah, persetubuhan terjadi berulang-ulang. Niken yang lembut dan sopan kini sudah ketagihan akan seks, ia tak peduli akan statusnya seorang guru bagi Alfi. Yang jelas baginya justru Alfi adalah guru yang mahir baginya dalam urusan ranjang. Ia bahkan tak menolak Alfi memintanya melakukan oral.<br /><br />Tak ada rasa jijik mengemuti penis bocah itu dengan mulutnya. Bahkan ia sangat menikmati dan menyukainya. Hingga pada esok sorenya ketika mereka baru menyelesaikan persetubuhan selama 3 jam. Saat jeda istirahat itu itu Alfi masih dalam keadaan memeluk dan menindih tubuh cantik wanitanya sambil sesekali mencucupi putting-putting payudaranya. Tiba-tiba Alfi bertanya<br /><br />“Bu.. Ibu maukan punya bayi dari Alfi?”<br /><br />“A..paa..Fiii?” Niken terkejut atas pertanyaan Alfi yang aneh.<br /><br />“ibu kan sudah dapet benihnya Alfi, pastikan nanti Alfi punya bayi dari ibu”<br /><br />“Ngga mungkin fii, ibu kan akan menjadi istrinya pak Doni dua bulan lagi”<br /><br />“iya deh Alfi ngalah sama pak Doni…”<br /><br />Meski pembicaran singkat itu tak dianggap serius bagi Alfi namun Niken seakan baru tersadar akan apa yang telah terjadi. Niken tercenung mendengar ucapan Alfi barusan. Selama dua hari ini Ia dan Alfi melakukan hubungan suami istri dan ia telah membiarkan Alfi berejakulasi berkali-kali di dalam vaginanya. Kegundahan melanda hatinya. Bagaimana jika terjadi kehamilan? Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Donie?<br /><br />Mungkinkah Donie masih mau menerimanya dalam keadaan ternoda oleh anak ini? Rasanya tidak mungkin. Meski Donie tukang jajan namun ia tetap menginginkan istrinya masih perawan.<br /><br />“Bu.. ibu melamun?” lamunannya buyar saat Alfi memanggil namanya.<br /><br />“I..iyaaa”<br /><br />“Ibu takut hamil, ya?”<br /><br />Niken tak menyangka anak ini dapat mengetahui isi hatinya yang gundah. Meskipun demikian ia belum cukup umur untuk mencerna persoalan orang dewasa.<br /><br /><br /><br />Niken menghela napas lalu mengangguk lemah<br /><br />“Ibu juga takut soal perawan ibu kan?”Tanya Alfi lagi<br /><br />“Iya, Kok kamu tahu Fii?”<br /><br />“Kak Dian juga seperti ibu dulu, sudah gituan sama Alfi lantas wajahnya sedih”<br /><br />“Ohh begitu ya”<br /><br />“Gimana kita cari dokter aja kak, biar kakak disembuhin perawannya”<br /><br />Mendengar ucapan Alfi Niken bangkit dan duduk, lalu ditatapnya bola matanya polos anak itu. Niken jadi teringat akan sahabat karibnya semasa smu dulu Lila yang kini telah menjadi seorang dokter spesialis kandungan. Tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan, ia memutuskan untuk menemui dan meminta bantuan dr.Lila sahabatnya itu.<br /><br />“kamu anak pintar fii, besok kamu harus temani ibu ke Dokter ya?”<br /><br />“He e…Alfi temani ibu besok …tapi sekarang Alfi mau itu lagi sama ibu” kata anak itu<br /><br />“Kamu tidak bosan melakukan itu sama ibu?”<br /><br />“Alfi ngga bosen… biar Alfi jadi suami selingkuhan ibu nantinya”<br /><br />“Hi..hii..hiii, kamu memang anak nakalll” ujar Niken geli.<br /><br />Alfi merebahkan tubuh Niken kembali ke kasur. Niken menurut saat Alfi kembali mengumulinya. Tubuh sintal indah itu kembali menyatu dengan tubuh kecil dan kurus bocah itu. Seakan tiada bosan-bosannya mereka melakukan hal itu berulang-ulang. Pantat Alfi bergerak naik turun dengan cepat, penisnya yang besar sudah berjam-jam bahkan berhari-hari memadati liang senggama Niken. Biarlah urusan itu diselesaikan besok, Malam ini adalah urusan dewa dan dewi cinta pikir Niken dalam hati.<br /><br /><br /><br />*************************<br /><br /><br /><br />Keesokan sorenya Niken dengan mobilnya ia berangkat ke tempat praktek dr.Lila sahabatnya. Alfi dia ajak, kalau ditinggal di rumah ia kuatir mendadak Donie muncul memergoki Alfi di kamar tidur tanpa busana. Mereka sampai namun belum ada seorangpun di sana. Mereka duduk di sebuah ruang tunggu yang bersih dan nyaman namun agak tersembunyi.<br /><br />“Fiii…jangan…nanti ada yang liat, ouhhh” Niken mendesah saat tangan nakal Alfi meremas dadanya lembut.<br /><br />Tubuh wanita itu sudah demikian sensitif terhadap setiap sentuhan Alfi. Tubuhnya menggeliat. Niken sudah kuatir saat Kepala Alfi sudah mengarah ke dadanya. Namun tiba-tiba terdengar suara sepatu melangkah ke arah mereka dan Alfi segera menghentikan kenakalannya.<br /><br />“Nien… kamu udah lama nunggu aku?” Lila memanggil nama sahabat karibnya dengan nama panggilan.<br /><br />Mereka berpelukan hangat.<br /><br />“Loh Alfi..kamu ngapain disini” ujar dr.Lila<br /><br />“Kalian sudah saling kenal La?”<br /><br />“Umm..ya ibu nya Alfi adalah pasienku juga” ujar dr.Lila tergagap berusaha menyembunyikan sesuatu.<br /><br />“Alfi muridku di SMA tempatku mengajar La. Ia sengaja kuminta menemaniku untuk menemuimu”<br /><br />“Oh begitu mana Donie Nien? Bukan dia yang mengantar kamu?”<br /><br />“Donie masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum cuti”<br /><br />“O ya aku hampir lupa kalian kan akan menikah dua minggu lagi, ayo masuk mumpung pasienku yang lain belum datang”<br /><br />“Fii.. kamu tunggu di sini ya, ibu masuk dulu”<br /><br /><br /><br />Lila memeriksa Niken khususnya pada wilayah kewanitaannya. Sesekali ia tersenyum melihat beberapa bekas merah pada dada Niken. Lila sudah sering melihat hal seperti itu pada pasiennya. Pasiennya tidak terbatas pada istri-istri orang berkantong tebal namun juga hampir seluruh pelacur pada lokalisasi X tempat ibunya Alfi bekerja dulu.<br /><br />Dua puluh menitan Lila memeriksa Niken. Setelah selesai….<br /><br />“Bagaimana La?” tanya Niken saat itu jantungnya berdetak lebih cepat menunggu jawaban Lila.<br /><br />Dr.Lila tersenyum-senyum sambil membaca catatan hasil pemeriksaannya.<br /><br />“Kurasa ngga ada yang perlu dikuatirkan . secara lahiriah kamu sehat Nien dan siap menjalankan pernikahan. Donie tentu sangat berbahagia mempunyai calon istri bertubuh cantik dan sehat sepertimu”<br /><br />“Hanya itu La?” ujar Niken kurang puas, ia sepertinya tahu ada hal lain yang belum disampaikan Lila kepadanya.<br /><br />“Baiklah. Sesuai dengan profesiku aku memang dapat mengetahui kondisimu sekarang namun ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kusampaikan disini mungkin menyangkut hal yang sangat pribadi bagimu”<br /><br />“La aku ke sini justru ingin tahu darimu tentang kondisiku saat ini?”<br /><br />“Oke manis, kamu dengar baik-baik ya. Kusimpulkan dalam beberapa hari belakangan ini kamu telah melakukan hubungan seks, bekas-bekasnya terlihat jelas pada dinding vagina yang lecet-lecet dan memar di mulut rahimmu. Bahkan selaput daramu baru robek berarti ini yang pertama. Akhirnya kalian lakukan juga sebelum hari itu datang ya kan? Hanya saja kunilai kalian sudah keterlaluan melakukannya. Aku sarankan beberapa hari ini kalian ‘puasa’ dulu. Beri waktu dirimu recovery. Bagaimana apakah nona puas dengan penjelasanku?”<br /><br />Deg..Niken tak menjawab, hatinya sungguh gundah mendengar penjelasan dari dr.Lila.<br /><br /><br /><br />“La, apakah kamu yakin…betul-betul sudah robek?”<br /><br />“Maksudmu selaput daramu?”<br /><br />Niken mengangguk<br /><br />“Ya. Biasanya hubungan intim pertama hanya menyobek satu atau dua sisi selaput dara,<br /><br />Namun Ini malah robek di tujuh tempat. Kupikir luar biasa juga Donie”<br /><br />Niken menjadi pucat pasi, kekhawatiran nampak membias jelas pada wajah Niken.<br /><br />Hal itu terbaca Lila<br /><br />“Loh kenapa, Tapi bukankah tak ada masalah robek sekarang atau nanti kan? Toh Donie juga yang melakukan.”<br /><br />“Itu…masalahnya La…”<br /><br />Lila baru mengerti mengapa sejak datang tak terlihat senyum sedikitpun dari wajah sohibnya ini.<br /><br />“Maksudmu kamu melakukannya bukan dengan Donie, nien? Loh lantas siapa yang ….?”<br /><br />Belum selesai pertanyaan dr.Lila, tiba-tiba…<br /><br />“Udah selesai buuu..?” Alfi masuk tanpa mengetuk pintu dan langsung duduk di samping Niken.<br /><br />“Alfi tunggu diluar ya. Ibu masih ingin bicara dengan bu dokter”<br /><br />Alfi berdiri sebelum menghilang ke balik pintu ia sempat mengecup lembut pipi Niken.<br /><br />Niken agak jengah, matanya melirik ke arah Lila yang masih bengong.<br /><br />“Lelaki ituu….” dr.Lila tak ingin menyelesaikan kata-katanya. Ia takut salah omong.<br /><br />Suasana jadi hening sejenak. Niken berusaha menguasai perasaannya. Sambil menghela napas panjang ia berkata<br /><br />“Dugaanmu benar La. si Alfi orangnya”<br /><br />Kembali hening, Lila membuka pembicaraan.<br /><br />“jika aku boleh tahu apakah anak itu menggunakan pengaman seperti kondom saat kalian melakukannya?”<br /><br />“Ti..ti..dak, masa bisa hamil? Alfi kan masih anak-anak… la”<br /><br />“Dalam beberapa kasus beberapa anak spermanya lebih cepat mencapai kesuburan, bahkan di Amerika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun kedapatan menghamili teman sepermainannya. Apa kamu dalam masa subur, Nien?”<br /><br /><br /><br />“y..ya”<br /><br />“berapa kali ia ber-ejakulasi internal padamu?”<br /><br />“A..aku tak tahu pasti …mungkin… lebih.. 20 sampai 30 kali-an”<br /><br />Lila menggeleng-gelengkan kepala, dalam hatinya ia sudah tahu dan mengenal lama anak itu. Lila juga yang memeriksa kesuburan Alfi setahun yang lalu. Saat itu ibunya meminta Lila mengadakan test pada Alfi setelah ada seorang pelacur di lokalisasi X yang sempat dicurigai hamil oleh ulah anak itu.<br /><br />“apakah aku sudah hamil La?” ujar niken panic<br /><br />“Belum bisa dipastikan apakan benih Alfi membuahi dirimu karena baru berjalan dua hari yang lalu, kita tunggu hingga masa kamu datang bulan nanti, namun kehamilan mungkin saja terjadi bila pada masa suburmu sperma Alfi bertemu dengan sel telurmu. setetes cairan bening atau cairan pre-cum pun sudah mengandung sperma dalam jumlah kecil dan perlu kamu ketahui ada jutaan sperma dalam satu sendok kecil saja ….. apalagi Alfi sampai ejakulasi berkali-kali.”<br /><br /> “Ohh..Laa..tolong aku harus bagaimana sekarang?” ujar Niken panik, sudut matanya mulai berair.<br /><br />Lila berusaha mencairkan suasana yang tegang dan membuat Niken tenang, ia sungguh tak ingin perbuatannya menjadi aib yang memalukan bagi keluarganya.<br /><br />“Oke.. nampaknya kamu sungguh butuh bantuanku”<br /><br />Lila diam sejenak nampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. <br /><br />“Baiklah, kita hanya perlu lakukan operasi kecil pada selaput daramu. kemungkin hanya akan memakan waktu kurang lebih 1 jam.” jelas Lila<br /><br />“Ma..maksudmu aku bisaa…utuh lagi?”<br /><br />“Tidak begitu, aku hanya perlu menarik sisa yang ditinggalkan Alfi lalu menjahitnya. Aku usahakan agar saat robek di malam pengantinmu masih mengeluarkan darah.”<br /><br />“Lan..tas bagaimana dengan kehamilanku?”<br /><br />“Kupikir kamu belum tentu hamil, seperti kataku tadi kita harus menunggu datang bulanmu. toh baru dua bulan lagi kamu akan menikah dengan Donie. Aku pikir kita masih punya banyak waktu dan bisa mengatur hal itu nantinya.”<br /><br /><br /><br />Tangis Niken meledak setelah mendengar penjelasan Lila, perasaannya lega. Tadi ia sudah benar-benar ketakutan akan akibat dari perbuatannya dan Alfi sekaligus ia pun sungguh tak ingin mengecewakan Donie meskipun lelaki itu brengsek. Lila memeluk sahabatnya itu. Beberapa saat setelah Niken tenang, Dr.Lila berbicara agak serius<br /><br />“Ok sekarang dengarkan aku. Melihat kondisi selaput daramu yang robek total aku mungkin hanya dapat melakukan operasi satu kali. Untuk itu aku mau kerja samamu. Setelah operasi ini kamu tak dapat lagi berhubungan intim dengan Alfi hingga malam pernikahanmu.”<br /><br />Niken merenung. Ia sadar ini sungguh tak adil bagi Alfi, namun ia sudah tak punya pilihan lagi. Ia tak ingin pernikahannya dengan Donie gagal.<br /><br />“Jika demikian aku minta waktu beberapa hari..soalnya aku tak mau Alfi …kecewa”<br /><br />Lila tersenyum.<br /><br />“Baiklah aku mengerti. Aku akan menunggu kesiapan dirimu untuk melakukan operasi tersebut.”<br /><br />“Ma kasih ya La, kamu telah memberiku solusi dari masalahku”<br /><br />“Tak masalah Nien, aku kan sahabat terbaikmu sejak dulu”<br /><br />“La..satu lagi pintaku”<br /><br />“Apa itu?”<br /><br />“Hanya kamu yang tahu tentang hubunganku dengan Alfi,”<br /><br />“Tak usah kuatir akan hal itu manis, aku akan menjaganya..hi hi.”<br /><br />Niken memeluk dan mencium pipi Lila sebelum pergi.<br /><br /><br /><br />***********************<br /><br /><br /><br />Saat di dalam mobil Niken perlahan menyampaikan semua penjelasan dr.Lila tadi. Alfi menunduk sedih<br /><br />“Fii kamu ngga usah sedih, Ibu akan tetap menemui kamu setelah ibu resmi menjadi istri pak Doni” ujar Niken. “Yang penting sekarang kita masih punya waktu satu minggu sebelum ibu di ‘perbaiki’ dr.Lila”<br /><br />“Benar ya bu..”ujar anak itu matanya berbinar-binar gembira.<br /><br />Niken mengangguk. Lega rasanya semua permasalahannya sudah teratasi kini. Sesampai di rumah. Niken sudah tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Ya.. ia tak dapat menolak Alfi menuntunnya ke kamar dan melucuti semua kain yang melekat ditubuh mereka berdua. Alfi begitu tergesa-gesa saat memasukan penisnya.<br /><br />“Ssstt..perlahan sayang..ibu tak akan kemana-kemana kok…” bisik wanita itu.<br /><br />Wanita itu mengerti jika saat ini Alfi takut sekali kehilangan dirinya, mengingat beberapa hari lagi mereka akan segera berpisah. Tak ada penyesalan dalam hatinya segalanya kini telah ia serahkan bagi Alfi termasuk hatinya. Dua menit berselang wanita itu sudah dalam genjotan ganas bocah lalu memekik nikmat ketika orgasme melanda dirinya berulang-ulang. Mereka melakukannya berulang-ulang hingga tengah malam. Beruntung bagi mereka tadi Doni sempat menelpon bahwa ia harus berangkat ke luar kota.<br /><br /><br /><br />*****************************<br /><br />Dua bulan kemudian, pagi hari setelah malam resepsi pernikahan.<br /><br /><br /><br />Di dalam kamar pengantin, lagu ‘malaikat juga tau’ sedang mengalun lembut. Donie terbaring dalam kepuasan, sesekali mengecup kening pengantinnya yang cantik yang tertidur bak seorang putri.<br /><br />“terima kasih manis kamu telah mempersembahkan yang terbaik padaku”<br /><br />tak sia-sia semalam ia berjuang satu jam-an untuk menembus selaput dara Niken. Pekik kesakitan istrinya semalam dan noda darah di sprey sungguh membuatnya bangga. Meski ia hanya mampu bertahan kurang dari satu menitan di dalam kuluman vagina istrinya tanpa sekalipun memberi orgasme. Saat syair lagu telah sampai pada….’malaikat juga tau siapa yang jadi juaranya…’ Sementara itu Niken dalam tidurnya tersenyum dan berbisik lirih “Al..fiii…….”Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com12tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-46606244697507014492012-03-31T14:05:00.000-07:002012-03-31T14:05:39.608-07:00Threesome Bersama AlfiUdara pagi masih berkabut tipis, jam di dinding menunjuk ke angka 6. Alfi sudah siap berangkat ke sekolahnya bersamaan dengan Dian akan berangkat kerja.<br /><br /> “Ayo fii nanti kita telat!” ujar Dian sembari menstarter mobilnya.<br /><br />“Sebentar kak!!”<br /><br />Alfi memagut bibir Sandra sebelum keluar dari pintu depan.<br /><br />“Emppp…. sudah ahh nanti kamu terlambat” ujar Sandra seraya merapikan kerah baju Alfi yang belum rapi.<br /><br />Alfi berlari menuju mobil ia masih sempat melambaikan tangan sesaat sebelum mobil yang membawa mereka lenyap dari pandangan Sandra. Pagi itu terlihat Sandra sendirian di rumah sedang menuju ke ruang cuci sambil membawa segelas kopi panas, Ia mulai merendam seprey kotor berlumuran sperma kering Alfi, sesekali ia menyeruput kopinya untuk menghilangkan rasa kantuk masih membayangi kepalanya. Persetubuhan semalam sungguh menyisahkan keletihan. Alfi.. anak itu menyetubuhi dirinya mulai sejak sore hingga larut malam seperti biasanya. Setiap malamnya selalu Alfi minta persetubuhan.<br /><br />Untung saja di sini ada Dian, rasanya ia tak akan sanggup meladeni nafsu bocah itu apabila sendirian. Namun terkadang Sandra juga merasa kasihan pada sahabatnya itu. Dian yang masih capek saat pulang bekerja dari kantor tak banyak waktu untuk beristirahat, baik Ia maupun Dian tak dapat pernah dapat menolak apabila Alfi memintanya bercinta malam itu. akibatnya Dian terkantuk-kantuk di kantor keesokan harinya. Terkadang Alfi menginginkan persetubuhan bertiga, meski ia lebih menyukai menggarap mereka berdua satu persatu pada setiap malamnya secara bergiliran. Seminggu yang lalu mereka masih bertiga dengan Nadine menerima jatah ‘digiliri’ oleh Alfi. Namun saat ini kehamilan Nadine memasuki masa 7 bulan, Sandra dan Didiet tak lagi mengijinkan Alfi mendatanginya.<br /><br /><br />Sandra<br /><br />Sandra<br /><br />Memang Alfi bagai memiliki energi yang besar dan tak pernah lelah. Sandra dan kedua sahabatnya benar-benar dibuat bertekuk lutut oleh kejantannya. Sebenarnya Alfi senang bersetubuh dengan Nadine dalam kondisi payudara gadis itu semakin kencang. Ia sungguh tak sabar menanti kedua puting tersebut mengeluarkan air susu. Dihisapnya puting Nadine kuat-kuat sampai gadis itu terpekik-pekik kegelian.<br /><br />“percuma saja sayang….kamu harus menunggu sampai putrimu lahir dulu setelah itu baru kamu bisa meminumnya sebanyak mungkin yang kamu mau” terang Niken.<br /><br />Alfi merasa bangga benihnya tetanam dan tumbuh dalam perut Nadine. Ia memang adalah bapak biologis dari bayi yang dikandung Nadine. Namun Alfi tetaplah anak bau kencur yang belum cukup umur untuk bertanggung jawab sebagai seorang bapak. Suami Sandra, Didiet telah menikahi Nadine dengan maksud menghindari permasalahan yang bakal timbul akibat kehamilan itu. Untuk sementara Nadine tinggal bersama ibunya. Tak seorangpun mengetahui kejadian sesungguhnya kecuali mereka berempat, termasuk ibu Nadine. Ia percaya bayi tersebut adalah dari hasil hubungan putrinya dan Didiet.<br /><br />Awal kejadiannya bermula saat Sandra datang mengunjunginya beberapa bulan yang lalu. Ia begitu terkejut saat Sandra mengatakan ingin meminang putrinya untuk Didiet.<br /><br />Sandra merupakan sahabat Nadine sejak kecil. Bahkan Ia dan ibu Sandra merupakan sahabat baik sejak lama. Sandra mengarang cerita yang membuat ibu Nadine percaya. Ia menjelaskan keadaan dirinya yang tak mungkin mendapat kehamilan di sebabkan oleh suatu kelainan genetic. Lebih lanjut ia mengatakan saat ini rumah tangganya di ambang perceraian karena Didit menginginkan seorang anak darinya.<br /><br /><br /><br />“Nadine sudah setuju akan hal ini, bu. kami hanya tinggal meminta doa restu dari ibu”<br /><br />“Tapi Nak Sandra..apa sudah tidak ada jalan keluar yang lain, apa kamu mau dimadu oleh sahabatmu sendiri” ujar ibu Nadine saat itu. Ia menganggap anak jaman sekarang suka berlaku yang aneh-aneh.<br /><br />“Ketimbang Didiet harus menikah dengan gadis lain, aku lebih rela berbagi dengan sahabat ku sendiri. Bu, tolong saya menyelamatkan perkawinan ini, buu…” mohon Sandra sambil bersimpuh di kakinya.<br /><br />“Aiihhh…..” wanita tua itu menghela napas lalu berkata lagi.<br /><br />“Apa kamu dan suamimu sudah memikirkan matang-matang hal ini”<br /><br />“Sudah, bu”<br /><br />“Baiklah ibu ijinkan Nadine menikahi suamimu namun ibu mau bertemu dulu dengan Nadine dan juga…… suami egoismu itu dulu! Ibu mau jewer kupingnya dulu.. masa ia tega menelantarkan wanita semolek kamu hanya karena demi keturunan!!” ujar ibu Nadine sewot.<br /><br />Sandra tersenyum geli dalam hati , biar Didiet yang menanggung resikonya. Bukankah ini adalah buntut dari fantasi anehnya tempo hari. Ia juga gembira usahanya telah berhasil untuk menyakinkan ibunya Nadine hari ini. Beberapa minggu kemudian pernikahan tersebut berlangsung secara sederhana dan hanya dihadiri beberapa keluarga dekat saja.<br /><br /><br /><br />———————-<br /><br /><br /><br />TingtonG!!!!<br /><br />Suara bel berbunyi nyaring. Sandra melepas celemeknya lalu berjalan menuju ke arah ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Saat daun pintu dibuka sebuah wajah cantik bertubuh tinggi semampai menebarkan senyum ramah ke arahnya.<br /><br />“Selamat pagi, bu Sandra ya?”<br /><br />Sandra heran bagaimana wanita ini mengenal namanya, seingatnya ia belum pernah mengenal wanita ini.<br /><br />“Selamat pagi, ya benar saya Sandra, ibu siapa?”<br /><br />“Saya Niken, gurunya Alfi bu”<br /><br />Sandra ia tertegun sejenak saat menyambut uluran tangan tamunya. ternyata inilah gadis yang sempat membuat Alfi sampai jatuh sakit beberapa bulan yang lalu. Anak itu sempat menderita demam tinggi selama satu minggu, Dian mengatakan Alfi habis pergi kemping selama dua minggu dan tahu-tahu pulang dalam keadaan demam tinggi. Saat tidur terkadang terdengar bibirnya mengigau menyebut-nyebut nama Niken berulang-ulang.<br /><br />Setelah demamnya redapun Alfi lebih banyak diam dalam kesedihan bahkan sempat tidak mau makan. Anak itu baru mau bicara setelah dibujuk-bujuk Sandra dan Dian. Kedua wanita itu terkejut mendengar penuturan Alfi, mereka sebenarnya agak kuatir jika Alfi sampai melakukan aktifitas seksual dengan perempuan lain selain mereka bertiga dengan Nadine. Alasannya mereka takut semua rahasia dalam rumah ini tersiar keluar. Kini wanita itu sudah berdiri dihadapannya. Pantas saja Alfi sampai tergila-gila setengah mati, ternyata wanita ini memang luar biasa cantik!<br /><br />“Ohh!!..” Sandra baru menyadari ke bengongannya. “maaf saya lupa mempersilakan anda masuk…mari silakan bu” Sandra mengajak tamunya duduk.<br /><br /><br /><br />“Sebentar ya …”<br /><br />“Ngga usah repot-repot bu..”<br /><br />“Oo..ngga pa pa, engg baiknya jangan panggil saya ibu, cukup Sandra saja, biar kedengaran akrab”<br /><br />“Ohh..baiklah, kalau begitu panggil saja saya Niken atau Nien”<br /><br />Tak lama kemudian Sandra kembali sambil membawa segelas teh hangat.<br /><br />“Silakan diminum”<br /><br />“Alfi sering membicarakan kamu….Nien” ujar Sandra membuka pembicaraan.<br /><br />Sambil mengamati gadis dihadapannya. Ia belum mengenal Niken, memang selama ini Alfi telah banyak menggambarkan sifat-sifat gadis ini.<br /><br />“Benarkah? Bagaimana dengan sekolahnya, apa dia masih sering bolos?”<br /><br />“kadang-kadang sih, namun sampai saat ini nilai raportnya masih cukup baik, Cuma beberapa bulan belakangan ia jadi agak pendiam”<br /><br />“Ohh..demikiankah?” Timbul perasaan bersalah pada hatinya, ia menduga pastilah ia yang menyebabkan anak itu jadi demikian.<br /><br />Sejak menikah dengan Donie, sudah hampir enam bulan ia tak pernah bertemu lagi dengan Alfi. Dan Ia masih ingat kala itu Alfi menangis menghadapi perpisahan dengannya. Satu bulan sebelum resepsi pernikahan berlangsung Niken telah mengajukan pengunduran dirinya sebagai pengajar di sekolah tempat ia mengajar. Alasannya karena Donie menginginkan istrinya tetap di rumah saja.<br /><br />“Apakah Alfi pernah mengatakan mengenai hubungan kami padamu?” ujar Niken agak ragu saat menanyakan hal tersebut pada Sandra. Bukan disebabkan perasaan takut namun semata-mata karena malu. Ia sedikit banyak sudah tahu sifat Sandra dari Alfi tempo hari. Alfi pun begitu memuja gadis cantik ini bak seorang dewi. Meski agak ceplas-ceplos Sandra adalah gadis yang hangat penuh kasih sayang.<br /><br /><br /><br />“Ya…Alfi sudah menceritakan semuanya” jawab Sandra tersenyum geli melihat sikap Niken yang kikuk<br /><br />Wajah Niken bersemu merah karena malu.<br /><br />“A..a.ku jadi tidak enak padamu Sand..”<br /><br />Lalu tanpa diduga air mata Niken mengalir dan Gadis itu mulai terisak-isak. Sandra sungguh terkejut. Ia raih bahu gadis itu lalu memeluknya. Perlahan ia membelai rambut nya Lama tangisnya baru reda. Keakraban menjalar pada keduanya,<br /><br />“Ngga usah kuatir Nien.. rahasiamu adalah rahasiaku juga..kamu maukan menjadi sahabatku”<br /><br />Niken mengangguk kecil. Ia begitu terharu atas penerimaan Sandra padanya<br /><br />“Makasih Sand..”<br /><br />Setelah berbicara banyak, Sandra dapat menilai ternyata pendapat Alfi selama ini tidak salah kalau Niken adalah seorang gadis yang lembut dan baik hati. Tak ada kesombongan dari nada bicaranya, bahkan tak pernah sekalipun sejak tadi Sandra mendengar ia membicarakan ataupun menjelekan-jelekan orang lain. Bagai dua orang sahabat lama mereka mencurahkan perasan hatinya satu sama lain. keakraban di antara keduanya semakin lama semakin menguat. Sandra sangat menghargai kepercayaan yang Niken berikan, Gadis itu mau berbagi hati dengannya. Perlahan gadis itu menceritakan banyak tentang dirinya, rumah tangganya yang hambar, dan lain-lain. Saat Niken menunjukan foto dirinya bersama sang suami pada Sandra, ia cukup terperanjat melihatnya.<br /><br />“Di..akah suamiimu..?”<br /><br />“Ya.. apa kau mengenalnya?<br /><br />“Suamimu ternyata adalah teman suamiku Didiet sejak lama, meski mereka bukanlah teman akrab. Aku pernah satu kali bertemu dengannya saat menemani suamiku bertugas di kota G tempo hari. Tak kukira ternyata ia adalah suamimu”<br /><br /><br /><br />Sandra banyak tahu tentang kebiasaan Donie dari Didiet suaminya. Donie gemar bergonta ganti pasangan, terkadang pasangannya hari ini berbeda dengan yang ‘dibawanya’ besok. Padahal Didiet mengatakan bahwa Donie akan menikah dua bulan kemudian. Namun Donie yang saat itu ke kota G bersama seorang gadis muda. Sandra tahu perempuan itu cuma ‘mainannya’ Donie. Sandra sungguh tak menyukai lelaki seperti Donie. Jika di bandingkan dengan suaminya Didiet , Donie bukan apa-apa.<br /><br />Didiet memang ‘sakit’ namun ia merupakan suami yang setia dan hangat terhadap istri.<br /><br />Hubungan seksnya dengan Dian dan Nadine pun atas sepengetahuan dan ijin dari Sandra terlebih dahulu. Sandra sangat menyayangkan jika gadis istimewa seperti Niken menjadi istri pria macam Donie. Namun hatinya senang pada kenyataannya Alfi-lah pria pertama yang telah ‘menjebol keperawanan’ Niken. Lebih lanjut Niken menuturkan kehidupan kamar tidurnya yang hambar. Meski suka bergonta ganti cewe, ternyata Donie bukanlah seorang suami yang mampu memberikan kepuasan nafkah batin bagi istrinya. Diranjang ia adalah seorang pecundang sejati. Sejak awal menikah ia tak pernah sekalipun memberikan orgasme pada Niken. Malam pertama mereka lalui hanya meninggalkan kesakitan bagi Niken saat selaput daranya robek. Tidak lebih dari itu. Ia lebih sering kalah sebelum bertempur. Paling-paling hanya sempat memasuki istrinya setengah menit ia sudah jebol. Kalaupun ia menebar pesona kesana kemari kepada setiap wanita cantik, itu cuma untuk menutupi kekurangannya sebagai lelaki agar orang melihat dirinya seakan lelaki normal. Ketidakmampuan memuaskan istrinya yang cantik sangat membanting harga diri Donie sebagai lelaki sehingga ia semakin larut dengan prilaku buruknya. Dengan berbagai alasan ia selalu meninggalkan istrinya sendirian di rumah.<br /><br /><br /><br />Penderitaan Niken bertambah saat sang bunda meninggal dunia satu bulan yang lalu. Ia makin tak ada tempat mengadu dan bagai orang yang kehilangan pegangan dalam menghadapi hidupnya. Namun nasehat ibunya seakan selalu menari-nari di telinganya , bahwa seorang istri yang baik haruslah senantiasa menjalankan kewajibannya melayani suami, meski apapun yang sedang terjadi. Sandra menangkap penderitaan dari wajah Niken. Sungguh ia merasa sangat iba pada nasib gadis itu. Ia bersukur hidupnya lebih beruntung dibandingkan dengan nasib Niken. Setidaknya ia mendapatkan kedua-duanya suami yang setia dan kehangatan badani dari Alfi.<br /><br />“Aku harap kamu jangan pulang dulu, bukankah tadi kamu bilang jika suamimu sedang ke kota G?”<br /><br />“Betul Sand emang kenapa?”<br /><br />“Tidakkah kamu ingin menunggu Alfi pulang dari sekolah? Atau..kangen pada kehangatannya?”<br /><br />Niken tersipu malu mendengar bahasa Sandra yang begitu vulgar baginya. Sejak kecil ia diajari bertutur bahasa yang halus, hingga akhirnya ia menjadi seorang pendidik.<br /><br />“Se…baiknya ja..ngan Sand”<br /><br />“Nga pa pa Niken manis aku tak cemburu Kok. Perlu kamu ketahui satu bulan ini aku dan Dian hampir semaput meladeni ‘kenakalannya’ di tempat tidur , lagian Alfi pasti kecewa jika kamu tak mau menemuinya.” ujar Sandra sambil menggenggam telapak tangan Niken. Ia ingin Niken dapat merasakan ketulusan hatinya.<br /><br />“Ta..pi..Sand”<br /><br />“Ngga ada tapi-tapian kamu sudah terlalu lama ‘puasa’. Aku tak ingin lagi melihat kesedihan pada wajah cantik ini”<br /><br />Niken tahu Sandra berniat tulus membantunya. Tentu saja ia mendambakan perjumpaan dengan Alfi. Kebersamaannya dengan Alfi dulu telah meninggalkan kenangan indah dan selalu membekas dihatinya. Begitu sulit untuk dilupakan sampai terkadang ia sering mendapatkan mimpi erotis dalam tidur-tidurnya.<br /><br /><br /><br />“Sandd… makasihh.. kamu baik sekali padaku” ujar gadis itu lirih.<br /><br />Sandra memeluk erat sahabat barunya itu sebelum tangisnya meledak lagi seperti tadi sambil berbisik.<br /><br />“Nien.. aku turut prihatin dengan keadaanmu biarkan aku dan suamiku membantumu mendapatkan lagi kebersamaanmu dengan Alfi …. ”<br /><br />Seakan mendapat pencerahan dan dadanya terasa longgar terlepas dari sebagian bebannya selama ini . Niken terlihat ceria bercanda ditemani Sandra Terkadang terdengar tawa mereka berderai memenuhi ruangan. Hingga berjam-jam tak terasa. Hari sudah menunjukan pukul satu siang. Sandra bangkit dari duduknya sambil menarik tangan Niken<br /><br />“Nien ikut aku ke kamar sebentar, ada yang ingin aku perlihatkan padamu”<br /><br />Niken menurut meski ia masih diliputi tanda tanya. Saat Sandra membuka daun pintu sebuah lemari pakaian Niken dapat melihat di dalamnya ada banyak pakaian dalam dan sejenisnya di situ. Sandra mengambil sebuah Lingerie atau sejenis pakaian dalam yang seksi berenda-renda berwarna hitam.<br /><br />“Nien coba kamu pakai ini, Alfi paling suka dengan warnanya karena kontras dengan warna kulit kita”<br /><br />“Sand aku.. tak pernah…”<br /><br />“Pakai saja Nien, Aku ingin Alfi melihat bidadarinya dalam kecantikan yang sempurna”<br /><br />Niken agak jengah gaya liar Sandra yang sangat bertolak belakang dengan dirinya. namun di dalam hatinya ia membenarkan ucapkan Sandra. Sungguh iapun ingin terlihat menyenangkan Alfi. Lingerie itu diraihnya lalu dihadapan Sandra ia menganti pakaiannya.<br /><br /><br /><br />“Ck..ck.ck..tubuhmu sempurna sekali Nien, pantas saja si Alfi klepak-klepek ”<br /><br />“Aku jadi malu kamu puji terus, kulihat tubuh kita berdua tak berbeda Sand buktinya saat bersamaku ia sering muji-muji kamu dan kedua temanmu, katanya kak Sandra bohai-lah, kak Dian punya body gitar-lah dan bahkan ia paling suka payudaranya Nadine bagai melon kembar katanya.”<br /><br />“Hi..hi..hi iya ya dia emang suka muji kami seperti itu, kalau aku ngga salah ia sering menyebutmu….”<br /><br />“bu guru molek” ujar mereka berdua nyaris berbarengan.<br /><br />Mereka berdua lantas tertawa cekikikan.<br /><br />“Eng.. Nien apakah Alfi mempunyai pacar di sekolahnya saat kamu masih mengajar di sana?”<br /><br />“Setahuku tidak ada Sand. Kenapa kau tanyakan hal itu?”.<br /><br />“Aku hanya cuma kuatir bila ia sampai pacaran dengan gadis seusianya, kupikir belum tentu gadis seusia itu mampu menerima kejantannya yang ngga ‘normal’ itu bisa-bisa kewanitaan mereka cidera oleh Alfi, kita sebagai wanita dewasa saja kelabakan meladeninya bukankah sudah kau rasakan sendiri”.<br /><br />“Iya juga sih namun sepertinya Alfi tidak tertarik dengan gadis-gadis seusianya walau di sekolah banyak siswi yang cantik. Bahkan ia pernah mengatakan kalau ia cuma suka dengan wanita yang tubuhnya sudah tumbuh sempurna seperti kita..”jelas Niken<br /><br />“Syukurlah jika demikian”<br /><br />Tingtong!! Bel kembali berbunyi<br /><br />“Itu pasti Alfi Nien, biar aku saja yang menyambutnya sebaiknya kamu tunggu ia disini biarkan ia mendapat kejutan”<br /><br /><br />Niken<br /><br />Niken<br /><br />Niken bergegas merapikan diri. Ia berdiri menunggu di depan kasur. Bagian atas lingerie itu bagai hanya tergantung pada ujung payudara indahnya. Sedangkan bagian bawahnya melayang menghiasi kedua batang pahanya yang putih mulus. Sandrapun memberinya sebuah celana dalam berwarna senada yaitu hitam berenda yang terlihat mengintip mengoda dari balik lingerie-nya. Jantungnya berdetak keras menantikan pertemuan yang mendebarkan ini. Sementara itu Sandra membukakan pintu. Alfi langsung memeluk dan membekap bibirnya dengan ciuman.<br /><br />“Emmpp…”<br /><br />Anak ini selalu begitu… Ini juga merupakan daya tarik seksual dari Alfi. Ia selalu hangat dan penuh gairah di setiap situasi kepada setiap gadisnya namun tentu saja hal ini tak berlaku jika ada orang lain yang melihat. Sandra begitu menyukai kemesraan yang ditunjukan Alfi itu.<br /><br />“Ihh..baunya!..sana mandi dulu yang bersih. Kakak tunggu kamu di kamar tidur kakak kalau kamu udah wangi, kakak punya kejutan besar buat kamu” ujar Sandra begitu ciuman itu terlepas.<br /><br />“Asiikkk… kejutan apa ya kak?”<br /><br />“Ada aja deh, pokoknya kamu pasti suka”<br /><br />Meski diliputi rasa penasaran namun tanpa menunda-nunda lagi Alfi bergegas membersihkan diri. Ia tahu para wanita begitu sensitive terhadap kebersihan tubuh pasangannya. Bau yang tidak enak dapat menurunkan gairah mereka dan dapat menggangu kemesraan yang sedang berlangsung. Seluruh tubuh termasuk batang penisnya ia sabuni terutama pada bagian kulit kulupnya dan juga pada setiap lipatan yang ada. Pernah satu kali dr.Lila menawarkan pada Sandra agar bagian kulup itu di buang saja atau disunat. Namun ke tiga gadis itu menolak. Mereka justru menyukai bagian itu yang katanya paling seksi dari penis Alfi<br /><br /><br /><br />Setelah yakin tubuhnya bersih, Alfi mengeringkan diri. Lalu tanpa mengenakan pakaian terlebih dahulu ia bergegas menuju ke kamar Sandra. Penisnya sudah tegang dan kaku itu berayun-ayun saat ia berlari kecil. tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Ia menerobos masuk.<br /><br />“Kakk Sandraaa..Alfi suddahh… siaaa……”<br /><br />Tiba-tiba saja Alfi tak bisa menyelesaikan kalimatnya, suaranya seakan-akan tercekat tersangkut pada kerongkongan. Pandangannya menatap kaku kedepan dengan mulut melongo. Lalu ia mengucek kedua matanya seakan tak percaya dengan apa yang ia dilihatnya saat itu. Ternyata ia memang tidak sedang menghayal atau bermimpi, di hadapannya kini telah berdiri seseorang yang selama ini sudah sangat ia rindukan…. Niken dengan segala kencantikan dan kesempurnaan ragawi seorang wanita..<br /><br />“Alfiii… apa kabar sayangg” sapa gadis itu.<br /><br />Alfi tak lagi mampu menjawab . Ia segera berlari menubruk dan menangkap tubuh gadis itu dalam pelukan. Tak ada yang bisa mencegahnya kali ini. Bibirnya segera menemukan bibir Niken dan memagutnya dalam sebuah ciuman panjang dan panas. Mereka tak peduli pada nafas mereka yang hendak bersikulasi. Keduanya saling mengecup, mengisap dalam gairah tinggi menumpahkan segala kerinduan dan kasih sayang terhadap orang dipelukannya.<br /><br />“emmppp…emmppp..” hanya bunyi itu yang terdengar di antara tautan bibir ketat mereka.<br /><br />Jemari Alfi menemukan buah pantat montok bekas gurunya itu, diremasnya lembut sambil ditekan kearah tubuhnya. Ciuman itu berlangsung bermenit-menit. Tak ada tanda-tanda keduanya akan segera mengakhiri ciuman tersebut. Semakin lama ciuman itu berubah semakin lembut. Sementara air mata meleleh pada pipi Niken. Hingga akhirnya bibir mereka terpisah sejenak. Mata keduanya saling menatap.<br /><br /><br /><br />“buu Niken…buu…buu ja..nga pernah tinggalin Alfi lagi ya buu …” ujar Alfi memohon dengan wajah memelas<br /><br />“Ssttt…sudah ngga usah bicara lagi, perasaanmu sama dengan ibu….” Niken menempelkan telunjuknya ke bibir Alfi<br /><br />“benar ya buu”<br /><br />“Ya fii… ibu janji ngga akan ninggalin kamu lagi karena Ibupun tak bisa hidup tanpa kamu”<br /><br />“kalau begitu Alfi bolehkan jadi…suami ibu? Alfi mau menikahi ibuu”<br /><br />Niken tersenyum geli. Menikah? anak ini ia serius saat mengatakan itu. Alfi rupanya ingin memiliki dirinya secara utuh dalam hubungan yang sacral. Padahal tanpa menikahpun ia telah menyerahkan hati dan tubuhnya secara utuh kepada Alfi.<br /><br />“Hi hi kamu harus sabar menunggu beberapa tahun lagi hingga usiamu cukup untuk itu sayang, lagian sekarang ibu masih terikat oleh tali pernikahan dengan pak Donie”<br /><br />“Alfi ngga perduli, Alfi maunya jadi suami ibu sekarang bolehkan bu?”<br /><br />Sekilas Niken melihat garis kecemasan di wajah Alfi. Ia tak tega kekasihnya itu kehilangan harapan untuk memilikinya. Alfi sudah cukup menderita kehilangan dirinya dan Niken tak mau menambah kesedihan anak itu.<br /><br />“iya sayang….. sejak sekarang kamu boleh menganggapku istrimu, besok-besok kita cari orang yang bisa menikahkan kita”<br /><br />Alfi girang bukan main ia merasa yakin kali ini Niken tak akan meninggalkannya lagi.<br /><br />“Alfi kangen sekalii bu, ibu jangan pulang dulu , ibu menginap saja di kamar Alfi, Alfi mau entot ibu sampai besok pagi ya?”<br /><br />“Hi hi iya deh aku siap kamu apa-apain tapi kamu maukan sekarang panggil aku dengan sebutan Kak Niken saja bukan ibu, aku tak ingin terlihat jauh lebih tua di bandingkan ke tiga gadismu yang lain”<br /><br /><br /><br />Dalam hati Niken gembira bukan main, ia tak dapat melupakan sentuhan-sentuhan Alfi yang jantan dulu yang memberinya jutaan kenikmatan ragawi. Saat ini Niken benar-benar dalam kondisi haus akan belaian dan ini akibat ketidakmampuan Donie sebagai laki-laki. <br /><br />“iya kak .. kakak Niken manis”<br /><br />Kegembiraan hatinya tak mampu lagi ia ungkapkan lewat kata-kata. kerinduannya kini telah menyatu dengan gairahnya. Tanpa menghiraukan keberadaan Sandra di sana, ciuman panas itu terjadi lagi. Semuanya terjadi di hadapan Sandra. Ia tersenyum-senyum menyaksikan adegan tersebut. Ia sangat mengerti perasaan mereka saat ini. Ia teringat hal ini pernah dialaminya pada saat malam pengantinnya dulu. Perlahan ia keluar dari kamar dan menutup pintu. Tanpa melepas ciumannya perlahan tubuh Niken bergerak mundur terdorong ke arah kasur. Tubuh sintal itu kini terlentang dan menggeliat pasrah dalam tindihan tubuh telanjang bocah 16 tahun. Kejadian di dalam kamar cottage xx tempo hari sepertinya bakal terulang kembali. Namun kali ini berlangsung di atas ranjang empuk Sandra. Meski sama-sama dalam kondisi tegangan tinggi dan kerinduan yang teramat dalam, namun Alfi tak ingin tergesa-gesa melakukan penetrasi ke vagina Niken. Ia ingin memberikan kepuasan total agar Niken tak akan meninggalkan dirinya lagi. Ia sadar ini akan menjadi suatu sore yang panjang bagi mereka berdua. Alfi melepas dulu ciumannya. Matanya menatap Niken. Niken terlihat sangat cantik terbaring di sana dengan bibir yang merekah dan rambut yang tergerai di atas bantal. Buah dadanya dapat terlihat dari balik lingerienya yang tipis, menjulang seperti dua gunung kembar. Sungguh ia adalah bidadari yang sangat molek. Mungkin hanya kak Sandranya yang mampu menandinginya. Jemari Alfi masuk menyusup ke balik Lingerie indah itu dan meraih payudara Niken yang ranum dan putih mulus kemudian mengeluarkannya dari pembungkusnya. Puting susunya yang kemerahan mulai mengeras karena diakibatkan oleh pergerakan tangan Alfi.<br /><br /><br /><br />Kecupan Alfi beralih ke leher jenjang Niken perlahan turun hingga sampai di belahan dada gadis itu lalu lidahnya mulai menjilati setiap jengkal permukaan kulit kedua bukit putih kembar di hadapannya. Ia mengetahui dan selalu ingat dimana saja titik kenikmatan setiap pasangan wanitanya. Niken paling menyukai bagian yang ini dimana saat Alfi mulai menyusu bagai seorang bayi pada payudara kirinya. Mulanya bibirnya menghisap dengan lembut sambil sesekali memutar-mutar lidahnya lalu semakin kuat seakan ingin menelan puting susu itu.<br /><br />“Errggggggg…Fiii…” gadis itu merintih-rintih<br /><br />Namun sensasi ia rasakan kali ini sungguh berbeda dengan dulu. Rasa geli dan nikmat yang dengan cepat diikuti oleh sebuah perasaan menyenangkan yang hebat, lalu menjalar ke setiap syaraf pada seluruh tubuh lalu menyebar hingga ke pinggul bagian bawah.<br /><br />Tak disangka-sangka, vaginanya yang belum diberi rangsangan sama sekali telah berkontraksi sendiri. Niken mengalami sebuah orgasme padahal vaginanya masih dalam keadaan kosong dan belum memiliki sesuatu untuk dijepit.<br /><br />“Auwwwww……fiiiiiiiiiiii!!!!” pekiknya tertahan sambil menekan erat kepala Alfi pada payudaranya<br /><br />Alfi berhasil meletupkan kenikmatan yang selama ini tak mampu diberikan oleh suaminya. Celana mungil yang diberikan Sandra terbuat dari bahan yang sangat lentur. Selama ini Alfi selalu menyetubuhi Sandra tanpa membuka celana dalam tersebut terlebih dahulu. Ia hanya cukup menyingkap sedikit bagian tengahnya sehingga tititnya dapat melakukan penetrasi. Begitupun kali ini. Sesekali ujung tititnya yang berkulup masuk sedikitt dan mencolek belahan yang sudah mulai basah itu. dan membuat vagina Niken bereaksi berkedut-kedut mencucup benda tersebut. Beberapa kali gadis itu mencoba mengangkat pinggulnya namun percuma saja Alfi selalu menarik kejantannya menjauh.<br /><br /><br /><br />“oughh..Fiii.. …masukin itumu dong sayanggg…..” rengek Niken. Ia sungguh sudah tak sabar agar Alfi menuntaskannya. ia sudah terlalu lama menanti kejantanan Alfi untuk mengadul-aduk kewanitaannya dan sekaligus berinya kenikmatan seperti dulu.<br /><br />“Kakk.. kakak ngga takut kan kali ini Alfi buntingin?”<br /><br />“Ohhh..Alfiii….lakukan sayangggg…Kakak mau uu hamilll anak kamuuuu …”<br /><br />lalu Alfi menggenggam penis besarnya yang sudah menegang penuh dan diarahkan pada vagina Niken. Ia terlebih dahulu menyapu kepala penisnya ke atas dan bawah di sepanjang bibir cantik itu sebelum melakukan penetrasi. Setelah terlihat cairan yang merembes semakin banyak keluar dari celah vagina Niken, barulah ia menekan batang kemaluannya masuk.<br /><br />“terima titit Alfi sekarangg. Kakk.” Mereka saling berpandangan sejenak sesaat sebelum penyatuan itu terjadi dan<br /><br />Srtttt …..Lepp…bibir vagina Niken terbelah dan kepala penis Alfi mulai menghilang ke balik bibir vagina itu. Labia dalamnya mencengkram dengan ketat sehingga mencegah kepala penis itu masuk lebih dalam.<br /><br />“Ouhhhh…Fiiiiii..pelaann-pelannn sayanggg” rintihnya begitu merasakan nikmat bercampur sedikit rasa perih pada selangkangannya. Napasnya sampai tersengal-sengal Ia tak menyangka titit Alfi tumbuh lebih besar dari tempo hari. Benda benar-benar itu sudah tumbuh dengan sempurna pada tubuh kecil Alfi. Bahkan jauh lebih besar dari milik suaminya. <br /><br />“Sakitt..ya..kak? kok punyaa..kakakk..tambahh sempittt!! tambahh… enakk..Ouuhhh”<br /><br />“Uhh.. punyaaa kamuu yangg tambahh ..b..esarrr …Fiii”<br /><br />Untunglah Alfi bersikap sabar saat melakukan penetrasi pada vagina Niken walau kondisinya yang sudah sangat terangsang. Alfi menduga pastilah Donie mempunyai penis yang kecil sehingga vagina Niken ia rasakan masih sangat rapat seperti dulu.<br /><br /><br /><br />Niken membuka pahanya lebih lebar untuk memberi ruang bagi Alfi memasuki dirinya.<br /><br />ketika otot-otot vaginanya mulai rileks, Alfi mulai lagi menekan lagi dan srttttt…batang penisnya yang hitam besar itu melesak lagi sedikit dan seperti awal tadi, Niken tersentak sambil menjerit<br /><br />“Awwww…Fiiiiiiii…Saakkiiiittt” ia merasakan vaginanya dipaksa merenggang sampai batas maksimal.<br /><br />Alfi mulai mengocok penisnya selembut mungkin sehingga membuat bibir vagina Niken perlahan-lahan lebih meregang sedikit demi sedikit menyesuaikan diri dengan ukuran penisnya. Kemaluan anak bagai membongkar liang senggamanya dan menimbulkan rasa sakit dan linu diiringi nikmat yang luar biasa. Perlahan tapi pasti sebagian besar dari batang hitam itu masuk ke dalam tubuhnya dan tiap hentakan dia menerobos semakin dalam…semakin dalam…dan Leppp…hingga akhirnya terbenam seluruhnya tanpa sisa bersatu kembali dengan liang cinta yang pernah diperawaninya dulu.<br /><br />“Oghhhh…Fiiiii….”<br /><br />Niken menggeliat dan merintih sambil melingkarkan kedua kakinya ke pantat Alfi lalu menekankan tubuh anak itu agar penisnya tetap dalam posisi terbenam dalam vaginanya. Daging itu mampu menjamah tempat yang tak mampu dijangkau oleh penis Donie. Ujungnya yang masih berkulup itu menekan mulut rahim. Sementara tetisnya membentur pantat putih Niken. Mata Niken terpejam menikmati sensasi nikmat yang semakin lama semakin menyengat. Dan tak menunggu lama vaginanya kembali berkedut keras dan Niken kembali Orgasme!<br /><br />“Argggg….. Alllfiiiiiihhhhhhhhh!!!…” <br /><br />Beruntung Alfi sudah berpengalaman bersetubuh dengan banyak wanita dan sudah berkali-kali orgasme tadi malam jika tidak mana mungkin ia dapat bertahan selama ini dalam lumatan istimewa vagina Niken<br /><br /><br /><br />“Fii…kakak cinta sama kamuu” bisik Niken setelah orgasmenya mereda.<br /><br />kebahagian terpancar dari wajahnya yang cantik. Pipinya merona merah<br /><br />Apa yang ia dambakan sebagai seorang istri, kepuasan sejati dalam persetubuhan, kini sudah dituntaskan bukan dari suaminya melainkan dari Alfi, bekas muridnya yang pertama kali telah mengenalkannya dengan dunia seks, sekaligus merengut kegadisannya, dan membuatnya ketagihan disetubuhi anak itu.<br /><br />“Ohh.. Benarkah kak? Kakak sayang dan cinta sama Alfi” seakan tak percaya mendengar langsung Niken mengucapkan kata ‘cinta’ kepadanya. Ditatapnya kedua bola mata gadis itu seakan mencari-cari kebenaran di situ.<br /><br />“ya Fii, Kakak cinta padamu” ujar Niken sambil membelai kepalanya. Iapun tak mengerti perasaan sayangnya kepada Alfi yang semakin lama semakin menguat bahkan ia merasa tak dapat hidup tanpa bocah keling ini. Yang ia butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang yang berlimpah selama ini Alfi tunjukan padanya, bukan napsu sesaat , ketampanan dan materi yang ada pada diri Donie suaminya.<br /><br />“Alfi sejak dulu cinta kakak” ujarnya kembali menenggelamkan kepalanya dalam pelukan . Kala sebelum menikah Niken belum sepenuhnya memberikan hatinya padanya mungkin hanya sebatas dorongan napsu dan rasa kasihan saja namun kini anak itu bangga dirinya yang buruk hitam itu bisa mendapatkan cinta gadis semolek Niken secara utuh.<br /><br />“Entot kakak lagi fiii…” pinta Niken<br /><br />“He e Kak” ujar Alfi bersemangat.<br /><br />Jika dulu setiap kali ingin mengulangi persenggamaan Alfi-lah yang selalu memohon padanya. Namun kini Niken sudah tak malu untuk memintanya terlebih dahulu. Adegan persetubuhan seorang bocah ABG dengan wanita dewasa penuh gairah tinggi itu berlangsung lagi.<br /><br /><br /><br />Penyatuan dua insan berbeda jenis dan usia. berbeda pula status sosial, bahkan begitu tak sepadan untuk disandingkan. Niken yang cantik bertubuh indah menggelepar dan merintih dalam genjotan seorang bocah kurus kering berkulit hitam kesat. Alfi mengocok mengayunkan pinggulnya dengan cepat dan dalam diringi desah dan rintihan keduanya. Tak ada yang terlewat oleh adukan penis besar Alfi. Daging hitam itu menekan, clitoris, G-spot, mulut rahim dan seluruh gumpalan-gumpalan daging dalam vagina gadis itu sehingga menimbulkan perasaan geli nikmat bagi Niken secara total. Kejantanan Alfi yang sejak kecil sudah terlatih ngentot serta di godog oleh ramuan ajaib Sriti tumbuh dengan ukuran besar dan panjang dan memiliki struktur yang kokoh perkasa. jangankan gadis biasa seperti Niken seorang bintang porno sekalipun mampu bocah itu taklukan. Menit-menit berlalu. Peluh mengucur dari tubuh keduanya. Udara kamar yang dingin tak mampu menghalau panas gelora yang memancar dari himpitan keduanya. Niken sudah merasa sebuah dorongan dasyat hendak pecah. Kukunya menancap pada bongkahan pantat alfi yang hitam legam.<br /><br />“Awww..owww..fiih..ffiiihh..”<br /><br />Orgasme gadis itu pecah tak tertahankan …..dan kali ini tak hanya berlangsung sekali… dua kali…tiga..dan terjadi terus susul menyusul bagai sebuah mata rantai!<br /><br />“Aooooooooo…Fiiiiiiii……..eenaaakkk ….bangett!!!” jika sudah sampai pada tahap ini Niken bibir mengeracau tak karuan. Tubuh sintal itu mengelinjang dan mengelepar bagai seekor ayam yang disembelih. tubuh kecil Alfi-pun ikut terlonjak-lonjak namun tetap melekat erat bagai seekor lintah yang menggarap mangsanya. dekapannya yang kuat tak membuat tubuhnya merenggang sedikitpun dari tubuh cantik Niken.<br /><br /><br /><br />Dulu setiap kali Alfi melakukan persenggamaan dalam waktu yang lama. Vagina Niken menjadi semakin sensitif menerima setiap gesekan dengan penis Alfi. Hal itu membuatnya orgasme datang tak henti-hentinya menyapa sepanjang persetubuhan seakan orgasme yang satu menjadi pemicu datangnya orgasme berikutnya. Bahkan beberapa kali orgasme itu mampu membuat Niken terkencing-kecing bagaikan sedang berejakulasi. Sebuah fenomena yang tak Niken mengerti, namun itulah yang membuatnya sungguh tergila-gila dengan penis bocah itu dan kini hal itu tersebut kembali dialaminya. Alfi memang seorang pejantan sejati, namun sepertinya ia sudah tak lagi mampu bertahan. Selama sepuluh menit vagina Niken melumat penisnya tanpa henti dan ia sudah memberikan orgasme tak berujung pada gadis itu. Ia merasa ini adalah saat yang tepat baginya melepaskan ejakulasinya. Spermanya sudah terasa mengalir perlahan disepanjang saluran kencingnya. Tak mungkin untuk ia tahan lebih lama lagi. Kepalanya menyusup ke relung leher Niken seraya berbisik<br /><br />“Kaaak…. Alfiii…muncratt … kakaaak..”<br /><br />“kamuuuu udah mauu sekarangg sayangggg?”<br /><br />“Iyaaaa kakkkk sekarangggg oughhh”<br /><br />“Ohh..keluarinnn…semuaaa sayangg…..isii rahimmmkuu samaa benihhh..muuu” Niken merasakan daging kejantan bocah itu mengembang mengempis bertanda akan segera berejakulasi.<br /><br />Pelukan Alfi mendekap sambil menekan penisnya sedalam mungkin ia dapat masuk hingga menyentuh dasar liang senggama Niken.<br /><br />“Aargggggg…. Fiiiiiiiiiiiiiiii….…” Niken terpekik saat orgasme yang paling kuat datang menyergapnya, jemarinya mencengram dan menekan bongkahan pantat bulat bocah itu.<br /><br /><br /><br />Pinggul gadis itu berayun terangkat membuat liang senggamanya menelan habis batang titit Alfi tanpa sisa. Semua otot-otot kewanitaannya berkontraksi berirama dengan sangat cepat dan kuat diikuti di bagian panggul dan rahim. Lalu diakhiri dengan cengkraman kuat pada penis Alfi. Kocokan Alfi mendadak macet total, penisnya bagai tercekik dan terkunci. Bahkan gumpalan sperma kental yang terdorong dari testis nya sulit memancar hingga menyesaki saluran dalam tititnya. Kejadian yang berlangsung hanya beberapa detik itu membuat Alfi ia bagai melayang ke surga. rasa geli plus nikmatnya sungguh menyengat tak tertahankan. Kontan saja Alfi terpekik keras sementara kedua matanya mendelik dan hanya terlihat bagian putihnya saja.<br /><br />“Aaaaoooooo…..enaaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!!!”<br /><br />setelah vagina Niken kembali berkedut-kedut barulah titit Alfi agak lega memuncratkan sperma. Cairan itu melesat bagai peluru begitu terlepas sumbatannya.<br /><br />Creettt…cretttt…cretttt…Begitu banyak jumlah cairan yang ia muntahkan sehingga vagina dan rahim Niken bagai tak mampu menampung semuanya. Sebagian tumpah dan mengotori seprey kasur Sandra. penantian mereka selama ini akhirnya telah tertuntaskan. Sandra sempat terkaget mendengar jeritan anak. Untung saja rumahnya yang berhalaman luas berada cukup jauh dari bagunan milik tetangga.<br /><br />“Gilaa.. diapain aja si Alfi sama Niken sampai meraung begitu? kena batunya juga rupanya si bandel kecil itu”gumam Sandra sambil tersenyum geli.<br /><br />Rasa penasaran membuat ia berkeinginan mengintip keadaan di dalam kamarnya. Tak ingin mengganggu Ia mendorong sedikit daun pintu. di hadapannya ia menyaksikan tubuh Alfi dalam keadaan melekat menyatu dan memeluk erat dengan tubuh sintal Niken masih dalam belitan orgasme bareng yang dasyat. Sesekali itu pinggul bocah itu menghentak- hentak sambil terus menerus memompakan benihnya ke rahim gadis itu seakan-akan ia ingin mengosongkan seluruh isi testisnya.<br /><br /><br /><br />Uhhh ..Niken masih tetap orgasme dalam kondisi itu. Sandra tercengang ternyata ada wanita lain yang mengalami hal tersebut selain dirinya. Selama kejantanan Alfi tetap mengeram kaku dalam vaginanya maka wanita itu akan terus memperoleh kenikmatan bersambung-sambung tanpa henti. Daging hitam besar itu tetap kukuh meski sudah berejakulasi. Dan seperti biasa beberapakali orgasme belum mampu membuat birahi Alfi mereda. Mulanya Sandra tak ingin mengganggu keduanya yang sedang asyik masyuk namun gairahnya yang naik memerintahkan lain. vaginanya berkedut-kedut seakan minta jatah kenikmatan. Perlahan satu persatu pakaiannya jatuh ke lantai hingga tubuhnya bugil total. Sandra perlahan mendekat kearah tautan kemaluan keduanya. Perlahan lidahnya menjulur dan menyapu lelehan campuran cairan cinta kedua insan itu.<br /><br />“Ohh..Sandddd..apa yang kamu lakukannn..ohghh” Niken sempat terkejut melihat Sandra sudah berada di sana. Ia tak menduga Sandra mau menjilati miliknya, rasa geli dan nikmat menambah panjang sesi orgasme Niken akibat sapuan lidah Sandra pada bibir vaginanya yang masih merekah lebar oleh penis Alfi. Sandra menghentikan jilatannya ketika ia melihat orgasme Niken sudah mereda. Lalu berbaring menyamping menghadap tubuh Niken. Sementara kepala Alfi-pun sudah terkulai<br /><br />“Maaf ya Nien telah mengganggu kalian abis aku terangsang banget liat kalian bereng tadi” ujarnya sambil menyeka sisa tetesan sperma Alfi disekitar bibirnya.<br /><br />“Kamu juga suka begituan dengan sesama cewek Sand? Kulihat kamu ngga jijik jilatin punyaku tadi.”<br /><br />“Aku cuma mau melakukannya dengan gadis tertentu saja, seperti Dian, Nadine,…. dan juga kamu”<br /><br />“Makasih ya Sand, kamu mau menerima aku jadi bagian hidup kalian.”<br /><br />“Kurasa kamu pantas bahagia, Nien”<br /><br /><br /><br />Ketika tatapan kedua beradu<br /><br />“Boleh Nien?.” bisik Sandra menurunkan wajahnya<br /><br />“He e” Niken mengangguk matanya terpejam menanti bibir Sandra menyentuh bibirnya. <br /><br />“Emppp..mpppp”<br /><br />Keduanya saling memagut, mengecup dengan panas dan menghisap lidah. Ini pertama kali dalam hidup Niken melakukan ciuman dengan sesama wanita. Sebelumnya Niken tak pernah tertarik dengan berhubungan dengan sesama jenis namun entah mengapa ia kini malah meladeni permainan Sandra dan bahkan menikmatinya.<br /><br />“Kamu memang terlalu mengairahkan untuk ukuran seorang guru, Nien” puji Sandra ketika ciuman mereka terlepas.<br /><br />“Kamupun terlalu mengiurkan untuk menjadi seorang ibu asuh Kan? Hi hi hi”<br /><br />Mereka tertawa lepas. Tak ada lagi beban berat di hatinya selama ini. Bagi Niken berada di tempat yang tepat diantara orang-orang yang menyayanginya telah mampu memberinya rasa aman dan kedamaian. Tekadnya sudah bulat. ia tak ingin kebahagiaannya terengut oleh aturan dan adat yang ada. Bahkan ia sudah tak peduli lagi dengan nasib perkawinannya dengan Donie ke depan. Kini Ia sudah mengerti membedakan antara kebahagian sejati dan yang semu.<br /><br /> “Kak Sandra terima kasih ya kejutannya.” Ucap Alfi<br /><br />“Masa cuma bilang terima kasih doang?”<br /><br />Alfi nyengir lalu menatap Niken<br /><br />“Kakk boleh Alfi ngentot sama kak Sandra dulu?” ujarnya meminta ijin pada Niken.<br /><br />Setelah Niken mengangguk barulah ia mencabut lepas penis perkasanya dari vagina Niken. Plop! Penis itu sempat meninggalkan lobang menganga, namun dengan cepat mengatup lagi bagai sebuah bibir tipis. Sebagian cairan kental pun mengalir keluar dan sebagian lagi tetap tertinggal di rahim Niken.<br /><br /><br /><br />“Eng..tapi jangan lama-lama ya Fii punya kakak masih ngilu bekas kamu kerjai tadi malam” mohon Sandra. Ia tahu sekali bila kontol Alfi sudah memasukinya pastilah butuh waktu lama untuk mengakhiri persetubuhan itu.<br /><br />“Kamu cari gara-gara sich Sand” ujar Niken tersenyum geli.<br /><br />Alfi kini mulai bergerak mengangkangi Sandra, kepala kemaluan Alfi yang membengkak itu menempel dan digesek-gesekan ke bibir vagina Sandra. Nafas Sandra tertahan-tahan merasakan tekanan birahinya.<br /><br />“Fii perlahan ya ..”<br /><br />Lalu tanpa ba bi bu kontol hitam yang masih basah oleh lendir Alfi dan Niken itu di sodokan membelah bibir vagina Sandra. kedua tangan Alfi berpegang pada pinggul Sandra sambil menusukkan kemaluannya kuat-kuat bawah. Blesss!! penis Alfi berhasil memasuki kemaluan Sandra secara sempurna.<br /><br />“Ougghhhh…Fiii.. enakkkk bangettt” erang Sandra ketika vagina sudah penuh sesak oleh kemaluan Alfi, Kedua tangan Sandra berpegangan kuat-kuat pada leher Alfi sementara kedua kakinya menjepit pinggang Alfi kuat-kuat. Sandra memutar pinggulnya yang padat sesekali menghentakan-hentak secara kuat dan liar.<br /><br />“Aooooo….Kakkkkkk Sandraaa enakkk!!” pekiknya. Tititnya bagai dihisap , dicengkram, dikulum bahkan saat Sandra menghentak seakan vagina gadis itu hendak mencabut putus miliknya. Rasa geli menjalar cepat terutama pada bagian kepala penis yang dipenuhi syaraf kenikmatan. Alfi tak membiarkan dirinya ditaklukan secepat itu, ia segera bergerak mengentot. Kemaluannya yang hitam besar mulai maju-mundur dengan cepat, tusukannya selalu dalam dan kuat. Liang vagina Sandra bagai tertarik keluar saat Alfi menarik penisnya, begitupun saat ia menekan bibir vagina Sandra seakan ikut terdorong masuk kedalam.<br /><br /><br /><br />Wow…Niken jadi teringat pertama kali saat ia mengintip persetubuhan Sandra dan Alfi tempo hari. Kala itu pandangannya tak begitu leluasa. Tak disangka-sangka kini ia menyaksikan adegan itu lagi dari jarak demikian dekat. Ia takjub akan ukuran kejantanan Alfi yang besar dan panjang, juga pada staminanya padahal baru saja bocah itu mengintiminya selama lebih satu jam tanpa henti dan kini ia sudah nangring diatas tubuh gadis lain. Wajar saja Sandra dan para sahabatnya kewalahan, gairah anak ini memang tak kujung reda.<br /><br />“Oughhhhhhhh….. kakaaak keluaaar….Fiii.” Sandra menjerit penuh dengan kenikmatan.<br /><br />ia merasakan orgasme yang luar biasa. Punggungnya melengkung dan cairan kenikmatannya membanjiri titit Alfi yang perkasa. Sandra terus mengejang sambil terus mengeluarkan cairan kenikmatan . Kukunya tambah kuat menancap pada pantat Alfi yang bulat.<br /><br />“Fii udahan dulu ya punya kakak ngilu”<br /><br />“Dikit lagi ya kak, mani alfi sudah mau muncrat”<br /><br />Sandra tak bicara lagi, ia tahu tak mungkin membujuk pejantan kecil ini untuk berhenti mengumulinya. Ia menarik kepala Alfi kearah payudaranya.<br /><br />“Ernggggg…geliiiii” erang Sandra ketika salah satu puting payudaranya sudah dalam kuluman bibir Alfi. Setelah mengalami orgasme, tentu saja tubuhnya dalam keadaan bertambah sensitive terhadap sentuhan. Rasa geli lebih dominan ketimbang rasa nikmat.<br /><br />Oh… Sandra orgasme lagi! Ia merasakan kembali kenikmatan itu datang. kocokan yang kuat dan cepat pada liang vaginanya mempercepat orgasmenya datang lagi. Tubuhnya melenting dan bibirnya merintih rintih. Diikuti dengan kontraksi pada semua otot-otot kewanitaannya yang berkedut-kedut keras dan berirama sekaligus menghisap setiap inci benda hitam besar yang mengaduknya sejak tadi.<br /><br /><br /><br />“Oughhhhhh….Kakkkk” kedua biji mata Alfi mendelik.<br /><br />Lumatan vagina kedua wanita itu satu sama lain memang agak berbeda. Namun tetap saja jangan dikatakan nikmatnya. Itu membuatnya betah terus menerus menyetubuhi mereka. Lubang pipis Alfi memuntahkan cairan panas ke dalam rahim Sandra. Benih cinta yang tak ada habis-habisnya walau sudah dikuras berulangkali oleh dekapan dua vagina wanita cantik. Ketika dilihatnya Alfi tak lagi berejakulasi, Niken mendorong perut Alfi agar merenggang dari tubuh Sandra, batang titit Alfi terlepas dari balutan vagina Sandra. ia tahu Sandra tak kuat lagi melanjutkan persetubuhan. Plop! Dilihatnya kemaluan bocah itu masih berdiri kukuh, tak ada tanda-tanda anak ini mau mengakhiri persetubuhan ini. Alfi selalu kembali terangsang apabila melihat tubuh-tubuh indah polos Sandra dan Niken. Kedua tubuh yang ia perawani dulu yang memang sangat aduhai. Niken memasukan penis yang berlumuran cairan cinta Sandra dan sperma Alfi itu ke dalam mulutnya<br /><br />Menjilati setiap tetes campuran penuh protein itu tanpa sisa. Setelah penis Alfi bersih, kepala gadis itu menyelusup ke antara paha Sandra. Terlihat kelopak kewanitaannya masih menganga dan didalamnya penuh dengan lendir bening. Meski baru pertama kali ia melakukan prilaku para kaum lesbian itu namun tak ada rasa jengah atau jijik pada diri Niken. Bau yang keluar dari situ malahan merangsang dirinya. Dijilatinya kemaluan Sandra dengan lembut, sambil meminum cairan yang tertinggal didalamnya. Alfi memang keterlaluan semalaman ia sudah menghajar benda cantik ini lebih dari enam jam lalu ditambah setengah jam-an siang ini. Bagaimanapun nikmatnya persetubuhan itu tetap saja menciderai Sandra.<br /><br />“Ouhhh Niennn..” rintihnya.<br /><br />Kelembutan Niken mendatangkan rasa nyaman sekaligus nikmat bagi Sandra. Hingga akhirnya orgasme Sandra memaksa seluruh sperma Alfi terdorong keluar bersama miliknya. Niken dengan sigap menghisapinya sampai habis. Dasar bandelnya Alfi penisnya yang masih agak tegang itu ia selipkan kembali ke dalam vagina Sandra. Dan dibiarkannya mengeram di situ<br /><br /><br /><br />Alfi menyusupkan kepalanya dicekungan leher Sandra. Sementara tangannya mengelus-elus lembut dada Niken. Betapa membahagiakan berada di antara pelukan dua bidadari yang sangat dipujanya ini. Sayang kak Dian belum pulang dan kak Nadine dalam kondisi hamil. Ingin rasanya saat ini ia bersetubuh dengan ke empat gadis itu secara bersamaan.<br /><br />“Fii” Sandra berbisik<br /><br />“Iya kak?”<br /><br />“Kamu lebih cinta aku atau kak Nikenmu Fii?” goda Sandra<br /><br />“Kkakaakk.. …Alfi sayang dan cintaa sama kakakk berduaaa”<br /><br />“Kalau kusuruh memilih salah satu, kamu akan memilih siapa?”<br /><br />“Ahhh kakk.. jangannn nanya begituuu”<br /><br />ujar Alfi mempererat dekapannya pada tubuh sintal Sandra. Ia kuatir Sandra cemburu terhadap kecantikan Niken. Dan memutuskan meninggalkannya<br /><br />“Sand.. udahan bercandanya nanti dia stress” bisik Niken iba melihat wajah Alfi sudah memerah mau menangis.<br /><br />“iya ..ya , kakak cuma bercanda kok, kakak tetap mencintai kamu Fii walau kamu punya banyak kekasih nantinya”<br /><br />“Kak sandraaa, Alfi ngga mungkin ninggalin kakak, kakak cinta pertama Alfi, kakak Perawan pertama Alfi, Alfi cinta setengah mati sama kakak”.<br /><br />“Idihhh gombalnyaa bikin aku klepek-klepek Nienn” ujar Sandra. Niken tersenyum geli<br /><br />Ia tahu meski kedengaran gombal perkataan Alfi merupakan cerminan ketulusan cintanya pada Sandra dan dirinya.<br /><br />“Fiii terlentang sayang, kakak mau di atas” bisik Niken. Kali ini.ia menginginkan persetubuhan dengan posisi di atas tubuh Alfi.<br /><br />Alfi melepaskan tindihannya dari tubuh Sandra. Lalu terlentang di antara keduanya dengan batang kemaluan berdiri bagai sebuah tonggak. Niken naik ke atas tubuh kecil anak itu. Perlahan vagina indahnya melahap hingga habis daging cinta Alfi yang hitam legam.<br /><br /><br /><br />Clkteppp…sekejap penis besar Alfi menyatu sempurna dengan vaginanya, dalam posisi duduk dengan kaki terlipat kebelakang lalu Niken mengayun pinggulnya ke depan dan ke belakang. Kedua payudaranya yang indah berayun-ayun mengikuti goyangan tubuhnya. Alfi hanya dapat menatap keindahan tubuh Niken sambil Jemarinya meremas pinggul bulat wanita itu. Tak banyak yang bisa ia lakukan dalam posisi ini. Ia membiarkan Niken mendominasi persetubuhan.<br /><br />“Uhhhhh Kakaak …punya kakkakk enakk bangettt…kakak cantikkk…kakakkk molekkk” Alfi mulai meracau karena keenakan.<br /><br />“Hmm.. masih saja ngegombal ya, dasar laki-laki, rasakan inii…” kata Niken sambil mempercepat ayunan pinggulnya dan otot-otot vaginanya mencengram kontol Alfi lebih kencang dari sebelumnya yang membuat Alfi kian melambung keenakan.<br /><br />“Ouuuuuuuggghh.. Kakakkkkk…Sayangggggg!!!!” lolong Alfi nikmat seakan jiwanya ikut terbetot..<br /><br />Niken tahu rasa-rasanya Alfi tak akan menunggu waktu lama untuk berejakulasi. nikmat itu menggila dan tak dapat anak itu tahan lagi. Dan…creetttt…creett..crettt<br /><br />“Kakaaaakkk…Allfiiii muncrattt!!!!! Ougghhh!!!”<br /><br />Jemari Alfi mencengkram pinggul Niken kuat-kuat. Bersamaan dengan pekik nikmat, penisnya berkejat-kejat lalu lubang pipisnya melepaskan memuntahkan seluruh sisa spermanya kedalam rahim Niken. Meski tak satu tetes manipun yang keluar lagi namun penisnya masih menghentak-hentak kuat dan vagina Nikenpun seakan tak pernah mengendur mencengram batangnya. Niken paling suka memandangi ekspesi wajah Alfi kala bocah itu mendapat orgasme darinya.<br /><br /><br /><br />“Wow Nien… kamu hebat bisa menaklukan dia hi..hi” ujar Sandra yang sejak tadi tak lepas menatap persetubuhan mereka. Baik ia maupun Dian dan Nadine juga memiliki posisi favorite dan kebiasaan sendiri-sendiri. Sejak diperawani Alfi dulu Sandra lebih suka posisi ‘missionary’ di mana Alfi menindih tubuhnya, menghajarnya dengan hujaman kuat. Dian memilih ‘doggie style’ alasannya pada posisi itu Ia merasa G-spotnya tertumbuk secara maksimal oleh titit Alfi. Sedangkan Nadine ada kecenderungan menyukai persetubuhan di luar kamar tidur. Tempat yang paling di sukai Nadine adalah kolam renang di rumah Sandra. Alfi melepas dekapannya lalu memutar kembali posisi tubuhnya kembali menindih tubuh Niken.<br /><br />“Tungguuu duluu! Fii” seru Sandra saat Alfi mulai membentangkan kedua paha Niken dan segera akan kembali melakukan penetrasi.<br /><br />“Kenapaaa kak?” ujarnya heran karena Sandra tiba-tiba mencegahnya.<br /><br />“Kita istirahat dulu sebentar ya, setelah makan siang kita lanjutin lagi, apa kamu ngga kasihan sama kak Nikenmu?” jelas Sandra. Alfi mendongak melihat ke arah jam dinding. Uhh..ternyata sudah pukul 2.30 siang, pantas perutnya berbunyi-bunyi tanpa ia sadari.<br /><br />“Iya ya kak, hi hi biar Alfi yang beliin keluar ya” ujarnya bergegas berpakaian dan menghilang dari balik pintu.<br /><br />Sepeninggal Alfi keduanya memanfaatkan waktu buat beristirahat sambil memulihkan tenaga karena mereka yakin setelah makan Alfi akan menggarap tubuh mereka lagi.<br /><br />“Nien, apakah kamu bahagia kan sekarang?” Tanya Sandra diantara napasnya yang masih belum teratur.<br /><br />“He e Sand, aku bahagia …hanya saja…”<br /><br />“Aku tahu kamu bingung memikirkan soal kelanjutan rumah tanggamu dengan Donie kan?”<br /><br />“Iya itu Sand. Haruskah aku minta cerai saja pada Donie?”<br /><br /><br />Alfi<br /><br />Alfi<br /><br />“Hmmm… aku rasa biar Donie yang memilih”<br /><br />“Mak..sudmu bagaimanaa Sand?”<br /><br />“Cerai dari Donie adalah pilihan terakhir. Biarkanlah ia tahu hubunganmu dengan Alfi dan selanjutnya terserah ia mau menerima keadaanmu atau dia harus merelakanmu pergi”<br /><br />“Jangaaan… Sand, a..ku takut hal ini akan menimbulkan masalah besar”<br /><br />“Ngga usah kuatir manis, Aku tak akan gegabah, baiknya kamu nonton saja, biar aku dan suamiku yang mengatur hal itu. Yang penting sekarang kamu sudah mendapatkan kembali kebersamaanmu dengan Alfi.”<br /><br />“Aku harus mempunyai alasan untuk itu Sand sebab Donie tak mengijinkan aku sering-sering keluar rumah”<br /><br />“Sementara ini kamu bisa bikin alasan memberi les private bagi Alfi, Donie pasti tak dapat menolak bila Didit dan aku yang minta kamu ke sini. dan bila suamimu sedang ke kota G si Alfi dapat menginap di rumahmu”<br /><br />Meski masih belum mengerti betul akan rencana Sandra namun Niken menyetujuinya. Selama ini ia sudah cukup bersabar menanti datangnya kebahagian dalam rumah tangganya. Apalagi ibundanya kini sudah tiada jadi tak ada yang dikuatirkannya lagi. Awalnya ia hanya bisa pasrah dan tak tahu lagi harus berbuat apa namun Niken berpikir inilah saatnya bagi ia mengapai kebahagian bagi dirinya .<br /><br />“Sand..”<br /><br />“Ya?”<br /><br />“Tadi Alfi meminangku”<br /><br />“Hi hi kamu serius menanggapinya?”<br /><br />“Menurutmu bagaimana?”<br /><br />“Kurasa Alfi hanya sedikit trauma karena harus berpisah denganmu tempo hari. Lantas apa jawabanmu?”<br /><br />“Aku tak ingin ia kecewa kukatakan aku bersedia ia nikahi. Sebenarnya yang jadi permasalahan aku kuatir setelah itu ia tak mengijinkan aku pulang atau bertemu dengan suamiku sehingga akan menggangu kelancaran rencanamu”<br /><br />“Hi hi kamu ngga usah kuatir Nien. Nanti semuanya akan kita atasi bersama-sama. Saat ini aku ingin melihat kamu berbahagia dulu”<br /><br />“Baiklah…makasih kamu mau bersusah payah demi aku, Sand” ujar Niken dengan senyum mulai mengembang pada bibirnya.<br /><br /><br /><br />“Nah begitu dong..Yuk kita mandi bareng sambil nunggu Alfi pulang dari resto”<br /><br />terdengar Bunyi air yang memancar dari Shower.<br /><br />Tuk..tuk..seseorang mengetuk kaca dinding shower. Sandra menggeser pintu, di sana telah berdiri Dian dengan senyum manis.<br /><br />“Hi” sapanya<br /><br />“Eh Dian, kok sudah pulang? Oh ya ini Niken gurunya Alfi” ujar Sandra sambil mematikan keran air<br /><br />“Panggil Nien saja” ujar Niken.<br /><br />Dian menyambut uluran tangan Niken, lalu menariknya mendekat. tanpa takut bajunya basah. Lalu Dian mencium kedua pipinya. Ciuman itu beralih ke bibir Niken. mulanya Niken terperangah mendapat sebuan mendadak itu, namun sejurus kemudian ia sudah membalas lumatan bibir Dian. Cks..cks…ciuman singkat namun hot itu terhenti ketika Dian melepas lumatannya<br /><br />“Nien..aku berharap kamu mau menjadi bagian dari keluarga kami” ujar Dian tulus<br /><br />“Terima kasih yah kalian semua mau menerima kehadiranku” Niken terharu atas penerimaan ke dua wanita ini.<br /><br />“E..e kok sedih-sedihan lagi, sekarang waktunya gembira dong” ujar Sandra <br /><br />“Ck.. ck.. kamu ternyata memang sangat molek seperti kata Alfi”<br /><br />“Ah.. kamu juga suka memuji seperti Sandra, Kalian berdua-pun mirip bidadari”<br /><br />“iya ya emang kita semua cantik dan molek Hi hi . Sand sepertinya beberapa hari ini kita bisa beristirahat, biar Niken dulu yang menemani si Alfi”.<br /><br />“Iya biarin mereka berbulan madu tanpa ada yang mengganggu” ujar Sandra menimpali membuat pipi Niken memerah malu.<br /><br />“eh .. aku boleh gabung mandi sama kalian kan?”<br /><br />“Ayolah..toh pakaianmu juga sudah basah gitu hi hi”<br /><br />Selanjutnya hanya terdengar tawa canda ketiga gadis cantik itu diantara bunyi percikan air shower.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-41496002649407395412012-03-31T14:04:00.000-07:002012-03-31T14:04:05.377-07:00Hukuman Manis Buat Donie Di tempat praktek Dr.Lila<br /><br /> “Baiklah demi Niken sahabatku aku mau membantu kalian namun sebaiknya kita menemui seseorang yang tepat pada spesialisasi di bidang itu” ujar Dr.Lila saat sore itu Sandra dan Dian datang menemuinya di ruang praktek.<br /><br />“Siapa orang itu La?” tanya Sandra tadinya ia berpikir Lila sendiri yang akan membantu. Ia baru teringat kalau Lila merupakan Ahli spesialis Penyakit Kandungan dan alat kelamin bukan seorang ahli Seksiologi.<br /><br />“Mantan dosenku dulu. Ia seorang ahli Terapi Penyakit dan Kelainan Seksual. Namanya Dr. Hung atau orang sering menyebutnya Dr. H”<br /><br />“Seperti dr.Naek atau Boyke?”<br /><br />“Ya tapi ia tidak popular seperti mereka meski lebih senior. Seharusnya ia bisa saja mendapat gelar Profesor jika ia mau”<br /><br />“Kalau begitu sebaiknya langsung saja kita temui Apakah ia praktek di sini juga.”<br /><br />“Sayangnya tidak. Setahuku ia tak lagi membuka praktek. Ia lebih banyak melakukan penelitian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah seksual lalu mengirimkan hasilnya pada forum-forum kesehatan internasional.” jelas Lila. Lalu dokter cantik itu mengambil handphone-nya lalu berbicara dengan seseorang. Hanya singkat.<br /><br />“Beruntung dia ada di rumahnya. Dan dia berkenan menerima kita sekarang” ujarnya setelah menutup percakapan di telepon.<br /><br />Lila memutuskan menutup kliniknya lebih awal. Setelah meninggalkan pesan pada perawatnya ia lalu ikut dengan Sandra dan Dian menuju ke kediaman dr.H.<br /><br />“Hati-hati bila berbicara dengannya. Dia orangnya gampang sekali marah apalagi menyangkut hasil risetnya” ujar Lila memperingatkan Sandra dan Dian saat mereka memasuki halaman sebuah rumah.<br /><br /> <br /><br />Sesosok wajah kusut mirip Einsten muncul mempersilakan mereka masuk. Secara singkat Lila menerangkan maksud dan tujuan mereka datang ke situ tentu saja ada hal-hal pribadi yang tak dikatakannya.<br /><br />“Huh! temanmu itukah yang suaminya bermasalah” tanyanya sambil menoleh ke arah Sandra.<br /><br />“Bu..kan doc tapi teman kami yang lain”<br /><br />“Sekarang akan kujelaskan dulu mengenai penyakit suami temanmu itu. Ejakulasi dini adalah salah satu keluhan wanita terhadap pria selain impotensi. Pada intinya seorang pria gagal mengendalikan dan mengontrol ejakulasi saat kegiatan seksual baru saja berlangsung. Walaupun kebanyakan wanita merahasiakannya tetapi tidak sedikit rumah tangga yang berantakan karena masalah seksual pria yang satu ini. Sebenarnya aku baru menemukan sebuah metode penyembuhan khusus bagi penyakit Ejakulasi Dini namun aku belum memiliki nama untuk ini. Pada dasarnya aku hanya mencangkokkan beberapa teori seperti teknik ‘stop-start’ yang sudah umum dipakai dan kemudian menambahkan beberapa teknik baru. Sepanjang suami temanmu itu tidak menderita diabetis akut atau kolestrol tinggi tentu saja masih ada harapan sembuh. Mungkin juga hanya psikologis-nya yang harus di obati. Itu bisa dilakukan bersamaan dengan dengan metode dariku.” jelasnya panjang lebar.<br /><br />“Apakah metode itu sudah teruji manjur Doc?” Tanya Sandra<br /><br />“Untuk apa kalian datang kemari jika tak mau percaya pada omonganku Ha! Kalian cuma akan membuang-buang waktuku saja!” ujar dr.H sewot.<br /><br />“Eng..maaf pak, bukannya tak percaya tapi kami baru kali kami mendengar teknik tersebut.” Ujar Lila mencoba mencairkan suasana.<br /><br />Sandra menggeser berdirinya ke belakang Lila.<br /><br />“Galak betul! Pantas tidak buka praktek. Pastilah tidak ada seorangpun pasien yang mau berkonsultasi dengannya” pikir Sandra.<br /><br /><br /><br />“Tentu saja kalian tak pernah mendengarnya karena memang belum kupublikasikan!”<br /><br />“Loh Jadi belum pernah ada yang mencobanya?” ujar Sandra lagi<br /><br />Lila mencubit pinggang Sandra takut si eksentrik ini tersinggung lagi. Dan benar saja<br /><br />Ia melihat wajah si ‘Einsten’ sudah merah padam.<br /><br />“Sekali lagi temanmu itu bertanya demikian akan kuusir kalian semua dari sini!” ucapnya dengan suara berat.<br /><br />“Maafkan atas kelancangannya Dok. Tapi please, teman kami sangat membutuhkan pertolongan. Mungkin dengan penemuan ‘spektakuler’ anda suaminya bisa disembuhkan. Kami berharap ia menjadi orang pertama yang mendapat kehormatan merasakan kesembuhan dari metode itu” Ujar Lila, Ia sengaja menambahkan kata ‘spektakuler’ untuk mengambil hati mantan dosennya yang pemarah itu.<br /><br />Pria tua itu terlihat menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskannya. Lalu ia terlihat mengambil sesuatu dari dalam sebuah lemari besi. Tak lama kemudian ia kembali dengan memegang sebuah piringan CD.<br /><br />“Ok baiklah …ini kuberikan sebuah rekaman yang memuat semua teori dari metode itu. Lila kamu bisa mempelajarinya bersama teman-temanmu. Namun jangan terkejut di dalamnya juga ada rekaman persetubuhan sepasang orang yang mau kujadikan sample untuk mengujinya . Oleh karenanya kalian harus berhati-hati jangan sampai video ini tersebar luas, aku tak ingin ‘masterpiace’ku ini di salah gunakan. Kalian mengerti?”<br /><br />“Ya dok. Dan terima kasih banyak atas bantuannya” Ujar Lila sambil menerima rekaman tersebut yang sudah dalam bentuk sebuah CD. Ia tahu orang ini sebetulnya agak keberatan menyerahkan hasil karyanya pada mereka.<br /><br />“Dok, Apakah masih perlu obat-obat, jika ada mengapa kami tidak sekalian diberi resepnya?” ujar Dian ikut-ikutan nimbrung.<br /><br /><br /><br />“Hah?! Kalian ini memang tak tahu diri! Sudah dikasih hati sekarang minta ampela? TIDAK ADA OBAT-OBATAN!!! Lebih baik sekarang minggat kalian semua dari sini!!!”teriaknya.<br /><br />“Ba..ikk dok, kalau begitu kami permisi sekarang” ujar Lila sambil menarik tangan kedua sahabatnya kabur dari situ..<br /><br />Sesampai di rumah Sandra. Mereka segera melihat isi dari CD yang mereka peroleh tadi.<br /><br />Lila memperhatikan dengan seksama saat pada layar monitor muncul wajah dr.H melakukan presentasi. Banyak kalimat dan istilah-istilah yang tak di mengerti oleh Sandra dan Dian. Dian tertawa geli pas menonton adengan persetubuhan dua orang yang ‘kelinci percobaan’ test tersebut.<br /><br />“Sttt… jangan berisik….biar dapat Lila menyimak semuanya”bisik Sandra.<br /><br />“Hi..hi aku cuma merasa geli melihat muka si lelakinya persis orang bego gitu pas lagi keenakan”<br /><br />“Ah..Kau … inikan bukan BF…Dasar!”<br /><br />“Ok, kupikir ini tak sulit. Hanya saja kita butuh seseorang buat melakukan ini semua” Ujar Lila ketika semuanya selesai.<br /><br />“Eng…Ada!“ ujar Sandra sambil menoleh ke arah Dian.<br /><br />“Loh..kok aku?”<br /><br />“Ya siapa lagi manis…cuma kamu yang paling mungkin melakukannya soalnya Nadine sedang hamil besar sedangkan aku tak akan di perbolehkan oleh suamiku”<br /><br />“Ok deh…aku mau, demi Niken dan Alfi”ujar Dian<br /><br /><br /><br />—<br /><br />Satu minggu kemudian, di rumah Donie dan Niken<br /><br /><br /><br />Sebuah mobil sedan telah terparkir di depan garasi saat kendaraan Donie baru memasuki perkarangan rumah. Donie baru kembali dari kota G dengan keletihan fisik begitu mendera. Bukan karena pekerjaan namun kehidupan malam yang ia jalani selama inilah yang menjadi penyebabnya. Di dalam hatinya ia membatin. Ia tahu Niken pasti mencapnya sebagai lelaki yang tidak setia atau tukang selingkuh meski tak pernah sekalipun ia ucapkan. Perkawinan mereka yang baru seumur jagung sudah terasa sangat hambar. Dari luar orang akan menganggap ini adalah pasangan muda yang ideal dan banyak di idam-idamkan orang. Sepasang suami istri yang serasi baik dari prestasi maupun fisik Yang wanita cantik sedangkan yang pria tampan dan gagah. Memiliki materi yang berlimpah. Yang menjadi gara-gara tak lain karena masalah ejakulasi dini yang dideritanya. Kebiasaannya bergonta-ganti pasangan dan mengumbar pesona kesana kemari hanyalah untuk menutupi kelemahannya itu. Hasilnya ia bukan saja ia tak menemukan solusi dari masalahnya malahan kondisi fisiknya semakin lama semakin melemah. Dan akibatnya ia justru semakin tak mampu melaksanakan tugasnya sebagai suami di atas tempat tidur dengan baik. Ia nyaris frustasi. Buat ke dokter ia harus berpikir dua kali. Bisa-bisa ia bakal terlihat oleh seseorang yang mengenal dirinya saat sedang mengantri. Dan itu yang tak ia inginkan orang sampai tahu mengenai penyakitnya. Entah sampai kapan ia dan Niken dapat mempertahankan rumah tangga mereka dalam kondisi seperti ini. Permasalahan ini ibarat bara api dalam sekam yang perlahan tapi pasti menggiring perkawinan mereka ke pintu perceraian. Saat melintasi ruang tamu ia melihat ternyata istrinya sedang menerima tamu. Tiga orang wanita tergolong sangat cantik salah satunya nampak sedang berbadan dua. Bersama mereka nampak pula seorang anak laki-laki remaja berkulit hitam. Niken bergegas menyambut ketika dilihatnya sang suami muncul.<br /><br /><br /><br />“Oh mas Donie sudah pulang” ujar Niken mengambil alih sebagian barang bawaan dari tangan suaminya.<br /><br />“Mas Donie kita ada kedatangan tamu. mari kuperkenalkan”<br /><br />“Eng sebentar Nien…rasa-rasanya kami sudah pernah bertemu sebelumnya…Eng…Sandra kan?” terkanya setelah berusaha mencoba memutar memorinya.<br /><br />“Betul mas saya Sandra istri Didiet teman anda, Wah .. luar biasa mas Donie masih ingat sama saya padahal kita hanya pernah ketemu satu kali dulu itu” ujar Sandra membenarkan.<br /><br />“Wah ternyata kalian saling mengenal ya…eng lantas ini Dian..Niken dan Alfi” ujar Niken memperkenalkan mereka satu persatu pada Donie<br /><br />Donie mengangguk sopan kepada mereka sambil melebarkan senyum memperlihatkan deretan gigi putih bak bintang iklan pasta gigi. Namun matanya terpaku saat melihat wanita yang mengenakan baby doll berwarna putih bernama Dian. Wanita ini tak hanya cantik namun memiliki daya tarik seksual yang luar biasa. Senyumnyapun begitu mengoda.<br /><br />“Oya kemana Didiet kok ngga ikut?” mencoba mengalihkan perhatian agar tak menimbulkan kecurigaan bagi yang lain.<br /><br />“Eng mas Didiet kurang enak badan tetapi dia titip salam buat mas Donie” jawab Sandra.<br /><br />Donie dan Didiet memang sudah saling mengenal selama dua tahun ini. Kebetulan perusahaan mereka sama-sama menjadi rekanan dari sebuah perusahaan asing besar yang sedang menagani pekerjaan besar di kota G. Perusahaan Didiet bergerak di bidang supplier material sedangkan perusahaan milik Donie sebagai kontraktor. Untung bidang yang mereka tangani berbeda jadi tak ada persaingan di antara perusahaan mereka.<br /><br /><br /><br />“Mas, Sandra datang kemari ingin memintaku memberikan les privat kepada putra asuh mereka Alfi” jelas Niken. Pandangan Donie meneliti ke Alfi yang berdiri di samping Sandra.<br /><br />Tidak salahkah? Anak bertubuh kurus kering berkulit hitam kesat dan bertampang pas-pasan ini adalah anak asuh si Didiet, Apakah tidak ada anak lain yang lebih ‘bersih’ atau sepadan untuk dijadikan anak asuh mereka? pikir Donie dalam hati. Tapi Akhhh…itu urusan mereka. Ia berpikir mungkin si Didiet punya pertimbangan lain.<br /><br />“Oh tidak masalah aku tidak keberatan , Didiet-kan temanku dan lagian Niken juga tidak ada kegiatan di rumah jadi..silakan saja”<br /><br />“Terima kasih banyak, mas”<br /><br />“Silakan lanjutkan pembicarannya maaf saya tinggal dahulu”<br /><br />“ya..terima kasih sekali lagi atas ijinnya mas”<br /><br />Donie masih sempat kembali melirik ke arah Dian sebelum meninggalkan ruang tersebut.<br /><br />Beruntung saat itu Dian-pun sedang mengerling ke arahnya sambil melebarkan senyum penuh arti.<br /><br />“Uhh cantiknya” gumam Donie.<br /><br />Di dalam kamar Donie menghempaskan punggungnya di kasur. Matanya terpejam mencoba untuk melupakan sejenak persoalan rumah tangga yang membelit pikirannya. Menit-menit berlalu, sia-sia ia berusaha tidur. Pikirannya tetap menerawang hingga Niken masuk ke kamar.<br /><br />“Mereka sudah pulang?”<br /><br />“Ya mas”<br /><br />Niken melepas kaus kaki suaminya lalu mengambil piama dan handuk bersih dari lemari.<br /><br /><br /><br />“Mas mandi saja dulu biar lebih nyaman istirahatnya”<br /><br />“Nanti saja Nien, aku masih letih sekali”<br /><br />“Kupijat bahunya ya mas?”<br /><br />Donie membalikan tubuhnya sehingga Niken leluasa meraih bahunya. Pijatan Niken tak sekeras pijatan tukang pijat tapi Donie merasa Jemari lembut istrinya memberikan rasa nyaman. Tak ada yang salah pada Niken. Ia cantik, penurut dan penuh perhatian. Tapi entah Donie malah semakin tersiksa atas perlakuan baik istrinya. Ia tak dapat membalas kemesraan istrinya.<br /><br />“Mas kangen ngga padaku?”ujar Niken manja.<br /><br />“Eng..ya” singkat sekali jawaban Donie, tak ada ekpresi sedikitpun pada kalimat yang diucapkannya.<br /><br />“Mas aku kangen. Kita…begi..tu..an yuk?” mohon Niken agak menghiba. Jemari lembutnya meraba lembut dada suaminya yang bidang.<br /><br />Hal ini yang ditakuti Donie. Ia merasa lebih baik menghindar ketimbang memilih melakukannya namun GAGAL!<br /><br />“Sorry Nien lain kali saja aku masih capek” ujarnya sambil menepiskan tangan Niken.<br /><br />Sambil memutar tubuhnya ke arah dinding.<br /><br />Niken menghela napas. Lalu ia merebahkan tubuhnya di samping Donie dengan kekecewaan<br /><br /><br /><br />–<br /><br />Dua Minggu kemudian, Jam 12.15<br /><br /><br /><br />Di lantai dasar sebuah gedung perkantoran. Di sebuah kafe. Saat itu jam istirahat beberapa karyawan kantoran terlihat sedang makan siang disana. Nampak pula Dian sedang duduk menempati sebuah meja dengan dua buah kursi.<br /><br />“Maaf membuatmu menunggu agak lama, tadi jalan menuju kemari macet” ujar Donie datang tergesa-gesa dan menarik kursi di seberang duduk Dian lalu duduk.<br /><br />“Ngga pa pa kok mas. Aku tadi sudah pesankan makanan buatmu”<br /><br />“Oh..makasih”<br /><br />Sambil menikmati santap siang mereka bercakap-cakap. Nyata sekali keakraban diantara mereka berdua. Sesekali terdengar tawa Dian setiap Donie melontarkan kata-kata gombalnya. Tentu saja ini bukanlah kali pertama mereka bertemu seperti ini. Keintiman mereka sudah berjalan selama dua minggu sejak pertemuan di rumah Donie tempo hari. Tak biasa bagi Donie mengencani seorang wanita dalam waktu selama ini. Biasanya hubungan itu hanya berjalan paling lama satu minggu. Ada yang membuat ia benar-benar penasaran terhadap Dian. Faktanya sampai saat ini ia belum juga berhasil meniduri wanita cantik itu. Paling-paling Dian hanya mengijinkannya mencium atau sebatas meremas dada itupun mereka lakukan masih dalam keadaan berpakaian utuh terpakai. Sungguh tak lebih dari itu. Dian mengatakan pada Donie bahwa ia baru akan memberikan semuanya bila Donie bisa bertahan lebih dari satu minggu bersamanya<br /><br />“Manis bukankah hari ini genap dua minggu sudah kita bersama?” ujar Donie di tengah santap siang.<br /><br />“Betul, memangnya ada apa Mas?”<br /><br />“Aku mau menagih janjimu tempo hari”<br /><br />“Kok mas masih ingat? Bukankah selama dua minggu ini kita selalu bermesraan”<br /><br />“Betul tapi kamu belum memberi aku yang satu itu jadi mana mungkin aku lupa”<br /><br />“Hi hi kacian deh. Lantas setelah ini mas mau mengajak aku kemana?”<br /><br />“Ehmm…kamu pinginnya kemana say? ke villa di atas perkebunan yang sunyi tapi romantis? Atau… di pinggir pantai berpasir putih sambil mendengar deburan ombak?”<br /><br />“Engga mau ah”<br /><br />“Lantas kamu pinginnya di mana say?”<br /><br />“Aku… maunya di… rumah mas di atas tempat tidur nya mas Donie dan Niken. “<br /><br /><br />Dian<br /><br />Dian<br /><br />“Aaa..paaa?!! kamu pasti sedang bercanda kan manis?” ujar Donie terperanjat mendengar permintaan aneh Dian.<br /><br />“Aku serius mas. Aku pingin kita melakukannya di sana”<br /><br />“Ng..ga mungkinn! Bilang saja sejak awal bila kamu cuma mau main-main denganku”<br /><br />“Aduh begitu aja marah.. siapa bilang aku berniat mempermainkan mas. Aku juga sangat menginginkannya kok. Apakah karena hal ini lantas mas ingin mengurungkan rencana kita sore ini”<br /><br />“Bukan begitu. Tetapi kenapa harus di sana sich?. Apa tidak ada tempat lain? Kau pasti tahu meski istriku tidak di rumah setiap saat ia bisa saja pulang dan memergoki kita”<br /><br />“Ngga tahu aku mendadak kepingin saja. Rasanya gimana ya bercinta dalam situasi seperti itu. Apa mas ngga mengginginkan aku?”<br /><br />“Huh! Baiklah.. tapi aku akan cari tahu dulu kapan istriku pergi. Setahuku satu jam lagi ia akan memberikan Les kapada si Alfi di rumah Sandra.”<br /><br />Donie menghubungi Niken melalui Handphone-nya. Tak lama kemudian terdengar suara Niken diseberang<br /><br />“Mas jam dua ini aku pergi ke rumah Sandra dan kemungkinan pulangnya agak kemalaman karena setelah selesai mengajar Alfi, Sandra mengajakku menemaninya Shopping, mas ada titip sesuatu?”<br /><br />“Ngga ada Nien, selamat belanja ya bye”<br /><br />“Bye” Niken menutup pembicaraan.<br /><br />Sempurna! Pikir Donie<br /><br />“Bagaimana mas?”<br /><br />“Kamu dapat apa yang kamu inginkan dan sekarang kamu tidak bisa menghidari dariku lagi Ha ha”<br /><br />“Hi hi aku ngga bakal lari kok” <br /><br />Tak lama kemudian setelah selesai bersantap. Mereka beranjak meninggalkan tempat itu.<br /><br />Menuju ke rumah Donie untuk melepas kegairahan yang terpendam selama dua minggu ini.<br /><br /><br /><br />—-<br /><br />Jam 14.20 Di rumah Donie dan Niken<br /><br /><br /><br />Dian terpesona saat memperhatikan suasana di dalam kamar tidur Niken dan Donie. Sebuah kamar tidur yang nyaman didominasi warnah putih. Ada sebuah ranjang besar terbuat dari besi berukir dengan empat buah pilar tinggi yang indah. Di atasnya terbentang sebuah kasur empuk tertutup seprey putih bersih. Ada sebuah sofa besar berwarna juga putih dan berjok empuk terletak di samping dan menghadap ke arah tempat tidur. Sebuah kamar tidur yang indah namun sama sekali tak pernah menjadi tempat yang indah bagi percintaan Niken dan Donie, nampak pula sebuah ‘connecting door’. yang terhubung dengan kamar lain di sebelahnya. Niken telah mempersiapkan kamar tersebut bagi bayinya kelak.<br /><br />“Aduhh! lupa lagi” ujar Donie sambil menepuk kepalanya sendiri saat baru saja menutup pintu kamar.<br /><br />“Loh ada apa mas”<br /><br />“Kondom! Kita lupa membelinya. Persediaanku habis”<br /><br />“Hi hi ngga usah kuatir, Mas boleh menodaiku sepuasnya tanpa kondom sebab saat ini aku sedang tidak dalam masa suburku”<br /><br />“Yeahhh!!” Donie tergesa-gesa membuka pakaiannya.hingga hanya tertinggal celana dalamnya saja.<br /><br />“Sisakan yang itu dan aku mau mas naik dulu ke atas tempat tidur” bisik Dian nakal<br /><br />Donie tak menyangka jika ia akan meniduri wanita lain di atas ranjangnya sendiri. Tiba-tiba Dian mengeluarkan dua utas tali dari dalam tasnya. Lalu ia mengikat masing-masing pergelangan tangan Donie pada tiang tempat tidur yang terbuat dari besi itu.<br /><br />“Mas rileks saja dulu”<br /><br /><br /><br />Sejak tadi Dian selalu meminta hal yang aneh-aneh. Padahal biasanya Donie main tembak langsung terhadap para wanita yang ia kencani. Tak ada foreplay. Berejakulasi cepat di dalam vagina. Syukur-syukur kalau bisa ereksi lagi bisa buat ronde ke 2 tetapi itu jarang sekali terjadi.Lalu setelah itu langsung bubaran seraya .meninggalkan kekesalan pada setiap pasangannya. Tapi kali ini ia mau saja mengikuti kemauan Dian. Ia cuma penasaran ingin tahu lebih lanjut permainan apa yang bakal dilakukan oleh Dian. Donie tahu Dian menginginkan ia dalam keadaan tak berdaya dan penuh dalam kekuasaannya. Donie sudah sering membaca atau menonton film biru mengenai hal tersebut. Ia tak menyangka bakalan bertemu dengan wanita yang terobsesi mendominasi pasangan prianya.<br /><br />“Dasar wanita pikirannya macam-macam. Mau inilah itulah padahal tetap saja ujung-ujungnya di entot!” pikir Donie.<br /><br />Setelah yakin Donie terikat sempurna. Dian kemudian menari-nari di hadapan Donie dengan lemah gemulai sambil melepas satu persatu pakaiannya. Mulai dari jas kerja yang paling duluan jatuh ke lantai. Kemudian menyusul rok dan blous yang dikenakannya. Sehingga kini nampak Dian hanya mengenakan bra dan celana dalam berwarna putih berenda-renda. Dian mencoba meraih pengait bra yang berada di punggungnya. Sengaja ia berlama-lama seolah kesulitan membukanya membiarkan gairah Donie semakin naik.<br /><br />Napas Donie mendengus-dengus. Entah mengapa ia selalu deg-degkan melihat yang ‘baru’ padahal milik istrinya jauh lebih bagus dibanding dengan kebanyakan wanita yang pernah dikencaninya selama ini. Dan ketika benda itu terlepas. Dua buah gumpalan daging berwarna putih yang cantik menggantung. Pada kedua ujungnya di hiasi puting mungil berwarna merah muda. Ada kemiripan pada bentuk putting susu Dian dan Niken. Kedua wanita itu memiliki aeorola yang mengembung bagai sebuah bukit kecil. Dan biasanya bagian itu akan ikut mengencang bersama putingnya pada saat pemiliknya terangsang.<br /><br /><br /><br />“Woahh.. can..tikkknyaa Okhh” Desah Donie terkagum-kagum. Penisnya belum apa-apa sudah mengeluarkan cairan mazi yang banyak membasahi celana dalamnya sehingga bagai membentuk sebuah pulau pada permukaannya.<br /><br />Dian tersenyum melihat ia berhasil membawa donie menikmati permainannya. Kini ia melangkah ke tahap selanjutnya. Kali ini ia naik ke atas ranjang. Perlahan ia menarik lepas celana dalam Donie sehingga isinya yang berukuran ‘standar’ itu terbebas. ‘Lumayan’ pikir Dian.bentuk dan ukuran kelihatan tak berbeda dengan milik Didiet. Dian berdiri di atas tubuh Donie sambil kembali meliuk-liuk menari dengan erotis. Tak berlebihan bila Alfi dan Didiet mengibaratkannya tubuhnya bagai sebuah gitar spanyol. Ukuran dada pinggang dan pinggul sangat ideal yang dapat membakar hangus jantung setiap lelaki yang menatapnya. Jemari Dian menyusup ke sisi-sisi samping celana dalamnya. Lalu perlahan-lahan penutup terakhir tubuhnya itu ia tarik ke bawah melewati ke dua batang pahanya yang putih bersih diiringi pandangan melotot Donie hingga akhirnya benda itu jatuh di pergelangan kaki Dian. Dan kini Donie dapat menatap segala keindahan di hadapannya itu tanpa halangan apapun sambil menelan ludah. Nampak kini sebuah bukit kecil di hiasi bulu-bulu halus yang lebat namun terawat. Bagian tengahnya membelah bagai sebuah bibir yang mengatup rapat. Belahan yang merupakan tiket menuju ke sebuah surga impian bagi kaum lelaki. Penis Donie yang sudah menegang penuh itu makin banyak mengeluarkan mani hingga membasahi seluruh glans penisnya.<br /><br />“Siapakah lelaki beruntung yang pertama kali menyentuhnya manis?”<br /><br />“Hi hi ..Nanti juga mas bakalan kukasih tahu, Yang penting aku mempunyai banyak sekali kejutan buat mas Donie hari ini. Sekarang aku ingin mas tutup sejenak mata sejenak dan jangan di buka sebelum aku minta”<br /><br />Donie menurut. Ia menutup matanya dan menunggu apa lagi kejutan yang bakal muncul selanjutnya . Ia berharap Dian langsung memasukan penisnya yang sudah gatal itu ke dalam vaginanya yang indah.<br /><br /><br /><br />“Buka sekarang mas” terdengar Dian memberi aba-aba .<br /><br />Donie membuka kedua matanya. Dan iapun langsung terbelalak. Ia memang di buat terkejut luar biasa namun kali ini tak seperti yang ia harapkannya karena saat itu Ia melihat Niken, istrinya, telah berdiri di samping tempat tidurnya.<br /><br />“Nienn?!..Bu..kankah kamuu …Haihhh!!” ucap Donie tergagap dan tak mampu menyelesaikan perkataannya.<br /><br />“Aku sengaja mengganti jadwalku mas, lalu aku menunggumu di kamar sebelah agar bisa memergokimu”<br /><br />“Ka..lian telah merencanakan ini kan?” ujarnya menoleh ke arah Dian.<br /><br />Ada perasaan malu dan kesal karena kali ini ia benar-benar tertangkap basah. Tidak hanya itu ia bahkan masuk ke dalam perangkap yang khusus disediakan baginya di dalam rumahnya sendiri. Kenapa ia begitu ceroboh tak terlebih dahulu memeriksa seluruh ruangan sebelumnya. Sungguh ia merasa hal ini akan menjadi awal dari sebuah prahara besar bagi rumah tangganya.<br /><br />“Ya mas. Kami memang telah mengatur hal ini namun mas jangan berprasangka buruk dulu”<br /><br />“A..pa maksudmu melakukan hal ini”<br /><br />“Banyak sekali yang ingin kusampaikan padamu mas, tetapi itu nanti saja, sekarang kuminta mas Donie nikmati saja dulu apa yang bakal terjadi sebentar lagi dan selanjutnya kita lihat apakah setelah ini mas Donie masih tetap mencintaiku atau malahan membenci aku.”<br /><br />Donie tak mengerti maksud dari kata-kata terakhir pada perkataan Niken barusan dan ia benar-benar heran melihat sikap Niken yang diluar dugaannya. Tadinya ia berpikir Niken akan marah besar di bakar oleh kecemburuan ketika menemukan ia bersama-sama dengan wanita lain dalam keadaan bugil seperti ini.<br /><br /><br /><br />Ia bertambah bingung ketika tiba-tiba Niken menarik tali kimononya dan benda itu terlepas dan terjatuh ke lantai. Ternyata ia sudah dalam keadaan polos tanpa mengenakan pakaian dalam lagi. Perlahan ia mendekat ke arah suaminya yang masih terbengong bingung. Lalu Niken perlahan maju mendekat ke arahnya<br /><br />“Nien..Nien..a..ku tak inginn…”<br /><br />Belum sempat ia menyelasaikan kalimatnya, mulut Niken sudah menangkap batang penisnya dan menghisapnya kuat-kuat.<br /><br />“Arrgggg….ka..lian kaum wanita benar-benar a..neh” ujarnya sambil merintih-rintih kesenangan<br /><br />“Apakah mas tidak suka?” goda Dian lalu mengambil alih penis Donie dari Niken kemudian ganti menghisapnya.<br /><br />“Sukaa..Arggghhh” rintih Donie. Tak menyangka ke dua wanita cantik itu mengulum kelaki-lakiannya secara bergantian. Donie lega meski masih bingung. Alih-alih dapat masalah ia malah mendapat kejutan menyenangkan. Benar seperti yang Niken katakan kalau Donie cepat sekali mengalami ejakulasi saat melakukan keintiman. Belum satu menit penisnya dalam lumatan mulut Dian dan Niken, ia sudah memperlihatkan tanda-tanda akan berejakulasi. Memang selama ini Donie tak pernah bisa bertahan lebih dari satu menitan setelah penisnya menerima rangsangan. Oleh karenanya ia selalu buru-buru melakukan penetrasi pada liang senggama pasangan nya. Ia merasa lebih baik muncrat saat penis sudah di dalam vagina ketimbang membuangnya di mulut. Sungguh sangat disayangkan jika saja ia mampu bersetubuh secara normal pastilah ia akan bisa merasakan yang lebih nikmat dari yang pernah ia rasakan selama ini. Padahal menurut Alfi lumatan vagina Niken adalah yang paling enak di antara sekian banyak wanita yang pernah disetubuhinya terutama saat Niken sedang mengalami orgasmenya. Dan sampai dengan saat ini Donie tak pernah bisa sampai pada tahap itu.<br /><br /><br /><br />Saat ini terlihat Donie sudah tak mampu lagi melawan hasratnya untuk berejakulasi. Spermanya berdesakan segera untuk muncrat keluar. Tiba-tiba Dian melakukan sesuatu. Jemarinya memencet keras-keras bagian tertentu pada leher penis Donie. Gerakan sederhana itu hanya ia lakukan beberapa detik namun hasilnya sungguh luar biasa bagi Donie. Ejakulasinya yang nyaris tak terbendung tadi sontak hilang begitu saja. Donie terperangah keheranan. Ia merasa takjub wanita cantik ini mampu menggagalkan ejakulasinya tadi.<br /><br />“Apa… yang barusan kau lakukan padaku?” tanya Donie.<br /><br />“Aku hanya membuat mas Donie menunda ejakulasi. Dengan begitu berarti mas Donie memberi kesempatan kepada kami sebagai pasangan mas buat meraih orgasme terlebih dahulu. Lagian kan mas Donie belum merasakan jepitan Vaginaku. Apakah mas mau berhenti sekarang?” jelas Dian memberi penjelasan pada Donie<br />“Eee…Ti..dakkk jangannn” Donie tak menyangka wanita seperti Dian tahu banyak mengenai hal tersebut “<br /><br />Kuluman ke dua wanita itu terhenti sejenak ketika sesosok tubuh hitam legam muncul dari kamar sebelah. Donie terperanjat ketika ia melihat Alfi sudah dalam keadaan telanjang bulat. Ia lebih kaget lagi melihat benda pada selangkangan anak itu yang sudah dalam keadaan kaku. Benda yang mengerikan. Kepalanya masih terbungkus kulip kulup itu membulat. sebesar sebuah tomat. Pada ujungnya yang berwarna merah terlihat sedikit mengintip. Batangnya kokoh berurat di dominasi warna hitam pekat. Meski tak tahu persis namun Donie memperkirakan panjang benda itu paling tidak 20 sentimeter-an. Namun yang jelas jauh lebih panjang dan besar dari miliknya yang cuma 15 senti.<br /><br />“Ma..u apa dia ke mari?”<br /><br />“Jangan dulu banyak tanya mas, sekarang nikmati saja dulu semuanya” ujar Niken sambil kembali melakukan oral terhadap penis suaminya.<br /><br />Alfi lalu duduk di sofa putih yang hanya berjarak dua meter dari ranjang mereka.<br /><br />Donie tercekat saat Dian mendekat ke arah anak itu. Lalu mereka berciuman dengan panas.<br /><br /><br /><br />Akhh!! Dian! si cantik itu mau menerahkan bibirnya kepada bocah hitam jelek itu. Bahkan ia mebuka mulutnya membiarkan lidah Alfi masuk berputar-putar. Sesekali Alfi melepas ciumannya lalu beralih ke payudara indah Dian. Kemudian Ia menghisapinya laksana seorang orok haus. Ternyata anak itu tak hanya mampu meladeni permainan bibir Dian tetapi juga sangat lihai dalam menetek. Donie melihat Dian lirih ketika nikmat mulai menyapa raganya akibat sentuhan Alfi.<br /><br />“Setan!” umpat Donie kesal karena anak itu telah mendahuluinya.<br /><br />Susah payah ia menunggu selama dua minggu untuk menjamah tubuh indah itu tetapi Dian malah memberikannya pada si setan kecil itu. Lepas berciuman Dian merebahkan tubuhnya di sofa itu. Kaki kirinya menjuntai ke lantai sementara yang satunya ia gantungkan di sandaran sofa. Dalam kondisi seperti itu selangkangannya terbuka lebar. Kepala Alfi menyusup di antara ke dua paha putih Dian. Alfi mengawalinya dengan mengecup lembut kedua batang paha putih Dian. Lalu kecupannya beralih ke sekitar belahan vagina dan akhirnya tepat di sasaran utamanya. Sampai di bagian tersebut lidahnya mulai beraksi. Lidahnya dengan perlahan menyapu dari bawah hingga atas belahan cantik di hadapannya itu. Tak ada bagian yang lolos dari jilatan lidahnya termasuk klitoris Dian yang pusat kesenangan bagi setiap wanita. Alfi lalu menghajarnya dengan hisapan kuat di bagian itu.<br /><br />“Fiiii….oughhhhhhh” pekik Dian ketika hisapan Alfi terhubung dengan syaraf-syaraf kenikmatannya. Tubuh sintalnya melenting dan mengelinjang hebat. Pinggulnya ia angkat seakan berharap Alfi menghisap klitorisnya lebih kuat lagi.<br /><br />Donie tercengang melihat bagaimana pandainya bocah itu mempergunakan lidahnya.<br /><br />Awalnya ia sedikit merasa ilfeel melihat keberadaan Alfi di sana apalagi anak itu saat menyentuh tubuh Dian. Namun berbarengan dengan kenikmatan akibat hisapan istrinya muncul pula perasaan aneh merayapi hatinya. Seakan-akan ia bisa menikmati kejadian di hadapannya itu. Apalagi mendengar suara rintihan-rintihan Dian yang menyayat. Iapun merasakan penisnya berereksi semakin keras.<br /><br /><br /><br />Niken tersenyum, ia tahu hasrat Donie sedikit demi sedikit mulai terseret menuju ke arah yang ia inginkan.<br /><br />“Ughh..sayangg akuu sudahhh…” tiba-tiba Donie merintih sambil mengelinjang.<br /><br />Niken segera menghentikan hisapannya. Seperti yang tadi Dian lakukan, iapun memencet bagian bawah leher penis Donie. Ia lakukan beberapa detik hingga Donie kembali tenang.<br /><br />“Uhh..sayanggg….kau juga bi..sa.?”<br /><br />Donie sudah berpikir Niken akan segera melakukan persetubuhan dengannya.<br /><br />“Belum saatnya mas..ini baru permulaan” jawab Niken sambil tersenyum nakal. Ia melepaskan genggaman jarinya pada penis suaminya lalu berdiri bersamaan dengan Dian yang juga berdiri meninggalkan si Alfi.<br /><br />Jantung Donie berdetak keras dan tak beraturan saat ia melihat Niken melangkah ke arah sofa dimana Alfi berada.<br /><br />“Nien!…Nien!…ka..mu…mau apa dengan diaa?” jerit Donie berusaha mencegah istrinya yang mulai terlentang menempati posisi Dian tadi.<br /><br />Dian tak ingin Donie terpancing emosinya segera memasukan penis lelaki itu ke dalam mulutnya dan melakukan hisapan-hisapan kuat yang liar.<br /><br />Slepp..clep..clep..clep<br /><br />“Arggggggg….eggggg” Donie mengeram nikmat, lagi-lagi penisnya disengat oleh kenikmatan. Kepalanya terlempar ke bantal.<br /><br />Di antara kenikmatan menggila itu bola mata Donie berotasi mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya, ia dapat melihat Alfi sedang melakukan hal yang sama seperti pada Dian tadi. Kepala anak itu dalam posisi terbenam ketat di selangkangan Niken.<br /><br />“Egg…Nieeenn…Nieeenn ohh” rintih Donie memanggil-manggil nama istrinya.<br /><br />“Tenang mas… Alfi hanya membuat agar istrimu siap untuk sebuah persetubuhan”<br /><br />bisik Dian berusaha menenangkan Donie.<br /><br /><br /><br />Huh!.. beruntung sekali bangsat kecil itu. walau cuma dengan lidah Donie seakan tak rela kemolekan Niken di nikmati pria lain. Percikan api cemburu membakar hatinya. Tak ubahnya Dian tadi, Nikenpun merintih-rintih dan tubuhnya menggelinjang liar akibat perlakuaan Alfi pada organ tubuhnya yang paling intim. Alfi terlihat begitu telaten dan tak tergesah-gesa. Dulu di awal perkawinannya Donie masih sering melakukan cunnilingus terhadap Niken. Seiring waktu ia tak pernah melakukannya lagi. Alfi seakan ingin menunjukan padanya bagaimana cara melakukan hal itu dengan cara yang benar. Tak hanya sekedar menjilat alat kelamin istrinya seperti yang pernah ia lakukan tetapi lebih dari itu. Alfi juga menunjukan rasa cinta dan penghargaannya pada benda itu dengan berlama-lama betah di sana. Bukankah benda ini adalah bagian yang paling diidamkan dan diinginkan seorang pria. Bukankah awal kehidupan juga berasa dari dalam benda ini dan harus melaluinya terlebih dahulu dengan belitan kenikmatan.<br /><br />“Oghhh..Ba..gaimana seorang bocah seusia itu tahu dan menjadi begitu pandai mengauli wanita?” ujar Donie terbata-bata oleh kenikmatan yang ia rasakan sambil tetap menatap kegiatan di atas sofa.<br /><br />Dian tersenyum mendengar pertanyaan Donie. Itu merupakan tanda kalau Donie perlahan sudah dapat menikmati perlakuan Alfi terhadap Niken.<br /><br />“Sejak berusia tujuh tahun dia sudah sering melakukannya pada banyak wanita” ujar Dian sambil mengocok-ngocok penis Donie menggantikan kuluman mulutnya sementara buat meladeni omongan Donie.<br /><br />“Gi..laaa…pan.tas.. kontolnya jadi begitu besarrr dan panjang”<br /><br />“Mas dia juga orang yang kumaksud” bisik Dian sengaja mencoba membakar gairah Donie lebih kuat lagi.<br /><br />“A..paa?”<br /><br />“Bukankah tadi mas bertanya siapa laki-laki yang pertama mengambil kegadisanku khan?”<br /><br />“Alfii?!Ti..dak mungkin! A..nak kecil ituuu?”<br /><br /><br /><br />“Percayalah mas, tapi tak hanya aku….Sandra dan Nadine juga”<br /><br />“Ougggghhhhh!!!. Bu..kankah ia adalah anak asuhhh Sandra dan Didiet sendiri?<br /><br />..ba…gai..manaa dengan Didiet?”<br /><br />“Mas Didiet yang meminta Alfi memerawani Sandra kemudian giliran aku dan Nadine”<br /><br />“Ka..liannn semuaa diperawani olehnyaaaa.. Arggggughhhhh…” Donie mengerang.<br /><br />Ini adalah kisah nyata paling edan dan aneh namun juga paling merangsang yang pernah ia dengar. Terus menerus mendapat rangsangan hebat tak hanya pada raganya namun juga pada jiwanya yang tak henti-hentinya dibakar oleh panasnya simulasi yang diciptakan oleh Dian dan Niken untuknya. Gairahnya menggelora liar.. akibatnya Donie terpancing untuk kembali berejakulasi. Dian segera mencengkram penis Donie sedikit lebih kuat dari tadi. Karena ia tahu kali ini dorongan Donie untuk berejakulasi lebih kuat dari sebelumnya. Sepuluh detik kemudian Dian mengendorkan jemarinya dan Donie untuk kesekian kalinya terbebas dari rasa nikmatnya. Dian mengecek waktu. Hmm.. sudah lewat lima belas menit. Ia menemukan fakta kalau Donie mulai terbiasa dengan sentuhan jari dan hisapan mulutnya. Berarti Doniepun bisa melakukan kegiatan seksual pada tahap yang lebih jauh. Berhasil meredakan ejakulasi Donie. Dian segera mengambil posisi ‘woman on the top’ di atas tubuh Donie. Ini yang Donie tunggu-tunggu sejak tadi. Ia girang melihat Dian sudah dalam keadaan akan melakukan permainan puncak. Ia tak menduga kalau ia seberuntung ini karena bisa mendapatkan tubuh Dian atas ijin dan kerelaan dari istrinya.<br /><br />“Anggap saja saat ini mas menerima ‘Door prize’ sambil menunggu kado utamanya”.<br /><br />ujar Dian.<br /><br />Penis Donie yang berdiri tegak bersentuhan dengan vaginanya. Kondisi vagina Dian yang licin membuat tak menemui kesulitan penis Donie masuk hingga ke pangkal.<br /><br />“Oughhhhhhh……” Donie meleguh.<br /><br /><br /><br />Dian mendiamkan batang kemaluan Donie di dalam vaginanya tanpa melakukan gerakan apapun. Ia mencoba menstimulasi agar penis Donie mampu bertahan terhadap rasa nikmat yang ditimbulkan oleh jepitan dinding vaginanya yang sempit. Satu menit berhasil Donie lalui tanpa ada rasa ingin ejakulasi. Beberapa saat kemudian Dianpun mulai mengerakan pinggulnya ke depan dan ke belakang secara pelan. Doniepun bisa merasakan nikmatnya persetubuhan dalam waktu yang lebih lama dari biasanya.<br /><br />Satu menit berikutnya Donie kembali bisa melewatinya. Meski kali ini Donie belum terdorong untuk orgasme. Dian mencabut kontol itu sejenak untuk melakukan pijatannya sekaligus memberi waktu buat benda itu lebih rileks. Karena sebentar lagi ada suatu kejadian yang dasyat yang bakalan terjadi. Selanjutnya Dian mencoba ayunan yang lebih cepat diiringi dengan cengkraman kuat pada penis Donie.<br /><br />“Oughhhh….enakkk bangett…..” rintih Donie, matanya terbeliak akibat terjangan kenikmatan lumatan vagina Dian pada daging kemaluannya.<br /><br />Namun di saat dirinya sedang dilanda kenikmatan dasyat seperti itu tiba-tiba wajah Dian mendekat seraya membisikan sesuatu ketelinganya.<br /><br />“Mas tampaknya istrimu sudah ‘siap’”<br /><br />Donie melirik ke arah sofa. Pandangannya menangkap ada suatu keganjilan terjadi di sana dimana istrinya sedang bersama dengan Alfi. Kala itu Alfi tak lagi mengoral Niken. Ia melihat saat itu Alfi telah mengeser posisi tubuhnya menyampingi tubuh Niken yang masih tetap terlentang di sofa. Tangannya mengangkat salah satu paha Niken yang putih sehingga ujung kemaluannya tak terhalang dan mengarah belahan vagina istrinya yang telah basah itu. Deg…..jantung Donie seakan berhenti berdetak menyaksikan itu. Tadinya ia menduga Niken akan menggantikan posisi Dian di atas perutnya setelah dibuat ‘basah’ terlebih dahulu oleh Alfi. Ternyata dugaannya meleset! Ia baru menyadari jika Niken memang sudah siap untuk sebuah persetubuhan namun bukan dengan dirinya tetapi justru dengan Alfi si anak jelek berkulit hitam legam itu.<br /><br /><br /><br />Kini Istrinya yang cantik yang kulitnya putih bercahaya itu terlentang pasrah dalam keadaan terangsang berat dan siap menanti hujaman kontol berukuran monster milik bocah itu pada liang senggamanya yang cantik dan rapat itu. Kontan saja Donie menjadi panik. Tak mungkin ia membiarkan begitu saja istrinya yang ia cintai disetubuhi oleh orang lain. Namun apa daya ia sungguh tak mampu mencegah hal itu karena selain kedua tangannya terikat dengan erat di tiang ranjang saat ini iapun dalam kondisi terkunci di bawah genjotan tubuh Dian.<br /><br />“Please… sayang… jangan….lakukan ituuu dengannya” pintanya memelas pada Niken di sela-sela kenikmatan yang menderanya.<br /><br />Donie tak mampu melakukan lebih dari itu. Pada saat yang bersamaan Dian telah sengaja menggunakan kekuatan otot-otot kewanitaannya secara maksimal menganti kepanikan Donie dengan sebuah kenikmatan tiada taranya. Kenikmatan yang menjalar dari seluruh permukaan penisnya ke seluruh syaraf yang ada daerah selangkangannya sehingga mengganggu konsentrasinya buat mencegah perbuatan Niken. Sepertinya Niken memang ingin Donie akan menonton Alfi menyetubuhi sekaligus merengut kehormatannya sebagai seorang istri di hadapan suaminya sendiri, ia juga sengaja mengambil posisi tersebut agar mata Donie dapat melihat dengan jelas bila penis anak itu memasuki vaginanya.<br /><br />“Relakan mas… istri juga berhak merasakan indahnya perselingkuhan seperti yang mas Donie lakukan selama ini” ucap Dian yang semakin membuat ia terpukul. Inikah hukuman buat dirinya atas segala yang pernah ia lakukan pada istrinya?<br /><br />Donie akhirnya hanya pasrah melihat ujung penis Alfi yang berkulup itu mulai membelah vagina istri yang cantik. Perlahan namun pasti benda hitam besar itu tenggelam sedikit demi sedikit. Ia seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri ketika vagina Niken yang sempit itu mampu menelan habis seluruh alat kelamin Alfi.<br /><br /><br /><br />Ia melirik ke wajah istrinya. Nampak dahi Niken berkrenyit sementara matanya menutup erat seakan menahan sakit yang luar biasa.<br /><br />“Ohh..Nieen….Nieenn…..” ujarnya cemas.<br />“Ssttttt..istrimu ngga apa-apa mas….dia sedang merasakan sengatan nikmat dari titit si Alfi”<br /><br />Pandangannya beralih ke Alfi. Anak jelek itu pastilah keenakan sekali. Terlihat dari wajahnya yang berubah bagai orang idiot.<br /><br />“Aooo..kakakkk kk” rintih bocah itu.<br /><br />Anak itu mulai mengeluar masukan daging kejantannya. Luar biasa besar benda itu.<br /><br />Vagina Niken dipaksa membuka sedemikian lebar buat menerima kehadirannya.<br /><br />Sampai-sampai bagian dalam vagina Niken ikut tertarik keluar saat bocah itu menarik kemaluannya. Begitupun saat ia menekan bibir vagina Nikenpun seakan ikut terdorong masuk. Cairan licin bercampur dengan buih-buih putih terdorong keluar di antara tautan kemaluan mereka diakibatkan oleh gerakan kontol anak itu. Donie yakin itu adalah cairan milik Niken. Akhh… Niken tampak begitu terangsangnya, puting payudaranyapun telah mengeras bersama aerolanya. Tapp …Alfi tiba-tiba menangkap putting indah itu dengan mulutnya dan menghisapnya kuat-kuat hingga pipinya terkempot-kempot. Hal itu menambah kesenangan bagi Niken. Donie dapat melihat Niken begitu menikmati persetubuhan itu. Kini tak ada lagi yang tersisa dari tubuh istrinya. Semua sudah dijamahi oleh Alfi.<br /><br />“Ougghhhh…Fiiiiiiii!!!!!” pekik Niken mengejutkan Donie.<br /><br />Ohh…. Niken mengalami orgasme. Alfi anak jelek itu telah membuat istrinya yang cantik mengelepar dalam kenikmatan. Donie melihat kekejangan pada betis hingga ke jemari kaki Niken yang menekuk dan bertaut.<br /><br /><br /><br />Donie tercengang menatap wajah istrinya yang terlihat menjadi begitu cantik dengan pipi merah merona. Tentu saja Ia belum pernah melihat itu terjadi pada istrinya. Begitu mendebarkan. Sampai-sampai Donie lupa kalau saat itu yang sedang menyetubuhi istrinya adalah orang lain. Selama peristiwa dasyat itu berlangsung Dian menghentikan genjotannya sejenak dan sengaja dulu tak melakukan gerakan apapun. Ia kuatir kalau Donie tak dapat mengontrol ejakulasi. Dianpun dapat merasakan penis Donie berkejat-kejat keras di dalam vaginanya. Alfi memindahkan posisi paha Niken yang berada di hadapannya menjadi di samping tanpa melepas tautan kemaluannya dan Niken. Kali ini tubuh kecil dan kurus itu sudah dalam posisi menindih tubuh sintal Niken. Tangan kecil itu menyusup kebelakang punggung sementara jemarinya mencengkram bongkahan padat pantat Niken sambil meremasnya. Sedangkan Niken mendekap leher Alfi dengan kedua tangannya sedangkan kaki indahnya yang panjang melingkar pada pinggul anak itu lalu menekan ke arahnya. Kini tubuh keduanya telah melekat erat dengan sempurna. Lalu selanjutnya Donie hanya melihat kempat kempot daging pantat hitam anak itu saat berayun menghujam-hujam dengan lembut namun bertenaga. Saat bocah itu menghujam Nikenpun mengangkat pinggulnya. Alfi tak buru-buru menariknya ia menahan kemaluannya tetap di dalam selama dua tiga detik sebelum pantatnya kembali terangkat. Donie memandang persetubuhan istrinya dan Alfi tanpa berkedip. Ia tak tahu apakah ini sebuah anugrah atau kah sebuah musibah ataukah kedua-duanya. Di mana Niken telah memberinya kesempatan oleh untuk meniduri Dian namun di saat yang sama ia harus merelakan istrinya yang cantik itu disetubuhi Alfi. Donie juga tak tahu apakah setelah ini ia masih tetap mencintai dan menginginkan Niken sebagai istrinya setelah melihat semua ini. Ia seakan nampak begitu menikmati mendengar pekikan-pekikan nikmat Niken. Menit demi menit berlalu hingga tak terasa persetubuhan panas antara Niken dan Alfi telah sampai pada puncaknya. Pantat alfi kini bergerak jauh lebih cepat dari tadi. Semakin cepat dan semakin cepat siap untuk melakukan penuntasan secara bersamaan.<br /><br /><br /><br />“Aoooooo….ennnaakkkkkk!” jerit Alfi bersamaan dengan pekik Niken<br /><br />“AllFiiii sayangggggggg….Oughhhhhh!!!!”<br /><br />Kocokan Alfi terhenti .Ia mengakhirinya dengan sebuah hujaman terdalam. Sesekali Pantat itu terlihat terhentak-hentak.<br /><br />Donie tahu anak itu sedang berejakulasi<br /><br />Ohhh… Anak itu tak mencabutnya ….Dia justru memuncratkan semuanya di dalam vagina Niken!<br /><br />Semua yang terpampang di hadapannya benar-benar membuat gairahnya semakin menggelora liar.<br /><br />“Lihat istrimu mas….lihat gelinjangnya….dengar pekik nikmatnya …ia mendapat kesenangan tertinggi saat ..Alfi menyuntikan benih-benih cintanya ke dalam rahimnya”<br /><br />Bisik Dian sambil kembali membetot kuat penis Donie dengan otot-otot vaginanya,<br /><br />“Arrggggggggg!!!……”Donie terpekik nikmat.<br /><br />Saat itu juga Dian dengan cepat melepaskan pelukannya dan mencabut lepas penis Donie dari miliknya lalu melompat ke sisi Donie.<br /><br />Ia tahu jika ia terus membiarkan penis Donie tetap berada dalam vaginanya. Maka sudah dapat dipastikan pria itu pasti memperoleh ejakulasinya. Hal itu yang tak diinginkannya.<br /><br />Donie masih dalam keadaan ‘trace’ nyaris tak dapat membendung ejakulasinya.<br /><br />Dian bergerak cepat, ia segera melakukan teknik ‘stop-start’ lagi dengan memencet bagian tertentu pada penis pria itu. Beberapa tetesan bening sempat memancar sehingga Dian harus memencetnya lebih keras. Tak kehabisan akal dengan tangan kirinya ia melakukan tamparan pada kepala penis Donie. Donie sempat terkejut karena sakit sehingga gairahnya sedikit mereda. Beruntung tetesan itu akhirnya berhenti.<br /><br />“Huh.. nyaris saja gagal” pikir Dian lega.<br /><br />Selanjutnya Ia merasa harus lebih sigap dalam memperaktekan metode ‘maut’ yang berasal dari dr.H itu.<br /><br /><br /><br />Kali ini Dian tak mau membuang waktu. Semua ini haruslah cepat segera diakhiri<br /><br />Ia pun memberi kode kepada Niken dengan jentikan jarinya. Pada saat itu Donie sempat melihat Niken sedang mengoral batang penis Alfi untuk membersihkan sperma yang blepotan pada benda tersebut. Niken meninggalkan Alfi dan perlahan melangkah ke arah tempat tidur. Donie memperhatikan cairan putih kental yang mengalir keluar dari vagina Niken yang meleleh pada paha putih bersih istrinya dan sebagian lainya menetes-netes membasahi karpet itu sperma si Alfi.Donie sempat bingung bagaimana cairan yang begitu banyak bisa terproduksi pada testis anak itu.<br /><br />“Mas saatnya menerima ‘kado utamanya’” bisik Dian.<br /><br />Ia beringsut di sisi Donie.sambil memberi ruang bagi Niken menggantikan posisi dirinya. Donie hanya pasrah ketika jemari lentik Dian membimbing penisnya ke arah belahan cinta milik istrinya yang masih becek berlumuran sperma Alfi. Dian sempat memencet<br /><br />leher batang penis Donie beberapa detik sebelum akhirnya benda itu lenyap dilumat oleh vagina Niken.<br /><br />“Heeeggghhhh!!!”Donie menggeram nikmat.<br /><br />Meski dalam keadaan tegangan tinggi disebabkan persetubuhan dengan si Alfi tadi. Niken hanya bergerak pelan dan lembut. Iapun berusaha menahan desahannya karena tak ingin Donie menjadi terlalu terangsang sehingga terprovokasi berejakulasi. Kali ini ia merasakan hal yang sangat berbeda dari yang sudah-sudah. Kejantanan suaminya terasa lebih kukuh dan mampu memadati vaginanya meski ujungnya tak mampu menjangkau mulut rahimnya seperti yang dilakukan oleh penis Alfi. Meski posisi tubuhnya di bawah Donie mengambil inisiatif melakukan pompaan. Niken girang bukan main. Setidaknya ini adalah bukti dari kemanjuran dari pengobatan dr.H yang semakin menunjukan tingkat keberhasilannya. Biarlah suaminya itu menikmatinya dulu sedikit kesembuhannya.<br /><br /> “A..ku rasaaa akuuu hampirrr keluarr ..uuhhh” rintih Donie saat kembali merasakan dorongan ke arah klimaks di bawah ayunan tubuh Niken. Ini tidak seperti yang sudah-sudah, kali ini ia mampu bertahan cukup lama dalam lumatan vagina istrinya. Setidaknya ia bisa merasakan persetubuhan yang sebenarnya meski cuma kira-kira 5 menitan .<br /><br /><br /><br />Dian cepat-cepat menahan laju pantat Donie yang sedang bergerak memompa itu, lalu penis pria itu dikeluarkannya dari vagina Niken. Kembali ia memencet bagian tertentu pada kejantanan Donie beberapa detik sampai rasa ingin berorgasme tersebut kembali surut. Setelah itu barulah penis Donie kembali dibenamkannya ke dalam vagina Niken yang berkembang-kempis. Begitulah setiap kali Donie merasa akan berejakulasi. Dian secara telaten membantunya meredakan kenikmatan itu. Hal itu dilakukannya berulang-ulang hingga akhirnya Dian merasa yakin saat ini Donie sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol ejakulasinya sendiri dalam waktu yang lebih panjang. Sepuluh menit sudah Niken dalam posisi di atas. Perlahan Dian melepas tali-tali yang mengikat tangan dan kaki Donie. Sebab tanpa Donie ketahui Alfi sudah bergegas pergi dari sana. Dan tampaknya Donie-pun sepertinya sudah tak perduli lagi dengan keberadaan anak itu karena di dalam kepalanya hanyalah menginginkan penuntasan akhir dari kenikmatan yang di rasakannya saat ini. Setelah suaminya terbebas dari ikatan. Niken mencabut tautan kemaluan mereka dan turun dari atas tubuh Donie seraya berbisik<br /><br />“Mas tindih Niken sekarang…setubuhi aku seperti Alfi tadi”<br /><br />Donie segera dengan cepat menindih tubuh istrinya. Tangan kanannya menyusup ke belakang kepala Niken sementara tangan kirinya mendekap pinggang ramping istrinya itu. Meski ia tahu bibir Niken tadi dipergunakan untuk mengoral penis Alfi namun Donie menyergapnya dengan ciuman panas membara. Bekas Alfi ada di mana-mana di seluruh tubuh istrinya tapi itu semua membuatnya makin mengelora. Sleeeeppppp…tanpa di bimbing lagi penis Donie telah menemukan jalannya sendiri ke sarang. Sarang yang indah yang lalu mencengkramnya dengan jutaan kenikmatan.<br /><br /> “Oughhhhh….Masss!” Niken merintih nikmat Meski penis Donie tak sebesar dan sepanjang milik Alfi. Namun rasa kasih sayangnya pada Donie membuatnya sangat menikmati saat dicampuri oleh suaminya itu.<br /><br /><br />Niken<br /><br />Niken<br /><br />Setelah organ cinta mereka berdua menyatu erat, kedua kaki indah Niken menyilang dan menjepit pinggang suaminya. Sementara jemari lembutnya mencengkram punggung Donie.<br /><br />“Ayun kuat-kuat mas…biarkan istrimu merasakan betapa keras dan kakunya milikmu” masih terdengar bisikan lembut Dian memompa semangatnya. Ctap…..ctap…..ctappp, bagai seorang murid yang baik ia mencoba memperaktekan semua yang telah Alfi perlihatkan padanya tadi. Donie mengayun pantatnya perlahan saat mengangkat namun cepat dan dalam saat menghujam. Saat sedang bercinta, sebagian besar kekuatan daya dorong lelaki berasal dari otot pantat dan pinggulnya. Ayunan yang kuat dan dalam menimbulkan kesenangan tinggi pada pasangan saat berhubungan intim Dan itu baru disadari oleh Donie sekarang.<br /><br />“Masss… perkasaa ….sekaliii ougghhh” kembali terdengar rintihan Niken.<br /><br />Ini adalah kali pertamanya penis Donie mampu menggiringnya pada kenikmatan.<br /><br />Donie pun tercengang seakan tak percaya dengan pencapaiannya saat ini. Istrinya merintih nikmat dalam permainannya dan ia tahu Niken sedang tidak berpura-pura.<br /><br />Pujian Niken barusan bagikan tenaga sebutir viagra baginya. Seiring waktu kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Rintihan dan desahan nikmat dari istrinya membuat Donie makin bersemangat dan percaya diri. Dian tersenyum menyaksikan upayanya telah membuahkan hasil. Seiring dengan kembalinya kepercayaan diri pada diri Donie maka saat itu pula vitalitasnya berfungsi dengan baik. Ctap..ctapp..ctap..ctap, bunyi benturan kemaluan mereka terdengar menambah panasnya hubungan intim itu. Tak terasa persetubuhan itu sudah berlangsung selama lima belas menit.<br /><br />“Uhh…rasa geli itu datanggg lagiii” bisiknya lirih sambil berharap Dian membantunya seperti tadi. Rasanya ia tak ingin cepat-cepat meninggalkan momen-momen indah bersama istrinya seperti sekarang ini. Namun kali ini gadis itu tak melakukan hal itu seperti sebelumnya. Ia cuma menggeleng. “Lepaskan mas…jangan ditahan lagii….nikmati lumatan vagina istrimu yang enak itu”<br /><br />Donie baru sadar jika Ia sudah melakukan persetubuhan dalam waktu yang lama dan sekarang Dian menginginkan ia lepaskan orgasme berbarengan dengan Niken.<br /><br /><br /><br />Tak ada yang menghalagi orgasme datang kali ini. Jemari tangannya menyusup ke bawah pantat Niken. Sambil meremas ia menekan bongkahan daging lembut itu ke atas lalu mengocok penisnya dengan cepat bagai sebuah mesin persis seperti yang tadi si Alfi lakukan. Saat itu ia rasakan pelukan Niken mendekap. Ia pun balas mendekap tubuh Niken sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya mengayunkan pinggulnya semakin cepat…semakin cepat lagi …dan<br /><br />“Massss Donieee…. Nikennn keluarrr!!” pekik Niken melepaskan orgasmenya sambil menggigit bahu suaminya.<br /><br />Donie sungguh terkejut, ia merasakan hal yang luar biasa. Vagina Niken tiba-tiba mencengkram erat seluruh organ kelaki-lakiannya. Jiwanya bagai ikut tersedot lepas dari raganya. Ini belum pernah ia rasakan sebelumnya! Tak pernah ia bayangkan organ kewanitaan istrinya bisa menjadi senikmat itu. Dan saat itu juga aliran sperma pada saluran didalam penisnya melaju dengan cepat menerobos hingga keluar melalui lubang kencingnya tanpa bisa dibendung lagi.<br /><br /> “Aaaaoooooo…sayangggg enaaakkkkk!!!” ia melolong ketika air maninya bermuncratan<br /><br />Crasssss…cressssss..crattttttttt…..crettttttt…creeetttt….<br /><br />Enam …..tujuh…de..la…pan… entah berapa kali. Donie sudah kehilang hitungan Penisnya masih terus tersentak-sentak dengan keras. Semburan kencang dan deras melemparkan setiap gumpalan-gumpalan benihnya menghantam dinding rahim Niken. Bukan main nikmatnya! Ini adalah ejakulasi ternikmat bagi Donie. Biji mata Donie sampai mendelik ketika nikmat itu demikian dasyat melanda seluruh syaraf-syaraf pada tubuhnya. Ini adalah sesi persetubuhan terpanjang plus orgasme ternikmat yang pernah dialami Donie. Jika selama ini di mata setiap wanita yang dikencaninya ia identik dengan sebutan yang melecehkan harga dirinya sebagai lelaki seperti ‘The Prematurer’ karenakan ia gampang sekali muncrat namun kali ini ia mampu melakukannya hampir satu jam-an. Benar-benar sebuah lompatan besar yang berhasil diraihnya. Akhirnya setelah segalanya mereda Donie ambruk di atas tubuh Niken. Kenikmatan itu bagaikan biusan morfin yang melambungkan jiwa dan pikiran meninggalkan alam kesadarannya. Senyum bangga tersungging bibirnya menghiasi tidurnya.<br /><br /><br /><br />—<br /><br />Jam 24.00<br /><br /><br /><br />Lama Donie terlelap. Ketika ia terjaga. Ia dapati dirinya masih terlentang telanjang di ranjang, Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia teringat semua kejadian barusan. Persetubuhan yang sangat melelahkan.<br /><br />“Nien?” panggilnya. Tak ada jawaban. Suasana kamar begitu hening. Pandangannya menyapu seluruh sudut kamar. Ia hanya menemukan sisa-sisa ‘pertempuran’ tadi sore. Lalu matanya tertumbuk pada secarik kertas di sebelahnya. Diraihnya kertas yang ternyata sebuah surat bertulistangan Niken. Dibacanya baris demi baris kalimat di sana.<br /><br /><br /><br /> Mas Donie suami yang kusayangi,<br /><br /> Saat engkau membaca surat ini mungkin aku telah pergi jauh dari kota ini.<br /><br /> Meski aku amat mencintaimu namun demikian Aku terpaksa harus meninggalkanmu mas. aku juga merasa malu jika harus bertemu dirimu lagi.<br /><br /> <br /><br /> Aku memutuskan untuk mengatakan apa yang terjadi padamu . Mas Donie seperti halnya Dian sebenarnya aku telah menyerahkan kegadisanku pada Alfi. Hal itu terjadi sebelum kita menikah. Aku telah melakukan kebohongan padamu dengan mempersembahkan selaput dara palsu di malam pertama kita.<br /><br /> <br /><br /> Aku tak bisa berpisah lagi dari Alfi karena kini sebuah janin yang bukan milikmu telah tumbuh di dalam rahimku. <br /><br /> <br /><br /> Carilah wanita lain Mas dan lupakakanlah aku. Aku bukanlah seorang istri yang memiliki kesetiaan pada suami, Aku telah menghianati dirimu. Aku terlalu kotor dan tidak pantas untuk lagi menerima cintamu apalagi tetap bersanding sebagai istrimu.<br /><br /> Maafkan aku karena telah melukai hatimu.<br /><br /> <br /><br /> Niken. <br /><br /><br /><br />Dengan agak tergesa-gesa ia memakai celananya. Lalu ia bangkit dan memeriksa setiap ruang. Meski sudah mencari ke seluruh sudut rumah sambil berkali-kali Donie memanggil Niken namun tak ia temukan sosok maupun sahutan dari istrinya. Tak cuma Niken bahkan Dian dan si Alfi-pun tak terlihat lagi batang hidungnya. Memang tak ada orang lain selain dirinya di sana. Istrinya benar-benar telah pergi meninggalkannya sendiri. Niken lebih memilih Alfi ketimbang dirinya. Sungguh menyakitkan pembalasan dari Niken atas ketidaksetiaanya selama ini. Sekarang ia balik merasakan bagaimana sakitnya hati bila dikhianati.<br /><br /><br /><br />Donie terhenyak. Matanya berkerjab-kejab. Lalu Ia mengusap tetesan bening yang hampir bergulir dari matanya. Ia menghempaskan tubuhnya kembali di sofa. Jemari tangannya mengepal meremas-remas rambutnya kuat-kuat. Ingin rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya. Ada getir menusuk hatinya tak kala mengetahui Niken telah hamil. Alfi… bocah itu telah mengambil semuanya. Tak hanya membuat Niken takluk oleh kejantannya tapi juga yang merengut keperawanan Niken. Kini ia juga telah meninggalkan benihnya di dalam rahim istrinya. Sungguh ironis seorang playboy tampan, mapan dan kaya seperti dirinya akhirnya harus mengakui keunggulan seorang bocah ABG ceking, hitam dan bertampang pas-pasan seperti Alfi dalam merebut hati Niken. Baru ia tersadar kalau Niken sama sekali tak membutuhkan semua yang ada pada dirinya. Justru apa yang sebenarnya dibutuhkan Niken ada semua pada diri anak itu, tetapi semuanya sudah terlambat untuk ia sadari. Ya… ia telah kalah! Dan telak sekali! Bagaimanakah ia harus kemudian bersikap sekarang. Apakah ia akan langsung memutuskan untuk menceraikan Niken? Ia pun sungguh tak tahu harus berbuat apa. Berjam-jam ia tercenung terpuruk dalam kepedihan dan kesedihan. Hingga akhirnya kepalanya terkulai dan Donie kembali tertidur. Jam menunjukan pukul 5.00 pagi saat ia terjaga untuk kedua kalinya. Rasa haus mendera memaksanya bangkit. Nyaris satu botol air dingin dihabiskannya. Lalu ia kembali membaca surat Niken. Diulang-ulangnya sampai beberapa kali seakan mencari makna dibalik kata-kata di situ. Donie melihat tinta yang agak luntur pada tulisan Niken. Niken…ia menulis surat itu sambil menangis.<br /><br />Aneh sekali….apakah Niken sebenarnya tak benar-benar berniat meninggalkannya?.<br /><br />Kemungkinan juga ia pergi karena tak ingin ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi.<br /><br />Seakan Niken justru berharap Donie sendiri yang harus mengambil keputusan.<br /><br />“Baiklah Nien jika ini memang maumu!” gumamnya Donie<br /><br />Donie merasa ia harus segera menuntaskan permasalahan ini. Tapi walau bagaimanapun ia harus berpikir rasional bukan dengan perasaannya agar ia mampu menarik hikmah dari kejadian-kejadian dalam rumah tangganya dan tidak sampai salah dalam mengambil keputusan. Kali ini ia harus mengambil keputusan yang sangat penting dalam hidupnya. Bukankah selama ini ia sangat dikagumi oleh koleganya akan keputusan-keputusan yang di buatnya dalam situasi seganting apapun.<br /><br /><br /><br />Donie menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ada baiknya ia mengintropeksi dirinya sendiri dahulu sebelum menilai perbuatan Niken. Sungguh kejadian ini bermula dari tingkah lakunya sendiri.Betapa selama ini ia tak pernah mau melihat penderitaan pada diri Niken. Ia seharusnya memahami bagaimana sakitnya perasaan Niken mengetahui suaminya yang tak henti-hentinya berselingkuh baik saat sebelum maupun sesudah mereka menikah. Bukankah Niken telah berusaha menjadi seorang istri yang baik buatnya selama perkawinan mereka. Bahkan sudah beberapa bulan ini ia tak lagi mendatangi istrinya di tempat tidur. Wajar sekali jika Niken sampai akhirnya tergoda untuk mencari kepuasan dari pria lain. Soal kesucian, Donie rasanya ia sendiri bukanlah seorang yang suci. Entah berapa banyak perempuan yang telah bercinta dengannya sebelum ia menikah dengan Niken. Bahkan beberapa hari sebelum malam resepsi-pun ia juga masih sempat ‘main’ dgn sekretarisnya di sebuah hotel. Meski Niken mengetahui semua hal tersebut namun ia tetap mau menerimanya sebagai suami.<br /><br />“Haihhh…” ia menghela napas. Timbul rasa penyesalan yang begitu dalam.<br /><br />Tiba-tiba saja ia teringat bagaimana panasnya persetubuhan mereka tadi sore. Entah mengapa memikirkan peristiwa tersebut gairahnya malah kembali naik. Berangsur-angsur kekesalannya lenyap tertindih oleh gairah yang meluap-luap. Iapun teringat bagaimana nikmatnya mendapatkan ejakulasi yang kuat dengan kuantitas sperma yang begitu banyak. Ia sendiri terkejut dengan volume sperma yang ia hasilkan ketika ejakulasi tadi. Ejakulasi layaknya seorang bintang porno! Tak pernah ia merasa ‘sehidup’ tadi. Betapapun gairahnya bagai dipompa dan dipacu secara tidak langsung oleh persetubuhan Niken dan Alfi. Yang paling istimewa adalah ia tadi bahkan telah mampu memberikan sebuah orgasme pada Niken untuk pertama kalinya meski harus melalui rangkaian proses yang ‘rumit’terlebih dahulu. Bukankah ini adalah impian nya selama ini untuk menjadi seorang suami yang mempu memberikan kepuasan bagi istrinya di atas ranjang.<br /><br /><br /><br />Donie mendadak merasakan sakit pada bagian selangkangannya. Ternyata penisnya perlahan telah mengalami ereksi semakin lama semakin keras sedemikian kerasnya hingga mendesak celana jeansnya. Sungguh aneh? Bukankah saat ini seharusnya ia masih dalam kondisi marah dan kesal karena telah dikhianati? Donie segera membuka lepas celana jeansnya kembali di saat ia rasakan sakit disebabkan ereksinya yang terhalang oleh benda itu. Dan benar saja begitu terbebas kontolnya melompat dalam keadaan tegak mengacung bagai tonggak. Wow..keras sekali?! Donie seakan tak percaya dengan anugrah yang diterimanya saat ini. Ingin rasanya ia mengulangi peristiwa tadi saat ini hanya saja ia tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba ia bergegas merapikan pakaiannya. Lalu meraih kunci mobilnya.<br /><br />“Aku berharap aku tak terlambat!”<br /><br />Donie memacu mobilnya bagai kesetanan. Udara pagi yang dingin berangsur-angsur hangat disiram oleh sinar mentari. Ketika mobilnya memasuki sebuah komplek perumahan ia tak juga mengurangi kecepatannya. Ia bahkan tak perduli beberapa orang jogging melontarkan sumpah serapah ke arahnya. Nyaris saja ia menghantam sebuah tiang lampu jalan saat membelok masuk ke halaman rumah Didiet. Kebetulan pintu gerbang rumah itu masih terbuka lebar karena Didit baru saja akan mencuci kendaraannya pagi itu. Didiet yang saat itu berada di halaman merasa was-was melihat koleganya itu muncul dalam kondisi kusut. Alamak bakalan runyam urusannya pikir Didit dalam hati. Ia kuatir Donie tak terkendali dan berbuat nekat. Iapun tahu Donie adalah pemegang sabuk karate dan 2.<br /><br />“Don apa..”<br /><br />“Di mana Niken Diet?” tanya Donie memotong ucapan Didiet<br /><br />“Masuk dulu kita..”<br /><br />“MANA ISTRIKU!!!!”bentak Donie membahana. Didiet sampai terlonjak karena kaget.<br /><br />“Sabar Don ia ada di sini” ujar Didiet sambil memberi kode dengan jarinya pada Donie agar tak bicara keras-keras karena beberapa orang tetangga yang lewat menengok ke arah mereka.<br /><br /><br /><br />“Bagus kalau begitu, tetapi sebelum aku menemuinya aku akan menyelesaikan urusanku dulu dengan… DIA!” ujar Donie sambil menunjuk ke arah Alfi.<br /><br />Saat itu Alfi baru keluar dari samping rumah sambil memegang selang air. Tentu saja anak itu tergagap dan ketakutan dan berniat untuk kabur dari situ. Namun gerakan Donie lebih cepat. Kerah baju Alfi tahu-tahu sudah dalam cengkramannya. Sejurus Didiet bergerak untuk mencegah namun ia jatuh terduduk di rumput setelah sebuah dupakan menghantam perutnya.<br /><br />“Jangaaaan Donnn! Jangan sakiti anak itu! Aku yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi!” seru Didiet berusaha berdiri sambil mendekap perutnya yang masih sakit.<br /><br />“Siapa bilang aku mau menganiaya bangsat kecil ini… aku datang justru mau menyatakan terima kasih kok” ujar Donie tersenyum. Tiba-tiba Ia melepaskan pegangannya pada Alfi yang sangat mengundang keheranan Didiet maupun Alfi<br /><br />“Loh??…kipikir…tadi kau…” ujar Didiet bingung atas sikap aneh Donie barusan.<br /><br />“Tenang saja Diet, aku cuma minta waktu berbicara sebagai dua orang lelaki dengan Alfi, bolehkan?” ujar Donie dengan nada suara lunak.<br /><br />“Eng..ya… silakanlah..”ujar Didiet agak lega melihat sikap Donie. Bagaimanapun ia cukup mengenal koleganya ini. Ia yakin Donie tak akan berbuat macam-macam. Pada dasarnya Donie bukanlah orang yang brangasan ataupun ringan tangan.<br /><br />“Fi maaf ya sudah membuatmu cemas tadi, aku hanya bercanda. Aku mau mengucapkan rasa terima kasih kepadamu” ujar Donie<br /><br />Alfi masih terbengong seakan tak percaya akan ucapan pemuda dihadapannya. Tadinya ia sudah pasrah menerima sebuah hantaman dari Donie.<br /><br />“tet..rima kasih?”<br /><br />“Ya Fii, terima kasih karena kamu akhirnya aku sadar betapa berartinya Niken buatku. Dan aku juga berterimakasih karena secara kebetulan aku juga telah berhasil menemukan jalan bagi kesembuhan bagi ketidakmampuanku selama ini”.<br /><br />“Akh itu… Alfi juga minta maaf kak karena sudah….”<br /><br />“Jangan kau risaukan hal itu, Aku ingin kamu tetap menjadi bagian hidup Niken. Dan mulai sekarang maukah kau menganggap diriku sama seperti Didiet sebagai keluargamu. Fi?”<br /><br /><br />Alfi<br /><br />Alfi<br /><br />Alfi melihat kesungguhan dari pemuda di hadapannya. Ia menoleh ke arah Didiet.<br /><br />Didiet tersenyum dan mengangguk.<br /><br />“Iya kak Donie Alfi mau dan Alfi berterimakasih kakak mau menerima Alfi” ujar Alfi gembira, ia tak menyangka betapa beruntung jalan hidupnya.<br /><br />“Diet, aku minta kerelaanmu dan Sandra karena Alfi akan kuajak tinggal dirumahku selama 3 hari pada setiap minggunya, bolehkan?” ujar Donie<br /><br />“Ah…Itu bisa kita rundingkan Don… tak ada masalah” jawab Didiet.<br /><br />“Ok Fi ..sekarang kita berjabat tangan sebagai tanda dimulainya sebuah ikatan kekeluargaan ini”<br /><br />Alfi menyambut uluran tangan Donie dan menjabatnya meski ia tak mengerti betul akan makna hal tersebut. Hanya saja ia lega bahkan girang akan sikap dan keputusan Donie. Berarti kini ia mempunyai dua pasang orang tua asuh sekarang. Dan ini juga berarti hubungannya dengan Niken tak ada yang menghalangi lagi.<br /><br />“Kalau sudah ayo kita ke dalam” ajak Didiet setelah suasana mencair.<br /><br />“Masih sakitkah?” Tanya Donie sambil membantu sahabatnya itu berdiri dari rumput.<br /><br />“Jelas!” gerutu Didiet.<br /><br />“Salahmu sendiri kenapa ikut campur ha ha ha”<br /><br />“Kau gila! Kupikir kau tadi serius mau meghabisi Alfi”<br /><br />“Ga pa pa sesekali bercanda kan?. Anggap saja itu sebagai upah bagimu ha ha”<br /><br />“Don, sebaiknya kau segera temui istrimu di atas. Sejak pergi dari rumahmu ia tak henti-hentinya menangis. Istriku dan yang lain sudah kehabisan akal membujuknya”<br /><br />“Ha…be..narkah?”<br /><br />“Ya….walau bagaimanapun ia sangat mencintaimu sepenuh hati sama seperti Sandra mencintaiku”<br /><br />“Aku benar-benar merasa bersalah selama ini…aku menyesal sekali Diet” Donie tertunduk<br /><br /><br /><br />“Hei Sudahlah! ayo datangi dia segera!” ujar Didiet menyemangati.<br /><br />“Ya aku menemui dia sekarang. Eh… ngomong-ngomong aku juga berterima kasih padamu atas semua kegilaan yang kau ciptakan ini” ujar Donie sambil menoleh lagi ke arah Didit.<br /><br />“He he jangan berterima kasih padaku. Itu sepenuhnya adalah ide istriku”<br /><br />Donie bergegas menuju kea rah pintu rumah. Di sana berpapasan dengan Dian dan Sandra yang baru keluar karena mendengar kegaduhan tadi. Donie sempat mengecup lembut bibir Dian.<br /><br />“Maukah kamu tetap menjadi bagian dari kesembuhanku, dara manis?” dari nada bicaranya Donie tak lagi merasa malu jika orang mengetahui kekurangannya.<br /><br />“Itu tergantung dengan istri mas, saya menurut saja”jawab Dian tersenyum. Ia juga tak menyangka kalau ia berhasil melaksanakan tugasnya.<br /><br />Saat berpaling ke Sandra, Donie mengangukan kepala memberi hormat sambil berkata.<br /><br />“Terima kasih anda adalah seorang wanita berhati mulia, anda telah mau bersusah payah menyelamatkan perkawinan kami “ Dari awal kemunculannya dulu Donie sudah menduga wanita cantik di hadapannya itu sangat istimewa.<br /><br />“Ah..mas Donie terlalu berlebihan, saya cuma ingin melihat semuanya berakhir indah mas”<br /><br />“Don! Yang satu itu jangan di ganggu ! itu property pribadi!” ujar Didiet dari jauh.<br /><br />“Iya. iya tolong sejak sekarang dibuatkan aturan yang jelas! Mana yang boleh mana yang tidak, Ok?”<br /><br />“OK setujuuuu!” jawab Didiet lagi.<br /><br />“Dasar lelaki! Gilanya cuma beda tipis!”ujar Sandra dan Dian geli<br /><br /><br /><br />Donie perlahan membuka pintu kamar atas. Ia tak ingin Niken terkejut ataupun takut padanya. Di dalam ia begitu terenyuh saat melihat kedua mata Niken yang bengkak karena menangis semalam-malaman.<br /><br />“Mas Donie…”desisnya pelan ketika ia menoleh ke arah pintu dilihatnya sang suami telah berdiri disitu.Ia masih ragu-ragu untuk mengatakan kata-kata meski wajah Donie memancarkan kelembutan.<br /><br />“Mengapa kau lari dari sisiku kekasih?”<br /><br />“Ma..afkan aku mas Donie…aku tak pantas buat mas, aku istri yang ternoda…bahkan aku telah ham..”<br /><br />Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya Donie menariknya dalam sebuah dekapan hangat. Niken merasakan kenyamanan. Dan sebuah kecupan lembut mendarat di kening Niken.<br /><br />“Stttt.. dimataku kamu tetap bidadariku. Justru aku yang minta maaf karena lebih dulu tak setia dan tak mampu membahagiakan dirimu. Kembalilah padaku manis. Aku berjanji padamu tidak akan mengulangi perilaku burukku di masa lampau. Bahkan aku menginginkan si Alfi ikut tinggal bersama kita bukankah ia harus ikut merawat ‘bayi kita’”<br /><br />Niken terperangah bagai tak percaya dengan apa yang di dengarnya. ‘bayi kita’ Donie mengucapkan itu walau ia tahu persis bayi yang dikandungnya bukan hasil perbuatannya melainkan benih si Alfi.<br /><br />“Be..narkah mas Donie masih mau menerima aku ?“<br /><br />Donie menatap mata istrinya dalam-dalam.<br /><br />“Tatap mataku manis, apakah aku berbohong? Aku mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri dalam ketidak berdayaan dan kesedihan sayang,”<br /><br /><br /><br />Niken mampu melihat kesenduan dan kejujuran yang tak pernah selama ini terpancar dari wajah suaminya. Iapun merasa iba melihat rona hitam menghiasi pelupuk mata Donie. Sebagai istri Niken merasa bersalah seharusnya ia ikut membantu memecahkan persoalan Donie. Dibelainya wajah tampan itu. Betapapun ia pun sudah belajar menyayangi suaminya selama ini. Lalu ia tak dapat menolak ketika Donie menyumbat bibirnya dengan sebuah ciuman. Sebuah ciuman yang sangat berbeda. Bukanlah ciuman yang didasari napsu semata namun juga sebuah ciuman yang mengalirkan cinta dan kasih sayang. Dua tetes air bening bergulir dari kelopak mata Niken. Iapun membalas lumatan bibir Donie seakan melepaskan segala kerinduannya dalam dekapan dada bidang itu. Lama ciuman itu baru terlepas.<br /><br />“Aku telanjur mencintaimu mas, aku akan mengabdikan hidupku buat mas Donie””<br /><br />“Terima kasih manis, Aku juga dan akan selalu mencintaimu meski ada Alfi diantara kita”<br /><br />“Mas betul.. ti..dakk cemburuu bila melihat a.ku sedang bersama ..Alfi…?”<br /><br />“Sejujurnya pada awalnya aku agak illfeel…namun berangsur-angsur aku sadar jika aku justru tak ‘bisa’ berhasil tanpa anak itu..Nien. A..ku benar-benar merasakan bergairah’ ketika kulihat ia mengaulimu saat itu.Bukankah kau sudah melihat buktinya saat itu aku mampu mempertahankan ereksi dan ejakulasiku jauh lebih lama dari biasanya” ujar Donie tergagap agak malu-malu mengungkapkan isi hatinya.<br /><br />“Tapikan itu juga karena ketelatenan ‘tangan’nya si Dian kan?”<br /><br />“Itu betul juga tetapi tetap saja baru kali itu aku benar-benar dalam kondisi begitu ‘High’” ujar Donie dengan suara bergetar-getar.<br /><br />“Idihhh ngomong itu kok sampai tergagap begitu..hi..hi” Niken tersenyum geli mendengar pengakuan jujur suaminya itu. Jujur. Ya hal itu yang tak pernah Donie lakukan kepadanya selama ini.<br /><br /><br /><br />“Iyaa kok aku jadinya kepingin itu sekarang .. ..a..ku panggil si Alfi kemari ya say?”<br /><br />“Loh masa sekarang Mas? Kita kan tamu di rumah orang apa tidak sebaiknya nanti di rumah kita saja” ujar Niken agak jengah tak menyangka Donie menjadi tak terkontrol seperti itu.<br /><br />“Kalau begitu tunggu sebentar biar aku minta izin ke Didiet dan Sandra. Kurasa mereka mau mengerti kok.”<br /><br />“Tapi tetap saja aku malu sama mereka,”<br /><br />“Aduhh.. sayaaang..mau yaa? a..akuu ngga sabar lagii melihat kontol besar si Alfi mengaduk kewanitaanmu yang indah ituuu ….Pleaseee maniss…”<br /><br />Niken mengangguk mengiyakan. Mengapa ia harus menunda datangnya kebahagiaan yang sudah lama ia tunggu-tunggu selama ini.<br /><br />“Baiklah kalau itu maunya mas, Ajak juga Dian sekalian kemari ”<br /><br />“Yessss!!!” ujar Donie girang sambil menirukan gerakan Jim Carrey. Lalu Ia melesat berlari keluar kamar.<br /><br />Sepeninggal suaminya Niken tersenyum-senyum sendiri.Hatinya sungguh berbunga-bunga. Entah mengapa jantungnya begitu deg-degkan menghadapi ini semua. Padahal di malam pertamanya dulu-pun ia tak merasakan seperti yang dialaminya sekarang ini. Seperti ini kah rasanya kebahagiaan itu? Ohhh.. begitu nyaman terasa mengalir dan menghangati tubuhnya. Oh Ibu..akhirnya aku berhasil mendapatkannya. Di pagi yang cerah itu Niken sudah tak tahu lagi berapa orgasme ia dan suaminya peroleh. Pekik-pekik kenikmatan membahana tiap menitnya silih berganti.<br /><br /><br /><br />—-<br /><br />Di kolam renang halaman belakang <br /><br /><br /><br />Didiet terlentang di kasur besar yang mengambang di atas air sambil mengelus rambut ke dua wanita cantik yang memeluknya dari kedua sisi tubuhnya. Penisnya mengacung tegak dalam remasan jemari lembut Nadine yang baru saja datang. Sementara Sandra tersenyum puas akan hasil dari upayanya.<br /><br />“Upayamu berhasil say. Kamu memang istri yang membanggakan bagiku”<br /><br />“Hmm ya, Aku senang karena semua berjalan sesuai dengan rencanaku. padahal pada awalnya aku ragu bisa mempersatukan mereka, kupikir Donie akan lebih memilih bercerai ketimbang menerima keadaan Niken. Ternyata ..dia juga ‘sakit’ seperti kamu” ujar Sandra.<br /><br />“Iya betul! bahkan akan terus bertambah lagi orang yang jadi korban tertular penyakitnya” ujar Nadine mengencangkan remasannya.<br /><br />“Oowww … asiiiikk!!! Penyakit yang asiiiik!! Ha ha ha!!” Didiet tergelak.Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-41397289826375878252012-03-31T14:01:00.000-07:002012-03-31T14:01:25.884-07:00Cinta Sang Bidadari Buat Alfi 3Cenerbangan dari kota S sudah lima belas menitan mendarat. Penumpang pertama terlihat keluar dari pintu. Kemudian di susul oleh penumpang berikutnya diiringi oleh seorang porter yang menyeret sebuah troli yang penuh oleh tumpukan koper dan barang lainnya. Dalam hitungan detik suasanapun menjadi hiruk pikuk. Para supir taxi menyongsong setiap penumpang yang keluar. Mereka memang selalu begitu. Berebutan menawarkan jasa tanpa memikirkan kenyamanan orang lain. Sementara itu beberapa petugas bandara sudah semakin kewalahan menertipkan para penjemput yang semakin menjejali pintu. Bandara Kota H memang kecil. Ruangnya sempit dan pintu keluarnya cuma satu. Ditambah lagi orang-orangnya yang susah di atur. Sandra terlihat berupaya untuk keluar dengan susah payah di antara kerumunan orang di sana. Beberapa kali ia harus mengucapakan ‘permisi’ kepada setiap orang yang menghalangi jalannya.<br /><br />“Hhhhh!” akhirnya ia baru bisa lega setelah duduk di dalam taxi.<br /><br />“Apartemen xxx, pak” katanya pada pak sopir.<br /><br />Untungnya barusan Didiet menelpon bahwa Paijo batal menjemputnya tanpa menyebutkan alasannya. Tadinya ia sudah membayangkan perjalanan ini akan semakin menjadi lebih menjengkelkannya. Setidaknya ia masih bisa punya waktu buat rilek sejenak sebelum memulai ‘perang dunia ke-lima’ dengan Didiet setibanya di apartemen nanti. Dua puluh lima menit kemudian ia tiba di apartemen. Senyum ramah dan sapaan dari petugas security di loby tak terlalu ia hiraukan. Ia melangkah cepat menuju ke Lift. Selama di dalam Lift ia berusaha mengingat ulang apa saja yang akan ia utarakan kepada suaminya nanti. Sambil menguatkan tekat untuk menolak setiap permintaan aneh Didiet sekalipun Didiet memaksanya melakukan itu. Ternyata Didiet sendiri yang membukakan pintu baginya.<br /><br />“Hai” sapa Didiet seraya mengambil alih travelbag dari tangan Sandra. Lalu mendaratkan kecupan tipis di bibir istrinya.<br /><br />Hari ini Sandra hanya memakai olesan tipis di wajahnya. Namun di mata Didiet itu hampir tak ada pengaruhnya. Kecantikan yang dimiliki Sandra memang luar biasa.<br /><br />“Hmmm” Sandra menanggapinya dengan dingin. Begitu masuk pandangannya langsung memindai ke seluruh sudut ruangan. Namun ia tak menemukan apa yang ia cari.<br /><br />“Mana anak itu?!” tanyanya ketus.<br /><br />“Paijo maksudmu, Say? Ia masih tidur. Nanti saja kangen-kangenannya. Lebih baik engkau beristirahat dulu pagi ini”<br /><br />“Apa!? Kangen-kangenan katamu?! Siapa juga yang kangen pada anak kampung itu!” Sandra langsung meledak sambil membesarkan mata.<br /><br />“Aduhhh aku kan cuma bercanda, Say. Tapi aku justru suka melihat dirimu kalau sedang marah. Semakin menggemaskan!”<br /><br />Wajah Sandra sempat merona. Tetapi ia tak mau kegombalan Didiet mempengaruhinya kali ini.<br /><br />“Aku benar-benar tak percaya engkau melakukan semua ini! Buat apa engkau mengajak anak itu kembali!” ujar Sandra terus masuk ke gigi lima persneling dan tancap gas.<br /><br />“Sabar say. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya padamu”. Ujar Didiet dengan santai. Nyata sekali ia sama sekali tak terprovokasi oleh keberangan istrinya yang molek itu.<br /><br />“Tidak perlu Dit! Aku sudah tahu semua rencanamu. Mungkin engkau bisa memaksa Nadine memenuhi hasrat liarmu pada anak itu namun tidak kepadaku!”<br /><br />“Lho, Aku tak pernah memintamu datang kemari buat bercinta dengan Paijo.”<br /><br />“Paijo yang mengatakannya kemarin di telepon!”<br /><br />“Ha ha ha! ” Didiet tertawa geli.<br /><br />“Dit! hentikan ini tidak lucu, tahu!”<br /><br />“Ha ha Baik baik ….sabar dulu. Waktu itu kami hanya mengodamu.”<br /><br />“Maksudmu Paijo tak sungguh-sungguh ingin bercinta denganku, begitu!? Huh!!”<br /><br />“Iya, Say “<br /><br />“Aku tak percaya kalian berdua tak menginginkan itu! Buktinya Nadine?!”<br /><br />“Itu soal lain. Sungguh! Aku sama sekali tak memaksa Nadine. Hari itu aku terlalu lelah buat melakukan kewajibanku sebagai suami kepada Nadine. Aku cuma menawarkan kepadanya. Kalaupun ia tak bersedia akupun tak akan memaksa. Dan Nadine sendiri setuju. Ia menganggap itu murni hanyalah karena seks! tak ada perasaan sama sekali terhadap Paijo”.<br /><br />“Aku sangat mengenal Nadine, Dit!. Ia tidak pernah menyukai Paijo. Kalau bukan karena ingin menyenangkan dirimu ia tak mungkin mau melakukannya dengan anak itu”<br /><br />“Kenyataan yang terjadi Nadine justru sangat menginginkan persetubuhan malam itu. dan ia terpuaskan oleh anak itu. Sand, Paijo hanya memberi Nadine apa yang seharusnya Alfi rutin berikan padanya.”<br /><br />Sandra mengakui.Didiet memang benar. Belakangan ini Alfi memang sudah kewalahan mengatur waktu buat memenuhi kebutuhan biologis dari sekian banyak wanita yang ada di dalam kehidupannya. Bahkan Sandra baru sadar jika Nadine memang tidak di intimi Alfi selama lebih satu bulan terakhir ini. Bukankah dulu ia sendiri mengalami hal yang serupa tatkala Alfi jarang mendatanginya. Bagaimana ia begitu frustasi mengharapkan belaian Alfi sehingga akhirnya ia tergoda melakukan perselingkuh dengan Paijo. Jadi wajar saja bila Nadine akhirnya juga terseret dalam permasalahan yang sama dan memutuskan buat melakukan perselingkuhan.<br /><br />“Tetapi bagaimana bila Alfi sampai mengetahui hal itu? Dan ia pasti akan kembali meradang”<br /><br />“Seharusnya Alfi tak perlu cemburu bila ia memang sungguh-sungguh ‘hanya’ mencintaimu.” ujar Didiet memberikan penekanan pada kata ‘hanya’ pada ucapannya.<br /><br />Ya! Didiet benar lagi soal itu. renung Sandra. Meski Alfi menyatakan sangat menyintai dirinya namun Alfi belum pernah membuktikan kesetiaannya. Sampai saat ini ia masih saja menebarkan cinta kepada banyak wanita. Dan Sandra yakin jumlah kekasih Alfi akan selalu bertambah seiring dengan waktu.<br /><br />“Aku maklum dengan kekuatiranmu itu. Namun tak semestinya engkau berprasangka buruk terlebih dahulu kepada kami berdua. Aku tak akan pernah memaksamu melakukan apa yang tak ingin engkau lakukan Say. Begitu juga dengan Paijo. Ia tahu engkau sudah menjatuhkan pilihanmu kepada Alfi. Dan ia sadar jika ia sudah tersingkir dalam persaingan memperebutkan dirimu ketika mengetahui engkau hamil oleh Alfi” ujar Didiet lagi<br /><br />“Maaf aku Dit. Aku hanya tak ingin hubunganku dan Alfi kembali memburuk. Perbuatanmu mengajak Paijo kemari sungguh membuatku bingung dan kuatir, Dit”<br /><br />“Tak usah di masukan ke dalam hati Say. Aku memang belum bercerita kepadamu apa alasanku membawanya kemari”<br /><br />– – – – –<br /><br />“Sewaktu engkau memberi kabar bahwa Alfi sudah pulang maka kuputuskan untuk langsung berangkat kemari dengan mengunakan pesawat dari kota H. Dalam perjalanan menuju ke kota H aku melintasi desanya bik Iyah. Aku berhenti sejenak di sebuah Puskesmas kecil di desa itu buat meminta obat karena kepalaku mendadak puyeng. Di sana aku malah menemukan Paijo sedang terbaring di ranjang puskesmas sambil menangis. Kulihat banyak bekas penganiayaan di sekujur tubuhnya. Mantri yang mengobatinya mengatakan bahwa Paijo telah menjadi korban penganiayaan oleh beberapa begundal suruhan seorang tuan tanah di sana. Darinya juga aku mengetahui kejadian sebenarnya bahwa ternyata bukan Paijo yang telah menghamili Surti. Gadis itu hamil oleh Ipung pacarnya sendiri yang merupakan anak tuan tanah kaya di kampungnya. Hal itu terjadi beberapa bulan sebelum Paijo datang ke rumah kita. Karena Ipung takut bertanggung jawab maka Surti mencari jalan buat menutupi aib tersebut. Paijo yang naïf, ia benar-benar tak tahu hanya dimanfaatkan oleh Surti. Surti menjebaknya dengan keintiman. Lalu satu bulan kemudian ia mengaku telah hamil. Surti juga tahu Paijo tak akan menolak bila dimintai tanggung jawab karena sangat ngebet padanya. Permasalahan baru muncul saat Paijo pulang ke desa, ternyata istrinya sudah diboyong oleh Ipung ke rumah besar orang tua-nya. Ipung yang tak senang akan kepulangan Paijo lalu memerintahkan beberapa karyawan perkebunan ayahnya buat mengusir Paijo dari kampung itu sekaligus menjauhkannya dari Surti untuk selama-lamanya. Tak ada seorangpun yang mau membelanya atau menolongnya saat ia di aniaya.”<br /><br />“Bagaimana mungkin orang-orang di sana membiarkan hal seperti itu terjadi padahal mereka tahu Surti adalah istri Paijo?” timpal Sandra. Tanpa sadar timbul rasa ibanya terhadap nasib buruk yang selalu menimpa diri Paijo.<br /><br />“Orang-orang di desanya segan terhadap keluarga Ipung yang kaya raya. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut campur tangan dengan urusan itu. Dan satu hal lagi faktanya pernikahan antara Paijo dan Surti sesungguhnya tidaklah syah sebab mereka tak pernah benar-benar dinikahkan oleh keluarga Surti. Tak ada penghulu bahkan tak ada buku nikah. Mereka cuma tinggal serumah tanpa ada ikatan resmi”<br /><br />“Sungguh malang nasib anak itu. Tadinya kupikir setelah kusuruh pulang ia akan menemukan kebahagiaan di sana.”<br /><br />“Namun itulah kenyataan hubungan antara Surti dan Paijo. Seakan kemalangan selalu identik dengan orang-orang seperti dia. Nasibnya tak seberuntung Alfi. Di desa itu tak ada seorangpun yang mau mengurusinya. Lantas karena kasihan akhirnya kuputuskan mengajaknya kemari bersamaku. Aku memang sengaja tak membawanya ke rumah kita di kota S karena aku tak ingin terjadi permasalahan lagi dengan Alfi. Namun demikian apabila engkau keberatan aku akan segera memindahkannya ke sebuah tempat kos” ujar Didiet mengakhiri penuturannya.<br /><br />“Baiklah Dit. Aku bisa mengerti alasanmu mengajaknya kemari. Aku juga tak keberatan ia tinggal di sini buat sementara waktu asalkan engkau berjanji tak memintaku bercinta dengannya”<br /><br />“Tentu Say. Bukankah sejak tadipun aku sudah mengatakannya. Akupun tak ingin membuatmu resah apalagi mengingat engkau sedang dalam keadaan hamil.”<br /><br />—<br /><br />Hari-hari berlalu dengan tentram. Sandra tak lagi mempermasalahkan lagi urusan Paijo. Tetapi meski demikian ia tetap menjaga jarak dengan anak itu. Hampir setiap malam ia dan Didiet bercinta. Namun hanya sebatas melakukan oral seks. karena Sandra takut akan terjadi masalah terhadap kandungannya. Sementara itu tanda-tanda kehamilannya mulai terlihat. Rasa mual mulai sering ia rasakan. Waktu berjalan hampir dua minggu dan sampai detik ini tak terjadi hal-hal yang dikuatirkan Sandra. Sandra baru bisa bernapas lega karena baik Didiet maupun Paijo benar-benar menunjukan konsistensinya terhadap omongan mereka. Dan yang paling menggembirakan buat Sandra karena lusa ia akan pulang ke kota S.<br /><br />“Mengapa ia belum juga sarapan?” Tanya Sandra heran pada suatu pagi saat menemani Didiet sarapan.<br /><br />“Kukira anak itu masih terluka. Bercinta dengan Nadine ternyata tak lantas membuatnya melupakan Surti. Entah bagaimana ia harus melewati hari-harinya setelah ini. Sampai sekarangpun anak itu masih sering menangisi kemalangannya meski ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Biarkan saja. Nanti juga ia akan makan kalau ia sudah merasa lapar” ujar Didiet menanggapi.<br /><br />Sandra menemukan kenyataan bahwa kini Paijo benar-benar telah banyak berubah. Ia jadi sangat pendiam. Terkadang Sandra melihat anak itu sering melamun. Namun ia ragu buat memulai dialog dengan anak itu. Tak lama setelah Didiet pergi Lila menelponnya.<br /><br />“Hi, La. Ada apa ?”<br /><br />“Ada yang perlu kusampaikan padamu. Ini berkaitan dengan pemeriksaan kehamilanmu tempo hari”<br /><br />“Apakah ada kelainan atau …” tanya Sandra cemas.<br /><br />“Tenang janinmu sehat kok.”<br /><br />“Hhh! Syukurlah! Aku tadi sudah kuatir kalau-kalau ada masalah dengan janinku”<br /><br />“Tidak. Aku hanya memberi tahumu bahwa sesuai dengan perhitungan kalenderku saat ini kehamilanmu telah memasuki usia sembilan minggu”<br /><br />“Apakah tidak salah La? Bukankah seharusnya ini baru akan masuk minggu ke-5?”<br /><br />“Tidak Sand. perhitunganku akurat untuk itu” tegas Lila<br /><br />“Minggu ke-9? Ituu. .be rar ti….”<br /><br />“Ya Sand, Sudah terjadi pembuahan sebelum Alfi ‘mencampurimu’. Dan bisa kupastikan ayah dari janinmu yang sesungguhnya adalah…. Paijo”<br /><br />Pernyataan Lila sungguh sangat mengejutkan Sandra.<br /><br />“Tidak mungkinn,La!..A.aku tahu persis aku belum hamil pada saat itu”<br /><br />“Engkau keliru. Alat test kehamilan yang engkau pakai tak bisa dijadikan patokan.<br /><br />Usia kandungan ditentukan dari kapan terakhir seorang wanita tak mendapatkan haidnya.”<br /><br />Hening. Sandra tahu ucapan Lila selalu didukung oleh bukti klinis. Lila tahu saat itu Sandra sedang memikirkan semua yang ia sampaikan barusan.<br /><br />“Maafkan aku Sand. Aku tak memberitahumu soal ini sejak awal. Aku tak ingin merusak kebahagianmu dan Alfi saat itu. Aku sebenarnya tak ingin hal itu menjadi dilema dan beban pikiranmu namun aku harus tetap harus mengatakannya padamu”<br /><br />“Tidak apa-apa, La. Aku bisa mengerti. Aku justru berterima kasih atas perhatianmu” ujar Sandra.<br /><br />Lila sudah melakukan sesuatu hal benar. Ia harus tahu ayah biologis dari janin yang dikandungnya. Sehingga dengan begitu apabila dikemudian hari ada permasalahan yang membutuhkan pertolongan dari sang ayah biologis anaknya, dia tahu harus mencari siapa. Untungnya Nadine memakai kontrasepsi saat bercinta dengan anak itu jika tidak dia juga pasti akan terbuahi oleh Paijo.<br /><br />“Ada satu berita lagi buatmu, Sand. Namun yang satu ini akan sangat mengembirakan. Aku melihat ada dua janin di rahimmu”<br /><br />“OHH! K KKEMBARR! Benarkahh, Laa?!”pekik Sandra girang.<br /><br />“Aku tak mungkin salah lihat. Mudah-mudahan saat engkau pulang nanti kita bisa melihatnya semakin jelas melalui alat USG. Sekali lagi selamat buatmu ya, Sand”<br /><br />“La, a..akuu tak tahu harus bicara apa. Di satu sisi aku benar-benar bahagia mendapati aku bakal memiliki dua orang bayi namun di sisi lain akupun merasa kuatir jika suatu saat Alfi mengetahui bahwa sesungguhnya bukan dia yang berhasil menghamiliku”<br /><br />“Menurutku saat ini nikmati saja dulu kebahagiaanmu. Perlahan-lahan kita cari cara buat memberi pengertian pada Alfi. Oya jangan lupa atur menu makananmu sebab janinmu memerlukan asupan nutrisi sejak dini ”<br /><br />“Terima kasih, La. Oya bagaimana dengan kandunganmu sendiri?”<br /><br />“Ini sudah masuk bulannya bagi dia lahir. Hmmm…Kira-kira dia akan mirip denganku atau Alfi ya, Sand?”tanya Lila.<br /><br />“Mudah-mudahan ia lebih mirip ke kamu, La. Biar kalau sudah gede dia ga minder-an sama Alfina dan Fini hi hi”<br /><br />“Hi hi benar juga katamu. Eh Sand..sudah dulu ya. Aku jadi ingat ada yang harus aku beli buat Fili”<br /><br />“Fili? Engkau memberinya nama itu? Hi hi Baiklah kalau begitu.. Daagg!”<br /><br />–<br /><br />Setelah menutup pembicaraan Sandra termenung memikirkan semua rankaian kejadian ini. Sungguh tak ia sangka ternyata justru Paijo yang berhasil membuahinya. Tidak tanggung-tanggung, Paijo justru memberinya dua orang bayi sekaligus. Ia benar-benar menjadi serba salah bagaimana harus bersikap kepada anak itu. Soalnya akhir-akhir ini ia telah memperlakukan anak itu secara kurang baik. Lalu bagaimana juga dengan Alfi? Bagaimana reaksinya bila mendengar berita ini. Sandra jadi benar-benar bingung.<br /><br />“Buu…ibu tidak apa-apa?”<br /><br />Terdengar seseorang menegurnya.<br /><br />“Eh ohh kamu Jo. Ya aku tidak apa-apa. Kenapa?” Sandra benar-benar tak menyadari kehadiran anak itu di situ.<br /><br />“Syukurlah sedari tadi saya sudah memanggil ibu berkali-kali tapi ibu tak menyahut”<br /><br />“Ohh begitukah? Em ada apa Jo?”<br /><br />“Saya cuma mau mengembalikan ini sama ibu” ujar Paijo sambil menyodorkan sebuah amplop.<br /><br />“Apa ini Jo?”<br /><br />“Itu uang yang dulu ibu kasih ke saya buat istri saya melahirkan. Saya kembalikan ke ibu karena ternyata sudah tidak diperlukan lagi”<br /><br />“Tak perlu dikembalikan. Jo”<br /><br />“Tapi buu”<br /><br />“Simpan saja. Suatu saat engkau pasti membutuhkannya”<br /><br />“Terima kasih bu. Tapi kalau ibu tak keberatan saya mau titip uang dari ibu ini buat bu de saja.”<br /><br />Sandra mengeleng-gelengkan kepala. Anak ini tak jauh berbeda dengan Alfi. Agak keras kepala. Namun memiliki hati yang baik.<br /><br />“Hmmm…Baiklah jika itu keinginanmu. Begitu aku pulang lusa langsung akan kusampaikan pada bik Iyah”<br /><br />“Terima kasih bu. Saya juga sekalian mau pamit ke ibu karena mulai minggu depan saya tidak tinggal di sini lagi”<br /><br />“Lho kamu mau kemana?”<br /><br />“Saya diterima kerja sebagai buruh angkut di sebuah pertambangan milik temannya pak Didiet di pulau K.”<br /><br />“Pulau K? itu jauh sekali, Jo”<br /><br />“Iya. justru itu saya minta tolong ibu. Siapa tahu saya bakal lama baru bisa bertemu sama bu de lagi”<br /><br />“Apakah engkau sudah pikirkan matang-matang keputusanmu itu? Bekerja di tempat seperti itu begitu berat bagi anak seusiamu”<br /><br />Aneh! pikir Sandra. Mengapa jauh di lubuk sanubarinya muncul perasaan tak tega melihat anak ini pergi? Mengapa ia tak ingin Paijo harus terus menerus berkutat dalam penderitaan selama hidupnya? Jelas itu lebih dari sekedar hanya rasa kasihan.<br /><br />“Tidak apa-apa kok bu. Saya harus kerja supaya bu de bangga sama saya. Dengan begitu saya juga bisa ngasih ke bu de uang yang banyak. he he” Paijo mengucapkan hal itu dengan kebanggaan.<br /><br />“Jo kamu sebenarnya anak yang berbakti. Baik-baiklah kamu di rantauan dan pandai-pandailah membawa diri, ya”.<br /><br />“Ya bu, terima kasih atas nasehatnya”<br /><br />Paijo sudah akan melangkah keluar namun ia berbalik lagi.<br /><br />“Oya saya lupa beri selamat sama ibu.”<br /><br />“Selamat buat apa, Jo?”<br /><br />“Selamat karena ibu bakal dapat momongan”<br /><br />“Oh i..tu iya. terima kasih” Sandra tergagap.<br /><br />“Wahh wah kang Alfi memang hebat. Bisa punya momongan begitu banyak ” ujar Paijo berkata sendiri. Paijo masih terus bergumam terkagum-kagum sambil melangkah ke luar.<br /><br />Sandra memandang punggung Paijo tanpa dapat berkata-kata. Anak itu begitu tulus menyatakan kebahagian buatnya.<br /><br />–<br /><br />Siangnya<br /><br />Ia ingat bukankah tadi siang Paijo berencana menyikat lantai kamar mandi karena kuatir Sandra sampai jatuh terpleset gara-gara lantai yang licin. Aneh! mengapa anak itu begitu lama?. Jangan-jangan dia malah onani di dalam situ. Dasar! pikir Sandra. Timbul keisengannya. Ia ingin mengagetkan Paijo. Perlahan ia mengendap ke dekat kamar mandi. Lamat-lamat telinganya mendengar suara tangisan dari balik pintu kamar mandi. Karena penasaran akan apa yang terjadi di dalam kamar mandi, Sandra mendorong pintu itu.<br /><br />“Joo apa yang terjadi?.” Tanya Sandra heran melihat Paijo duduk meringkuk sambil sesegukan di lantai kamar mandi. Kepalanya tertunduk masuk di dalam lipatan tangannya yang ditopang kedua lutut. Celananya basah semua. Paijo tak menjawab. Ia terus larut dalam tangisnya. Sandra bingung harus berbuat apa sampai akhirnya ia melihat sebuah hp di pangkuan Paijo.<br /><br />“Boleh kulihat?” tanyanya. Meski Paijo tak menjawab. Sandra tetap meraih benda itu. Ternyata ada sebuah sms. Dari Surti rupanya.<br /><br />Tertulis di situ ;<br /><br />“Kang mas Paijo, sebelumnya Surti minta maaf. Surti hanya mau mengabarkan jika Surti dan kang Ipung sudah menikah pagi tadi. Surti mohon jangan hubungi Surti lagi setelah ini. Terima kasih atas pengorbanan kang mas selama ini. Salam Surti.”<br /><br />Jelas ini biang keladinya!. Dasar perempuan tak tahu balas budi! umpat Sandra dalam hati. Seharusnya dia tak perlu lagi menghubungi Paijo setelah mencampakannya seperti sampah. Yang jelas kabar itu hanya akan melukai perasaan Paijo saja.<br /><br />“Joo..sabar ya. Tabahkan hatimu” bujuk Sandra<br /><br />“Surtiii..huu huuu.” Dengan perasaan pilu Paijo menyebut nama wanita yang ia sayangi itu di sela tangisannya. Sandra sungguh merasa iba. Anak semuda itu tak seharusnya mengalami penderitaan batin begitu bertubi-tubi. Jiwanya masih sangat rapuh dan labil.<br /><br />“Tak usah engkau tangisi perempuan seperti itu Jo. Dia dan keluarganya hanya memanfaatkan dirimu saja selama ini!”<br /><br />“Tapi..saya hks cinta sekali sama Surtii, bu.. hks.. hks” jawab Paijo tersengal-sengal karena pernapasannya terbuka dan tertutup sendiri akibat dari reaksi metabolisme dari tangisnya yang berlangsung terlalu lama.<br /><br />“Tapi dia tak menyintaimu,Jo. Dan yang ada di kandungan Surti bukanlah anakmu. Itu adalah anaknya Ipung”<br /><br />“Berarti saya.. hks.. sudah tidak punya harapan lagiii. Kalau begitu biar saya mati saja buu! huu huuu”<br /><br />“Aduhhh Joo! Engkau tidak boleh putus asa seperti itu!.”<br /><br />Sandra jadi kuatir anak itu akan bertindak nekat karena tak mampu menahan kesedihannya. Tak ada jalan lain buat menghentikan itu pikir Sandra. Ia harus memberitahu Paijo soal kehamilannya.<br /><br />“Joo, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu”<br /><br />“hks hks huuuu…huu” Paijo terus menangis.<br /><br />“Ketahuilah Jo bahwa janin yang ada dirahimku sebenarnya adalah…. anakmu” lanjut Sandra.<br /><br />Paijo mengangkat kepalanya.<br /><br />“A.anak saya? ibu kok ngomong begitu hks…? Kan ibu sendiri yang bilang kalau saya mandul huu huu”<br /><br />Setelah mengatakan itu Paijo kembali meraung pedih. Ia menjadi semakin sedih dan merasa tak berguna sebab yang ia tahu ia sudah gagal dan janin di rahim Sandra itu adalah buah percintaan antara Sandra dengan Alfi.<br /><br />“Dengarkan aku dulu, Jo. Aku mengatakan yang sesungguhnya. Memang kamu yang telah membuatku hamil” ujar Sandra sambil meraih wajah anak itu dengan kedua tangannya.<br /><br />Paijo menghentikan tangisnya sambil menatap Sandra.<br /><br />“Maafkan aku. Aku-pun baru pagi ini tahu itu dari Lila. Terapi tempo hari ternyata berhasil. Bahkan kamu memberiku bayi kembar “sambung Sandra.<br /><br />“Kem..baarr? Ibu bukan cuma mau nyenengin saya, kan?” tanya Paijo dengan perasaan bercampur aduk.<br /><br />“Percayalah. Jo.”<br /><br />“Tapi bagaimana dengan Surti buu”<br /><br />“Soal Surti. Kamu harus bisa merelakannya. Mungkin ia memang bukan jodohmu. Suatu saat engkau pasti akan menemukan pengganti Surti. Kamu masih memiliki bik Iyah yang menyayangimu seperti putranya sendiri. Dan kamu masih memiliki ini” ujar Sandra sambil menunjuk ke perutnya.<br /><br />“Engkau maukan bertemu dengan kedua anakmu kelak?” tanya Sandra.<br /><br />Paijo mengangguk dengan air matanya masih meleleh di pipi.<br /><br />“Iya bu saya pingin melihat mereka setelah lahir”<br /><br />“Nah! kalau begitu kamu harus tetap melanjutkan hidupmu. Bukankah tadinya engkau begitu bersemangat bekerja dan mencari uang buat bu de-mu. Seharusnya engkau bertambah giat setelah tahu engkau bakal menjadi seorang ayah”<br /><br />“Iya buu. Terima kasih.” jawab Paijo sambil mengusap sisa-sisa air matanya dengan mempergunakan ujung bajunya.<br /><br />“Sudah tidak sedih lagi kan?”<br /><br />Ia kembali mengangguk kecil. Sandra tahu tak segampang itu meredakan kesedihan anak ini. Tapi ia sedikit agak lega melihat Paijo mulai tenang. Sepertinya nasehatnya kali ini mengena. Sandra yakin anak itu mau mendengarkan ucapannya.<br /><br />“Tapi Buu”<br /><br />“Apa lagi Jo?”<br /><br />“Jangan bilang ke siapa-siapa”<br /><br />“Soal apa?”<br /><br />“Soal siapa sebenarnya ayah kedua anak saya ini. Biarlah kang Alfi dan yang lain tetap mengira ayah bayi di dalam perut ibu adalah kang Alfi. “<br /><br />“Kenapa kamu mau aku melakukan hal itu Jo?”<br /><br />“Saya tidak ingin dia jadi sedih seperti yang saya alami sekarang. Lantas akan menjadi masalah baru buat keluarga ibu”<br /><br />“Tapi ini tak adil buat kamu, Jo”<br /><br />“Tidak apa-apa bu. Saya rela demi ibu dan kedua anak saya”<br /><br />“Ohh Jo ..kamu ternyata adalah seorang calon bapak yang baik. Terima kasih karena sudah mau memikirkan aku.” Sandra haru sekaligus iba. Haruskah Paijo menderita lagi setelah apa yang ia alami selama ini. Namun di sisi lain pendapat Paijo barusan benar adanya dan ia sendiri juga tak ingin Alfi kembali ngambek dan menimbulkan konflik baru yang berkepanjangan<br /><br />“Segera ganti pakaianmu. Nanti engkau keburu masuk angin”.<br /><br />“Baik bu”<br /><br />–<br /><br />Tuuttt.. tutt… ti…Handphone Sandra berbunyi. Ia melihat avatar Alfi tampil dilayar. Duh! Kangennya ia pada anak itu. Saat ini Alfi pasti sedang asyik bersama Niken. Sandra menduga demikian karena itu sudah menjadi kebiasaan Alfi selama ini. Sebenarnya satu minggu ini adalah jatah Alfi buat Sandra sendiri. Namun karena saat ini ia pergi ke kota G jadi Alfi bebas kemanapun ia ingin pergi.<br /><br />“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya Sandra mengawali percakapan.<br /><br />“Baik kak, Kakak sendiri bagaimana?”<br /><br />“Juga baik sayang. Eng..lagi ngapain kamu Fi?”<br /><br />“Alfi baru pulang dari sekolah. masih di rumah menunggu kak Nadine pulang kerja”<br /><br />“Lho tadinya kakak pikir kamu pergi ke rumah kak Niken-mu, Fi”<br /><br />“Ngga kak,. Alfi pingin dulu ngabisin waktu beberapa minggu ini sama kak Nadine. Lagian Alfi kangen banget sama kak Nadine”<br /><br />“Kok, tumben?”<br /><br />Ini aneh? Pikir Sandra. Tak biasanya Alfi mengambil keputusan seperti itu. Ia selalu lebih memilih untuk meniduri Niken bila sudah dihadapkan pilihan antara Niken atau para wanitanya yang lain.<br /><br />“Iya kak. Soalnya Alfi merasa bersalah sama kak Nadine dan kak Dian. Alfi berlaku tidak adil pada mereka selama ini. Terutama kak Nadine. Sudah banyak pengorbanan yang ia lakukan sejak dia Alfi nodai. Ia harus rela menjadi istri kedua kak Didiet karena hamil oleh Alfi.”<br /><br />“Aduhh sayangg. Ada apa kamu mendadak berpikiran seperti itu?”<br /><br />“Setelah peristiwa Paijo dulu Alfi jadi sadar betapa Alfi mencintai kakak. Dan Alfi tak ingin hal serupa terjadi pada kak Nadine dan kak Dian sebab Alfi juga sangat sayang sama mereka.”<br /><br />“Lho kan si Paijo sudah tak ada lagi jadi kenapa kamu begitu kuatir?”<br /><br />“Alfi tahu itu. Tapi di hati kecil Alfi tetap merasa jika sesuatu telah terjadi”<br /><br />“Kakak tak mengerti maksudmu, Fi”<br /><br />“Alfi takut ada orang lain ….” Ujar Alfi ragu meneruskan kata-katanya<br /><br />“Kamu mengira kak Nadine-mu telah berselingkuh, Fi?” Tanya Sandra kuatir jika Alfi mengendus perselingkuhan Nadine dan Paijo. Siapa tahu Paijo tanpa sengaja meninggalkan bekas cupangan di tubuh Nadine.<br /><br />“Alfi tidak menuduh kak. Alfi hanya kuatir saja kok kak. Tetapi seandainya itu memang terjadi, Alfi tak akan menyalahkan kak Nadine karena itu memang kesalahan Alfi sendiri.”<br /><br />“Syukurlah kalau kamu sadar kalau permasalahan yang timbul akhir-akhir ini akibat perbuatanmu sendiri dan hal itu telah menyusahkan kami semua” Ujar Sandra lega. Setidaknya peristiwa dulu bisa membuat Alfi mengintropeksi dirinya. Meski demikian Sandra beranggapan Alfi tetap tidak perlu tahu mengetahui hubungan Nadine dan Paijo selama di kota G sebab ia masih ragu jika Alfi memang sudah bisa menerima hal itu.<br /><br />“Iya kak. Karena itu Alfi di menanti mereka sini buat menebus kesalahan Alfi pada mereka berdua”<br /><br />“Ya sudah. Eh Fii, kamu kangen ngga sama kakak? Kakak pinginn bangett kamu gituinn” rengek Sandra. Mereka memang masih harus menahan diri setidaknya selama satu bulan lagi buat bercinta secara penuh menunggu hingga usia kandungan Sandra benar-benar sudah cukup kuat.<br /><br />“Alfi juga kangen banget sama kakak. Kasihan kakak. Tapi Alfi juga binggung dan sedih karena ngga bisa nolong kakak.”<br /><br />“Eh.. KAK!” tiba-tiba Alfi berteriak kegirangan.<br /><br />“Iya ada apa Fi?’<br /><br />“Kenapa kita ngga minta sama kak Didiet aja yang ngegituin kakak. punya kak Didiet kan pendek jadi ngga bakalan ngebentur rahim kakak”<br /><br />“Iya juga sih! Tapi kakak ngga mau!.”<br /><br />“Lho kenapa kak?”<br /><br />“Habisnya ngga enak! Enaknya sama titit kamu”<br /><br />“Paling tidak saat ini kakak ngga terlalu menderita seperti sekarang”<br /><br />“Pokoknya kakak ngga mau. masalahnya kak Didiet-mu selalu saja ‘dapet’ duluan jadinya sama saja dengan ngga di apa-apain”<br /><br />“Duh bagaimana ya? Seandainya saja si Paijo ada di sini…” keluh Alfi dalam kebinggungannya.<br /><br />“Paijoo? Sayangg, Kamu bicara apaaa?!!”<br /><br />“Iya kak, kalau saja saat ini ada si Paijo. Pasti kesulitan kita bakal teratasi”<br /><br />“Kenapa kamu bicara seperti itu? Kakak ngga mau lagi berhubungan dengan dia. Kakak kapok! Kakak ngga mau lagi kehilangan kamu.”<br /><br />“Paling tidak ia bisa memenuhi kebutuhan kakak. Dan aman buat kakak bercinta sama dia karena tititnya ngga bisa membentur rahim kakak Apalagi dia itu punya titit yang enak banget kan kak?..”<br /><br />“Aaa Alfi! Kamu tega banget ngegoda kakak. Kakak kan jadi tambah basah!”<br /><br />“Bukannya kamu bilang kamu tidak suka sama paijo. Emang kamu ngga cemburu Fi. Kalau aku di gituin lagi sama Paijo?hi hi”<br /><br />“Cemburu sih iya. Tapi Alfi ngga kuatir seperti tempo hari sebab Alfi tahu cinta kakak hanya buat Alfi seorang. Yang penting sekarang buat Alfi adalah kebutuhan buat kakak dulu. Alfi rela melakukan apapun demi kakak agar kakak bahagia.”<br /><br />“Bener nihh kamu ngga cemburu?. Kakak bisa saja mencari seseorang di sini yang mirip Paijo. Engg… terus kakak selingkuh sama orang itu”<br /><br />“Ngga papa Kak. Alfi rela. Jika perlu Alfi bisa minta sama kak Didiet buat membawa Paijo datang kesitu buat nemani kakak selama di sana..”<br /><br />“Sudah Ah. Kok ngomongnya ngelantur terus. Entar bener-bener kejadian deh!”<br /><br />“Lho siapa bilang Alfi sedang bercanda. Alfi serius kok kak”<br /><br />“Iya iya sudah! Kakak tahu kamu rela dan mau berkorban buat kakak. Tapi saat ini kakak hanya pingin kamu yang menuntaskan hasrat kakak saat kakak pulang”<br /><br />–<br /><br />Sore hari itu<br /><br />Didiet baru saja menelpon dan mengatakan jika ia bakal pulang kemalaman karena harus meninjau pekerjaannya ke lapangan.<br /><br />“Kamu makan malam saja dulu Say. tak perlu menungguku” pesannya pada Sandra.<br /><br />Sandra mengetuk kamar Paijo.<br /><br />“Joo ayo temani aku makan malam” Ia sengaja mengajak Paijo makan bersamanya karena tak ingin Paijo terus menerus sendirian. Seseorang yang sedang mengalami kesedihan berat semacam itu harus kerap di awasi.<br /><br />Tak lama kemudian Paijo membuka pintu.<br /><br />“Saya belum lapar buu. Silakan ibu makan terlebih dahulu. Saya nyusul belakangan saja “<br /><br />Sandra melihat mata Paijo yang masih bengkak. Ia baru menangis lagi. Ia pasti masih terus memikirkan soal Surti.<br /><br />“Duhh..Lihat tuh! Ternyata bapakmu habis nangis” Goda Sandra seolah-olah sedang berkata pada perutnya sendiri.<br /><br />“Saya tidak nangis kok bu” sangkal Paijo sambil menunduk malu.<br /><br />“Bilang langsung ke mereka kalau bapaknya tidak bakal sedih dan nangis lagi” ujar Sandra menunjuk ke perutnya. Tingkah Sandra itu mau tak mau membuat Paijo tersenyum dan menahan ketawa.<br /><br />“Ayoo.Joo!”<br /><br />“B..bapak tidak bakal sedih lagi” ucap Paijo sekenanya.<br /><br />“Kok ngomongnya dari situ? Dia ngga bisa dengar kalau seperti itu Jo. Sini!”desak Sandra. Paijo mendekatkan kepalanya ke perut Sandra.<br /><br />“Nakk, bapak tidak bakalan sedih dan nangis lagi” ujar Paijo dengan lebih serius mengulangi ucapannya sambil mengusap-usap perut Sandra.<br /><br />“Argg Joo. Geli!” pekik Sandra. Entah mengapa mendadak gairahnya mendadak ketika Paijo mengusap perutnya Meski itu hanya sebuah gerakan sederhana dan spontan namun berdampak sangat besar bagi Sandra. Menyambar bagaikan percikan api dari sebuah pematik di tengah galonan bensin.<br /><br />“Iya buu. Maaf..” ujar Paijo menjauhkan kepalanya. Sandra senang melihat senyum Paijo. Setidaknya ia bisa sedikit meringankan beban anak itu.<br /><br />Ugh! Tiba-tiba wajah Sandra berubah pucat. Rasa mual itu mulai datang lagi. Kali ini dorongan buat muntah begitu besar. Sandra bergegas menuju ke kamar mandi.<br /><br />“Hoekss!!” seketika itu juga ia tak mampu menahan dorongan untuk muntah.<br /><br />“Buu?”<br /><br />Paijo tidak tinggal diam. Di ambilnya sebotol minyak angin miliknya dan didekatkannya ke hidung Sandra. Namun sepertinya itu saja tak cukup.<br /><br />“Hoekkkk!!…Hoeeeeekkk!!…” serangan itu kembali. Sebenarnya Paijo sudah cukup berpengalaman dan tahu bagaimana mengatasi situasi seperti ini tatkala mantan istrinya tengah mengalami hal yang sama dulu. Ia ingat ia selalu memberikan pijatan di sekitar pundak Surti. Tetapi ia agak ragu buat menyentuh Sandra. Sehingga ia hanya berdiri saja dengan kebinggungan di situ.<br /><br />“Hoeeeeeeekk!!….aduuhhh Joo..” rintih si cantik itu. Sudah lebih dua menit metabolisme alami yang amat mengganggu itu tak juga kunjung reda malahan semakin menjadi-jadi. Tak ada yang bisa ia muntahkan lagi namun dorongan itu tak terhentikan. Dan hal itu mulai menyakitkan. Lama-kelamaan wajah Sandra yang putih menjadi semakin pucat. Akhirnya Paijo tak tahan lagi melihat penderitaan wanita yang sedang mengandung anaknya itu.. Dengan tangan gemetar diraihnya pundak Sandra.<br /><br />“Hhhhh…” Sandra merasakan kenyamanan ketika jemari Paijo menekan syaraf-syaraf pundaknya. Sedikit demi sedikit Sandra kembali bisa bernapas lega. Hampir lima menit Paijo melakukan hal itu. Setelah yakin rasa mual Sandra benar-benar mereda, Paijo membimbingnya kembali ke kamar. Kemudian ia bergegas ke pantry menyeduhkan teh hangat buat Sandra.<br /><br />“Nah, ibu istirahat saja dulu. Saya mau keluar sebentar” katanya sambil menyerahkan cangkir teh kepada Sandra. Belum sempat Sandra bertanya ia sudah menghilang.<br /><br />Lima belas menit Sandra duduk sendiri di kamar itu. Sesekali ia menyeruput teh seduhan Paijo bila rasa mual itu kembali muncul. Entah mengapa ia belum ingin kembali ke kamarnya sendiri. Tak lama kemudian Paijo muncul sambil membawa sebuah mangkuk.<br /><br />“Aww….rujaaak!” pekik Sandra girang. Entah dari mana Paijo memperolehnya di saat seperti ini, namun memang ini yang ia idamkan saat ini. Dengan cepat ia rebut mangkuk tersebut dari tangan Paijo. Pertama sepotong kecil mangga muda langsung dicomotnya. Rasa asam kecut yang melanda lidahnya bercampur sedikit rasa pedas itu dengan cepat memunahkan rasa mualnya. Paijo sendiri jadi ikut-ikut memeramkan mata karena ia tahu rasa buah itu memang sangat asam.<br /><br />“Kok kurang pedas, Jo?”<br /><br />“Lho itu tadi sudah di kasih cabe tiga biji kok bu”<br /><br />“Masih kurang! Tambahin cabenya, Joo”” rengek Sandra.<br /><br />“Saya tidak mau ibu malah sakit perut.”<br /><br />“Sedikiiiit saja Joo”<br /><br />“Tidak boleh!” jawab Paijo dengan tegas. Baru kali ini Sandra merasakan Paijo bersikap seperti itu padanya. Tapi ia justru senang sekali dengan perhatian anak itu padanya. Mereka duduk bersisian di tepi ranjang. Paijo dengan sabarnya menunggui Sandra menyantap rujaknya.<br /><br />“Joo..” panggil Sandra sambil meletakan mangkuk yang telah kosong di atas meja di samping tempat tidur.<br /><br />“Ya buu?”<br /><br />“Terima kasih ya karena sudah mau repot buat aku”<br /><br />“He he ndak apa apa kok buu..lagian kan ibu hamil gara-gara saya” jawab Paijo tersenyum malu. <br /><br />“Oya Jo, Aku mau menanyakan sesuatu padamu”<br /><br />“Tanya soal apa bu?”<br /><br />“Eng..Sewaktu Surti hamil muda dulu apakah kalian …..melakukannya?”<br /><br />“Melakukann apaa bu?”<br /><br />“Uh em tidak jadi Jo. Sudah lupakan saja ” ujar Sandra merasa jengah sendiri.<br /><br />“M..maksudd ibu n ngentott?” tanya Paijo hati-hati.<br /><br />“he e ..” jawab Sandra lirih nyaris tak terdengar.<br /><br />“Kenapa ibu tanyakan itu?”<br /><br />“Soalnya aku sudahh tiga minggu tidak..” ujar Sandra sambil menggigit bibirnya sendiri. Sejak Paijo menyentuh lembut perutnya juga saat melakukan pemijatan tadi hasratnya semakin tak terkendali.<br /><br />“I.buu..lagi kepinginn yaa?”<br /><br />“Tapi a..ku takutt keguguran, Jo”<br /><br />“Eng..Sebenarnya sewaktu Surti sedang hamil muda dulu kami sering melakukannya ” ujar Paijo mencoba mengingat-ingat kejadian saat dengan Surti dulu.<br /><br />“Benarkah?”<br /><br />“Iya. Malahan hampir setiap hari. Mulanya saya yang takut bakal terjadi apa-apa dengan kandungannya tapi karena Surti yang minta jadi saya terpaksa nurutin. Eh bu sebentar lagi pak Didiet kan pulang berarti kan sudah ndak masalahkan?.”<br /><br />“Dia pasti sudah capek buat itu”<br /><br />“Kalau begitu saya antar ibu ke bandara sekarang. Saya yakin kita masih dapat tiket buat ibu ke kota S”<br /><br />“Tidak usah Jo”<br /><br />“Lho kenapa bu?, saya pikir pak Didiet pasti ngasih izin ke ibu. Mumpung ini masih agak sore”<br /><br />“Kamu salah mengerti Jo. aku bukannya ingin suamiku atau Alfi yang melakukannya. Aku ingin ..kamu, Jo”<br /><br />“Sayaa bu?!” Tanya Paijo keget.<br /><br />Jantungnya berdetak cepat. Seketika itu juga gairahnya meninggi dan celana usangnya menjadi sesak. Ia memang rindu sekali pada wanita cantik ini. Namun ia mendadak teringat perkataan Nadine kepadanya tempo hari. Ia tak ingin melakukan kesalahan lagi. Sandra mengangguk mengiyakan. Wajahnya bersemu dadu karena rasa malu semakin membuat Paijo tak tahan memandangnya.<br /><br />“Tapii..buu saya sudah janji sama kang Alfi tidak bakal ngeganggu ibu lagi. Kemarinpun saya sudah sekali lagi berbuat salah sewaktu nidurin bu Nadine. Saya takutt salah lagi….” ujar Paijo berusaha bertahan. Ia tak ingin gegabah dan menuruti hawa nafsunya. Dan ia tak yakin akan keinginan Sandra ini. Yang ia tahu Sandra hanya tidur dengannya dulu itu hanya karena ingin hamil. Apalagi sekarang sudah ada Alfi yang ia akui tak bakal mampu ia tandingi.<br /><br />“Tidak apa-apa, Joo… Soal Nadine, engkau justru telah menolong dia dan saat ini pun aku tengah mengalami hal yang sama. Apakah engkau tidak kasihan terhadap diriku. Aku tersiksa sekalii akhir-akhir ini… ” pinta Sandra sebelum Paijo sempat menyelesaikan kalimatnya.<br /><br />“Buuu?” Paijo masih kebinggungan buat memutuskan. Ia sungguh tak tahu di titik mana ia harus bertahan.<br /><br />“Intimi aku malam inii, ya kang mas?”<br /><br />Paijo terkejut sekali. Sandra memanggilnya dengan sebutan ‘Kang Mas’?!. Itu adalah panggilan Surti kepadanya selama ini. Sandra tak pernah melakukan ini padanya sebelum-sebelum ini.<br /><br />“Di.a.jenggg…akuu…akuu ” jawab Paijo.<br /><br />Sandra tersenyum mendengar Paijo balas memanggilnya dengan sebutan itu. Ia paham apa yang harus ia lakukan dalam situasi seperti ini. Sandra dapat melihat dengan jelas tonjolan besar pada celana Paijo. Ia mendekat ke arah pemuda kampung yang kebinggungan itu. Wajah nan cantik itu maju hingga hanya beberapa inchi dihadapan Paijo. Sandra memejamkan matanya sementara bibirnya yang merah merekah itu sudah terbuka menunggu kedatangan bibir Paijo. Naluri Paijo akhirnya mengatakan bahwa ini adalah saatnya buat ia bertindak. Meski mulanya agak ragu, Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Sandra.. seraya sedikit memiringkan kepalanya… Dan…<br /><br />Hal itu terjadi….<br /><br />Bibir Sandra memagut liar bibir Paijo. Kenyatannya selama tiga minggu tak bersetubuh dan hanya melakukan oral dengan Alfi dan Didiet tidaklah cukup buat meredam gairahnya dan menjadikan dirinya benar-benar haus akan belaian. Yang vaginanya sangat butuhkan adalah kenikmatan langsung dari sebuah alat vital pria. Dan penis Paijo yang sangat beruntung malam ini karena sebentar lagi bakal di lumat habis-habisan dan spermanya bakal di hisap sampai kering buat menuntaskan rasa dahaga vaginanya. Kali ini ia tak lagi ragu buat melakukan hubungan intim. Bukankah sebelum ia menyadari tentang kehamilannya itu dari Lila, ia dan Alfi selalu berhubungan intim di minggu-minggu awal kehamilannya dan hal itu tak menyebabkan permasalahan bagi janin pada kandungannya. Apalagi cuma melakukannya dengan Paijo. Ucapan Alfi ada benarnya. Titit Paijo memang tak bakalan bisa membentur rahimnya.<br />Paijo<br /><br />Paijo<br /><br />Paijo sendiri seakan masih tak percaya akan keberuntungan yang datang kepadanya saat ini. Ciuman dari Sandra telah menepis segala keragu-raguan hatinya. Ia sadar panggilan sayang yang diucapkan Sandra kepadanya hanyalah sebuah ungkapan rasa suka sesaat yang di dasari oleh nafsu birahi semata bukanlah sebuah rasa suka karena ada perasaan cinta seperti halnya Sandra terhadap Alfi. Sekalipun kini ia diberi hak yang sama dengan Alfi oleh Didiet untuk menikmati kemesraan dengan istrinya itu. Dan Sandra sendiri saat ini suka rela ia intimi. Ataupun karena dialah yang telah berhasil menanamkan janin di rahim Sandra saat ini bukanlah Alfi. Namun semua itu tak dapat merubah perasaan Sandra. Sebab cinta sang bidadari itu memang hanya buat Alfi seorang. Tetapi Paijo sungguh bangga akan pencapaiannya saat ini. Seandainya saja dulunya ia lebih dahulu bertemu dengan Sandra ketimbang Alfi mungkin saja ceritanya akan menjadi lain. Perlahan Sandra menariknya naik ke atas tempat tidur tanpa melepas ciuman mereka. Keduanya berdiri di atas lutut mereka. Wanita cantik itu mulai melepas satu persatu kancing kemeja lusuhnya. Setelah itu giliran celana pendeknya tertanggal. Napas Paijo semakin memburu ketika jemari halus Sandra mencengram gemas batang penisnya yang sudah kukuh bagai tonggak.<br /><br />“Buka bajuku Kang mas” pinta Sandra tanpa melepas kontol Paijo dari genggamannya sambil sesekali melakukan gerakan kocokan.<br /><br />Sementara tangan kirinya meraih belakang kepala Paijo dan menarik kepala Paijo buat kembali melakukan ciuman. Bukanlah perkara gampang buat Paijo mempereteli busana tanpa melihat. Di tengah gairah yang membakar hasratnya saat ini jemarinya hanya bisa mengandalkan nalurinya agar pekerjaannya cepat selesai. Alhasil meski agak lama ia berhasil juga menanggalkan semuanya. Yang pertama menjadi sasarannya tentu saja payudara indah Sandra.<br /><br />“Oughhhhh…”leguh Sandra ketika salah satu putting payudaranya berada dalam kemutan mulut Paijo. Tetapi sedetik kemudian ia langsung menolak kepala Paijo menjauh dari dadanya.<br /><br />“Jenggg?” Tanya Paijo heran.<br /><br />“Kangmas aku sudah tidak tahan lagiii…” rengek Sandra. Meski tak biasanya Sandra langsung main tembak seperti ini namun Paijo paham apa yang diinginkan calon ibu dari kedua anaknya itu<br /><br />Ia mengangguk. Sandra sudah rebah terlentang. Paijo mengatur posisi tubuhnya. Ia masuk di antara ke dua paha montok nan putih istri Didiet itu. Ujung penisnya ia arahkan tepat ke sebuah bukit kecil itu berbentuk bagaikan kue serabi dengan saus lezat meleleh dari bagian tengahnya yang terbelah. Pada detik-detik penyatuan itu pandangannya bertemu dengan Sandra.<br /><br />“Masukinn sekarangg kanggg mass..Ough!” rintih Sandra semakin tak sabaran sambil berusaha menarik pinggul Paijo ke arahnya.<br /><br />Akhirnya Paijopun menurunkan pinggulnya. Blessss!!! …<br /><br />“Arggggg !!!” Sandra dan Paijo terpekik berbarengan saat penyatuan itu berlangsung. Organ intim mereka telah kembali bersatu. Merasakan jutaan sengatan kenikmatan pada kemaluan mereka setelah sekian lama berpisah. Setelah terjadi gejolak hebat dalam rumah tangga Sandra hal itu yang nyaris tak mungkin lagi terjadi.<br /><br />“Ougghhhhh kangg masssss.!!” Sandra terpekik dilanda orgasmenya yang pertama.<br /><br />Anak ini telah menuntaskan hasrat dan gairahnya yang telah terkukung selama beberapa minggu ini hanya dalam waktu kurang dari satu menit setelah penetrasi dan ia belum lagi menggerakan pinggungnya. Paijo memang memiliki sebuah kelebihan buat menaklukan banyak wanita di atas ranjang termasuk dirinya. Bahkan Nadine yang kekeuh saja akhirnyapun menggelepar takluk di dalam dekapannya. Hanya saja nasibnya tak seberuntung Alfi. Cuma satu kekurangan Paijo. Penisnya memang tak sepanjang milik Alfi sehingga tak mampu menyentuh dasar vagina Sandra dan Nadine. Namun itu sudah cukup untuk membuat para wanita itu mendapatkan kenikmatan yang begitu tinggi.<br /><br />“Kang mas kocokin tititnyaa” rengek Sandra setelah orgasme pembukanya tadi mereda. Ia sungguh ketagihan merasakan benda bertintik itu menggelitik seluruh cerukan yang ada di dalam liang intimnya.<br /><br />Paijo mulai mengocok. Ia lakukan itu dengan begitu lembut kerena ia ingat ada anaknya diperut dalam perut Sandra. Benda hitam legam itu bergerak keluar sedikit namun masuk kembali secara maksimal hingga pubik bertemu pubik. Setiap gerakannya membuat cairan kenikmatan Sandra membanjir. Begitu banyaknya hingga tertumpah-tumpah di seprey. Paijo tak juga menaikan tempo kocokannya. Ia tetap konsisten dalam gerakan lambat nan syahdu. Sementara Sandra semakin menggelepar di bawah tindihannya..<br /><br />“Argggg kangg masssss.!!”pekik kenikmatan Sandra kembali terdengar. Paijo kembali menekan penisnya dalam-dalam dan menahan gerakannya. Penisnya yang berdenyut-denyut kuat semakin menambah rasa nikmat bagi Sandra saat itu.<br /><br />“Uhhh…diajeng dapett lagii?”<br /><br />“Iyaaa kangg masss…. Titit kang mass enak sekaliiii!!.” <br /><br />Setidaknya persetubuhan itu sudah berjalan lima belas menit ketika Sandra kembali memperoleh orgasmenya yang ke tiga..<br /><br />“Dicabut sekarang, jeng?” tanya Paijo sepertinya ragu buat meneruskan persetubuhan itu. Ia ingin mengakhirinya karena kuatir akan keselamatan janin di dalam kandungan<br /><br />Sandra meski ia sendiri belum memperoleh orgasme. Ia sengaja mati-matian bertahan dan mengkesampingkan kepuasan dirinya karena ia ingin wanita yang mengandung anaknya itu terpuaskan dulu.<br /><br />“Jangan dulu kang mas! Aku masih mau lagi. Lagian Kang mas kan juga belum dapet?” ujar Sandra sambil mengusap dada pemuda perkasa itu dengan jemarinya yang lembut.<br /><br />“Tapii jeng…”<br /><br />“Tidak apa-apa kang mas. Kita terus lakukan secara perlahan saja. Aku ingin sekali merasakan denyutan titit kang mas di dalam tubuhku sewaktu kang mas dapet” ujar Sandra. Ia dapat melihat wajah Paijo yang begitu pucat karena menahan ejakulasinya. Ia jadi heran bercampur kagum pada anak ini. Paijo tampak begitu berbeda dengan sosok yang pernah menggaulinya beberapa bulan yang lalu. Paijo yang ini begitu santun bahkan mampu bersikap bagai seorang gentleman.<br /><br />“Baiklah jeng”<br /><br />Mereka kembali bergumul. Sandra mulai bisa mengendalikan situasi setelah memperoleh tiga kali orgasme. Ia mulai mempergunakan kekuatan otot-otot panggulnya hingga kewanitaannya. Vaginanya menghisap dasyat penis hitam Paijo.<br /><br />“Uhhhh! Jengg..enakkk..ekkkk..”rintih Paijo.<br /><br />“Enakk sayanggg?” tanya Sandra bergairah.<br /><br />Entah mengapa ia-pun menjadi sangat suka pada rintihan kenikmatan katrok ala Paijo pada saat mereka bersetubuh. Hal itu memancing gairahnya semakin tinggi dalam percintaan ini.<br /><br />“Iyaaa jeeng enak sekaliii “<br /><br />“Kalauu beginii sayangg?” goda Sandra sambil melakukan kocokan balasan yang lembut dari arah bawah.<br /><br />“Arggg jeeng…enakkk!” Paijo semakin terpekik.<br /><br />Yang dilakukan Sandra barusan bukanlah kocokan yang sederhana. kontolnya mendapatkan tekanan yang besar di dalam situ. Tubuh sintal Sandra dengan tinggi 174 sentimeter membelit tubuh kerempeng Paijo yang hanya 153 sentimeter itu. Menguasai dan mendominasi hampir seluruh bagian tubuh Paijo dan hanya menyisakan bagian lutut hingga ke telapak kaki yang terbebas. Tubuh Paijo bagaikan seekor anak kambing yang tak berdaya di dalam belitan seekor pyton besar. Sandra membelit tubuhnya dan sekaligus menelan bulat-bulat organ vital bocah itu.<br /><br />Akhirnya anak itu mendekap pinggang Sandra. Sandra mengenali gejala itu. Anak itu sudah akan orgasme. Ia segera melumat bibir Paijo sambil balik mendekapnya. Lalu mengayunkan pinggulnya ke atas dan ke bawah secara kuat. sementara itu bagian kewanitaannya bekerja mencekik dan mengunci erat titit pemuda itu. Paijo terpekik namun suaranya teredam oleh bekapan bibir Sandra. Saat itu ia menerima dua kenikmatan sekaligus dari bagian atas dan…bawah! Penisnya berdenyut keras. Lalu memuntahkan lahar panas dari ujung kepundan lubang pipisnya. croottt!…crottt…crottt!! Mata pemuda itu sempat terbelalak sekejap lalu mendelik selanjutnya terpejam erat. Begitu dasyat orgasme yang melanda Paijo. Tubuhnya ikut terhentak-hentak setiap kali kontolnya memancutkan spermanya.<br /><br />“Semprotinn..kangmass sayangg…habiskann semua..benih kangmas buatkuu..” desah Sandra sambil menikmati proses orgasme yang di alami Paijo kali ini.<br /><br />Liang senggamanya begitu penuh oleh titit dan jutaan benih subur Paijo. Gumpalan cairan yang sama dengan cairan yang pernah membuahi rahimnya. Sandra menganggap Paijo memang pantas mendapatkan itu. Ia seakan ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dua janin yang berhasil anak itu tanamkan ke dalam rahimnya saat ini. Tubuh mereka terus saling melekat satu sama lain dalam posisi missionary sambil berciuman ketat. Jika dulu Sandra selalu meminta Paijo menjauh agar ia bisa melakukan proses pembuahan namun kini hal itu tak perlu lagi. Sandra membiarkan Paijo meresapi sisa-sisa kenikmatan itu hingga tuntas di dalam dekapan tubuh cantiknya.<br /><br />“Pejuh kang mas banyak sekalii”ujar Sandra ketika ciuman mereka terlepas.<br /><br />“Habis tempik diajeng enak sekali “puji Paijo<br /><br />“Benarkah? Kang mas suka tempikku? masih peret ya?”<br /><br />“Iya jeng. Peret sekali. Bahkan lebih peret dari punya Surti”<br /><br />Wow! Lebih peret dari gadis seusia Surti? Sandra jadi melambung mendengar itu. Ia yakin sekali Paijo berkata apa adanya.<br /><br />“Bagaimana Dian dan Nadine?” Ini kesempatan bagi Sandra untuk mencari tahu mengenai hal itu. Soalnya selama ini Alfi tak pernah mau mengatakannya.<br /><br />“Bu Dian itu asyik tapi ‘ngisep’-nya ndak sekuat diajeng apalagi kalau dia sudah ‘dapet’. Kalau bu Nadine hampir sama seperti diajeng, tempiknya masih peret sekali meski sudah pernah melahirkan, tapi saya ndak begitu suka sebab dia mintanya selalu yang aneh-aneh. Buat saya tetap punya diajeng yang paling enak”<br /><br />“Hi hi hi terima kasih kang mas sudah memilih aku” Sandra tersenyum geli.<br /><br />Ia paham apa maksud Paijo. Nadine memang menginginkan begitu banyak variasi pada saat berhubungan intim. Padahal baik Paijo maupun Alfi lebih suka melakukannya dalam posisi missionari karena posisi ini sederhana, tidak harus retok namun full body contact. Sedangkan Sandra sendiri memang lebih suka posisi itu karena secara psikologis ia merasa di dominasi dan dikuasai oleh pasangannya pada saat persetubuhan berlangsung dan itu memberikannya rasa nikmat yang sangat kuat. Sedangkan Dian kemungkinan saat itu ia memang tak terlalu antusias bercinta dengan Paijo.<br /><br />“Tapi bu Dian itu manis sekali orangnya” sambung Paijo seakan ia ingin menegaskan bahwa keintiman bukanlah segala-galanya baginya. Ada hal-hal lain yang membuatnya suka akan seseorang.<br /><br />“Hi hi ketahuan sekarang. Kang mas punya perasaan sama dia kan?”<br /><br />Paijo tersipu-sipu malu. Memang keisengan Dian tempo hari telah meninggalkan kesan yang mendalam baginya.<br /><br />“Kang mas pasti kangen sama dia kan?”<br /><br />“Iya jeng saya kangen sekali sama bu Dian”<br /><br />“Bagaimana kalau kuminta ia datang kemari menemui kang mas sebelum keberangkatan kang mas ke pulau K?”<br /><br />“B.benarkah jeng?… tapi… apakah bu Dian mau datang buat saya?”<br /><br />“Kang mas tenang saja serakan semuanya padaku”<br /><br />“Baiklah jeng”<br /><br />Mereka masih terus berdekapan dengan kemaluan Paijo masih menancap ketat di dalam vagina lembut Sandra.<br /><br />“Kang maasss..”<br /><br />“Ya jeng?”<br /><br />“Punya kang mas masih tegang dan berdenyut-denyut di dalam punyaku. Kang mas masih mau ngegituin aku lagi kan?”<br /><br />“Iya jeng. Aku masih pingin terus ngentot sama diajeng”<br /><br />“Kalau begitu kita terusin lagi ya kang mas? Berikan rahimku beberapa kali lagi semprotan cinta kangmas”<br /><br />Untuk kesekian kalinya mereka kembali bergumul. Ketika bercinta dengan Nadine, Paijo tak begitu gairah dan cenderung berlaku pasif. Justru Nadine yang begitu meletup-letup malam itu. Mungkin saja hal itu terjadi karena Paijo masih terpengaruh oleh persoalannya dengan Surti. Tapi kali ini sangat berbeda. Semangat dan kepercayaan dirinya terpompa setelah tahu bahwa dialah ayah dari janin di dalam rahim Sandra. Dan penyerahan diri Sandra benar-benar telah menghapus segala bentuk kesedihan dan kekecewaannya terhadap Surti. Dulu ia mengira Surti adalah hal terbaik dalam hidupnya. Ternyata anggapannya itu salah. Kini ia sadar jika ia begitu merindukan wanita ini lebih dari rasa kengennya terhadap Surti.<br /><br />“Ouhhhhhh Kangg massss sayanggggggg!” rintih Sandra merasakan kenikmatan dasyat hasil kombinasi kombinasi sempurna dari kontol bertindik dan stamina prima Paijo.<br /><br />Tidak sia-sia Paijo mengikuti terapi sehat yang di anjurkan Lila baginya tempo hari. Dan itu masih ia terus lakukan sampai dengan saat ini. Ternyata setelah berjalan beberapa bulan barulah kelihatan hasilnya. Sungguh luar biasa penisnya masih terus berdiri tegak dalam hisapan gelombang multiorgasme Sandra yang sudah berlangsung hampir satu jam! Hingga suatu ketika…<br /><br />“Jengg aku sudah ngga kuat lagiii!!” rintih Paijo. Tampaknya ia memang sudah berada di waktu yang tepat karena Sandra-pun sudah sampai di puncak klimaksnya.<br /><br />“Lepassiinnnn kangg mass!! Sekaranggggg!! Arghhhhhh!!!!”pekik Sandra<br /><br />Penis Paijo mengembang kempis berkontraksi sekaligus melontarkan stok sperma miliknya yang masih lumayan banyak. Mendobrak katup penahan terakhir. Lalu meluncur dengan kecepatan tinggi di dalam saluran pipis Paijo berebutan buat mencapai ujung diiringi rasa geli dan nikmat yang tiada tara. Croottttt!!..crotttttt…crooottt…..<br /><br />“Argggggggg “pekik nikmat dari Paijo membahana. Sekitar lima belas semprotan dengan gumpalan besar susul menyusul menghantam dinding rahim Sandra.<br /><br />“Kang mas perkasa sekalii malam ini. Aku benar-benar puas dan mengaku takluk” pujinya sambil mengelus-elus dada pejantan kampung itu.<br /><br />“Kucabut dulu ya jeng. Biar anak kita ndak berat” kata Paijo. Sandra tersenyum dan mengangguk.<br /><br />Plop…..Paijo melepas penisnya meninggalkan lubang merah indah menganga di selangkangan Sandra yang penuh dengan spermanya. Lalu rebah terlentang bersisian dengan wanita luar biasa ‘membakar’ itu. Keduanya berusaha meredakan nafas yang memburu. Butir-butir peluh membanjiri sekujur tubuh mereka. Sandra terperangah kagum. Yang terjadi barusan benar-benar adalah sebuah percintaan yang sangat mengguncang. Paijo memberinya rangkaian orgasme yang sempurna. Sedangkan bagi Paijo sendiri. Ia baru merasakan persetubuhan pada tingkatan seperti ini. Mungkin hanya baru titit Alfi yang selama ini pernah dan bisa merasakan puncak orgasme Sandra. Ia memutar tubuhnya ke samping sehingga menghadap ke arah Paijo. Lalu merapatkan tubuhnya. Sementara kepalanya ia rebahkan ke bahu anak itu. Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba Sandra bangkit. Diraihnya penis Paijo yang sudah agak melembek. Lalu dikocoknya benda hitam di dalam genggamannya dengan lembut. Anak ini! lubang pipisnya begitu lebar. Gumam Sandra gemas. Ia bisa melihat jauh ke dalam. Dan dari dalam situ cairan sperma kembali meluber keluar.<br /><br />“Biar kubersihkan pake mulutku ya kang mass” tanpa menunggu jawaban dari Paijo, Sandra langsung memasukan titit hitam berlumur lendir itu ke dalam mulutnya.<br /><br />“Engghh…apa jeng tidak jijiiik?”tanya Paijo di sela-sela rintihannya.<br /><br />“Glk..clk..tidakk..punya kang mas…gurihh maniss Glkk clkk” Jawab Sandra singkat. Lalu dengan gemas kembali melahap penis anak itu bagaikan sebuah lolipop yang sangat lezat.<br /><br />Paijo tak ingin bertanya-tanya lagi. Ia biarkan Sandra menikmati kejantanannya. Menghisap dan menjilati sisa-sisa sperma di sepanjang batang kemaluannya. Tak ada yang terlewatkan. Terutama yang terselip di seputar kulupnya. Semuanya tandas Sandra telan . Kuluman Sandra tak hanya berdampak membersihkan namun juga menjadikan alat vital anak itu kembali berdiri dengan kukuhnya. Dan memang hal itu yang diinginkan oleh Sandra. Hingga lima menit berlalu…<br /><br />“Entot aku lagi seperti tadi kang mas” bisik Sandra lalu terlentang sambil membuka ke dua pahanya lebar-lebar Paijo masuk di antara kedua paha montok wanita cantik itu. Lalu mengambil lagi posisi missionary.<br /><br />Penisnya tanpa perlu dituntun melesak perlahan ke dalam belahan vagina Sandra. Sandra langsung melingkarkan ke dua pahanya melilit pantat Paijo ketika penyatuan itu terjadi. Mereka kembali melakukannya dalam beberapa jam ke depan. Pemuda miskin, putus sekolah, berkulit hitam legam terbakar sinar matahari, namun beruntung mendapatkan kehangatan dari wanita cantik bertubuh molek bagai top model seperti Sandra. Setelah sesi itu berakhir, Sandra bangkit dan memungut pakaiannya dari lantai. Ia harus pindah ke kamarnya jika tak ingin persetubuhan mereka terus terjadi hingga pagi harinya. Paijo-pun seakan mengerti akan hal itu. Ia juga ingat jika Sandra sedang hamil anaknya.<br /><br />“Buuu” panggil Paijo kembali memanggil Sandra dengan sebutan ‘ibu’<br /><br />“Ya Jo?”<br /><br />“Terima kasih” ucap pemuda itu.<br /><br />Sandra tersenyum lalu menutup pintu kamar Paijo.<br /><br />–<br /><br />Pukul dua puluh satu lewat tigapuluh.<br /><br />Saat Sandra kembali ke kamar ia berpapasan dengan Didiet. Sepertinya suaminya itu baru saja tiba dan nampak sedang melepas dasinya.<br /><br />“S…sayy?” Didiet terbengong melihat Sandra melintasinya tanpa busana.<br /><br />Tadinya ia mengira Sandra sedang berada di kamar mandi tak tahunya istrinya justru masuk dari arah luar kamar.<br /><br />“Apakah aku melewatkan sesuatu Say?” tanyanya menduga-duga.<br /><br />Sandra tak menjawab. Ia naik ke atas tempat tidur dengan cuek seolah tak melihat kehadiran suaminya di situ.<br /><br />“Say! Sayy! Jawab aku dooong” kejar Didiet penasaran.<br /><br />“Bodoh ahh!” jawab Sandra sambil tersenyum nakal.<br /><br />Didiet buru-buru melucuti semua pakaiannya. Lalu menyusul naik ke atas kasur. Ia yakin sekali telah terjadi sesuatu antara istrinya dan Paijo. Ia dapat melihat tanda-tanda itu di sekujur tubuh Sandra. Keringat yang bercucuran ditambah puting susu yang masih menegang dan warna merah. Ia hanya perlu menambah bukti yang paling meyakinkannya.<br /><br />“Ngapain sich!” Tanya Sandra melihat Didiet memposisikan wajahnya ke bagian kewanitaannya..<br /><br />“Sayy.. buka sedikit dongg, ” bisiknya tak sabaran.<br /><br />Sandra-pun membuka pahanya lebar sehingga dengan begitu suaminya leluasa melakukan investigasi tubuhnya.<br /><br />Jantung Didiet berdetak cepat saat melihat area pubik dan permukaan vagina istrinya yang memerah memar. Ia tahu hal itu diakibatkan oleh sebuah persetubuhan yang panjang. Jemarinya gemetar berusaha membuka belahan cantik itu. Gila! ternyata masih banyak sekali sperma yang tertinggal di situ. Begitu kental sehingga tak tertumpah saat Sandra berjalan menuju ke kamar tadi.<br /><br />“Sayy engkau curanggg! Kemarin-kemarin kan engkau bilang tak menginginkan dia! Tetapi ternyata ..” Didiet berteriak kecewa bagai anak kecil tak dibelikan permen oleh ibunya. <br /><br />Ia memang sama sekali tak menduga jika akhirnya Sandra kembali mau bercinta dengan Paijo.<br /><br />“Seperti yang pernah engkau katakan itu cuma sex! dan aku membutuhkannya seperti halnya Nadine”.<br /><br />“Tetapi setidaknya engkau kan memberi tahuku sehingga aku bisa pulang lebih awal sehingga bisa menyaksikan kalian melakukannya”<br /><br />“Hmm. Semuanya terjadi begitu saja tanpa kurencanakan. Lagian aku tak ingin mengganggu kesibukanmu di kantor”<br /><br />“Engkau pasti sengaja melakukannya untuk membuatku penasaran, kan?”<br /><br />“Siapa suruh meninggalkan istri cantik dengan pria lain dalam satu rumah. Pake acara lembur segala? Tanggung sendiri akibatnya.”<br /><br />“Eng ..kapan kalian mulai, Say?”<br /><br />“Sejak jam enam sore”<br /><br />“Benar-benar sial sekali aku!.” gerutu Didiet.<br /><br />Berarti setidaknya sudah empat jam mereka bergumul. Hal yang tak direncanakan seperti ini memang memiliki tingkat akumulasi gairah yang tinggi. Namun tetap saja sia-sia sebab ia tak menyaksikan sekejab-pun pertunjukan hebat tersebut.<br /><br />“Say …katakan padaku apakah engkau p puasss?”<br /><br />“Iya” jawab Sandra singkat.<br /><br />“Mmaksudku… apakah engkau terpuaskan oleh kontolnya yang berukuran standar itu?” tanya Didiet seakan belum percaya.<br /><br />Padahal saat bercinta dengan Nadine tempo hari, Paijo telah menunjukan kehebatannya seperti apa yang Sandra tuturkan barusan. Baginya itu terlalu luar biasa. Pemuda itu tak mungkin bakalan mampu menandingi kehebatan Alfi. Dan Ia masih menganggap keintiman yang panas malam itu dikarenakan Nadine sedang dalam keadaan tak terkendali.<br /><br />“Engkau bercanda?. Yang terjadi barusan itu adalah salah satu seks terbaik dalam hidupku. Dia itu benar-benar sebuah mesin cinta yang tercipta buat menaklukan para wanita di atas ranjang. Soal ukuran…Memang Paijo tak memiliki kemaluan sebesar atau sepanjang miliknya si Alfi. Namun dia punya keunggulan tersendiri yang tak dimiliki oleh Alfi. Engkau tahu Dit? Tititnya itu enakk bangettt! Aku tak tahu mana yang lebih enak antara dia dan Alfi. Mungkin saja miliknya adalah titit ter-enak yang pernah masuk ke dalam punyaku. Bayangkan selama dua jam terakhir aku di hajarnya sampai mengalami orgasme ngga putus-putus. Jika saja aku sedang tidak hamil kami pasti akan melakoninya di sepanjang malam ini.”<br /><br />“Apaaa?!! D..diaa mampu membuatmu mengalami multiorgasme?! Argghhh Sayyyyy!” pekik Didiet histeris.<br /><br />Gairahnya naik dengan cepat hanya dengan mendengar penjelasan Sandra. Sementara itu tangannya mulai mengocok liar kontolnya sendiri. Sandra memang sengaja membiarkan suaminya larut sendiri dulu dalam imajinasi dan fantasinya. Kini Didiet baru percaya apa yang dikatakan Nadine tempo hari soal sesuatu yang luar bisa tersimpan pada penis bocah itu. Sandra sendiri baru bertindak setelah melihat Penis Didiet sudah berwarna keunguan. Ia merunduk Didietpun melepaskan pegangan jemarinya. Dan mulut Sandra-pun mengambil alih kontolnya yang terawat bersih itu. Tak perlu menunggu lama. Didiet sudah terlalu ‘high’ saat itu. Pria itu telah sampai pada puncak kenikmatan.<br /><br />“Arggggghhh sayy!” Jerit Didiet sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi seiring ujung penisnya memuncratkan sperma. Sandra berupaya memberikan hisapan terbaiknya. Tak melepaskannya hingga penis Didiet memuntahkan tetes sperma terakhirnya.<br /><br />“Nikmat?” Tanya Sandra genit sambil menjilat beberapa tetes sperma suaminya yang belepotan di sekitar bibirnya.<br /><br />“Hss..hss Yaa terima kasih, Say” jawab Didiet dengan napas masih terengah-engah.<br /><br />“E.ee kamu mau ngapain lagii, sich?” Tanya Sandra melihat Didiet beringsut hendak menindihnya.<br /><br />“Aku kangen banget padamu ” jawab Didiet berusaha masuk ke posisi misionari.<br /><br />“Tidak bisa!. Aku masih kuatir akan ada efeknya terhadap kandunganku” ujar Sandra engan cepat merapatkan ke dua kakinya sehingga upaya Didiet terhalang.<br /><br />“Tapi kenapa anak itu engkau beri sedangkan aku tidak boleh? Padahal ukuranku kan sama dengan anak itu” protes Didiet meminta keadilan pada istrinya..<br /><br />“Tetap saja beda. Titit Paijo enak dan punyamu biasa saja”<br /><br />“Lho? Lantas apa hubungannya dengan resiko keguguran?”<br /><br />“Paling tidak rasa enaknya harus seimbang dengan resikonya. ” jawab Sandra seenaknya.<br /><br />“Ah! Engkau hanya mengada-ada. Say! Pleaseee. Satu kali saja , say” rayu Didiet<br /><br />“Tidak bisa!”<br /><br />“Jadii benar-benar tidak bisa?”<br /><br />“Tidak!”<br /><br />“Yah! Baiklah aku menyerah deh! Sepertinya aku hanya akan bisa menikmati jemari tanganku sendiri sambil menonton kalian” gerutu Didiet lesu.<br /><br />Soal keputusan yang satu ini Sandra tak bisa lagi di ajak tawar menawar. Ia tak bakalan bisa merasakan vagina istrinya hingga beberapa bulan ke depan. Tak mengapalah. pikir Didiet. Sebab toh ia masih punya istri yang lain yaitu Nadine.<br /><br />“Setidaknya engkau bisa menikmati hal itu kan?”<br /><br />“Kalau begitu aku bisa melihat kalian melakukannya sekali lagi, kan?” rayu Didiet untung-untungan.<br /><br />“Tentu saja, tapi besok. Soalnya sekarang aku sudah cepek banget.” jawab Sandra menolak permintaan Didiet sekaligus mengodanya. Ia tahu suaminya itu masih bergairah sekali. Lalu ia menarik selimut dan tertidur dengan senyum kepuasan tersungging.<br /><br />“Duhh lagi-lagi siaal”<br /><br />–<br /><br />Pagi harinya<br /><br />Sandra menelpon ke rumah. Dan Nadine yang mengangkat. “Hi..Nad. Bagaimana ke adaan rumah?”<br /><br />“Hi hi beres kok Sand, ada apa sih?”<br /><br />“Aku cuma mau mengingatkan Alfi jika aku pulang besok. Aku ingin dia menjemputku”<br /><br />“Ok nanti sepulang sekolah, akan kukatakan padanya. Oya, Sand.. kau tahu Alfi berperilaku aneh sejak kemarin”<br /><br />“Aneh bagaimana, Nad? Apa mungkin ia tahu kamu selingkuh!?” Tanya Sandra kuatir.<br /><br />“Hi hi hi kamu kok cemas gitu? calm sedikit donk. Yang ingin kusampaikan ini adalah berita baik kok”<br /><br />“Soalnya akhir-akhir ini aku selalu saja mendapat kabar-kabar yang membuatku risau. Oya ada apa memangnya dengan Alfi” <br /><br />“Hi hi begini ceritanya…Aku tiba bersama Alfina siang kemarin. Mulanya aku heran ia masih di rumah padahal seperti engkau ketahui biasanya bila engkau tak ada ia selalu pergi ke rumah Niken. Ia mengambil alih Alfina dariku lalu mengajaknya bercengkrama bersama bik Iyah di ruang keluarga. Aku baru terkejut ketika aku memasuki kamar tidurku, kudapati hamparan bunga mawar putih dan merah di atas tempat tidur. Harum alami bunga-bunga tersebut bercampur dengan asap aromaterapi merebak kesetiap penjuru kamar. Alfi menyusulku ke dalam kamar dengan minyak zaitun di tangannya. Rupanya ia berniat memberiku pijatan. Meski diliputi keheranan akan perlakuannya yang tak biasa itu, aku menurut saja. Aku melepas seluruh pakaianku. Lalu tidur tengkurap di atas ranjang”<br /><br />“Biar kutebak… engkau pasti terangsang lantas setelah itu kalian bercinta dengan hot-nya,kan?” Sela Sandra.<br /><br />“Hi hi Dugaanmu meleset, Sand. Tidak ada seks sama sekali siang itu. Sepertinya Alfi tak berniat merangsangku dengan pijatannya. ia hanya ingin aku merasakan kenyaman. Tak kusangka pijatannya seperti layaknya pijatan seorang pemijat professional.. Aku sampai merem melek karena di susupi rasa nyaman dan kantuk. Alfi terus menyelusuri tiap inci tubuhku dengan jemarinya hingga aku tertidur lelap di tengah pijatannya itu.”<br /><br />“Mungkin sekitar satu sampai dua jam aku tertidur akibat pijatan dari Alfi tadi. Dan ketika aku terjaga dari lelapku hari telah menjelang sore. Lalu aku memutuskan untuk mandi agar tubuhnu kembali segar. Kemudian aku menuju ke kamar mandi. Di sana aku kembali dikejutkan saat melihat jacuzi-ku sudah dalam keadaan sudah terisi penuh cairan rempah dan di kelilingi oleh belasan lilin beraneka warna yang sudah dalam keadaan menyala. Aku juga menemukan sebuah kartu ucapan dalam keadaan terbuka di atas tumpukan handuk yang di dalamnya tertulis;<br /><br />‘Kakak sayang,<br /><br />Tak usah tanya-tanya kenapa Alfi lakukan ini. Kakak hanya perlu tahu bahwa<br /><br />kakak memang layak mendapatkannya. Setelah ini dandan yang cantik ya, Alfi<br /><br />menunggu buat makan malam..<br /><br /><br /><br />Alfi’<br /><br />“Aku masih diliputi keheranan mengapa anak itu melakukan ini semua sebab seingatku hari ini bukanlah hari ulang tahunku. Tapi sepertinya Alfi sedang berniat memanjakanku hari itu. Dan karena ia sudah mempersiapkan itu semua maka aku langsung memanfaatkan kesempatan itu. Setelah kupikir aku memang sangat membutuh waktu buat memanjakan diri. Melepas sejenak dari tugas rutinku sebagai wanita karier dan ibu rumah tangga.” <br /><br />“Hi hi hi tak kusangka ia romantis seperti itu, Nad.”Sela Sandra<br /><br />“Aku juga demikian. Ternyata anak itu benar-benar mengerti akan diriku. Kuperhatikan secara seksama semua yang ia persiapkan buatku memang cocok dengan kulitku.”<br /><br />“Puas merendam diri aku kembali ke kamar dan berdadan layaknya akan pergi ke sebuah pesta sesuai dengan permintaannya. Kupilih baju terusan mini dengan dada sedikit terbuka berwarna hitam. Kutahu ia paling senang melihatku mengenakan baju itu.”<br /><br />“Kejutan lain berlanjut sore harinya. Kupikir tadinya ia akan mentraktirku makan ke restoran. Ternyata ia sudah menungguku di meja makan kita yang sudah tertata rapi lengkap dengan dinner set mewah milikmu diatasnya di antara beberapa lilin yang menyala. Aku tak tahu kapan ia mempersiapkan itu semua. Aku benar-benar merasa tersanjung terus menerus menerima kejutan-kejutan darinya itu.”<br /><br />“Alfi menyambutku. Ia sudah berdandan rapi menggunakan pakaian terbaiknya. Lalu ia menarikan kursi buatku duduk. Sedangkan ia sendiri mengambil duduk bersebrangan meja denganku. Kejadian selanjutnya membuatku nyaris tertawa ketika melihat bik Iyah berdandan ala pelayan bangsawan eropa muncul membawa Appetizer. Kami mulai dengan hidangan pembuka yang berupa soup dan shrim coktail. Bik Iyah terus melayani kami berdua dengan sigap. Setelah hidangan pembuaka selesai ia mengambil setiap piring bekas lalu menggantinya dengan T-Bone Steak sebagai ‘main course’. Alfi memang tahu betul selera kita, Sand. Selain dagingnya yang empuk saus garlic-nya benar-benar lezattt! ..Terakhir hidangan malam itu ditutup dengan sepotong tiramisu dan ice cream. Aku menduga mereka pasti telah berlatih keras buat melakukan ini semua. Satu persatu hidangan tersaji dengan begitu sempurna. Ketika kutanyakan pada Alfi bagaimana ia melakukan itu semua. Ia hanya menjawab kakak nikmati saja semua. Aduuh Sanddd…aaaku benar-benar terlena dalam buayan romantisme-nya itu!”<br /><br />“Wah wah Aku jadi kepingin cepat pulang agar bisa dia mesrai sepertimu.” Sela Sandra ikut terbawa suasana romantisme mendengar penuturan sahabatnya itu. “Lantas apa yang terjadi selanjutnya, Nad?”<br /><br />“Ya memang itu belum selesai. Setelah usai makan malam kami pindah ke ruang tengah. Alfi menawarkan padaku beberapa pilihan film yang dibelinya. Sementara Bik Iyah menidurkan Alfina di baby room, kami bebas berduaan nonton hingga pukul sepuluh malam. Lalu kami pindah ke kamar tidur. ia kembali memberiku pijatan. Tetapi tidak seperti siang tadi. Kali ini Ia melakukannya dengan tubuh bugil. Dan titik-titik pijatannya selalu ia arahkan ke sekitar bagian intimku. Semakin lama pijatannya semakin ‘Hot’ dan lebih pantas di sebut sebagai upaya merangsang itu membuatku benar-benar kebelet kepingin segera ia intimi. Lalu kami melakukannya. Alfi memintaku berdiri di atas ke dua lututku sambil berpegangan pada kepala ranjang. Sedangkan ia sendiri juga berdiri di atas kedua lututnya dan mengambil posisi di belakangku. Aku langsung orgasme begitu ia utuh memasukiku.”<br /><br />“Glkk..Nadd..aku jadi basah mendengarnya..terusss..teruss..” Tanya Sandra tak sabar mendengar kelanjutan kisah Nadine.<br /><br />“Dan semua itu belum berakhir, Sand. Puncaknya aku mendapat kejutan besar setelah kami bercinta selama kurang lebih satu jam-an. Alfi melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama bercinta dengan kita bertiga, Sand.”<br /><br />“Apa itu, Nadd?” Tanya Sandra semakin penasaran.<br /><br />“Ia memasukiku dari belakang tetapi bukan melewati jalan biasa”<br /><br />“ANAL maksudmu Nad?!”pekik Sandra tertahan<br /><br />“He em”<br /><br />“Oww Nad! Sakitkahh?!”<br /><br />“Lumayann tapi sensasinya luar biasa. Aku tetap orgasme kuat dalam kesakitanku.”<br /><br />“Pagi ini, ketika aku terbangun aku menemukan di sebelahku sarapan buatku sudah terhidang di atas sebuah meja kecil. Di atasnya ada semangkuk bubur ayam lengkap dengan emping kesukaanku plus satu poci teh hangat. Kuduga ia sudah berangkat ke sekolah. Sempat-sempatnya ia mempersiapkan itu semuanya saat aku masih terlelap. Dan kulihat ada sebuah kartu ucapan terselip di antara gelas dan poci. Sebuah kartu ucapan yang lain. Isi tertulisnya begini;<br /><br />‘Kakak yang cantik,<br /><br />Apakah kebahagiaan semalam mampu menghapus kesalahan yang pernah Alfi<br /><br />lakukan pada kakak selama ini?<br /><br />Apabila tidak,<br /><br />Alfi rela bila kakak mencari pengganti bagi diri Alfi,<br /><br />Alfi siap terluka melihat kakak besama yang lain.<br /><br /><br /><br />Alfi’<br /><br />“Dari situ aku tahu ternyata ia melakukan itu ia ingin aku memaafkannya karena ia merasa bersalahnya padaku selama ini. Tapi aku tetap tak mengerti mengapa semuanya begitu mendadak?”<br /><br />“Mungkin saja karena Alfi takut bila terus-terusan tak ia jamahi kamu juga akan berselingkuh sebagaimana halnya Dian dan diriku dulu”jawab Sandra.<br /><br />“Duh Sand, jika benar demikian aku justru yang merasa bersalah padanya. Susah payah ia men’servis’ku habis-habisan padahal aku sudah berselingkuh dengan Paijo dan ia pasti telah menguras uang tabungannya buat semua ini”<br /><br />“Hi hi Kalau begitu balik dirimu yang harus memberinya keintiman penebusan buatnya siang ini”<br /><br />“Iya juga. Aku rasanya tak sabar menantinya pulang sekolah hari ini”<br /><br />“Beruntung sekali kamu, Nad”<br /><br />“Eh bagaimana denganmu? Apakah engkau masih ‘virgin’ selama di sana?”goda Nadine<br /><br />“Kau benar Nad. Aku telah bercinta dengannya semalam”<br /><br />“Hi hi hi apa kubilang kamu juga pasti menyerah, kan?”<br /><br />“Apa yang telah engkau lakukan pada anak itu, Nad?. Aku seakan tak melihat lagi sosok Paijo yang kukenal dulu. Anak itu begitu banyak berubah. Tak hanya kemampuan bercintanya yang meningkat hebat namun juga kelakuannya juga semakin baik”<br /><br />“Hi hi hi hanya sebuah terapi kepribadian, kok. Tapi diselingi dengan percintaan”<br /><br />“Sebenarnya aku juga heran kenapa aku bisa jatuh kembali ke dalam pelukannya. Aku tak ingin membanding-bandingkannya anak itu dengan Alfi. Yang jelas dia juga punya pesona kuat buat menaklukan banyak wanita. Aku hanya kuatir jika Alfi sampai tahu aku berhubungan lagi dengan rivalnya itu.”<br /><br />“Ngga usah terlalu dipikirkan, Sand. Anggap saja sebagai selingan selama kita menemani Didiet di kota yang membosankan itu”.<br /><br />“Iya selingan indah rumah tangga utuh hi hi hi..Eh..Nad, Sudah dulu ya ngobrolnya”<br /><br />“Lho kok buru-buru amat, sich?”.<br /><br />“Iya nihh soalnya akuu…”<br /><br />“Aaa aku tahu! Kamu pasti mau ‘anu’sama Paijo kan?”<br /><br />“Hi hi hi Memangnya mau ngapain lagi. Gara-gara mendengar ceritamu aku jadi basah!”.<br /><br />“Iya deh kalau begitu. Selamat bercinta, Sand”<br /><br />–<br /><br />Sorenya<br /><br />Didiet baru pada sorenya saat Didiet pulang. Ia menemukan istrinya yang molek di atas ranjang tengah digenjot oleh Paijo. Ternyata ia sudah terlambat beberapa jam. Mereka sudah memulainya sejak seusai pembicaraan Sandra dengan Nadine siang tadi. Untungnya pergumulan itu belum juga berakhir. Akhirnya apa yang Didiet inginkan selama ini tercapai juga. Ia dapat melihat bagaimana penis berukuran standar milik Paijo memberi istrinya multiorgasme dalam kurun waktu yang panjang. Wowww!! Didiet terpekik takjub ketika melihat sperma Paijo terpancar balik keluar dari vagina Sandra. Ia tahu multiorgasme Sandra yang menyebabkan itu. Pada kondisi seperti itu liang senggama Sandra menciut secara maksimal sehingga tak ada ruang lagi bagi benda lain selain kontol Paijo. Lalu denyutan demi denyutan yang kuat vagina Sandra menyebabkan seluruh cairan yang berada di dalam akan terpompa lalu tersemprot keluar dari sela-sela tautan alat vital keduanya. Malam itupun ia mendapatkan ‘belas kasihan’ Sandra buat menuntaskan hasratnya melalui persetubuhan dengan istrinya itu. Liang senggama Sandra terasa begitu likat oleh sperma Paijo. Didiet menggigil dalam sengatan kenikmatan sambil membayangkan hisapan dasyat itu yang juga telah menyengat penis Paijo selama beberapa jam ini.<br /><br />“Kau rasakan itu, Say? Bayangkan betapa sering dia menyiramkan cairan kelaki-lakiannya di dalam tubuhku. Seakan tak pernah ada habisnya meski vaginaku terus meminum-nya …Oughhh” Kata-kata nakal Sandra terus terbisik di telinganya di tengah persetubuhan itu. Sepuluh menit berlalu. Didiet sudah sampai pada akhir pelawanannya. Sandra dapat merasakan itu. Ia mengunci pergerakan penis standar suaminya itu dengan mengerahkan kekuatan otot-otot kewanitaannya.<br /><br />“Argggg…Sandddd!!” erang Didiet seketika itu juga orgasme dasyat melanda dirinya.<br /><br />Kukungan fantasinya tak hanya semakin mempercepat terjadinya ejakulasinya namun juga membuatnya menjadi lebih nikmat berkali-lipat. Tubuhnya mengenjan beberapa kali sebelum ia benar-benar hilang kesadarannya di atas tubuh molek istrinya itu. Orgasmenya telah mengakhiri semua ‘percintaan panas’ di malam itu.<br /><br />–<br /><br />Malamnya<br /><br />“Dit?” tanya Sandra setelah Paijo pindah ke kamarnya sendiri.<br /><br />“Ya?”<br /><br />“Mengapa engkau berikan pekerjaan seperti itu pada Paijo?”<br /><br />“Aku tak pernah menawarkannya. Secara kebetulan saja ia mendengar pembicaraanku dengan temanku di telepon soal itu. Ia sendiri yang justru menginginkan pekerjaan itu. Aku-pun sudah berusaha mencegah dan memberikan gambaran berbagai kesulitan yang bakal ia hadapi di sana. Namun ia tetap bersikeras ingin pergi”<br /><br />“Kasihan anak ituu…” desah Sandra.<br /><br />“Sudahlah. Semua itu sudah menjadi pilihannya sendiri. Kita tak dapat memaksakan keinginan kita kepadanya. Mungkin juga ada baiknya untuk sementara waktu ia tak bersama-sama kita. Setidaknya apa yang terjadi antara dia dan engkau selama dua hari ini telah memberinya semangat untuk melanjutkan hidupnya. Sebaiknya beristirahatlah, Say. Ini sudah pukul sebelas. Engkau harus menjaga kesehatanmu demi si ‘kecil’”<br /><br />Sandra merenungkan ucapan suaminya itu. Ia sendiri merasa aneh mengapa ia menjadi sangat menikmati apa yang terjadi akhir-akhir ini. Terlibat dalam sebuah percintaan segitiga antara dirinya, Alfi dan Paijo di tengah pernikahan anehnya dengan Didiet. Tetapi ia tak dapat memilih hanya salah satu di antara ke tiganya. Dan ia merasa ia tak harus melakukan itu. Ia justru ingin memiliki semuanya sekaligus. Alfi pemuda yang sangat ia cintai dan puja bagai sang dewa cintanya, Lalu Paijo pasangan selingkuhnya yang sekaligus ayah dari janin yang sedang dikandungnya dan yang terakhir adalah Didiet suaminya yang syah yang telah menciptakan semua keliaran ini. Sebuah hubungan yang dianggap sangat janggal bagi kebanyakan orang tetapi Sandra menganggap apa yang terjadi sekarang ini adalah momen terbaik dalam hidupnya. Ia bahagia. Malam ini ia bisa menutup matanya dengan perasaan nyaman.<br /><br />–<br /><br />Pagi-pagi sekali Didiet bangun dan tak melihat istrinya berada di sisinya. Ia pasti pindah ke kamar bocah itu! duga Didiet. Dan benar saja ia menemukan Sandra dan Paijo sedang bergumul di ranjang Paijo. Didiet mengeleng-geleng heran bercampur takjub. Sandra begitu bergairah. Seandainya saja Paijo dan Alfi bisa akur justru semuanya tak memiliki rasa dan warna. Keduanya masih sempat bercinta selama dua jam-an dan berlanjut dengan acara mandi plus bersetubuh bersama di bawah siraman shower sebelum akhirnya semua keintiman itu benar-benar berhenti. Sandra-pun harus bergegas berpakaian dan berkemas buat mengejar keberangkatannya hari itu. Tak hanya itu keduanya masih kerap berciuman di sepanjang perjalanan menuju bandara.<br /><br />“Say, ini sudah pukul sembilan lewat sepuluh” ujar Didiet mengingatkan. Ia masih harus menunggu Sandra dan Paijo menyelesaikan ciuman perpisahan mereka sesaat sebelum mereka meninggalkan mobil di parkiran. Ia kuatir Sandra akan terlambat karena pesawat akan take off pada pukul sembilan lewat dua puluh lima menit.<br /><br />“Empp..Ya..”sahut Sandra. Didiet lega akhirnya tautan bibir mereka terlepas juga.<br /><br />“Dit”<br /><br />“Ya, Say. Ada apa?”<br /><br />“Kalian jangan dulu pergi dari sini.”<br /><br />“Lho, ngapain lagi kami berdua di tempat ini?”<br /><br />“Kira-kira satu jam lagi penerbangan Dian akan tiba”<br /><br />“Apa? Dian mau datang kemari?”<br /><br />“Iya aku yang minta ia kemari.Dan aku juga belum memberitahunya jika ada Paijo di sini” ujar Sandra sambil tersenyum nakal.<br /><br />“O..oww…Aku tahu Say!..aku tahuu! Dasar! engkau memang kelinci nakalku” Didiet tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Memang ia yang memulai setiap keliaran yang terjadi selama ini namun ada akhirnya selalu Sandra-lah yang mengambil alih dan mengendalikannya permainan.<br /><br />“Nah! Aku sudah berusaha membantu kalian. Selanjutnya tinggal kalian yang berupaya membuatnya betah selama di sini”<br /><br />Sandra tiba-tiba menahan langkahnya sesaat sebelum masuk melalui pintu sekurity. Ia menoleh ke arah Paijo<br /><br />“Jo…”<br /><br />“Iya bu?”<br /><br />“Engkau mau-kan pulang menemui aku bila kamu sedang cuti?”<br /><br />“Ohh…buuuu…saya mau bu..saya janji akan datang buat ibu” jawab Paijo dengan senyum kebahagiaan mengembang. Itu berarti yang telah terjadi selama dua hari ini bukanlah sebuah persetubuhan yang terakhir dari Sandra buatnya.<br /><br />–<br /><br />Sandra mengangkat handphone-nya.<br /><br />“An, kamu jadi kemarikan?” Tanya Sandra agak berbisik karena tak ingin orang di sekitarnya mendengar perkataannya.<br /><br />“Iya, jadi. Sekarang ini sedang boarding, kok.” Terdengar jawaban Dian dari seberang pembicaraan.<br /><br />“Apakah Alfi bersama-mu minggu-minggu ini?”<br /><br />“Tidak sepulang dari singapore aku menginap di rumah ibuku. Rencananya besok aku baru akan menginap di rumahmu.”<br /><br />“Baguslah jika begitu.”<br /><br />“Apanya yang bagus, Sand. Tahu ngga saat ini aku sedang h o r n y bangett!. Tetapi engkau justru meminta aku pergi menemani Didiet”<br /><br />“Entar si Didiet bisa mengantikan keintiman buatmu”<br /><br />“Hhhhhh!”terdengar helahan lesu Dian.<br /><br />“Hi hi hi tenang saja dia sudah menyiapkan sesuatu agar engkau ‘bahagia’ selama di sini”<br /><br />“Benarkah? Memangnya Didiet sudah mulai mengkonsumsi Viagra, ya?” cibir Dian<br /><br />“Nanti engkau akan tahu sendiri setelah tiba di sini. Aku jamin kamu pasti keget dan puas!”<br /><br />“Aku jadi penasaran”<br /><br />“Oya An, apakah engkau jadi menemui Lila buat memasang kembali alat KB-mu?” Seingat Sandra tempo hari Dian berniat memasang alat kontrasepsinya.<br /><br />“Aku belum sempat, Sand. Tetapi Didiet kan bisa memakai pengaman. Eh, kok mendadak menanyakan itu. Ada apa memangnya?<br /><br />“Tidak apa-apa”<br /><br />“Eh, Sand. Sudah dulu ya. Aku sudah mau masuk ke pesawat nih. Dag!”<br /><br />“Baiklah, dag!” Sandra-pun mematikan handphone-nya lalu melangkah memasuki pintu pesawat seraya tersenyum bahagia.<br /><br />Alfi sayangg. Tunggulah kakak pulang buatmu!Pedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8828015709218244334.post-38520840509334511982012-03-31T14:00:00.000-07:002012-03-31T14:00:06.346-07:00Cinta Sang Bidadari Buat Alfi 3BHari demi hari berlalu. Satu bulan sudah Alfi pergi dan belum juga kembali. Bila tempo hari ia mengatakan jika ia hanya akan pergi selama dua pekan saja. Berarti sekarang ini sudah dua minggu melampaui jadwal kepulangannya. Tak ada kabar sedikitpun mengenai dirinya. Sandra sudah berusaha menghubungi lewat Handphone. Namun tak ada jawaban baik dari hp Alfi maupun dari semua anggota tim. Kemungkinan mereka hanya mengaktifkan hp pada saat-saat tertentu saja karena keterbatasan baterai. Tentu saja semua itu membuat Sandra dan yang lain kelabakan. Mereka semua mulai cemas jika benar-benar telah terjadi hal yang buruk menimpa diri anak itu. Pagi itu terlihat Sandra duduk termenung sendirian. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Siang ini Didiet akan pulang. Ia sudah memutuskan untuk berterus terang kepada Didiet tentang apa yang telah terjadi selama ini. Toh! cepat atau lambat Didiet juga akan mengetahui semuanya. Tapi setidaknya masalah keselamatan Alfi jauh lebih penting dan harus cepat diatasi. Ia bahkan lebih siap menerima kemarahan dari Didiet ketimbang harus menderita batin karena mencemaskan Alfi.<br /><br />“Non..” terdengar suara bik Iyah menyadarkan ia dari lamunannya.<br /><br />“Ada apa bik?”<br /><br />“Bibik..bibik merasa tidak enak sama non. Gara-gara si Paijo, den Alfi jadi tidak pulang-pulang dan si Non terus-terusan sedih dan murung”<br /><br />Sandra hanya diam. Ia sangat tak ingin membahas soal Paijo lagi.<br /><br />“Maafkan bibik non.. hks hks” ujar bik Iyah tiba-tiba terisak.<br /><br />“Aduuh Bik.. sudahlah…Aku tak ingin bibik jadi ikut-ikutan menjadi susah karena persoalanku ini” ujar Sandra mau tak mau ia menanggapi omongan bik Iyah barusan karena tak sampai hati. Ia memang belum pernah melihat bik Iyah menangis sebab yang ia tahu wanita tua ini sangat keras dan teguh hatinya.<br /><br />“Hks hks non tidak mengerti… bibiklah yang bersalah dalam hal inii… Seandainya saja pada waktu itu bibik tidak meminta pertolongan sama Den Didiet mungkin tak begini jadinya”<br /><br />“Didiet? Bibik sedang bicara apa?” Deg! Jantung Sandra seakan berhenti berdetak saat mendengar nama Didiet di sebut-sebut.<br /><br />“Selama ini bibik sudah berlaku tidak jujur sama non. Sebenarnya…. den Didiet sudah tahu jika si Paijo tinggal di sini”<br /><br />“Apaaa?!! Didiet sudah tahu?!” tanya Sandra terlonjak kaget mendengar penuturan bik Iyah tersebut. Seseorang telah lebih dahulu mengatakannya pada Didiet. Dan itu yang tak ia inginkan. Ia ingin Didiet mendengar langsung darinya sendiri sehingga tak menimbulkan salah pengertian.<br /><br />“B betul non” ujar bik Iyah menegaskan.<br /><br />Tapi dari siapa Didiet tahu?. Tak mungkin Nadine atau Dian yang melakukannya. Tapi siapa? Sandra bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Alfi? Paijo?! ataukah… Tiba-tiba ia menatap bik Iyah dengan pandangan menuduh.<br /><br />“Pasti bibik yang mengadu pada Didiet?!”<br /><br />“B..bukan non. ” jawab bik iyah. Bik Iyah sepertinya ingin menjelaskan sesuatu namun Sandra yang dalam keadaan depresi tak memberinya kesempatan untuk itu.<br /><br />“Lantas Siapa?! Katakan terus terang bik!!” bentak Sandra sambil mencengram bahu bik Iyah. Ia kesal karena belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Padahal ‘kunci’nya jelas ada pada pembantunya itu. Bik Iyah yang tahu tentang perselingkuhannya dengan Paijo. Bik Iyah juga orang yang tahu jika Didiet sudah mengetahui hal itu.<br /><br />“N non?. Hks.. hks …” Bik Iyah terkejut dan kembali terisak. Ia sedih bukan karena di perlakukan kasar oleh ‘nona’-nya itu. Melainkan karena ia ikut merasa bersalah atas segala kemelut yang menimpa Sandra. Sejenak Sandra seakan baru tersadar apa yang ia perbuat. Cepat-cepat ia melepaskan cengkramannya dan memeluk tubuh tua itu. <br /><br />“Aduhh Bik..m maafkan aku…aku tak bermaksud kasar sama bibik” ucap Sandra menyesal. Betapa ia benar-benar khilaf tadi dan sempat berlaku tak pantas terhadap seseorang yang mengasuh dan memanjakannya saat kecil itu. Kemelut yang terjadi akhir-akhir ini semakin membuatnya sulit mengontrol emosinya.<br /><br />“Tidak apa-apa non. Bibik maklum akan kondisi non.” ujar bik Iyah. Sebenarnya ia tak ingin menambah beban pikiran Sandra namun ia merasa ia harus mengatakannya pada Sandra.<br /><br />“Bik beritahu aku bagaimana Didiet bisa mengetahui semua ini” ujar Sandra. Kali ini ia berusaha untuk lebih tenang.<br /><br />“Baiklah bibik akan katakan semua yang bibik ketahui pada non.” ujar bik Iyah mengawali pengakuannya dengan terbata-bata “Kejadiannya kira-kira dua bulan yang lalu. Saat itu bibik masih bekerja di rumah ibu non Sandra. Hari itu den Didiet datang sendirian ke sana menjenguk ibu sekaligus meminta bibik tukaran posisi dengan bik Nah. Pada kesempatan itu bibik sempat minta tolong di carikan pekerjaan buat keponakan bibik si Paijo yang menganggur karena saat itu istrinya sedang hamil dan membutuhkan biaya untuk melahirkan. Lantas Den Didiet menyuruh bibik mengajak sekalian Paijo kemari untuk bekerja di sini ”<br /><br />Pengakuan bik Iyah tersebut sungguh di luar dugaan dan membuat Sandra benar-benar merasa kecele. Selama ini ia dan yang lain menganggap Didiet belum tahu soal keberadaan Paijo di rumah ini. Padahal sejak awal hal itu justru merupakan idenya Didiet sendiri!<br /><br />“Mengapa?…mengapa baru sekarang aku diberi tahu soal ini Bik?”<br /><br />“Maafkan saya non. Tetapi den Didiet yang melarang bibik mengatakannya pada Non Sandra.”<br /><br />“Aku semakin tak mengerti? L..lantas…Apakah ia juga mengetahui apa yang telah aku lakukan dengan Paijo selama ini, Bik?!” Tanya Sandra bingung. Ia sungguh tak mengerti akan situasi yang terjadi di dalam rumah tangganya saat ini. Entah siapa yang terlebih dahulu memulai ketidak jujuran di antara ia dan Didiet.<br /><br />“Ya say, aku juga sudah tahu akan hal itu.” Terdengar suara dari arah ruang depan sebelum bik Iyah sempat menjawab. Kedua wanita itu-pun menoleh ke arah suara tersebut secara bersamaan.<br /><br />“Ditt?!” ujar Sandra tergagap ketika melihat Didiet muncul dari balik pintu..<br /><br />“Oh! den Didiet sudah pulang” ujar Bik Iyah-pun tak kalah kaget.<br /><br />Pembicaraan yang serius barusan membuat mereka tak menyadari kehadiran Didiet di situ.<br /><br />“Bik, tinggalkan saja kami berdua”ucap Didiet santai.<br /><br />“Baik den” ujar Bik Iyah patuh. Ia masih sempat mengambil alih koper dari tangan majikannya itu.<br /><br />Setelah bik Iyah berlalu.<br /><br />“Dit, benarkah engkau sudah mengetahui apa yang terjadi selama ini?” pertanyaan Sandra langsung membuka percakapan.<br /><br />“Say..kemarilah.”ujar Didiet lembut.<br /><br />Apa?..Say?..suaminya masih memanggilnya ‘say’ dalam situasi seperti ini?. Mengapa Didiet sepertinya tak mempermasalahkan perselingkuhannya dengan Paijo? Sandra mendatangi suaminya dengan perasaan bercampur aduk. Lalu ia merasakan rengkuhan tangan kokoh pada punggungnya saat Didiet memeluknya. Saat mengadahkan wajahnya ke wajah Didiet sebuah kecupan hangat hinggap di bibirnya.<br /><br />“Ditt engkau belum menjawab pertanyaanku” kejar Sandra penasaran karena Didiet belum memberinya jawaban.<br /><br />“Ya. Say. Aku sudah mengetahui tentang hubunganmu dengan Paijo Namun kamu tidak perlu kuatir aku akan mempermasalahkannya karena hal itu juga ada hubungannya mengapa sejak awal aku tak memberi tahumu soal kepindahan Paijo kemari”<br /><br />“Katakan, Dit. Mengapa engkau tak pernah memberi tahuku soal itu?.” tanya Sandra tak sabar.<br /><br />“Sebenarnya sejak awal aku ingin memberitahumu namun mengingat saat itu suasana hatimu sedang tak baik maka aku merasa harus menunggu waktu yang tepat untuk berbicara padamu.” Ujar Didiet sambil membimbing istrinya untuk duduk bersama di sofa. “Baiklah aku ceritakan saja sekarang. Seperti yang telah bik Iyah katakan padamu tadi, aku memang bertemu dengannya di rumah ibumu. Aku terkejut saat tahu ternyata keponakannya yang bernama Paijo itu telah memiliki seorang istri yang sedang hamil. Hal itu membuatku teringat dengan masalah kehamilanmu. Tiba-tiba saja terbetik keinginan untuk menjadikan Paijo sebagai pendonor bagimu. Lantas kuminta bik Iyah untuk mengajaknya kemari. Dan ia memang kularang mengatakannya padamu. Namun ia sungguh tak tahu apa sebenarnya tujuanku. Awalnya aku ingin Paijo tinggal bersama kita beberapa minggu terlebih dahulu dengan harapan aku bisa mengenal segala hal tentang Paijo lebih jauh agar tak menimbulkan masalah bagi kita di kemudian hari. Namun ternyata tanpa kuduga, sebelum aku sempat mengungkapkan rencanaku padamu, ternyata hubungan antara engkau dan Paijo sudah terjalin dengan sendirinya. Aku baru mengetahui hal itu dua minggu yang lalu. Ketika itu penerbanganku kemari dimajukan lebih awal. Dan aku tiba di rumah pagi-pagi sekali. Saat itulah aku menemukan dirimu masih tertidur lelap berdua dengan anak itu di ranjang kita. Tetapi aku tak ingin mengganggu kalian. Jadi kuputuskan pergi ke rumah Donnie. Lalu setelah agak siang aku kembali lagi ke rumah. Dan berlagak seolah-olah baru tiba siang itu..”jelas Didiet panjang lebar.<br /><br />Sandra tercenung setelah mengetahui kenyataan tersebut.<br /><br />“Say, apakah ada yang salah?” Tanya Didiet heran. Tadinya ia yakin ini menjadi sebuah surprise yang menyenangkan buat Sandra. Namun Sandra tak bereaksi seperti yang ia harapkan. Garis-garis kesedihan nampak jelas di wajahnya.<br /><br />“Dit? Apakah engkau sengaja memanfaatkan kelemahaan dan permasalahanku untuk mewujutkan fantasi liarmu?” Tanya Sandra.<br /><br />“Sand? ” Tanya Didiet terkejut melihat reaksi istrinya itu.<br /><br />“Engkau sengaja mengumpankan anak itu agar berselingkuh denganku! Benarkan Dit?!”<br /><br />“Say..akukan cuma berniat membantu” ujar Didiet terpojok. Ia tak menyangka ternyata Sandra mampu membaca niat terselubungnya,<br /><br />“Jawab pertanyaanku Dit!!” tanya Sandra kesal. Ia benar-benar sudah lelah dengan semua ini. Tak di sangka ternyata suaminya sendiri yang menjadi actor intelektual atas perselingkuhan dirinya dengan Paijo yang berujung pada kepergian Alfi.<br /><br />“Baik! Baik!! Aku akui. Aku memang memiliki hasrat melihat anak itu menidurimu. Namun apa bedanya? Toh, selama ini engkau juga melakukannya bersama Alfi. Ayolah say…kita ambil positifnya saja. Bukankah dengan begini engkau bisa memperoleh manfaatnya karena ada seseorang yang mau menghamilimu dan aku sendiri…yahh…mendapatkan apa yang kumau” tukas Didiet. Ia berbalik heran melihat keberangan istrinya. Ia sulit menebak bagaimana kondisi emosi istrinya saat ini. Bukankah seharusnya Sandra senang ada solusi bagi masalah kehamilannya. Namun kenyataannya justru tidak demikian. ia sungguh tak menyangka Sandra justru terlihat sangat kesal kepadanya.<br /><br />“Tetapi tahukah engkau akibat semua ini bagi Alfi?!”<br /><br />“Lho? Memangnya ada apa dengan Alfi?!”<br /><br />“Alfi…diaa…sangat terpukul setelah melihat kebersamaanku dengan Paijo.”<br /><br />“Terpukul? Aneh!…aku benar-benar tak mengerti maksudmu? Bukankah selama ini ia tak mempermasalahkan kehadiran pria lain seperti aku atau Donnie dan juga Robert?”<br /><br />“Aku juga tak mengerti soal itu, Ditt!.Yang jelas ia tak suka melihat Paijo di sini meniduri aku!”<br /><br />“Baiklah, di mana anak itu sekarang? Mungkin aku bisa minta maaf serta pengertiannya soal hal ini. Setidaknya ia tak perlu menyalahkan dirimu atas semua yang terjadi “<br /><br />“Terlambat Dit. Alfi sudah pergi” ujar Sandra lirih.<br /><br />“Apa? Pergi?..Kemana? Apakah ia ke rumahnya Donnie atau Robert?”<br /><br />“Ia tidak ada di sana, Dit. Alfi pergi mendaki gunung XX.”<br /><br />“Haa!! Mendaki?! Mengapa kau tak berusaha mencegahnya? Bukankah aku sudah pernah melarangnya melakukan kegiatan itu!”<br /><br />Lalu Sandra menceritakan secara ringkas semua yang telah terjadi selama ini. Didiet-pun melongo setelah mendengar penuturan Sandra. Kali ini ia baru nyambung. Ia dibuat bingung dan tak tahu harus menjawab apa. Situasi yang terjadi tak seperti yang ia harapkan. Sungguh! Ternyata banyak hal yang tak terpikirkan olehnya. Ia lupa memperhitungkan resiko jika Alfi tak menyukai Paijo. Bahkan tak akan pernah ada kehamilan dikarenakan Paijo Mandul!<br /><br />“Eh uh..Maafkan aku say..aku benar-benar tak tahu jika akan begini jadinya” ujar Didiet penuh penyesalan karena semua ini justru membuat Sandra semakin sedih dan tertekan.<br /><br />“Ia… ia sengaja mencari mati gara-gara aku huu huu“ Sandra mengatakan itu sambil mendekap wajahnya dengan ke dua telapak tangannya. Air matanya tumpah tak terbendung lagi. Bayang-bayang mimpi buruknya tentang Alfi tempo hari kembali terlintas di kepalanya.<br /><br />Didiet benar-benar kaget ketika melihat istrinya itu menangis. Cepat-cepat ia bangkit seraya menarik kepala Sandra ke dalam pelukannya.<br /><br />“Aduhh say!.. tak perlu seperti ini? haduhh bagaimana ini…..tadi kan aku sudah katakan jika aku sangat menyesal…” bisiknya kebingungan membujuk istrinya agar berhenti menangis.<br /><br />“Bagaimana dengan Alfi, Ditt? Sudah satu bulan ia tidak pulang. Aku kuatir sekali jika terjadi apa-apa padanya hks hks!”tanya Sandra di antara isaknya.<br /><br />“Kita akan mencari tahu tentang dia. Namun aku ingin engkau berusaha menenangkan dirimu dulu.. Aku cukup mengenal leader kelompok itu. Ia merupakan juniorku di kampus dulu. Pemuda itu tak sembarangan mengajak seseorang buat mendaki. Semuanya pasti sudah dipersiapan secara matang. Jadi aku kira tak terjadi apa-apa dengan mereka. Lagian bukankah tak ada berita buruk dari radio maupun televise?”<br /><br />“Tapii Ditt masa kita harus menunggu terjadi apa-apa dulu baru bertindak?! huu huu “<br /><br />“Baik!..Baiklah say!. Aku segera memerintahkan beberapa karyawanku buat mencari Alfi di posko para pencinta alam di kota H besok. Aku yakin mereka dapat dengan cepat memperoleh info keberadaan Alfi. Selanjutnya biarlah aku yang akan menangani hal ini ya Say ” ujar Didiet. Ia sadar tak ada jalan lain untuk membuat hati istrinya itu tenang kecuali menemukan Alfi secepatnya.<br /><br />Alhasil setelah mendengar ucapan suaminya itu Sandra menjadi lebih tenang. Beberapa saat kemudian tangisnya-pun mereda di dalam dekapan suaminya. Haihh…Didiet menghela napas panjang. Ia merasakan kemejanya basah oleh air mata istrinya itu. Sejak berkenalan dengannya hingga saat ini, Sandra tak pernah menjadi sesedih seperti tadi. Kecuali satu kali. Ya…Didiet jadi teringat akan peristiwa dulu saat itu Sandra menjadi begitu murungnya sejak berpisah dengan Alfi setelah melakukan percintaan buat pertama kalinya di cottage di pantai X tempo hari. Dalam hati kecilnya sebetulnya ia tahu bila kehadiran Alfi dalam perkawinan mereka telah mendapat tempat yang istimewa di dalam hati Sandra tapi ia tak pernah menduga seberapa besar perasaan itu. Dan selama ini-pun Sandra selalu mengungkapkan jika ia hanya mencintai dirinya seorang sedangkan Alfi hanyalah dianggap sebagai bumbu dalam kehidupan ranjang mereka semata. Tapi kini kenyataan itu tak lagi dapat di tutupi oleh Sandra. Kemarahan dan tangis Sandra barusan itu tak cuma mengartikan sebuah kekuatiran namun juga sebuah ungkapan penuh kerinduan dan kasih sayangnya terhadap Alfi. Didiet seakan baru tersadar jika bayang-bayang Alfi secara perlahan namun pasti akan mampu menggeser dirinya dari hati Sandra. Tapi ia tak bisa menyalahkan orang lain. Bukankah semua ini berasal dari keinginan dan fantasi liarnya sendiri? Berarti ia sendiri yang juga harus siap menanggung segala konsekuensi atau akibat yang di timbulkan oleh hal tersebut. Termasuk siap tersisih dalam memperebutkan cinta sejati Sandra!<br /><br />##########################<br /><br />Keesokan paginya Didiet terlihat sibuk menelpon ke sana kemari. Namun hingga siangnya ia belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan.<br /><br />“Sepertinya aku sendiri yang harus pergi mencari Alfi” ujarnya pada Sandra.<br /><br />“Aku tak ingin menyusahkanmu Dit. Kurasa kita bisa menunggu kabar dari orang-orangmu”<br /><br />“Tak mengapa. Ketimbang hanya menunggu. Semakin cepat aku bisa memperoleh kabar mengenai keberadaan Alfi tentunya semakin baik.”<br /><br />Akhirnya Didiet pergi ke kota H yang hanya berjarak empat jam perjalanan berkendaraan mobil dari kota S. Waktu terus merambat. Sandra terus menunggu dengan harap-harap cemas. Handphonenya tak pernah lepas dari genggamannya. Menanti benda itu berdering dan seseorang yang akan memberinya kabar baik mengenai Alfi. Namun hingga hari menjelang sore apa yang ia harapkan tak juga terjadi. Ia mulai merasa putus asa. Masalah kehamilan yang berujung dengan kepergian Alfi benar-benar telah membuatnya lelah. Ketika ia sedang berupaya membuang kegelisahannya dengan berjalan-jalan di pekarangan rumahnya sambil memandangi beragam bunga yang tumbuh di sana. Tiba-tiba terdengar derit pintu gerbang bergeser. Seseorang masuk ke perkarangan rumah sambil tersenyum riang tengah berlari kecil menuju ke arahnya.<br /><br />“Kakaakkk! Alfi pulanggg!”<br /><br />“Ohhh Fii?! Kamu.. sudahh pulanggg?!!”.<br /><br />Sandra-pun langsung menubruk tubuh anak itu. Memeluknya se-erat mungkin. Mendekapannya. Seakan tak ingin melepaskannya lagi. Air matanya meleleh tak terbendung lagi oleh rasa lega dan kerinduan yang mendalam.<br /><br />“Ooh..Fii kakakk kuatir sekali huu huu”<br /><br />“Duh! Kenapa kakak begitu kuatir? Bukankah sudah Alfi bilang kalau Alfi bakal mampu menaklukan gunung itu” bisik Alfi sambil membelai rambut Sandra. Ia sungguh tak tega melihat bidadarinya menangis.<br /><br />“Kamu jangan pergii lagi ya Fi huu hu..”<br /><br />“Iya iya Alfi tidak bakalan meninggalkan kakak lagi. Alfi sudah berniat tak akan mendaki lagi demi kakak. Cukup sudah satu kali itu buat menuntaskan hasrat dan rasa ingin tahu Alfi saja. Nah sekarang kakak sudahan dulu nangisnya” bujuk Alfi sambil mengusap pipi Sandra yang basah.<br /><br />“Kakk..” bisik Alfi setelah tangis Sandra mereda.<br /><br />“Iya Fi?”<br /><br />“Alfi kangen sama sekali sama kakak”<br /><br />“Oh..Fii Kakak juga, sayang. Ayo kita masuk. Kamu harus istirahat setelah menempuh perjalanan jauh”<br /><br />“Melihat kakak, rasa capek Alfi jadi hilang”<br /><br />“Gombal ahh!” ujar Sandra mencubit pinggang pemuda itu.<br /><br />#################################<br /><br />Alfi<br /><br />Sandra segera mengabarkan kepulangan Alfi kepada Didiet. Didietpun merasa lega. Ia menganggap masalah dan kemelut antara Sandra dan Alfi sudah terselesaikan. Namun Ia mengabarkan jika ia tidak bisa pulang ke kota S. Ia memutuskan untuk langsung berangkat ke kota G dengan pesawat. Ia-pun berpesan agar Nadine segera menyusulnya. Sore itu Sandra menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah SPA buat menyambut pertemuannya dengan Alfi. Ia tahu selama beberapa hari ke depan akan menjadi hari-hari penuh keintiman yang melelahkan bagi mereka berdua. Dan malamnya ia mengajak Alfi makan malam di sebuah restoran berkelas di kawasan elite. Sandra mengenakan gaun malam hitam yang indah terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih lembut itu. Ia ingin terlihat cantik buat pemuda itu. Para pengunjung lain banyak yang mencuri memandang ke arah mereka sambil berbisik-bisik. Tentu saja pasangan unik itu cukup mengundang tanya mereka. Kemana suaminya? Mengapa wanita secantik dan seanggun Sandra minta ditemani oleh pemuda bertampang pas-pasan seperti Alfi yang cocok menjadi jongosnya itu? Namun Sandra tak memperdulikan semua itu. Kepulangan Alfi telah menepis segala kegalauan hatinya selama ini. Saat ini ia benar-benar sedang dimabuk asmara. Ia ingin menikmati saat-saat terindahnya bersama Alfi tanpa terganggu oleh siapa pun malam ini. Setelah selesai menikmati makan malam. Mobil Sandra meluncur menembus gemerlapnya malam. Menuju ke luar kota ke sebuah tempat yang penuh dengan nostalgia indah baginya dan Alfi. Cottage xxx di tepi pantai X. Malam semakin larut dan dingin ketika mereka tiba di situ. pohon nyiur melambai kuat di terjang hembusan angin pantai. Sepertinya tak lama lagi bakal turun hujan lebat. Sebuah malam pertemuan yang sempurna buat Alfi dan Sandra.<br /><br />“Wah..Kakak cantik sekalii..dan harum” puji Alfi ketika wangi tubuh Sandra menggelitik hasrat kejantannya.<br /><br />“Betulkah?” Sandra tersipu senang.<br /><br />“Engg..kak”<br /><br />“Iya sayang”<br /><br />“Alfi turut prihatin” ujar Alfi sambil membelai pipi Sandra lembut.<br /><br />“Soal apa sayang?”<br /><br />“Soal kegagalan Paijo. Alfi sudah mengetahui semuanya dari kak Dian” ujar Alfi. Sandra tahu Alfi tak sedang mengoloknya. Ia melihat ketulusan di mata Alfi.<br /><br />“Tidak apa-apa sayang. Mungkin itu pantas kakak terima karena kakak telah menyakiti hatimu” jawab Sandra.<br /><br />“Tapi Alfi ngga pernah membenci kakak. Saat itu Alfi justru ingin dia bisa bikin kakak hamil.”<br /><br />“Betul begitu?” Sandra menatap mata pemuda itu lekat-lekat. Ia tahu Alfi sudah melakukan sebuah pengorbanan besar dan ia sudah membuktikan betapa besar cintanya dengan mampu melewati ujian yang sangat berat itu. Kini Sandra-lah yang harus memikirkan bagaimana ia membalas semua yang telah dilakukan anak itu kepadanya.<br /><br />Alfi mengangguk sambil membalas tatapan Sandra. Jelas ia ingin Sandra tahu jika ia tak berbohong atau dianggap sekedar mengucapkan kata-kata gombal.<br /><br />“Terima kasih sayangku. Namun mulai saat ini kakak hanya inginkan kamu yang nantinya bisa menghamili kakak.”ujar Sandra membelai wajah anak itu.<br /><br />“Eng Kak…Alfi… kangen sekali sama kakak.”<br /><br />“Lantas kenapa sejak pulang kamu belum juga mencium kakak”<br /><br />Alfi tak memberi jawaban atau menunggu Sandra bertanya lagi. Ia langsung memagut Bibir kekasihnya itu. Lalu keduanya menumpahkan segala rasa rindu mereka dalam balutan ciuman yang ketat. Tak ada keliaran di situ. Ini sebuah ciuman yang di dasari oleh perasaan cinta dan kasih sayang dari kedua pelakunya.<br /><br />“Fi ada yang mau kakak katakan padamu” ujar Sandra saat ciuman mereka terlepas.<br /><br />“Apa itu kak?”<br /><br />“Fi… kakak mencintaimu”<br /><br />“Alfi tahu itu kak” Alfi menanggapinya dengan tersenyum getir. Ia sudah sering mendengar kata-kata itu terucap tak hanya oleh Sandra namun juga dari wanitanya yang lain. Ia menganggap itu hanya ekspresi rasa kangen Sandra saja. Mana mungkin Sandra benar-benar mencintainya dalam arti yang sebenarnya sebagaimana halnya ia sendiri mencintai wanita itu. Selain itu tak mungkin ia mampu bersaing dengan kak Didietnya.<br /><br />“Fi, kakak serius. Kakak mencintaimu dengan segenap jiwa raga kakak” Sandra seakan tahu apa yang berkecamuk di dalam benak Alfi. Ia mengucapkan hal itu sambil menatap lekat-lekat mata Alfi. Kini adalah giliran baginya untuk menyatakan isi hatinya pada Alfi. Ia tak ingin lagi mengingkari perasaannya yang sebenarnya terhadap Alfi dan ia ingin Alfi tahu kebenaran itu sekarang bahwa Ia sungguh-sungguh mencintai Alfi.<br /><br />“Tetapi K..kaak Alfi kan jelek. Sedangkan kakak cantik” mau tak mau kali ini Alfi menanggapi ucapan Sandra dengan serius.<br /><br />“Ya Fi. Kamu memang tak setampan dan segagah suami-suami kami. Kamu juga tak sekekar Donnie. Kamu memang ngga sepintar Robert. Tetapi aku tak perduli dengan semua kekuranganmu itu, Fi. Kamu justru memiliki sesuatu yang tak mereka bahkan kebanyakan pria punyai. Kamu jantan. Penuh dengan ketulusan dan kasih sayang. Kakak merasa kamu itu ngga jelek-jelek amat kok. Justru di mata kakak kamu itu sangat…seksi lho. Lagian apakah ada larangan buat seorang yang cantik mencintai orang seperti dirimu Fi?”<br /><br />Mendengar ucapan Sandra tersebut jantung Alfi seakan berhenti berdetak saat itu juga. Rasanya ia tak bermimpi. Wanita yang paling ia cintai itu akhirnya membalas cintanya. Hal itu yang selama ini paling ia dambakan. Tak ada kata-kata yang bisa mewakili kebahagian hatinya saat itu.<br /><br />“Ohh Kakaak …Alfi juga sangat mencintai kakak”. Alfi tak lagi dapat membendung perasaannya. Bibir Sandra yang mengiurkan itu di sambarnya. Dan merekapun kembali larut dalam lautan French kiss yang menghanyutkan.<br /><br />“Kak, Alfi mau ceritain pengalaman Alfi waktu di gunu …”.ujar Alfi sambil merenggangkan rangkulannya.<br /><br />“Stttt Fii sebaiknya kita ngga usah bicara itu dulu ya..” potong Sandra sebelum Alfi menyelesaikan kalimatnya.<br /><br />“Lho kenapa kak?”tanya Alfi<br /><br />“Katamu kamu sudah kangen banget sama kakak, tapi kok malah ngomong melulu?”<br /><br />“Hi hi Iya ya kak ….”<br /><br />Alfi segera memagut bibir kekasihnya dengan lembut. Sandrapun menyambutnya dengan penuh hasrat dan kerinduan. Menjadikan ciuman mereka begitu ketat. Sementara itu hujan telah turun dengan lebatnya. Udara lembab dan sejuk mengalahkan kenyamanan dari AC modern manapun merasuk masuk ke dalam kamar menyapu hawa panas yang sedang membara berasal dari tubuh dua insan berlainan jenis dan status sosial yang sedang bergumul di atas ranjang. Bila dulu Alfi lah yang kerap merengek-rengek bila kebelet ingin bersetubuh. kini malah Sandra yang dibuat merengek-rengek manja. Alfi yang sekarang benar-benar bisa mengendalikan hasratnya. Tapi Sandra tahu anak itu siap meledakan gairahnya pada saat percintaan yang akan terjadi sebentar lagi. Bahkan jauh lebih dasyat dari sebelum-sebelumnya. Alfi berlaku sabar dalam melakukan cumbuan awal untuk memulai sebuah persetubuhan. Bibir mereka saling menghisap satu sama lain. Saling kecup. Bergantian memasukan lidah dan saling bertukar cairan mulut. Ciuman Alfi menjalar ke leher jenjang Sandra. Ia kecupi setiap jengkal kulit putih bak pualam itu. Sandra memejamkan matanya meresapi setiap kecupan Alfi yang jauh berkelana hingga ke dadanya yang membusung. Tubuh Sandra maupun dirinya masih tertutup oleh pakaian lengkap. Begitu juga dengan Alfi. Tak sukar bagi Alfi melakukan kemesrahan. Jemarinya yang terlatih dengan cepat berhasil membuka satu demi satu kancing-kancing gaun Sandra. Sandra sengaja memakai bra berkait depan. Dan ketika Alfi membuat satu gerakan lagi maka dada Sandra yang membusung indah itupun terbebas.<br /><br />Alfi menjatuhkan kecupannya pada puncak bukit putih yang berwarna merah muda itu. Menangkapnya dalam mulutnya. Menguncinya dengan bibirnya. Lalu menghisapnya dengan kuat.<br /><br />“Arggg…sayanggggg” rintih Sandra dalam kenikmatan. Lidah Alfi mampu berputar liar menyapu setiap sisi puting susunya di dalam kevakuman rongga mulutnya. Rasa nikmat itu membaur dalam rasa deg-degan. Tak ada yang menandingi anak ini dalam urusan yang satu ini. Sandra benar-benar dibuatnya semakin melambung.. Alfi juga memberikan porsi yang sama pada puting susu satunya. Bila sudah demikian ia akan melakukannya paling tidak satu dua menitan. Meski ke dua puting Sandra sudah berdiri penuh ia akan tetap akan menempel di situ persis seperti seorang bayi yang sedang menyusu. Itu pula yang sangat di sukai setiap wanitanya. Alfi mampu membuat seks pada puting susu menjadi begitu mengasyikan.<br /><br />“Ohh..Fiii geliiii” pekik Sandra.<br /><br />Geli itu di barengi tumpahnya cairan-cairan cinta yang membasahi rongga-rongga liang senggamanya. Sandra mulai kewalahan buat mengalihkan gairah yang berubi-tubi di susupkan Alfi ke tubuhnya. Gairahnya terpompa naik dengan cepat oleh setiap sentuhan Alfi. Ia tahu Alfi tak akan melewati setiap tahaban foreplay yang ada. Dan ia tak akan mendapat penuntasan dalam waktu dekat. Jemari Sandra menggapai-gapai berusaha meraih sesuatu pada selangkangan anak itu. Ia berusaha menyusupkan jemarinya ke dalam celana Alfi yang ketat. Namun nampaknya begitu sulit baginya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.<br /><br />“Fii…buka semuanyaaa” rengek Sandra.<br /><br />Alfi bangkit. Ia melepas semua pakaian yang masih melekat di tubuhnya satu persatu. Sandra-pun tak tinggal diam. Ia-pun melakukan hal yang sama. Lalu Alfi berdiri pada ke dua lututnya. Membuat wajah Sandra persis berada di selangkangannya. Hal itu untuk memudahkan kekasihnya itu melakukan apa saja yang ia mau pada kemaluannya. Sandra menatap benda panjang hitam sedang teranguk-anguk garang di hadapannya itu. Benda itu sudah berdiri penuh dan pada ujungnya bertumpahan cairan lengket. Benda ini yang dulu telah merenggangkan selaput daranya hingga berdarah. Menodai kesuciannya yang telah susah payah ia jaga selama dua puluh lima tahun. Tak hanya itu benda itu juga pernah memberikan rasa sakit dan nikmat secara bersamaan pada vaginanya untuk pertama kalinya. Tapi benda itupun kini tak lagi sama ukurannya dengan dulu. Selama dua tahun ini besar dan panjangnya tumbuh semakin meraksasa hingga ke ukuran puncaknya. <br /><br />Sandra menggenggam pangkal kemaluan Alfi dan mulai mengocok pelan. Membuat kulit kulup yang menutupi glans penis Alfi terbuka dan menutup. Wajahnya bergerak mendekat hingga hanya berjarak beberapa senti meter saja lagi. Dan…Leppp Sandra memasukan ujung organ tersebut ke dalam mulutnya. Lalu dengan telaten mengulum dan menjilatinya. Mengambil alih untuk sementara tugas vaginanya memberi kenikmatan pada penis Alfi.<br /><br />“Ooohh… Kakk… ooohh…”, desahan Alfi terdengar lirih setiap kali batang penisnya memasuki mulut kekasihnya. Penisnya terus dibetot oleh mulut Sandra dengan hisapan liar yang dasyat.<br /><br />Deburan ombak terdengar seakan menggambarkan letupan gelombang gairah kedua insan tersebut. Semilir udara dingin ditambah hembusan AC tak mampu menahan butir-butir peluh yang mulai membintik di sekujur tubuh ke duanya. Sandra menyadari sepenuhnya. Alfi memang bukan lagi Alfi yang Sandra kenal dua tahun yang lalu. Tubuh anak itu semakin tinggi meski masih berselisih jauh dengannya. Dadanya membidang basah oleh peluh mengucur hingga bungkahan otot-otot di perutnya. Memang sejak mengenal Donnie, Alfi jadi rajin berolah raga menjadikan tubuhnya berkembang baik. Alfi meletakkan sebuah bantal di tengah tempat tidur. Ia meminta Sandra berbaring tengkurap dengan posisi bantal tersebut tepat di bawah pinggul Sandra. Dengan demikian Ia mendapatkan ruang yang paling terbuka untuk mengoral Sandra. Vagina Sandra memang terekspos sempurna. Bibirnya yang telah basah itu membuka, Alfi menyelinap di antara kedua paha Sandra dan menempatkan kepalanya tepat di depan vagina wanita cantik itu. Ia mulai dengan mengecup ke dua pipi bukit cantik itu. Lalu menjilat apapun yang ada dihadapannya bagai seseorang anak kecil melahap sebuah es krim yang lezat. Gelombang kenikmatan dengan cepat merasuki Sandra. Ia sudah pasti akan orgasme dalam waktu dekat. Tiba-tiba saja ia menjauhkan pinggulnya dari wajah Alfi sebelum hal itu terjadi.<br /><br />“Kenapa kakak sayang?”<br /><br />“Fiiii udahhhh! kakakkk pinginn kamu gituin sekarang” ujar Sandra terengah-engah. Ia tak ingin orgasme dulu sebelum titit Alfi masuk ke tubuhnya.<br /><br />Sandra mengubah posisi tubuhnya menjadi terletang.<br /><br />“Lho? Kakak seharusnya tetap tengkurap”<br /><br />“Ngga mau…kakak ingin kamu nindih kakak dari depan seperti waktu pertama kali kamu ngambil perawan kakak dulu”<br /><br />“Tapi kak, bukankah sekarang ini adalah saat yang tepat buat melakukan pembuahan? Alfi sudah siap membuahi kakak malam ini. Apalagi akhir-akhir ini Alfi hanya menkonsumsi sayur-sayuran saja”<br /><br />Ucapan Alfi membuat Sandra heran.<br /><br />“Sayangggg…Buat apa kamu lakukan itu?”<br /><br />“Kak Lila bilang selama diperjalanan Alfi harus banyak makan buah dan sayuran. Bahkan Alfi juga dilarang menkonsumsi mie instan. Katanya itu bisa bikin kak Sandra cepat hamil”<br /><br />Sandra akhirnya mengerti ternyata Lila sadar jika kemungkinan Paijo untuk gagal begitu besar. Dokter cantik itu-pun tahu siapa sebenarnya yang mampu dan paling pantas untuk menghamili Sandra. Untuk itu ia sengaja mempersiapkan Alfi buat itu.<br /><br />“Oh begitu…tapi kamu sudah banyak berkorban buatku, oleh karena itu sejak malam ini kakak ingin kita menikmatinya tanpa memikirkan lagi soal kehamilan. Hamil atau tidak kakak tak lagi mempermasalahkannya. Yang penting kakak hanya ingin kamu selalu ada bersama kakak”<br /><br />“Eng..Baiklah kalau begitu kak”Alfi tak ingin berbantah dengan kekasihnya itu. Namun ia tetap bertekat ia harus berhasil membuahi kekasihnya malam ini. Ia tak ingin masa-masa puncak kesuburan Sandra berlalu dengan kesia-sia-an seperti sebelum-sebelum ini.<br /><br />Posisi misionari adalah posisi keintiman yang paling mereka sukai. Bagi Sandra ini merupakan cara penyatuan yang sempurna dan penuh dengan kenangan bagi mereka berdua. Posisi ketika si Alfi kecil pertama kali merengut kegadisannya. Alfi mengangkat tubuh Sandra bergeser ke tengah-tengah tempat tidur agar memperoleh posisi yang lebih nyaman. Setelah itu ia menindih tubuh kekasihnya itu sekaligus memberinya ciuman yang ketat. Tubuh mereka-pun menyatu tanpa ada penghalang. Sandra merasakan ujung penis Alfi mengusap-usap permukaan vaginanya. Cairan cintanya merembes keluar dan melicinkan bagian dalam kewanitaannya. Ia membuka kedua kaki lebih lebar memberi akses seluasnya bagi Alfi memasuki dirinya. Tanpa perlu dibimbing .penis Alfi seakan tahu di mana jalan yang harus ia jelajahi. Perlahan setahab demi setahab mulai kepalanya yang bulat bak tomat membelah dan masuk …lalu leher tempat berkumpul kulit kulupnya yang tertarik …hingga akhirnya seluruh batang penis besar Alfi tertelan utuh ke dalam liang kenikmatan kekasihnya yang cantik itu.<br /><br />“Arrgghkkhh…!”, Sandra dan Alfi mendesah bersamaan saat penyatuan itu berlangsung.<br /><br />Sebuah penyatuan yang sempurna. Terjadi di dalam kamar yang sama dan di atas ranjang yang sama dikala Sandra ternoda dulu. Sandra-pun langsung orgasme secepat begitu penis Alfi mengisinya. Sungguh luar biasa nikmatnya titit Alfi. Vaginanya terasa begitu penuh. Baik penis suaminya maupun Paijo tak ada yang mampu menyentuh dasar vaginanya seperti halnya milik Alfi. Dan belum ada pria lain selain Alfi yang mampu membuatnya orgasme secepat ini.<br /><br />“Ouhhhhh..sayaaangggg!!”pekik Sandra tertahan.<br /><br />Kedua tutut Sandra membuat satu garis lurus hingga ke kesepuluh ujung jemarinya yang menegang. Alfi tahu apa yang harus dilakukannya saat itu. Ia menahan gerakannya. Sehingga ujung penisnya tetap menekan dasar vagina Sandra. Membiarkan vagina Sandra berpuas-puas mengulumi penisnya. Tak beberapa lama kemudian, setelah orgasme pembuka yang berlangsung beberapa detik tersebut usai. Barulah Alfi menggerakan pinggulnya naik turun. Alfi melakukannya dengan sangat lambat. Menarik penisnya hingga ke bagian leher. Melakukan kocokan dangkal yang lambat beberapa kali. Lalu pelan-pelan mengirim utuh semua penisnya ke bagian terdalam vagina Sandra. Dan menekannya dasar rahim Sandra beberapa detik. Lalu melakukan kocokan pendek namun dalam pada kedalaman itu.<br /><br />“Ooohhh…sa..yanggggg…ohhhhh” Rintihan dan desahan silih berganti keluar dari bibir Sandra akibat perlakuan Alfi tersebut. Gerakan kepala penis Alfi yang bulat besar itu terasa bagaikan mengulek dasar vaginanya di sepanjang persenggamaan. Liang senggamanya yang selama beberapa pekan belakangan selalu di hajar oleh penis kampung Paijo terasa tetap rapat dan tak berubah sama sekali bagi Alfi.<br /><br />Cleks..clks…ckleks…Suara lembut berasal dari tautan kemaluan mereka berdua mengiringi setiap kocokan Alfi. Sepuluh menit berlalu dan sebuah orgasme kembali melanda Sandra. Kuku-kukunya menghujam dan menekan bongkahan pantat Alfi. Berusaha menahan Alfi agar tak menarik penisnya.<br /><br />“Ughhh….!!! Fiii…kakakkk dapettt lagiii!”<br /><br />Alfi kembali menahan gerakannya. Membiarkan Sandra menikmati setiap detik kenikmatan yang diakibatkan penisnya itu. Meski dalam keadaan diam namun dengan kekuatan ototnya Alfi mampu membuat penisnya berdenyut-denyut dengan kuat. Sementara kemaluannya bekerja, Alfi berusaha menambah rasa kenikmatan yang dialami Sandra dengan mengecupi seputar leher jenjang kekasihnya itu atau memberinya lumatan di bibir. Kedua tangannya-pun tidak tinggal diam. Payudara dan pinggul Sandra secara bergantian ia remas-remas secara kembut.<br /><br />“Hmm..punya kamu enak banget sayangg” puji Sandra setelah orgasmenya mereda. Jemarinya dengan lembut mengelus-elus perut hingga pubik Alfi yang menempel pada miliknya. Sementara kemaluan Alfi masih tetap menegang keras dan mengeram di dalam vaginanya.<br /><br />“Enak mana sama Paijo kak?”goda Alfi.<br /><br />“Aaa…Alfi begituuu..!!”<br /><br />“Bilang dulu enak titit Alfi atau punyanya Paijo?”<br /><br />“Emang kenapa jika titit Paijo lebih enak?” Sandra balas menggoda kekasihnya itu.<br /><br />“Betulkah kak? Titit Paijo seenak itu?” Tanya Alfi penasaran.<br /><br />“Hi hi ngga sayang. Titit kamu tetap paling enak kok”<br /><br />“Tapi tempo hari Alfi lihat sendiri kakak dibuatnya orgasme?” kejar Alfi belum yakin.<br /><br />“Hi hi Kamu cemburu ya Fii?”<br /><br />“Kakakkk?!”Alfi merengek kesal. Sepertinya ia memang mulai tersulut api cemburu.<br /><br />“Iya..iya..kakak memang orgasme waktu itu. Tapi bikinnya susah bener sebab titit Paijo kecil dan pendek. Tetap saja titit kamu lebih enak dari Paijo, sayang”.<br /><br />“Begitu ya kak?”<br /><br />“Kan buktinya dia kakak suruh pulang kampung. Dan kakak milih menunggu kamu pulang”<br /><br />Alfi tersenyum. Kali ini ia percaya akan omongan Sandra. Ia gembira telah memenangkan segalanya dari Paijo.<br /><br />“Sudah ngga cemburu lagi kan?”Tanya Sandra.<br /><br />“hi hi sudah kakak”<br /><br />“Kalau begitu entott kakak lagi sayanggg” rengek Sandra manja.<br /><br />Demikian percintaan itu terus berlangsung penuh cita rasa bagi mereka berdua. Hingga akhirnya Sandra sampai pada fase multiorgasme-nya. Penis Alfi mulai memberinya orgasme yang luar biasa nikmat secara beruntun tanpa henti. Vaginanya tak lagi berhenti berkontraksi.. Lepas dari sebuah orgasme kuat maka sebuah orgasme berikut datang melandanya. Begitu seterusnya. Kenikmatan itu datang susul menyusul bagai bergelombang ombak yang tak pernah terputus. Dan multiorgasme yang melanda Sandra itu membuat lumatan liang vaginanya menjadi permanent. Saat seperti inilah yang membuat Paijo selalu gagal bertahan. Tetapi Alfi bukan Paijo. Alfi adalah pejantan sejati yang diimpikan banyak wanita. Tempaan seks sejak kecil menjadikan otot-otot sekitar kelaki-lakiannya tumbuh dengan sempurna dan berbeda dengan kebanyakan pria lain. Ia tak semudah tak gampang jebol. Ia selalu berhasil mengontrol dirinya dalam durasi waktu yang panjang. Ia biarkan Sandra menikmati proses orgasme demi orgasme tersebut berlangsung dengan kondisi sebuah penis tetap ber-ereksi penuh di dalam vaginanya. Hampir satu jam Alfi bertahan dalam sebuah persetubuhan yang emosional. Tanpa seks selama lebih satu bulan. Menahan ejakulasi dari betotan secara periodik gelombang multiorgasme vagina Sandra. Sungguh luar biasa! Ini sudah melampaui di ambang batas yang mampu ia pernah lakukan.<br /><br />“Kakakkk …..Alfi sudah mau mun..crattt” bisik Alfi lirih.<br /><br />“Ohhh…sa..yanggggku…La..ku..kan.”erang Sandra di antara kesadarannya yang memudar akibat balutan kenikmatan dasyat itu, ia dapat melihat wajah kekasihnya yang hitam itu memucat. Bola mata hanya terlihat putihnya saja. keningnya mengerenyit seolah menahan sakit yang amat sangat.<br /><br />Alfi menyusupkan kedua telapak tangannya ke bawah bungkahan pantat Sandra yang montok. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan pinggulnya ia mengocok secara cepat dan bertenaga. untuk mengakhiri sesi ini. Desahan Sandra kini terdengar semakin kencang seiring kocokan Alfi yang semakin cepat. kewanitaannya yang dalam kondisi mengecut itu teraduk-aduk hebat. Ia tahu ini akan menjadi sebuah akhir yang dasyat. Kedua lengannya ia rangkulkan pada leher Alfi. Ia ingin menikmati momen secara berbarengan dengan Alfi.<br /><br />“Sekaranggg sayaanggggg!…sekaranggggggg!!”rintih Sandra memberi isyarat pada Alfi<br /><br />“Arghhhh kakaaakk!!!” Alfi menggeram kuat saat melepas kenikmatan itu dalam satu hujaman akhir yang kuat dan dalam. Sandra mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi menyambut hujaman Alfi tersebut. Di saat itulah kepala penis Alfi seakan meledak di mulut rahim kekasihnya.<br /><br />CRAATTTTTT!!!…Crattttttt!!!,,,,crattttttttt!!! Sandra pun terkaget ketika sesuatu yang amat kental melenjit masuk jauh menjangkau bagian rahimnya. Lalu gumpalan-gumpalan lain susul menyusul ikut masuk tak terkendali. Ledakan dasyat yang memicu ledakan yang paling kuat pada dirinya sendiri.<br /><br />“Argghhhhh….SAYANGGGGGG!!!!” Sandra memekik nikmat saat mencapai puncak kenikmatan.<br /><br />Tubuhnya saling mendekap dengan tubuh Alfi. Tak hanya tubuh, jiwa mereka-pun bersatu dalam puncak kenikmatan tersebut. Dua tubuh dengan warna kulit yang begitu berbeda kontras bagai dua buah kutub magnet yang berlawanan namun melekat dengan sangat kuat. Proses orgasme berbarengan yang hanya berlangsung tak lebih dari dua menit itu seakan terasa bagai sebuah tingkat kesenangan yang berlangsung berabad-abad bagi mereka. Hingga akhirnya fase yang penuh keindahan itu berakhir mereka masih tetap berpelukan mesrah. Sandra mengecupi wajah Alfi dengan lembut. Ia lakukan itu sebagai ungkapan bahagia. Puas. Terima kasih dan bahagia tentunya.<br /><br />“Ohh..Fiii..sa..yanggg …apa yang terjadi barusann?” Tanya Sandra setelah mereka berdua menuntaskan orgasmenya. Begitu mempersona rasanya ledakan besar yang mereka alami bersama barusan. Emosi energi cinta mengalir dari hati yang lebih dasyat dari luapan hasrat birahi<br /><br />“Kenapa kak?”<br /><br />“Kakak… kakak..belum pernah merasakan yang seperti itu. itu..itu..benar-benar enak banget..dan kenapa sperma-mu begitu kental dan banyak seakan menembus ke jauh dalam perut kakak”<br /><br />“Alfi tidak tahu. Mungkin gara-gara Alfi tidak begituan selama lebih sebulan ini”<br /><br />“Lho, apa kamu tidak cobain tidur dengan teman wanitamu selama di perjalanan, Fi?”<br /><br />“Ngga lah kak. Mana mungkin Alfi berani. Ntar bikin masalah lagi.”<br /><br />“Setidaknya kamu bisa onani kan sayang?”<br /><br />“Rugi ahh! Mana mungkin kenikmatan tubuh kakak ditukar sama jari. Biar Alfi rela menunggu sampai ketemu kakak. Dan hanya karena kakak Alfi bisa tahan tak melakukan itu.”<br /><br />“Ohh..sayangg itu manis sekali. Kakak tambah cinta padamu”<br /><br />Bibir Sandra yang mengiurkan itu kembali di sambar Alfi. Dan merekapun kembali larut dalam lautan French kiss yang menghanyutkan. Mereka mencurahkan semua perasaan bahagia mereka di situ. Demikianlah mereka mereguk madu kasih berdua tanpa memikirkan hal lain malam itu. Panasnya gairah berbaur dengan letupan kasih sayang membuat mereka bersetubuh seakan tiada lagi hari esok. Sandra seakan mengulang keindahan masa lalunya bersama Alfi dulu. Bahkan tak terasa ini memasuki malam kedua mereka berduaan di kamar. Tak pernah Alfi menyenggamai Sandra dalam waktu selama itu.Selama lebih delapan belas jam anak itu hanya mencabut titit besarnya bila ke kamar kecil atau mau makan selebihnya ia biarkan tititnya mengeram di dalam vagina Sandra. Alfi tak hanya mampu mempertahankan ereksinya dalam kurun waktu lama namun juga mampu produksi sperma yang seakan tak habis-habisnya Bahkan terjangan orgasme Alfi yang terjadi itu masih tetap deras dan banyak walau telah ia suntikan berkali-kali ke dalam rahim wanita yang sangat ia cintai itu. Sandra sungguh merasakan luapan kebahagiaan. Malam ini ia telah mengungkapkan cintanya pada Alfi. Ini pertama kalinya raga dan hatinya menyatu dalam gelombang gairah tiada akhir. Setelah percintaan mereka usai ia menyusupkan kepalanya di dada Alfi. Lalu tertidur dalam belaian sang kekasih sejatinya.<br /><br />############################<br /><br />Sandra terbangun dari tidur lelapnya saat handphonenya berbunyi. Dilihatnya jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Alfi-pun masih tertidur lelap di sampingnya.<br /><br />“Hoamm…ada apa Nad?” tanyanya dengan agak sungkan karena masih ngantuk. Tak biasanya Nadine mengganggunya pagi-pagi buta seperti ini.<br /><br />“Sttt..Sand… engkau pasti terkejut jika tahu apa yang telah terjadi di sini semalam” suara Nadine terdengar berbisik.<br /><br />“Duhh…Nad apa-apaan sih?! Kau menelponku sepagi ini hanya buat main tebak-tebakan denganku?”<br /><br />Ia tahu Nadine sudah tiba di kota G sejak sore. Selama ini Didiet menyewa sebuah apartment buat mereka tinggal di sana.<br /><br />“Sebelum aku jelaskan tunggu sebentar aku ingin memastikan ‘mereka’ masih tertidur” ujar Nadine menggantung pembicaraannya. Duh! sudah dibangunkan lalu disuruh menunggu pula. pikir Sandra sebal.<br /><br />“Ok..aku sudah di zona yang aman buat kita bicara” terdengar Nadine kembali berbicara.<br /><br />“Tunggu! Tadi engkau menyebut kata ‘mereka’? siapa yang kau maksud itu? Engkau tak mengajak Alfina ikut ke sana kan?” tanyanya.<br /><br />“Tidak putriku tinggal bersama ibu di kota S”<br /><br />“Lantas siapa yang engkau maksud tadi”<br /><br />“Didiet dan Paijo”<br /><br />“Apaaa?!! Paijo, Nad?!! Yang benar saja?!” Ujar Sandra terlonjak kaget. Matanya yang semula sayu dan nyaris tertutup karena mengantuk mendadak terbuka lebar.<br /><br />“ Aduhhh Sand! pelankan sedikit suaramu. Telingaku bisa budeg nih!”<br /><br />“E oh maaf aku tadi terlalu kaget. Ba..bagaimana mungkin si Paijo bisa ada di sana?!”ujar Sandra baru tersadar jika suaranya juga bisa membuat Alfi terbangun. Ia bangkit dari tempat tidur lalu menuju ke arah teras cottage.<br /><br />“Baiklah akan aku persingkat saja …ketika aku tiba sore kemarin aku terkejut karena ada anak itu di apartemen kita. Ternyata Didiet menemukan Paijo di desanya saat sedang mencari Alfi dua hari yang lalu dan memutuskan mengajak Paijo serta ke kota G. Didiet mengatakan kepadaku ia hanya ingin membantu anak itu lepas dari permasalahannya dengan mencarikannya pekerjaan.”<br /><br />“Engkau patut berhati-hati, Nad. Didiet pasti akan membujukmu buat tidur dengan anak itu”<br /><br />“Sebenarnya Didiet memang telah melakukannya tadi malam “<br /><br />“Nah kan!? Engkau pasti menolaknya kan Nad?!”<br /><br />“Awalnya begitu. tapi…” ucapan Nadine mendadak terputus di tengah menandakan ia sedang berpikir mencari kalimat yang pas buat menjelaskan apa yang terjadi pada Sandra<br /><br />“Nad! Kamu tidak melakukannya dengan anak itu kan?!” desak Sandra penasaran.<br /><br />“Maafkan aku Sand…” jawab Nadine lirih. Sebuah jawaban yang singkat namun itu sudah cukup buat Sandra mengetahui apa yang tersirat. <br /><br />Sial!!! Sandra mendengus kesal. Tadinya ia beranggapan polemik yang terjadi sudah berakhir. Namun ternyata masalah ini akan memulai sebuah babak baru. Nampaknya penyakit aneh si Didiet kambuh lagi! Dan Nadine yang telah menjadi korban pertamanya.<br /><br />“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”<br /><br />“Semuanya berawal ketika aku dan Didiet melakukan keintiman tadi malam. Ketika hal itu baru berjalan sepuluh menit dan tiba-tiba saja di tengah permainan Didiet sengaja ‘mencabutnya’. Pada saat itulah ia memohon kesediaanku agar anak itu yang menuntaskannya..dan…entah mengapa? Apakah karena aku sedang dipuncak gairahku sehingga akhirnya aku bersedia ia melakukannya dan….. semuanya terjadi “<br /><br />Sandra termenung mendengarkan semua penjelasan Nadine. Ia tak dapat menyalahkan Nadine. Dasar si Didiet! Ia memang banyak akalnya. Sandra sangat mengenal suaminya itu. Ia tak pernah berhenti berusaha membujuk mereka melakukan keinginannya itu meski sudah berkali-kali ditolak. Bukankah ia sendiri juga selalu gagal menolak keinginan-keinginan aneh Didiet? Bahkan ia justru selalu menikmati setiap keliaran yang suaminya ciptakan di dalam rumah tangga mereka selama ini. Termasuk ketika dulu ia diminta untuk menyerahkan kesuciannya kepada Alfi.<br /><br />“Sand? Kamu masih di sana kan?” Tanya Nadine ketika Sandra diam dalam waktu yang agak lama.<br /><br />“Ya, aku masih mendengarmu, Nad.”<br /><br />“Engkau tidak marah padaku kan?”<br /><br />“Tentu saja tidak. Aku tak menyalahkanmu dalam hal ini. Didiet memang pandai memanfaatkan situasi. Aku hanya berharap Alfi tak sampai mengetahui hal ini”<br /><br />“Sebaiknya begitu, Sand. Tadi-pun aku telah meminta Paijo agar tak ‘menandai’ dadaku seperti yang pernah ia lakukan padamu dan Dian”<br /><br />Sandra kembali termenung. Permainan apa lagi yang sedang direncanakan suaminya itu sekarang? Apakah masih belum cukup keruwetan yang akhir-akhir ini timbul akibat kehadiran anak itu?.Begitu banyak yang pertanyaan memenuhi kepala Sandra. Namun yang pasti ia tidak suka Didiet ‘menarik’ Paijo kembali ke dalam lingkungan keluarga mereka.<br /><br />“Aduhh!” keluhan Nadine menyadarkan Sandra.<br /><br />“Ada apa Nad?”<br /><br />“Uh..tidak apa-apa. Hanya sedikit nyeri”<br /><br />“Engkau jangan bercanda Nad! Masa Penis kecil anak itu mencideraimu!” ujar Sandra ketus.<br /><br />“Bukan yang itu….tapi puting payudaraku…anak itu buas sekali. Dua jam ia tak melepasnya. Kupikir persediaan susu buat Alfina bisa habis oleh dia sendiri!” keluh Nadine. <br /><br />“Yah! Ia memang sudah lama mengincar dirimu untuk hal itu, Nad.” Ujar Sandra. Ia dapat membayangkan bagaimana lahapnya Paijo menetek sambil menusukkan titit bertindiknya ke dalam liang senggama Nadine. Terbayang pula wajah pemuda kampung itu meringis keenakan sambil menjerit-jerit ‘bu enak, bu enak bu’ sebagaimana dulu ketika Paijo menyetubuhi dirinya.<br /><br />“Eh Sand, apakah menurutmu Didiet juga akan memintamu diintimi Paijo pas giliranmu kemari?”tanya Nadine. Sebuah pertanyaan cukup mengagetkan buat Sandra.<br /><br />“Tak mungkin Nad! Didiet pasti tak mungkin memintaku melakukan itu mengingat kejadian kemarin-kemarin”<br /><br />“Mengapa tidak? Bukankah untuk itu ia mengajak Paijo di kota G. Dengan begitu keinginannya bisa tercapai tanpa diketahui oleh Alfi seperti apa yang terjadi padaku malam ini”<br /><br />“A.kuu.. aku…ah Entahlah.…” Sandra tak bisa meneruskan kalimatnya. Ia menyadari omongan Nadine sepertinya memang benar. Bisa jadi memang betul demikian yang Didiet rencanakan. Bukankah Didiet memang sangat ingin menyaksikan persetubuhan antara dirinya dan Paijo secara langsung karena keinginannya itu memang belum sempat terwujut tempo hari? Sebenarnya bukan diri Paijo yang Sandra kuatirkan. Namun perilaku Didiet. Toh! Tanpa Paijo sekalipun setiap saat Didiet bisa saja mencari pemuda lain yang sesuai untuk memenuhi angan-angannya<br /><br />“Ya sudah! Kita tidak bisa membahasnya di telepon sekarang tetapi kita memang harus memikirkan semua ini nantinya.” Ujar Nadine seakan tahu kegalauan sahabatnya itu. Sandra tak menyahut.<br /><br />“Baiklah kalau begitu. Biar besok aku telpon kamu lagi Sand” ujar Nadine mengakhiri pembicaraan.<br /><br />Sandra kembali ke dalam kamar. Ia memandangi wajah Alfi yang sedang terlelap di kasur. Rasanya ia benar-benar tak sanggup untuk berpisah lagi dengan Alfi. Ia juga tak ingin melihat Alfi kembali menderita gara-gara mengetahui para wanitanya ditiduri Paijo. Perlahan Sandra merebahkan kepalanya di dada kekasihnya itu. Lalu kembali tertidur.<br /><br />######################################<br /><br />Satu bulan Sejak kepulangan Alfi<br /><br />Di pagi itu, nampak Sandra sedang gelisah karena tamu bulanannya tak kunjung muncul. Ia tak yakin itu di sebabkan oleh kehamilan. Memang ia dan Alfi telah melakukan percintaan sesuai jadwal namun demikian mereka tak melakukannya dalam posisi yang tepat sesuai dengan anjuran Lila. Sandra tak ingin terlalu berharap sehingga akan mendatangkan kekecewaan baginya saja. Namun rasa penasaran membuatnya tetap juga pergi ke kamar mandi. Lalu mengambil alat test kehamilannya dari kotak obat. Dengan hati-hati ia meneteskan urine-nya ke tempat yang disediakan pada alat tersebut…selanjutnya adalah proses menanti …dan…menanti…sebuah garis samar-samar muncul dan menyilangi tanda minus…lalu semakin jelas dan … Positive. Ia Hamil? Sungguhkah ini ?! Tidak! Tidak! Ia tak boleh senang dulu. Pikir Sandra sambil mencoba mengendalikan perasaannya yang mulai panic. Mengingat kejadian yang lampau bukan tak mungkin terjadi kesalahan pada benda ini. Ia merogoh kotak obat dan mengambil lagi sebuah alat test yang baru. Jemarinya gemetar saat ia mengulangi semua prosedur yang telah ia lakukan sebelumnya. Dan hasil yang muncul sama. Positive!<br /><br />“ARgggg…!!!!” teriak Sandra girang. Teriakan berasal dari kamar mandi itu terdengar sampai keluar dari kamar tidur. Alfi yang saat itu sedang berada di ruang depan mendengar teriakan itu langsung memburu ke arah kamar.<br /><br />“Ada apa kakkk?!” Tanya Alfi kuatir. Namun ia bingung ketika melihat senyum girang Sandra.<br /><br />“Hmmm….sabar ya sayanggg. Nanti akan kakak beri tahu. Sekarang tolong panggilkan kak Dian-mu kemari” pinta Sandra. Meski masih bingung Alfi melakukan keinginan sang kekasihnya itu. Ternyata Sandra meminta Dian buat menemaninya ke klinik milik Lila. Sandra tak ingin cepat mengambil kesimpulan bahwa ia sudah hamil. Ia ingin Lila yang memberikan jawaban pasti.<br /><br />Dua jam berselang ia sudah kembali ke rumah.<br /><br />“Fiii aku HAMILLL!!”pekiknya girang sambil memeluk Alfi erat.<br /><br />Hasil labor di klinik Lila menunjukan jika ia memang benar-benar sedang hamil.<br /><br />“Benarkah kak?!”<br /><br />“Ya sayang. Kakak berterima kasih sekali padamu” ujar Sandra yang tak dapat menyembunyikan kebahagiannya. Ia terus-terusan menghujani Alfi dengan kecupan-kecupan.<br /><br />“Alfi juga senang sekali Kak” ujar Alfi girang. Ia sendiri tak menyangka jika akhirnya ia berhasil membuat Sandra, sang bidadarinya, wanita yang paling ia cintai itu hamil. Ia sendiri takjub. Betapa tidak Di saat anak-anak seusianya masih berkutat dengan video game, mencuri lihat video porno dari handphone atau baru mencoba-coba berciuman. Sedangkan ia sendiri tahun depan bakal menjadi ayah dari empat orang anak yang berasal dari empat orang wanita berbeda .<br /><br />“Tapi Fii kakak juga harus minta maaf padamu”<br /><br />“Loh ada apa emangnya kak?”<br /><br />“Mungkin buat sementara kakak tidak bisa melayanimu. Paling tidak selama trimester pertama. Kakak tak ingin calon bayi mungil kita terganggu oleh keintiman kita” ujar Sandra pada pemuda itu. Kekuatiran Sandra cukup beralasan sebab aktivitas seksual di usia kehamilan muda bisa saja menyebabkan terjadinya Abortus Spontan akibat trauma benturan dari penis Alfi yang panjang terhadap mulut rahimnya. Apalagi mengingat kondisi organ kandungan Sandra yang tak normal.<br /><br />“Ooo soal itu. Kakak tenang saja.” ujar Alfi mantab lalu mengecup bibir kekasihnya itu.<br /><br />“Iya kamu-kan bisa minta jatah sama kak Niken dan yang lain, Fi.”ujarnya lagi<br /><br />##############################<br /><br />Hari-hari berlalu bertabur kebahagiaan buat Sandra dan Alfi terus berlangsung. Buah cinta mereka sudah tumbuh di rahim Sandra dan membuat ikatan keduanya semakin tak terpisahkan. Alfi menepati janjinya untuk tidak dulu mengintimi Sandra. Namun hal itu tak membuat keharmonisan mereka terganggu. Alfi cukup pandai berlaku romantis dan memanjakan kekasihnya itu tanpa harus mengakhirinya dengan persetubuhan. Hingga pada suatu malam.<br /><br />“Bu Sandra.?.”terdengar suara riang di seberang telepon.<br /><br />“Siapa ini?”<br /><br />“Ini Paijo buuu”<br /><br />“Paijo?…”<br /><br />“Iya bu, Paijo”<br /><br />Dari mana ia tahu nomor teleponku? Tanya Sandra dalam hati. Pasti Didiet yang memberikan.<br /><br />“Ada apa menelponku?” Tanya Sandra dingin. Namun ia tak ingin berkata kasar.<br /><br />“Saya cuma mau ngasih tahu kalau saya seneng banget ibu mau kemari besok. Beri tahu saya jam berapa ibu datang biar saya yang jemput di bandara”<br /><br />“Huh!.Siapa bilang aku akan pergi ke sana?” kata Sandra ketus.<br /><br />“Lho? Kata pak Didiet, ibu bakal tinggal di sini selama dua minggu dan saya disuruh jemput ibu besok”<br /><br />Duh! Keluh Sandra. Ia tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi juga. Dan kini masalah itu sudah muncul dihadapannya. Padahal ia belum lagi menemukan solusi yang tepat untuk itu. Ini memang sudah giliran ia menemani suaminya di sana. Nadine pun tak mungkin terus-terusan meninggalkan pekerjaan dan putrinya. Ia juga tak bisa terus menghindar. Justru sebaliknya ia harus menghadapi dan menyelesaikan masalah ini secepatnya.<br /><br />“Ibu kemari ya. Saya sudah kangeeen banget sama ibu…saya pingin banget ngentot sama ibu lagi” Dasar udik! gerutu Sandra jengah. Anak ini ngomong vulgar seperti itu di telepon. Nyata sekali Paijo ingin kembali mengulangi kebersaman dengan dirinya seperti selama ini.<br /><br />“Aku belum bisa memutuskannya sekarang. Kalaupun aku jadi menyusul suamiku, aku tak mungkin bersamamu Jo sebab saat ini aku sedang hamil muda” jelas Sandra berusaha mengelak<br /><br />“Aduh buu…saya janji.. saya bakal ngegituin ibu pelan-pelan… ” terdengar rayuan erotis nan kampungan ala Paijo berusaha membujuknya. Edan! Padahal anak itu baru beberapa hari saja ditinggalkan Nadine tetapi sepertinya sudah kebelet sekali.<br /><br />“Ya sudah sudah! Nanti aku akan pertimbangkan tetapi jangan telepon-telepon aku lagi.”ujar Sandra sebal. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan itu.<br /><br />“Lho kenapa bu? Saya kan cuma pingin kangen-kangenan sama ibu di telepon”<br /><br />“Pokoknya jangan nelpon kemari! jika kamu terus membandel aku tidak bakalan mau berangkat!” ancam Sandra<br /><br />“I..iyaa iya buu… saya nurut apa kata ibu! Sampai besok ya bu. Jangan sampai tidak datang…saya bakal..”<br /><br />Sandra telah mematikan handphone-nya sebelum kalimat –kalimat bawel Paijo selesai.<br /><br />###########################<br /><br />Keesokan paginya<br /><br />Panggilan boarding bagi para penumpang sudah menggaung dari speaker bandara. Sebagian penumpang dengan tujuan kota G sudah berjejer antri memperlihatkan boarding pass mereka pada petugas.<br /><br />“Hati-hati di jalan ya kak” ujar Alfi sambil mengecup kening Sandra.<br /><br />“Kamu juga sayang. Kakak pergi dulu ya. Dagg Alfi!” ujar Sandra berjalan menuju tempat antrian sambil menyeret koper-nya.<br /><br />“Daag kakakk!!”pekik Alfi sambil membalas lambaian Sandra.<br /><br />BersambungPedagang Musimanhttp://www.blogger.com/profile/12988446986946884621noreply@blogger.com1